Thursday, September 4, 2008

on the road to Eheng (1994 - 2008)


Saya tak ingat betul berapa jam waktu yang kami habiskan di atas hardtop dari Melak menuju Pepas Eheng pada tahun 1994 lalu. Jarak kilometernya hanya sekitar 36km, tetapi sepertinya lebih dari 2 jam tubuh kami terguncang di atas hardtop yang dipenuhi backpack berisi pakaian dan bekal hidup untuk sebulan di pedalaman Borneo.

Jalanan tak beraspal dari Melak (Kutai Barat) ke pertigaan Mencimai di Barongtongkok waktu itu kami tempuh sekitar 45 menit. Dari Mencimai menuju Pepas Eheng, harus melintasi hutan dengan kondisi jalan tanah/lumpur yang bergelombang. Hanya mobil jenis hardtop yang mampu melintasinya. Lebih dari 1 jam hardtop kami meliuk di belantara Borneo.

Kami cukup beruntung, karena pada saat kami melintasi jalan menuju Eheng, sejumlah warga di kampung sepanjang jalan itu tengah menyiangi ranting-ranting pohon di tepian jalan. Mereka tengah bekerja bakti, karena beberapa hari ke depan, rombongan Menteri Penerangan Moerdiono akan berkunjung ke Pepas Eheng. Rombongan Mentri ini juga akan diiringi oleh Tim Ekspedisi Kapuas - Mahakam yang kalo nggak salah disupport Kompas. (Salah dua anggota Ekspedisi Kapuas Mahakam itu adalah Mas Gendon (arkeo - ugm) dan Mbak Cenil (antrop - ui)...mereka inget nggak yaaa..hehehhe).

Demi menyambut Pak Mentri, jalan setapak melintas hutan itu jadi tak sesepi biasanya. Tak selengang jalan beraspal dari Mencimai ke Pepas Eheng yang sudah dinikmati warga sejak tahun 2000-an berkat jasa Bupati pertama yang berasal dari Dayak Benuaq, yang kampungnya berada di arah Hulu dari Lamin Eheng (sesudah desa Pepas Eheng).



Sehari-hari jalanan beraspal ini sungguh sepi. Hanya satu dua kendaraan melintas, sehingga kami bisa melaju tanpa hambatan. Dan hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai Eheng dari pertigaan Mencimai Barong Tongkok. Sementara itu dari Mencimai ke Melak juga hanya memakan waktu sekitar 15 menit!


Gara-gara jalan beraspal itu, saya samapi nggak sadar kalau mobil yang mengantarku sudah berhenti di depan Lamin Eheng. "Hah..cepet sekali?" kata saya spontan. Padahal mata saya masih sibuk mencari-cari papan arah, barangkali ada tulisan "Selamat Datang di Desa Pepas Eheng" yang ada di dekat jembatan kecil.

Memang sih, mobil yg saya tumpangi sudah melewati sungai dengan jembatan yang kokoh dan ada taman kecil di dekatnya. Ah, tapi saya nggak yakin bahwa itulah jembatan yang sekaligus menjadi batas wilayah desa Eheng (juga batas wilayah kultural, karena di Eheng warganya adalah orang Dayak Benuq sementara di seberang sungai adalah warga Dayak Tunjung).