Friday, January 30, 2009

tragedi pemburu jembatan


Visit Musi 2008, promosi pariwisata yang dicanangkan pemerintah provinsi Sumatera Selatan mengingatkan saya pada obsesi narsis berfoto di jembatan Ampera yang terpendam sejak tahun 1992. Waktu itu saya dan beberapa rekan wartawan kampus mendapat kesempatan mengunjungi perusahaan tambang batubara Bukit Asam di Kab. Muara Enim, sekitar 180km dari Palembang. Mumpung udah sampai Sumsel, kenapa nggak lanjut ke ibukota propinsinya sekalian ya? Ide itu ternyata juga ada di benak rekan-rekan yang lain.

"Kita cari pinjaman mobil yuk," usul salah seorang rekan yang bisa nyopir. Usulan itu lantas membuat kami serempak menghitung waktu perjalanan dari Bukit Asam ke Palembang. Dengan kondisi jalan pada tahun 1992, diperkirakan butuh 4 jam perjalan ke Palembang. Pulang balik berarti sekitar 8 jam. Itu berarti kami harus meluangkan waktu seharian untuk bisa ke Palembang. "Belum waktu buat muter-muter di kota Palembangnya," komentar yang lain. "Nggak usah ke man-mana, yang penting foto di jembatan Ampera. Setelah itu balik lagi," tambah rekan lainnya.

Komentarnya membuat saya bersemangat. Iya lah, Jembatan Ampera kan merupakan landmark dan ikon kota Palembang. Jembatan yang dibangun hasil papampasan perang Jepang pada tahun 1962 ini bisa disebut jembatan pertama termegah di Indonesia. Jadi nggak rugi kalau harus bela-belain menempuh 4 jam perjalanan bolak-balik ke Palembang. Saya pun mendukung usulannya.

Sayangnya kami nggak berhasil mendapat pinjaman mobil. Lebih tepatnya, jadwal kunjungan kami sudah cukup padat, sehingga tidak ada waktu untuk meluncur ke Palembang. Dan sampai hari ini saya belum berhasil narsis di jempatan Ampera.

Hasrat narsis di jembatan lain yang belum kesampaian adalah di Jembatan Kutai Kertanegara (Kukar) atau Jembatan Mahakam II di Tenggarong (Kaltim). Setelah selesai direnovasi sekitar awal 2001, Jembatan Kukar menjadi landmark kota Tenggarong. Jembatan sepanjang 580 meter ini dirancang menyerupai Jembatan Golden Gate di San Fransisco! Keindahan jembatan Kukar ini semakin berasa di malam hari, karena berkilau cahaya lampu.

Sejak jembatan Kukar tampil menjadi San Fransisco Bridge dari Kaltim ini, sebenarnya saya sudah 3 kali melintasinya. Yang pertama sekitar tahun 2005 ketika saya tugas ke Samarinda. Mumpung ada waktu, sore-sore saya meluncur ke Tenggarong yang berjarak sekitar 40 menit dengan taksi. Sengaja saya pilih waktu sore-sore, karena saya berharap menikmati suasana kota Tenggarong yang bersih dan indah (kota terbersih di Kaltim loh!) sebelum lampu-lampu di jembatan dinyalakan. Celakanya, begitu sampai Tenggarong, turun hujan lebat sampai saya nggak bisa keluar dari taksi.

Kecelakaan kedua (2007) dan ketiga (2008) juga disebabkan oleh hujan. Sudah begitu waktu itu saya ke Tenggarong bersama relasi, jadi nggak enak kalau harus maksain nunggu hujan reda. Terpaksalah "San Fransisco Bridge from the East" itu hanya bisa saya potret dari dalam mobil dengan ponsel kamera. Kemegahannya nggak bisa terekam di ponsel kamera andalan saya karena terhalang kaca mobil dan titik-titik air hujan. Uhs..!


Lost in Tower Bridge
Tragedi yang paling mencemaskan saat berburu foto narsis di jembatan terjadi ketika di Tower Bridge London. Hari itu adalah hari terakhir saya dan Ywed di London. Karena pesawat akan take off pukul tujuh malam, kami punya waktu seharian untuk jalan-jalan. Agenda utama kami nonton changing guard ceremony di Buckingham Palace, "setelah itu ke Tower Bridge," usul saya maksa. Nggak afdol rasanya kalo belum foto-fotoan di Tower Bridge. Padahal beberapa hari sebelumnya kami sudah jalan-jalan menyusur sungai Thames. Sudah foto-fotoan di Millenium Bridge dan Westminster Bridge yang berada segaris dengan Tower Bridge. Tapi karena Tower Bridge sudah menjadi ikon dan landmark kota London, saya pun maksa bisa memotretnya."Telat-telatnya jam 3 kita harus balik lagi ke hotel ya," tambah saya menegaskan skedul jalan-jalan di hari terakhir kami di London.

Kami menginap di daerah Camden, yang terkenal dengan pasar seninya. Kalau naik bus dari Tower Bridge, mungkin butuh waktu sekitar 40 menit (sengaja puter-puter London pake bus, yang lebih murah ketimbang naik kereta underground). Artinya jam 4 sore sudah tiba di hotel dan mengambil barang-barang kami yang sudah dititipin di locker, setelah itu lanjut naik tube (kereta underground) ke Heathrow Airport. Sebelum jam 5 kami sudah akan tiba di bandara sehingga waktu untuk check-in masih cukup longgar.

Karena keasyikan jalan dan nonton changing guard ditambah masih harus mencari-cari bus dari Victoria Station yang melewati Tower Bridge, akhirnya kami baru tiba di Tower Bridge sekitar pukul 14.45 waktu London. "Waktu kita cuman lima belas menit nih. Foto-fotoan bentar habis itu kita ketemu lagi naik bis ke Camden," kata saya sebelum kami misah, mencari posisi yang enak buat motret jembatan maupun motret diri sendiri dengan bantuan fitur self-timer. Ini memang kebiasaan saya, kalau udah pegang kamera nggak suka jalan beriringan terus.

Jam 15.00 waktu yang kami sepakati untuk sama-sama menuju halte, ternyata justru merupakan awal tragedi. Saya celingukan mencari Ywed. Saya tunggu beberapa saat di bawah jembatan, tapi nggak kelihatan juga batang hidungnya. Saya telpon hape-nya, ealah mati. Saya kirimi SMS, "Bu, kok suwi. Dah jam 3 nih, ayo balik ke hotel". Nggak juga dapat balasan. Lalu saya naik ke jembatan, kali-kali ketemu di atas. Kalaupun tidak, dari atas jembatan bisa lebih leluasa melihat ke bawah. Saya tunggu beberapa saat di atas, nggak nongol dan nggak ada balasan SMS. Saya coba menelponnya lagi, berkali-kali dan hanya dijawab mbak-mbak operator.

Kegelisahan mulai melanda. Sementara waktu terus bergerak. Sekitar jam tiga lewat lima belas, akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan sahabat saya, pengantin baru yang baru dua bulan lalu menikah. Saya meninggalkannya dengan sedih, tapi kalau saya di Tower Bridge terus akan semakin banyak waktu yang terbuang. "Sori Bu aku udah naik bus ke Camden. Tadi aku tunggu kamu di atas bridge tapi nggak nongol. Tak telpon hapemu juga gak nyambung." Sialnya, SMS itupun juga nggak dibalas. Saya nggak tahu apa yang terjadi pada Ywed. Kecemasan makin menyita pikiran. Karena nggak konsentrasi, saya sempet kebablasan turun sehingga harus menuggu bus yang kembali ke halte tempat menanti busa menuju terminal Victoria. Dari Victoria barulah berganti bus lagi yang menuju ke Camden.

Di saat lagi bengong, hape saya bergetar. Alhamdulillah, akhirnya Ywed kirim SMS juga. "Aku kesasar. Nggak tau di mana. Kayaknya aku salah naik bis." Oh my God, SMS itu membuat saya makin cemas. "Ke Camden naik bis 24, Bu" balas saya galau. Lalu saya mengutuki diri saya sendiri. Kalau Ywed beneran tersesat dan nggak bisa balik ke Camden gimana ya? Padahal waktu kami di London hanya dalam hitungan jam saja, hanya sekitar 3 jam saja.

Dalam kecemasan, hape saya berdering. Saya berharap dari Ywed melaporkan dari atas bus National Express. Ternyata bukan. "Saya Ari, suaminya Ywed...." ups, seketika perasaan bersalah terasa mencekik leher saya. Bahkan suaminya yang berada di Jakarta, ribuan mil dari London juga menelpon saya! Saya langsung deg-degan, nggak enak ati. Mereka baru 2 bulan menikah, belum sempet honeymoon, malah pergi ke Inggris berdua sama saya, dan sekarang saya menelantarkannya! Duh Gusti, nyuwun pangapunten. "Ywed itu di Bandung aja tersesat, apalagi di London," katanya membuat saya semakin merasa bersalah. Meskipun di satu sisi saya merasa bertindak benar. Saya juga heran, kok bisa tersesat ya. Padahal, setiap halte bus di London pasti ada map dan direction yang ditempel. Kita bisa tahu di mana posisi halte yang kita singgahi saat ini, dan bus nomor berapa yang harus kita naiki jika ingin menuju tempat tertentu. Sebelum get lost in Tower Bridge, saya dan Ywed juga sama-sama menyimak map yang ada di tiap halte yang kami singgahi.

Tapi sepertinya Ywed sedang panik, sehingga nggak bisa berpikir dan akhirnya malah makin tersesat. Kepanikannya juga sempat membuatnya berkirim SMS aneh-aneh. "Bu, barang-barangku nggak usah diambil aja. Tinggal aja di locker, isinya cuma baju kotor kok." Nah lo, saya kan jadi malah senewen. Meskipun sebenarnya saya tahu, maksud Ywed baik. Nggak pengin membebani saya dengan barang bawaannya yang jauh lebih gede ketimbang punya saya. Tapi saya malah menjawabnya begini: "Loh, sehari kan bayar lockernya 1.5 pounds. Emang dia mau maketin kopermu ke Indonesia?".

Berbagai perasaan nggak sehat berkecamuk di benak saya. Cemas, pengin marah, pengin ketawa, tapi juga pengin nangis. "Sekarang Ywed baru mau menuju Victoria," lanjut Ari, suaminya yang pasti kawatir banget. Seketika saya tersadar, bahwa saya nggak boleh nunggu Ywed dan harus bisa memberesi semua barang kami di hotel. "Gini, saya sudah di dalam bus menuju ke hotel. Mungkin jam 5-an baru sampai. Setelah itu saya akan bawa semua barang langsung ke Heathrow. Bilang sama Ywed untuk langsung meluncur ke Heathrow, nggak usah ke Camden."

Saya tiba di hotel persis jam 5 sore. Lalu mengambil barang-barang yang di locker: 2 trolley dan 2 backpack. Saya nggak mampu membawa semua barang itu sendiri dengan naik kereta underground. Nggak kebayang. Satu-satunya jalan hanya naik taksi. Duh, padahal naik taksi di London itu muahalnya minta ampyuunn. Tapi apa boleh buat. Daripada nggak bisa balik ke Indonesia dan itu berarti cost yang harus ditanggung lebih gede dan ngurus tiketnya akan lebih ribet lagi, akhirnya saya merelakan membayar taksi seharga 32 poundsterling atau sekitar 600 ribu rupiah!

Tragedi berakhir dengan haru penuh kelegaan ketika kami bisa check-in dengan selamat di Heathrow Airport. Kami berpelukan bak dua sahabat yang sudah puluhan tahun nggak ketemu. Setelah mengatur napas yang ngos-ngosan, kami pun baru bisa bercerita kronologis ketersesatan kami.

Ternyata, kami sudah sama-sama naik ke atas bridge. Bedanya, saya belok ke kanan menuju halte, Ywed belok ke kiri menyeberangi jembatan yang melintas di atas sungai Thames itu. Yah, gimana bisa ketemu, wong berlawanan arah begitu? "Lalu kenapa pula kamu susah dihubungi?" tanya saya yang ketika itu merasa gemes karena hape-nya tulalit melulu. "Sorriii...hape-ku low-batt. Jadi kumatiin buat hemat batere!" Ealah...!

TIP on TRIP
  1. Meskipun traveling bareng temen, tetap bekali diri dengan berbagai informasi mengenai daerah tujuan. Belajar membaca peta, mengingat jalan yang dilewati saat berangkat, dan mengingat nomor bus yang kita tumpangi akan membantu dalam perjalanan. Sokur-sokur berbekal travel-guide book yang terpercaya seperti Lonely Planet, Rough Guide, Footprint, dll. Karena bertanya pada orang lain, bahkan Polisi sekalipun, belum tentu memberi solusi. Kadang-kadang malah menyesatkan dan membuat kita putus asa.
  2. Don't be panic! Tenang dan jangan kemrungsung. Hanya itu yang bisa membuat kita berpikir jernih dan bertindak cerdas dalam mengambil keputusan di saat-saat genting
  3. Pastikan semua gadget full-charge sebelum mulai beredar. Biasakan kalau malam ngecas batere hape dan kamera digital supaya nyaman selama traveling seharian.

Thursday, January 29, 2009

borneo river cruise


Sebagain dari masa kecil saya pernah saya lalui di sebuah desa yang dialiri sungai. Sungai itu melintas persis di depan tempat tinggal kami. Jika musim hujan airnya mengalir deras berwarna kecoklatan karena bercampur lumpur. Sebaliknya jika musim kemarau datang, air sungai itu menjadi jernih hijau berkilau diterpa sinar matahari.

Sebagai bocah yang lahir di kota, sungai desa itu merupakan daya pikat yang luar biasa buat saya. Hampir setiap hari saya menceburkan tubuh mungil saya ke dalamnya. Mula-mula berbekal ban dalam mobil yang sudah dipompa supaya nggak tenggelam. Setelah bisa berenang, meskipun gaya kampung, saya berani salto alias melompat dari atas jembatan. Bbbyyuurrr…!

Setelah kembali tinggal di kota, rekreasi sungai itu praktis nggak pernah saya nikmati lagi. Mana ada sih sungai di tengah kota di Indonesia yang masih bersih? Hampir semua sungai di tengah kota berwarna keruh, dangkal karena sampah dengan bantaran padat penduduk (miskin). Jangankan untuk berenang, dipandang mata pun sama sekali nggak sedap. Dan kalau didekati baunya menyengat.

Akibatnya, orang-orang (kaya) Indonesia yang pengin menikmati sungai harus pergi ke luar negeri. Menghabiskan ratusan dollar hanya untuk minum kopi di pinggiran sungai di Amsterdam, naik gondola di Venice, berperahu sungai Thames di London, atau yang paling dekat menyusuri Singapore River. Bagi yang nggak mampu membayar karcis perahu, seperti saya, cukuplah berpose dengan latar sungai-sungai “mahal” yang membelah kota tersebut.

Saya jadi teringat saat mengikuti paket one day tour di Skotlandia. Sebenarnya tujuan utama tour itu adalah ke Stirling, kota-nya William Wallace. Dalam perjalanan menuju Stirling ada beberapa obyek wisata yang disinggahi, antara lain Balloch Village. Kami diturunkan persis di bawah jembatan, di pinggir sungai yang dipenuhi kapal. Bus akan berhenti selama satu jam dan penumpang boleh menyusuri sungai Balloch dengan kapal wisata. Tentu saja karcis kapal yang seharga sekian poundsterling itu nggak termasuk dalam paket wisata alias harus bayar lagi. Sebagai pelancong kere, saya memilih nggak naik kapal meskipun sebenarnya pengin banget. Saya kan selalu bergairah kalau melihat sungai, apalagi menyusurinya.

Hasrat bermain air sungai biasanya baru bisa terpuaskan ketika saya pergi ke Borneo, sebutan eksotis untuk pulau Kalimantan. Memang sih nggak bisa nyebur ke kali seperti waktu kecil dulu, tapi cuma sebatas naik perahu menyusur sungai sambil melihat anak-anak kecil yang girang bermain air di sungai. Naik perahu di Kalimantan tarifnya murah deh, hanya dengan seribu perak sudah bisa berketinting menyeberangi sungai Kapuas di Pontianak. Bolak-balik cuma dua ribu perak. Karena masih belum terpuaskan, saya sering meminta pemilik ketinting untuk menyusur sungai lebih jauh lagi. Dikasih sepuluh ribu si bapak juga sudah kegirangan kok. Malah pernah pula saya sengaja mencarter satu jam lebih untuk puter-puter sepanjang Kapuas dengan bayaran lima puluh ribu rupiah yang sudah membuat si bapak ketinting bahagia tak terkira begitu menerimanya.

Secara khusus sebenarnya nggak ada atraksi menarik di sungai Kapuas. Nggak ada pasar terapung seperti di Banjarmasin yang sudah menjadi obyek wisata. Tapi kalau kita berketinting sore hari di Kapuas, kita bisa menikmati pemandangan yang eksotis: banyak orang mandi! Hehe…! Menjelang senja di Kapuas juga cukup indah untuk dinikmati. Langit yang menjadi jingga diiringi suara adzan dari Masjid Jami’, masjid tertua di Pontianak, dan orang-orang yang beriringan menuju masjid untuk menjalankan sholat magrib membawa kita pada suasana syahdu.

Dari sungai Kapuas kita juga bisa menumpang kapal ke kota-kota kabupaten di pedalaman Kalbar. Atau bahkan ke Kaltim, nyambung ke sungai Mahakam. Bagi warga Kalimantan, sungai tak ubahnya sebuah jalan raya yang menghubungkan berbagai daerah hingga lintas propinsi. Dulu sebelum transportasi darat dan udara berkembang, sungai adalah satu-satunya pilihan transportasi AKAP (antar kota antar propinsi). Karena sungai menjadi jalan untuk lalulalang kapal, di beberapa titik juga dilengkapi rambu-rambu sungai yang membantu nahkoda mengemudikan kapal dengan aman.

Saya pernah naik boat dari Banjarmasin (Kalsel) ke kota Kuala Kapuas (Kalteng) dengan waktu tempuh sekitar 2 jam menyusuri sungai Martapura. Karena jarak tempuh yang cukup singkat, travelling by boat itu pun bisa dilakukan secara ulang-alik. Berangkat dari Banjarmasin pagi, sampai di Kuala Kapuas jalan-jalan sampai puas, dan setelah itu kembali lagi ke Banjar. Sekali dayung, dua propinsi terlampaui.

Pengalaman mengarungi sungai di Kalimantan yang paling mengesan adalah saat menyusuri Mahakam, sungai terbesar di Kaltim yang lebarnya hampir 1 km dan panjangnya mencapai 920 km. Dengan iming-iming kalau beruntung bisa melihat Pesut Mahakam (Orcaella Brevirostris) , saya rela menghabiskan waktu sehari semalam di atas sungai Mahakam dengan rute Samarinda (hilir) - Melak (hulu). Kapal motor atau taksi air dengan brand “Putra Mahakam” itu berangkat dari Samarinda sekitar pukul 7 pagi dan tiba di Melak keesokan harinya menjelang matahari terbit.

Taksi air yang mampu menampung hingga 60 orang ini terdiri dari dua dek, atas dan bawah, dengan tariff tiket yang berbeda pula. Dek bagian bawah adalah kelas ekonomi yang nggak dilengkapi tempat duduk apalagi kasur. Hanya beralas karpet plastik untuk duduk lesehan atau berbaring diantara tumpukan barang berupa sembako yang didistribusikan ke padalaman Kaltim. Juga ada sepeda, motor, dan segala macam barang. Dek di lantai dua dilengkapi tempat tidur terbuat dari busa tipis dengan ukuran selebar matras alias selebar badan. Kasur ini diletakkan di atas papan setinggi sekitar 50cm dari lantai yang berfungsi ganda sebagai locker untuk menyimpan barang kita. Kasur tersebut disusun berderet tanpa batas. Sehingga kadang-kadang tanpa sadar kita bisa tidur berhadap-hadapan dengan orang tak dikenal hanya berjarak sekitar 5 senti!

Karena tempat di dek sempit, saya dan teman-teman lebih suka duduk di anjungan. Lagipula bisa menikmati pemandangan alam Borneo dengan lebih leluasa. Tentu saja sambil berharap melihat ikan Pesut Mahakam atau lumba-lumba air tawar yang konon suka menongolkan diri di sekitar Muara Kaman hingga Melak di pagi hari atau menjelang senja. Meski sebenarnya saya cukup sadar bahwa kerusakan lingkungan turut berperan dalam kelangkaan populasi hewan mamalia air ini.

Toh ada pemandangan menarik lain yang bisa dinikmati seharian di atas perahu motor yang membelah belantara wilayah Kutai ini. Buat saya menarik itu bukan selalu berarti sesuatu yang indah. Tetapi sesuatu yang membuat saya nggak sekedar ingin memandanginya, namun merenungkan atau memikirkannya. Setelah menyusuri Mahakam ke pedalaman Kaltim itu saya baru tahu bahwa hutan-hutan di Kalimantan memang beneran udah gundul. Bayangan saya tentang rerimbunan pohon-pohon gede di sepanjang Mahakam sirna seketika.

Dengan menyusur sungai saya juga bisa melihat kehidupan masyarakat Dayak yang tinggal di atas rumah papan di sepanjang sungai. Mereka mandi, mencuci, mengambil air minum dari Sungai Mahakam. Juga mencari ikan dengan ketinting kecil.

Keriuhan "pasar air" juga bisa dinikmati ketika kapal yang kami tumpangi menepi di dermaga kecil dekat pemukiman penduduk untuk menaikkan atau menurunkan. Dari kejauhan sudah banyak ketinting yang menghampiri, berebut mendekat. Mereka adalah penjaja makanan. Beragam makanan yang mereka jual, ada makanan tradisional, pisang goreng, juga nasi kuning dan lauknya. Serbuan penjaja makanan berketinting membuat kami yang lagi kongko-kongko di anjungan berbondong turun ke bawah. Jajan aneka makanan jadi hiburan tersendiri di atas Mahakam. Habis, mau ngapain lagi kalau nggak ngemil dan ngobrol?

Yang repot begitu kebanyakan minum dan kekenyangan lantas kebelet pipis atau be-a-be. Toilet di taksi air ini minimalis banget. Hanya sebuah bilik kecil berpintu kecil. Nggak ada bak mandi ataupun closet. Yang ada hanyalah sebuah lubang di geladak kapal dan sebuah ember plastik kecil bertali. Dari lubang itu kita bisa langsung melihat air sungai mahakam yang bergelombang di bawah kapal. Lubang itu berfungsi ganda, selain untuk buang air juga untuk menimba air sungai. Jadi sebelum buang air, kita musti nimba air duluan dan setelah itu baru jongkok membuang air. Kalau jongkok duluan baru nimba air, bisa-bisa yang kita buang ikut tertimba. Kan berabe tuh!

Tuesday, January 27, 2009

menyusuri kota di atas papan


Sejak masih kuliah, saya selalu bermimpi bisa mengunjungi Papua, terutama suku Asmat yang terkenal dengan seni ukirnya itu. Ngiri rasanya, konon dunia Barat sudah mengenal suku Asmat sejak abad 16 loh. Mula-mula adalah Jan Carstenz, penjelajah Belanda yang melihat orang Asmat pada tahun 1623. Kemudian Kapten James Cook dan awak kapalnya yang merapat di perairan Asmat pada tahun 1770. Dalam catatan perjalanannya James Cook mengisahkan bahwa mereka muncul tiba-tiba dari balik hutan dengan wajah yang sangat tidak bersahabat. Ketika Cook melepaskan tembakan, mereka segera masuk ke hutan tapi tak lama kemudian justru puluhan perahu balik menyerbu James Cook.

Dua dekade kemudian, pada tahun 1900-an, setelah Belanda mendirikan kantor VOC di Merauke, barulah orang Eropa berhasil melakukan kontak dengan suku Asmat. Orang-orang Eropa ini pun jatuh cinta dengan seni ukir Asmat yang dipercaya sebagai mediator yang menghubungkan antara kehidupan masyarakat Asmat dengan leluhurnya. Dasar otak pedagang, ukir-ukiran Asmat ini juga dijadikan komoditi Belanda, dikirim ke Eropa dan dipasarkan di sana. Akibatnya, orang Eropa pun berbondong-bondong datang ke Asmat, pengin melihat langsung kehidupan suku di pedalam Papua yang memiliki keahlian mengukir dan konon juga dikenal sebagai head-hunter alias pemburu kepala.

Hingga kini tradisi mengunjungi Asmat untuk memborong ukiran masih berlangsung. Tiap tahun, tiap bulan Oktober digelar Festival Budaya Asmat di Agats, ibukota kabupaten Asmat. Kalau lagi festival, sungai Atsewtsy yang menghubungkan kota Agats dengan bandara Ewer, konon akan dipenuhi kapal-kapal bermuatan kontainer besar. Para saudagar dan kolektor bule yang berburu ukiran itu pun memborong habis berbagai jenis ukiran yang sudah disiapkan masyarakat setempat sejak beberapa bulan sebelum festival.

Bukti kegilaan orang Barat akan seni ukir Asmat ini bisa dilihat di Asmat Art Galerie Konrad yang ada di Jerman dan America Museum of Asmat Art yang dikelola Universitas St. Thomas. Sementara itu, kita orang Indonesia sendiri, nggak punya museum selengkap yang mereka miliki. Tragis sekali kan?

Mimpi mengunjungi Asmat itu baru kesampaian pada tahun 2006, sekitar 9 tahun setelah saya lulus kuliah. Weleh, lama banget baru kesampaian. Itu pun dalam rangka business-trip yang dibayarin perusahaan, karena tabungan saya masih belum cukup buat liburan sendiri ke Asmat.

Negeri yang eksotis itu ternyata tak mudah untuk ditempuh. Jadwal penerbangan dari Timika ke Ewer dengan pesawat twin otter terpaksa tertunda sehari, karena cuaca buruk. Terpaksalah saya dan 2 rekanan kerja, cewek-cewek pula, menginap semalam lagi di Timika. Padahal suasana kota Timika ketika itu sedang genting, lagi seru-serunya demo antri Freeport. Di persimpangan jalan menuju bandara dan hotel Sheraton tempat kami menginap, dijaga ketat oleh orang-orang berkulit hitam berwajah garang lengkap dengan tombak dan busur di tangannya. (Sepekan setelah saya kembali ke Jogja, massa menyerbu Hotel Sheraton hingga ditutup untuk beberapa saat). Rasa was-was malam itu membuat saya nggak bisa sepenuhnya menikmawi eksotisnya kamar di hotel Sheraton yang dikelilingi hutan hujan tropis yang menghantarkan aroma basah yang khas. Tahu nggak sih, hanya sekitar 5 meteran dari jendela kamar sudah membentang hutan dihuni aneka burung yang ketika subuh datang sudah mengoceh bersahutan membangunkan saya.

Esok paginya, setelah melakukan kontak dengan bandara dan memastikan keberangkatan pesawat, barulah kami bisa terbang beneran menuju tanah impian. Penerbangan hanya butuh waktu kurang lebih 45 menit, melintasi kelokan sungai-sungai dan hutan. Sesampai di bandara Ewer, kami harus melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Atsewetsy dengan boat menuju Agats. Ongkos sewa per boat waktu itu Rp 250.000 yang bisa diisi dengan 4-5 penumpang. Atau 50 ribu per kepala. 20 menit kemudian, menepilah boat kami di dermaga kecil. Welcome to Agats, dan horeee...ada sinyal Telkomsel. Satu-satunya operator yang kala itu mengjangkau kota Agats dan sekitarnya meskipun hanya menggunakan tower kecil.

Melompat keluar dari boat, kami menapaki jalan papan yang nggak putus-putus. Sampai terasa capai dan berat oleh ransel di gendongan. "Masih jauh nggak?" tanya saya pada Fikram, rekan yang menjemput di Ewer. Mbak Jowvy yang menggendong 2 ransel juga mulai nggak sabar pengin melepas bebannya. Tempat yang kami tuju adalah rumah dinas Pemda yang kebetulan kosong, yang akan menjadi tempat tinggal kami selama 3 hari di Agats. Tak ada kendaraan bermotor yang boleh melintas di atas jalan papan ini, bahkan sepeda pun sepanjang yang terlihat hanya sepeda anak-anak. Semua penghuni kota di atas papan ini, termasuk Pak Bupati harus berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.

Imajinasi saya tentang Asmat dan ukirannya perlahan memudar begitu melihat kondisi Agats. Saya kira pengukir-pengukir itu bertebaran di penjuru Agats. Ternyata sulit juga menemukannya. "Kalau ke sini bulan Oktober, baru banyak ukiran," kata mereka. Satu-satunya galeri ukiran yang ada di Agats adalah milik Otto. Itupun stok ukirannya tidak terlalu banyak karena umumnya orang Asmat baru mulai mengukir menjelang bulan festival. "Mungkin di Atsy banyak. Coba nanti cari di jaw," saran Pak Sorring yang kala itu menjabat sebagai wakil bupati. Atsy adalah nama distrik yang jauhnya sekitar 2.5 jam dengan perahu boat, one-way. Jaw adalah sebuatan untuk rumah adat suku Asmat, tempat berkumpulnya para lelaki dewasa sambil mengerjakan ukiran. Atas kebaikan Pak Sorring pula kami bisa ke Atsy yang ongkos sewa boatnya adalah 1 juta rupiah one-way. Untung dibayarin. Tapi jawaban yang kami terima di Atsy pun sama, "Nanti bulan Oktober baru banyak warga yang bikin ukiran."

Yah, kalau harus balik ke Agats lagi di bulan Oktober, rasanya kok nggak mampu. Mahal di transport! Jadilah hanya jalan-jalan papan dan berperahu yang menjadi agenda trip selama di Agats. Sehari-hari kami menikmati pemandangan anak-anak yang bermain lumpur becek di bawah bentangan jalan papan. Nyaris tak ada lahan kering di sini, kalau pun ada cuma beberpa meter luasnya dan segera diserbu anak-anak untuk bermain bola. Di beberapa tempat juga terdapat aliran sungai kecil yang bisa dilintasi perahu menjadi tempat favorit untuk memancing atau sekedar mandi. Kalau musim hujan, jalan di bawah papan bisa tergenang air. Karena itu hampir setiap rumah memiliki perahu yang siap digunakan sewaktu-waktu.

Daratan di Agats memang berupa rawa-rawa yang tidak cukup kuat dijadikan landasan bangunan. Hanya tiang-tiang kayu yang bisa ditancapkan di sana, sebagai pondasi rumah dan jalan papan. Tanah rawa ini juga tidak memungkinkan pohon berakar besar tumbuh. Hanya pohon-pohon kecil dan semak saja yang bisa kita temui. Oh ya, juga beberapa batang pohon kelapa dan sagu. Kebayang kan betapa teriknya kalau siang hari harus melintasi jalanan papan ini. Dan jika malam tiba, saat angin dan hujan yang menghantam atap rumah yang terbuat dari seng menimbulkan bunyi yang sungguh mengerikan. Malam pertama di Agats membuat tidur saya nggak nyenyak karena terganggu bunyi benturan angin dan atap seng yang sepertinya bisa menerbangkan atap.

Jalan papan di kota Agats ini setiap tahun diupayakan untuk diperpanjang jangkauannya. Pada tahun 2006 ketika saya ke sana, jalan papan yang dibangun Pemda Agats sudah sekitar 25.399 meter atau sekitar 25 km. Kalau dibentang kira-kira sejauh jarakantara Kota Jogja - Pantai Parangtritis lah. Lumayan juga menyusuri sejauh itu dengan berjalan kaki. Agats juga memiliki alun-alun yang terbuat dari papan. Di tempat inilah setiap bulan Oktober diadakan lelang aneka patung ukir Asmat dalam Festival Budaya Asmat. Ketika saya tiba di Agats, di alun-alun sedang berlangsung persiapan kampanye Gubernur Barnabas Suebu yang kini kembali terpilih memimpin Papua.

Meskipun jalan-jalan di Agats hanya terbuat dari papan selebar trotoar (1,5 m), tapi tiap-tiap lorong memiliki nama jalan yang menggunakan nama pahlawan nasional layaknya jalan utama di kota besar. Ada Jl. Yos Sudarso, Jl. A. Yani, Jl. Sultan Hasanuddin, dll. Alamat kantor-kantor pemerintah dan instansi juga dilengkapi nomor, sehingga kalau ditulis di atas kop surat dan amplop tampak keren. Misalnya: Kantor Pos Agats, Jl. S. Hasanuddin No. 2 AGATS 99677.

Tapi jangan membayangkan ada traffic-light atawa lampu merah di Agats ya, kan nggak ada motor lewat!. Hehe....

TIP on TRIP
  1. Meskipun namanya sudah mendunia, tetapi Asmat bukanlah daerah tujuan wisata yang "indah". Keindahannya hanya bisa dinikmati selama Festival Budaya Asmat berlangsung, yaitu pada bulan Oktober tiap tahunnya. Selebihnya, Asmat termasuk daerah pedalaman yang masih minim dalam banyak hal, terutama aksesibilitas.
  2. Jika memang merencanakan perjalanan ke suku Asmat, pertimbangkan soal waktu mengingat kondisi cuaca yang sering tiba-tiba buruk bisa menyebabkan penundaan penerbangan. Kalau cuma tertunda sehari masih nggak pa-apa, tapi kadang bisa tertunda beberapa hari loh. Bisa-bisa garing di Timika atau malah nggak bisa keluar dari Asmat karena nggak ada penerbangan ke Timika atau Merauke.

menjual eksotisme: Rp 5.000 sekali jepret

"Jangan kaget ya, di Bandara Wamena banyak orang yang masih pakai koteka," ujar rekan saya sebelum saya terbang dengan pesawat Trigana Air ATR-200 ke Wamena (2007). "Waw!" seru saya girang membayangkan eksotisme di Lembah Baliem. Meskipun sudah empat kali mengunjungi Papua, tapi ini adalah perjalanan pertama saya ke Wamena, ibukota Kab. Jayawijaya yang berada di Lembah Baliem. "Tapi mereka akan minta bayaran kalau difoto," tambahnya mengingatkan.

Lantas saya jadi teringat waktu pertama kali melihat perempuan Dayak Kenyah bertelinga panjang dan sekujur tubuhnya dipenuhi tatto yang menjual suvenir di pelataran Museum Mulawarman, Tenggarong Kaltim (1994). Hasrat memotret perempuan eksotis itu tertahan ketika rekan saya berbisik, "tarifnya lima ribu rupiah sekali jepret." Untuk ukuran kantong mahasiswa Jogja yang melancong ke Kalimantan Timur di liburan semester, mengeluarkan selembar lima ribuan untuk memotret orang terasa mahal sekali. Selain itu kuping saya juga masih merasa aneh mendengar tarif difoto yang nggak biasa terjadi di Jawa. Rasanya nggak rela memberikan bayaran pada mereka. Dan saya pun memilih untuk mengabadikan kenangan akan tatto orang Dayak Kenyah itu hanya dalam ingatan.

Rupanya tarif foto itu juga berlaku di kampung desa Pampang, sekitar 20 km dari Samarinda. Kampung yang kini dikenal dengan Desa Budaya Pampang ini dihuni masyarakat Dayak yang sadar wisata. Artinya, setiap saat dikunjungi, mereka juga siap ditanggap untuk memainkan atraksi tari-tarian maupun sekedar berpose dengan pakaian tradisional. Tentu saja ada tarifnya. Katanya sih sekali jepret mereka minta minimal bayaran Rp 20.000.

Saya pernah singgah di kampung Dayak Pampang sebentar. Bener-bener cuma sebentar dan sekedar pengin tahu, setelah sering membaca artikel di majalah tentang Desa Budaya Pampang. Kampung ini ternyata sepi-sepi saja. Baru ketika saya masuk ke pelataran depan lamin, rumah adat Dayak, (tapi yang ini tidak terlalu panjang), beberapa orang mulai mendekat, menawarkan jasa. Karena waktu itu saya datang sendirian dan niatnya memang cuma numpang lewat, saya pun memilih nggak berlama-lama di sana.

Desa lain di Kaltim yang kabarnya juga memasang tarif untuk pemotretan adalah Pepas Eheng, Kec. Barong tongkok, Kab. Kutai Barat. Di desa ini terdapat lamin adat suku Dayak Benuaq yang panjangnya hingga 100 meteran. Lamin Pepas Eheng ini bisa dibilang sebagai heritage karena saat ini sudah tidak banyak orang Dayak yang tinggal di lamin.

"Orang-orang di lamin Eheng biasanya minta bayaran kalau difoto," ujar salah seorang kenalan saya yang tinggal di Melak, sekita 40km dari Pepas Eheng. Saya terkejut. "Masa sih?". Tahun 1994 saya pernah tinggal 40 hari di lamin Pepas Eheng itu bersama teman-teman kuliah. Kala itu, kalau ada turis asing datang, mereka hanya berlarian menyerbu menawarkan suvenir berupa tas anyaman rotan. Para turis masih bisa leluasa memotret tanpa tarif. Kecuali jika mereka ingin menginap, mereka harus memberikan uang makan dan sekedar tip.

Tahun 2008 atau 14 tahun kemudian, memang banyak yang berubah di lamin Pepas Eheng. Meski secara fisik bangunan itu sedikit lebih baik, karena mendapat bantuan dari Pemda setempat. "Kami pengin membangun loket karcis di depan lamin," kata Pet, salah seorang penghuni lamin yang sudah menamatkan kuliahnya di Fakultas Hukum sebuah universitas swasta di Samarinda. "Wisatawan yang masuk ke lamin harus membeli karcis masuk," katanya lagi.

"Tapi kalau saya masuk ke lamin nggak ditarik bayaran kan, Pet?" komentar saya. "Ya enggaklah!" jawabnya sambil tertawa.

***

Ketika tiba di Wamena, saya melihat lelaki berkoteka di pelataran bandara. Tapi tidak sebanyak yang digambarkan rekan saya. Waktu itu cuma ada satu orang yang berkoteka, lainnya mengenakan pakaian biasa yang tertutup. Lelaki berkoteka itu rupanya menjual madu botolan yang ditentengnya. Lalu begitu melihat wajah asing saya, ia pun melangkah ke arah saya, menawarkan madu dagangannya. Tapi ketika saya menggeleng, dia menawarkan "dagangan" yang lain, "foto?". Saya langsung teringat pesan rekan saya, bahwa tawaran foto itu bukan barang gratisan. Jadi saya terpaksa menahan hasrat untuk mengabadikannya, sambil mencari-cari akal agar bisa mencuri gambarnya dengan ponsel kamera. Hehe...!

Selain di bandara, orang berkoteka juga bisa ditemui di pasar Jibama, sekitar 2 km dari kota Wamena. Atau di kampung-kampung. Yang paling banyak di kampung Aikima, distrik Kurulu sekitar 5 km dari Wamena. Tepatnya di honai (rumah adat suku Dani) yang menyimpan mumi yang berusia ratusan tahun. Di pelataran honai itu banyak lelaki berkoteka yang menanti wisatawan berkunjung. Sementara para perempuan yang duduk-duduk di bawah pohon biasanya masih mengenakan pakaian lengkap. Tetapi begitu ada tamu datang, mereka segera membuka baju berbahan kain yang menutup tubuhnya. Tinggalah pakaian tradisional rumbai-rumbai yang menutup bagian pinggang hingga sedikit di atas lutut, sementara bagian dada dibiarkan telanjang. Lalu mama-mama ini akan mendekati tamu sambil menawarkan suvenir berupa kalung dari kerang, dan berharap mendapatkan fee dari ajakan foto bersama.

Tarif foto bersama di honai Aikima beragam. "Tarif per orang per foto enam ribu rupiah," kata salah satu penjaga honai yang berkoteka. Tarif itu untuk foto bersama lelaki berkoteka. Kalau dengan Mama-mama, tarifnya diskon 50% alias hanya tiga ribu rupiah saja per orang per jepretan. Kalau ingin melihat mumi kita harus membayar sekitar Rp 30.000. Jika mumi sudah dikeluarkan dari honai dan ingin foto bersama, tinggal dihitung berapa orang yang ikut foto dan berapa kali jepretan. Begitu sesi pemotretan, barulah itung-itungan berapa total ongkos yang harus dibayarkan.

bisa aja sih kalau pengin curang. Apalagi teknologi kamera digital memungkinkan untuk melakukan pemotretan dengan multiple-expose. Sekali jepretan bisa menghasilkan beberapa frame. Tapi ternyata saya nggak tega melakukannya. Bahkan memberinya lebih.

Setelah beberapa hari tinggal di Wamena, dan merasakan mahalnya biaya hidup di sana, saya menyadari tarif yang mereka berikan masih dalam batas normal. Enam ribu rupiah nggak cukup untuk membeli sepiring nasi putih dengan sayur dan telor ceplok yang harganya lima belas ribu rupiah (kalau pakai ayam goreng jadi dua puluh ribu rupiah). Duit enam ribu itu cuma cukup untuk membeli segelas teh manis yang harganya lima ribu rupiah di pasar Jibama.

Sebenarnya banyak cara untuk bisa mendapatkan foto eksotis dengan murah. Antara lain dengan menanggalkan kesan turis atau wisatawan. Sebaliknya hadirlah sebagai seseorang yang menghargai perbedaan budaya, jangan menganggapnya terbelakang, dan cobalah ngobrol tentang apa saja yang sekiranya nyambung. Pada dasarnya mereka ramah dan suka difoto. Mereka bisa kegirangan dan minta difoto lagi jika kita tunjukin hasilnya, tanpa harus membayar sepeserpun.

Lihatlah foto saya yang memegangi kedua koteka ini. Foto ini membuat warga di kampung Sinatma tertawa terkekeh begitu melihatnya. "Kalau sudah sampai Jogja, jangan lupa kirim kemari ya," kata mereka sambil terus minta difoto dengan berbagai gaya. Nah lo, tampa harus membayar ternyata saya bisa mendapatkan foto yang paling eksotis sedunia. Hahaha....!

Wednesday, January 21, 2009

jadi orang dayak gara-gara haid


Sewaktu masih gadis (baca: sebelum merried), saya sering terganggu dengan penyakit bulanan. Saya sebut penyakit dan bukan PMS (Pre Menstruation Syndrome) karena memang sakitnya luar biasa. Saat hari pertama datang bulan, atau bahkan sehari sebelumnya, otot perut saya mengejang hingga ke paha. Sejurus kemudian keringat dingin mengucur di sekujur tubuh, mata berkunang seperti orang nyaris pingsan, dan setelah itu "muntaber" alias muntah-muntah dan buang air besar. Jika seluruh kotoran dalam tubuh yang berupa keringat, muntahan, dan air besar itu sudah keluar semua, tak berapa lama otot-otot terasa mengendur, lemas, tak jarang membuat saya tertidur beberapa saat. Begitu bangun, sudah segar bugar seperti sedia kala.

Memang sih, nggak setiap datang bulan saya akan tewas seperti itu. Kadang-kadang cuma terasa mules sedikit dan sama sekali tak mengganggu aktivitas. Tapi justru karena penyakit itu datangnya tak terduga, ritual ini tak hanya menyiksa saya tapi juga merepotkan banyak orang. Misalnya pada saat ujian semester, tiba-tiba perut saya nyeri tak tertahankan membuat saya ambruk di bangku. Seisi ruangan langsung heboh. Pegawai TU pun lantas meminta sopir fakultas untuk mengantar saya pulang. Ibu saya pun keheranan melihat mobil Fakultas Sastra UGM masuk ke halaman rumah, tapi ia segera paham begitu melihat saya terbaring di dalamnya.

Atau ketika pada Minggu pagi, saat jogging bareng temen-temen mengitari kampus Bulaksumur. Tiba-tiba perut saya terasa sakit, sehingga nggak bisa lari cepet dan tertinggal di belakang. Baru setengah putaran, saya sudah nggak mampu melanjutkan dan menepi mencari tempat berlindung yang aman. Untung ada warung yang nggak jualan di hari Minggu. Di atas bangku panjang itu saya merebahkan badan. Lebih dari satu jam teman-teman mencari. "Aku sampai nyariin kamu ke UGD RS. Sardjito dan Panti Rapih lho, Ta!" kata Aant salah seorang rekan saya yang ikutan jogging. Saya cuma nyengir sambil berkata, "Sori, lagi 'ritual'" dan mereka pun segera paham.

Meskipun ritual bulanan itu sungguh menyiksa, tapi tak pernah menghalangi niat saya untuk traveling. Padahal sudah berapa kali saja saya harus jungkir balik di perjalanan: di dalam bus umum, di kereta, pesawat, atau bahkan di kapal. Ah, saya nggak pernah bisa melupakan bagaimana saya terkulai tak berdaya di atas geladak kapal feri dalam penyeberangan dari Banyuwangi ke Gilimanuk. Sendiri pula!

Waktu itu saya akan "menyepi" di Ubud - Bali selama seminggu. Saat siang itu berangkat dari Jogja dengan bus Safari Dharma Raya, belum ada tanda-tanda bahwa malamnya akan mengalami "kecelakaan" di atas kapal. Saya pikir tamu kehormatan itu akan datang esok atau lusa setelah saya tiba di Bali. Rupanya, ia membuat kejutan dengan datang dini hari saat bus malam Safari mengantri giliran naik ke kapal feri di pelabuhan Ketapang. Sambil menahan sakit saya berharap antrian tidak terlalu panjang sehingga saya bisa leluasa memilih tempat yang aman di dalam feri.

Begitu bus berhasil masuk ke feri, saya bergegas turun dari bus dan mencari tempat duduk yang nggak jauh dari toilet, supaya kalau pengin "muntaber" nggak perlu jauh-jauh lari. Benar juga, tak berapa lama setelah feri mulai bergerak meninggalkan pelabuhan Ketapang, isi perut saya juga menuntut minta dikeluarkan. Sekali muntah masih belum tuntas hingga saya bolak-balik ke toilet hingga "muntaber" beneran sampai lemas. Sampai-sampai saya rela menggelosor di geladak yang kotor supaya bisa menidurkan badan barang sesaat. Sehingga ketika feri merapat di Gilimanuk, kondisi saya sudah membaik dan bisa melanjutkan bobok di bus dengan lebih nyaman.

Pengalaman menjalani masa ritual bulanan yang paling mengharukan terjadi ketika saya di pedalaman Kalimantan Timur (1994), tinggal selama kurang lebih sebulan bersama suku Dayak Benuaq. Saat-saat genting itu terjadi di pagi hari. Begitu bangun tidur saya merasa ada gangguan khas di perut bagian bawah. Segera saya pergi ke sungai, kamar mandi natural selama di pedalaman, sambil membawa pembalut. Musibah datang dalam perjalanan dari sungai ke lamin (rumah adat suku Dayak yang panjangnya hingga 100 meter!), tempat tinggal kami. Ternyata saya tidak bisa menahan sakit dan terpuruk di semak-semak. Beruntung pagi itu memang waktunya orang mandi, jadi banyak warga yang melihat dan kemudian membantu saya naik ke lamin.

Sesaat kemudian seluruh penghuni lamin yang jumlahnya lebih dari 50 orang itu pun heboh. Mereka mengira saya kesambet wok bengkar atau roh jahat penghuni hutan. Kemudian Mamak Jerma, pemilik bilik di lamin tempat saya tinggal, merencanakan membuat upacara beliatn yaitu upacara tradisional untuk penyembuhan. Orang Dayak percaya bahwa penyakit yang dialami seseorang berasal dari adanya gangguan roh jahat. Untuk menyembuhkannya perlu diadakan upacara beliatn yang dipimpin oleh dukun beliatn. Umumnya upacara tersebut dilangsungkan pada malam hari. Diiringi musik tetabuhan, dukun beliatn menari sambil melantunkan syair dan mantra dalam bahasa Benuaq. Sambil terus menari Si dukun akan mengoleskan ramuan, termasuk darah segar dari ayam dan babi yang disembelih, pada para pasiennya yang terbaring pasrah. Ia juga akan menghisap bagian tubuh tertentu untuk mengeluarkan roh jahat yang bermukim dalam tubuh pasien.

Dan saya akan di-beliatn? Saya geli membayangkan Pak Dasan, dukun beliatn senior yang tak lain adalah adiknya Pak Jerma, akan memantrai penderita sakit bulanan. "Aduh Mak, nggak usah. Sebentar lagi pasti juga sembuh kok," kata saya. Saya juga berusaha menjelaskan bahwa penyakit ini biasa saya alami saat datang bulan, jadi bukan karena wok bengkar. Mamak kemudian manggut-manggut, tapi masih sepertinya masih belum puas dengan jawaban saya. "Tenang Mak, biarkan saya berbaring saja, nanti juga sembuh sendiri."

Saat saya lagi mulai terkantuk, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan seorang bidan desa. "Disuntik ya, Mbak," katanya sambil mengeluarkan suntikan kuno yang berukuran guede dari dalam tasnya. Saya terperanjat. Hah, siapa sih yang berbaik hati ngundang bidan desa datang kemari untuk menyuntik dengan suntikan kebo itu? "Nggak, nggak. Saya nggak pa-pa kok," buru-buru saya menolak.

"Ini bisa mengurangi rasa sakit," rayunya lagi. Tapi dengan tegas saya tolak kembali. "Nggak usah. Sejam lagi pasti saya sembuh kok." Kemudian bidan itu memasukkan kembali suntikan kebonya dan turun dari lamin dengan kecewa. Dan saya kembali memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh yang lunglai setelah terkuras seluruh isinya.

Ketika terbangun sekitar sejam kemudian, saya menemukan sepiring nasi lengkap dengan lauk yang mewah: ikan asin dan telor! Perut saya langsung berjingkrak minta diisi. Biasanya, sehari-hari kami makan dengan sayur dari dedaunan yang diambil dari hutan. Kalaupun lagi Pak Jerma lagi beruntung dapat hasil buruan rusa atau ular kami kecipratan juga. (Sayangnya paling sering nangkap babi, nggak bisa ikutan makan deh!). Kemewahan makan juga bisa saya rasakan sepekan sekali, saat hari pasaran di hari Selasa. Biasanya sepagian saya akan nongkrong di sebuah warung di pasar sambil makan nasi kuning maupun goreng-gorengan sampai kenyang.

Menu istimewa gara-gara ritual bulanan itu ternyata baru kejutan awal. Kejutan berikutnya adalah permintaan Pak Jerma dan istrinya untuk mengangkat saya sebagai anaknya. "Supaya kamu nggak sakit lagi, kamu harus menjadi bagian dari keluarga kami," jelasnya. Saya melongo bahagia karena akan menjadi bagian dari keluarganya. Jadi wong ndayak!

Setelah saya mengangguk, Bapak dan Mamak Jerma mengatur waktu untuk melakukan upacara pengangkatan anak. Piranti upacaranya sederhana saja: sebuah pisau, telur ayam, dan tepung yang dicairkan dalam sebuah piring. Lalu Pak Jerma mengoleskan tepung itu ke wajah saya sambil mengucapkan beberapa patah dalam bahasa Dayak Benuaq. Dan resmilah saya menjadi anak mereka. "Bapak memberimu nama Angkan," kata Pak Jerma. "Saya beri nama Krisna," tambah Jentui, anak pertama Pak Jerma. Hah, jadi nama saya siapa dong? "Berarti nama Dayak-mu adalah Angkan Krisna!" seru Pet, adik Jentui yang diiringi tawa kami semua.

Piranti upacara itu harus saya bawa pulang ke Jogja. Kata Pak Jerma saya juga harus mengoleskan tepung itu pada ayah dan ibu saya supaya kami semua menjadi keluarga. Di Jogja kedua orang saya menurut saya olesin mukanya. Iya lah, daripada ntar kenapa-kenapa, kan?

NOTE: saya lagi nyariin foto waktu prosesi pengangkatan anak itu. Semoga masih ada, ya. Foto di atas diambil saat kunjungan saya ke Dayak Benuaq th. 2008, 14 tahun kemudian!

Wednesday, January 14, 2009

kembang jepun riwayatmu kini

Cobalah dining out di pusat Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya yang terletak di sisi Timur Jembatan Merah. Ruas jalan sepanjang 750 meter dan lebar 20 meter ini setiap malam dipadati oleh pedangan makanan, minuman, berbagai hiburan, bahkan peramal. Wisata kuliner bernuansa Tiongkok di kawasan kota lama Surabaya ini mulai dihidupkan sejak awal tahun 2003 silam.

Upaya menghidupkan kawasan legendaris bagi warga Surabaya dengan menjadikannya kawasan food-court dan hiburan malam ini didasari berbagai pertimbangan historis. Sejak abad 19, Kembang Jepun telah menjadi kawasan niaga yang paling populer di Surabaya. Kembang Jepun tak hanya menjadi pusat perputaran uang, tetapi juga menjadi tempat pertemuan berbagai etnik, yaitu Belanda, Jepang, Cina dan tentu saja Jawa.

Pertemuan berbagai etnik menjadikan kawasan ini populer dengan berbagai sebutan. Pada masa kolonial, saat Belanda berkuasa, kawasan ini dikenal dengan nama Handelstraat. Selain menjadi pusat perdagangan, di kawasan ini juga dibangun sejumlah losmen, hotel, dan restoran. Lazimnya kawasan niaga, kegiatan prostitusi pun mulai tumbuh.

Ketika Jepang menduduki Surabaya, nama Handelstraat mulai surut popularitasnya karena Jepang berusaha menghilangkan identitas yang berbau Belanda di Indonesia. Jepang juga telah mengubah kawasan ini menjadi tempat hiburan dengan para Geisha sebagai primadona. Mereka menempati sebuah bangunan yang bagian depannya digunakan untuk restoran dengan sederet kamar tersembunyi di bagian belakang. Di tempat itulah Geisha, yang dalam bahasa Jepang berarti pribadi yang memiliki jiwa seni tinggi, menjalankan tugasnya. Mulai dari menyanyi, memainkan shamisen (alat musik dawai) dan taiko (genderang), menuangkan teh dan sake, memijat dan mengurut, serta menghibur sejumlah tamu yang umumnya para serdadu dan pengusaha Jepang.

Seiring dengan kegiatan para Geisha tersebut, warga setempat kemudian menjuluki kawasan itu menjadi Kembang Jepun. Kembang adalah julukan untuk wanita atau Geisha yang menjadi primadona, Jepun merupakan bahasa Melayu untuk menyebut Jepang. Kembang Jepun tak lain menunjuk pada sejumlah wanita Jepang yang kala itu menjadi primadona.

Setelah masa kemerdekaan, Kembang Jepun menjadi kawasan pecinan dan perniagaan berskala grosir yang menjadi barometer di Kawasan Timur Indonesia. Wajah pecinan yang khas ditandai dengan masih terjaganya bangunan berasitektur Tiongkok merupakan pertimbangan khusus kenapa kawasan ini kemudian diberi nama Kya-Kya Kembang Jepun. Dalam bahasa Hokkian, kya-kya berarti ‘jalan-jalan’. Jadilah kawasan historis ini menjadi pusat jalan-jalan alternatif selain di Tunjungan.

wisata religi sendangsono

Dalam tradisi Katholik, Gua Maria telah ditetapkan sebagai salah satu tempat ziarah karena di tempat tersebut Bunda Maria beberapa kali menampakkan diri pada orang-orang tertentu. Salah satu penampakan Bunda Maria yang paling terkenal adalah penampakan kepada Bernadette Soubirous di sebuah goa di kota Lourdes, Perancis pada tahun 1858. Sejak itulah Lourdes dikenal sebagai tempat ziarah bagi umat Katholik yang paling populer di dunia.

Di Indonesia terdapat puluhan gua tempat penampakan Bunda Maria yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Salah satu yang cukup populer adalah gua Maria Sendangsono yang terletak di Kecamatan Kalibawang, Kab. Kulon Progo, Yogyakarta. Keberadaan Gua Maria ini memiliki makna historis bagi perkembangan Gereja Katholik di Indonesia. Di sinilah untuk yang pertama kali dilakukan pembaptisan terhadap 171 warga yang dilakukan oleh Romo van Lith SJ (1863 – 1926) pada tanggal 14 Desember 1904.

Pembaptisan umat Katholik untuk yang pertama kalinya di Jawa ini dilakukan dengan menggunakan sumber air (sendang) yang mengalir di antara dua pohon sono. Lokasi pembaptisan ini kemudian menjadi cikal bakal penyebaran ajaran Katholik di Pulau Jawa. Dalam memperkenalkan agama Katholik, Romo van Lith menyelaraskan ajaran Katholik Roma dengan tradisi Kejawen, sehingga agama Katholik mudah diterima orang Jawa.

Kompleks Sendangsono ini resmi dinyatakan sebagai tempat ziarah umat Katholik sekitar tahun 1929. Ratu Spanyol kemudian mempersembahkan patung Bunda Maria untuk ditempatkan di Sendangsono. Di bawah patung Bunda Maria ini kemudian ditanamkan batu sebagai alas yang secara khusus diambil dari Lourdes, Perancis saat sejumlah pemuda Katholik berziarah ke sana pada tahun 1945.

Kompleks ziarah ini kemudian mulai direnovasi pada tahun 1974 dengan menggunakan dana hasil sumbangan umat. YB Mangunwijaya sebagai arsiteknya memberikan sentuhan bernuansa Jawa di kompleks ini. Bahan-bahan bangunan yang digunakan pun di ambil dengan memanfaatkan hasil alam. Karya arsitektur Romo Mangun ini mendapat penghargaan arsitektur terbaik dari ikatan arsitek Indonesia, untuk kategori kelompok bangunan khusus pada tahun 1991.

Saat ini Sendangsono yang telah berusia lebih dari 100 tahun tak hanya menjadi tempat ziarah umat Katholik saja. Kompleks ziarah ini juga menarik minat masyarakat umum untuk berkunjung. Selain karena tempat ziarah ini berada di kawasan yang indah dan asri, konon, air Sendangsono bisa memberi berkah kesembuhan bagi yang meminumnya. Para peziarah pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini utuk membawa pulang air Sendangsono.

goyang lidah banyumasan

Sekali waktu, singgahlah ke Purwokerto, sisihkan waktu 2 jam saja untuk menikmati wisata kuliner di Kabupaten Banyumas. Kota yang dilintasi jalur Selatan kereta api jurusan Surabaya – Jakarta/Bandung ini tak hanya menyajikan kripik, nopia, dan lanting seperti yang biasa ditawarkan pedagang asongan saat kereta berhenti di stasiun Purwokerto. Aneka makanan khas yan unik dan nikmat tersaji di sepanjang jalan utama di kota Purwokerto. Unik karena penampilan luarnya memang tak sebanding dengan kenikmatan yang menggoda lidah saat mengunyahnya.

Cobalah gethuk goreng. Makanan berbahan dasar singkong yang berbentuk gumpalan-gumpalan warna coklat tua ini sekilas memang tak menarik mata. Semakin kita mengamatinya, semakin enek perut kita dibuatnya. Tetapi, begitu kita mencoba menggigitnya, rasa manis gula Jawa bercampur singkong yang telah dihaluskan membuat mata berkejab merasakan nikmat. Jemari tanganpun tergerak untuk kembali mencomotnya.

Konon, makanan ini diciptakan tanpa sengaja oleh Bapak Sanpirngad, warga kampung Sokaraja pada tahun1918. Suatu ketika Pak Sanpirngad yang sehari-hari berjualan gethuk merasa kebingungan karena dagangan gethuknya tidak laku habis. Karena sisa gethuk itu tidak mungkin dijual lagi, ia pun iseng menggoreng gethuk itu. Rupanya, kreasi masakannya menghasilkan citarasa unik, tak kalah nikmat dari gethuk asli. Jadilah gethuk goreng menjadi jajanan pelengkap selain gethuk asli. Tak disangka, popularitas gethuk goreng jauh lebih melejit, sehingga warga sekitar pun lantas ikut-ikutan membuat gethuk goreng untuk dijual. Sepanjang Jl. Sudirman – Kotaraja, jalan raya yang menghubungkan Purwokerto – Yogyakarta inipun kini padat dengan penjual gethuk goreng. Tentu saja, yang paling nikmat tetap gethuk goreng buatan keturunan Bapak Sanpirngad, yaitu Haji Tohirin yang kemudian membuka toko dengan merek Gethuk Asli sejak tahun 1922.

Tak jauh kawasan pedagang gethuk goreng, sekitar 500 meter, berderet pedagang soto khas Sokaraja. Seperti halnya gethuk goreng, penampilan soto Sokaraja juga tak semenarik citasara yang disajikan. Kekhasan soto Sokaraja terletak pada irisan ketupat sebagai pengganti nasi, juga kuah soto yang bercampur kerupuk dan bumbu kacang yang kental, berbeda dengan kuah soto pada umumnya. Oh ya, kita juga bisa memilih menu dagingnya: ayam atau sapi. Jeroan seperti babat iso juga tersedia.

Namun, mengunjungi Purwokerto memang tak puas sebelum mencicipi mendoan dan membawa oleh-oleh keripik tempe. Jangan kawatir, tak jauh dari stasiun kereta api, tepatnya di Jl. Jend Sutoyo – Sawangan, berderet wajan-wajan penggorengan tempe mendoan yang siap menggoreng mendoan pesanan konsumen. Juga tersedia mendoan mentah termasuk tepung bumbunya yang bisa dibawa sebagai oleh-oleh selain kripik tempe. Di antara deretan toko kripik, konon toko Echo 21 yang paling banyak dikunjungi pembeli. Kabarnya, dalam sehari lebih dari seribu bungkus tempe terjual.

Nah, dua jam singgah di Purwokerto cukup untuk mencicipi aneka makanan khas Kabupaten Banyumas. Perjalanan siap dilajutkan dengan kereta berikutnya. Kali lain, ajaklah kerabat dan sahabat menikmati wisata kuliner di Purwokerto.

kotagede the hidden charm

Bekas Ibukota Kerajaan Mataram ini mengawali sejarahnya manakala Sultan Hadiwijaya, menghadiahkan Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang. Pada tahun 1575 putra Ki Ageng Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati, menjadikan wilayah ini sebagai Ibukota Kerajaan Mataram. Sebagai sebuah kerajaan Jawa, arsitektur kawasan ini mengacu pada prinsip Catur Gatra Tunggal yang direpresentasikan dengan adanya Kraton, Alun-alun, Masjid, dan Pasar.

Sisa-sisa arsitektur kota kerajaan Islam ini masih dapat kita rasakan dengan mengunjungi Kotagede. Dinding-dinding tinggi, lorong-lorong sempit, suara adzan bersautan, dan hirukpikuk pasar. Menyusuri lorong-lorong Kotagede merupakan perjalanan spirutual yang mengesankan. Di kompleks kawasan Kotagede ini terdapat petilasan Raja Mataram, Panembahan Senopati, yaitu makam para kerabat raja, padepokan, Sendang Selirang, Watu Gilang dan Watu Gatheng.

Makam Raja Mataram di Kotagede dibangun dalam kompleks yang luas. Di dalamnya terdapat 81 makam raja dan kerabat dekatnya. Makam ini dibuka untuk umum pada hari-hari tertentu saja, yaitu hari Senin dan Kamis mulai pukul 10.00 -12.00 WIB dan pada hari Jumat mulai pukul 13.00 – 15.00 WIB. Para pengunjung yang hendak melakukan ziarah dan tirakatan diharuskan berendam terlebih dahulu di Sendang Selirang yang letaknya di sebelah selatan makam.

Sendang ini terbagi menjadi dua, yaitu Sendang Kakung (laki-laki) dan Sendang Putri (perempuan). Kedua sendang ini memiliki sumber mata air yang berbeda. Sumber mata air Sendang Kakung berasal dari mata air tepat di bawah makam yang dialirkan melalui lubang saluran. Banyak ikan yang hidup di sendang ini, antara lain ikan lele putih yang panjangnya hingga 1 meter. Di situ juga terdapat makam kura-kura yang dikeramatkan dan diberi nama Kyai Duda Rejah. Sementara itu mata air Sendang Putri berasal dari sumber di bawah pohon beringin yang terletak di bagian depan jalan menuju kompleks makam.

Tak jauh dari kompleks makam dan sendang, sekitar 300 meter ke arah selatan, terdapat bangunan kecil tempat penyimpanan Watu Gilang dan Watu Gatheng. Batu hitam yang bentuknya menyerupai tempat duduk ini konon dipercaya sebagai dampar (tempat duduk) Panembahan Senopati. Selain itu juga terdapat tiga batu berwarna kuning berbentuk bola (Watu Gatheng). Konon, menurut legenda, batu ini merupakan alat permaianan Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati. Meski batu itu berat, tetapi Raden Ronggo mampu mengangkat dan melempar-lemparkannya sebagai permainan. Legenda ini pula yang kemudian berkembang dan melahirkan mitos jika kita berhasil mengangkat Watu Gatheng, apa yang menjadi keinginan kita dapat terkabul.

Kini, kawasan Kotagede telah berkembang menjadi kawasan wisata sejarah dan budaya yang menarik. Selain dapat mempelajari sejarah kerajaan Mataram pertama, sebelum terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, di Kotagede kita juga dapat menikmati arsitektur rumah tinggal para saudagar keturunan Arab, Jawa, dan Belanda yang dulu tinggal di sana. Rumah-rumah mereka yang khas kini banyak dijadikan sebagai café dan galerry. Tak ketinggalan industri kerajinan perak Kotagede yang indah dan menggoda mata. Kotagede memang kota tua yang menyimpan keindahan.

menelusuri reruntuhan kraton ratu boko

Kompleks Kraton Ratu Boko terletak 2Km arah selatan Candi Prambanan. Tepatnya di perbukitan, antara dusun Dawung dan Sambirejo yang membentang di Jl. Jogja – Piyungan. Mengunjungi situs ini akan lebih menyenangkan jika dilakukan pagi hari atau menjelang sore. Tak ada salahnya menghindari sengatan matahari tropis yang mampu melegamkan kulit kita. Maklum, kawasan seluas 250.000 M2 ini merupakan area terbuka, berada di puncak bukit dengan ketinggian 196 m di atas permukaan laut.

Kraton Ratu Boko merupakan artefak perpaduan antara Buddha dan Hindu. Menurut prasasti Abhayagiri Wihara tahun 792 M, kompleks ini pernah digunakan sebagai vihara. Namun di kompleks ini juga ditemukan benda-benda peninggalan Hindu seperti lingga, yoni, dan ganesha. Reruntuhan kepurbakalaan Ratu Boko ini ditemukan pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790. Sebelumnya, pada awal abad 17, berdasar catatan perjalanan para musafir Eropa, H.J De Graaf telah mencatat adanya kepurbakalaan di selatan Prambanan.

Seabad setelah penemuan Van Boeckholtz, yaitu sekitar tahun 1890, FDK Bosch mengadakan riset arkeologis yang menghasilkan laporan berjudul Kraton Van Ratoe Boko. Sejak itulah, kompleks candi ini dikenal dengan Kraton Ratu Boko, meskipun sebelumnya warga sekitar menyebutnya Candi Dawung karena berlokasi di dusun Dawung.

Tata ruang kompleks Ratu Boko relatif masih lengkap. Bagian depan situs, yaitu Gapura terdiri dari dua lapis. Setelah melewati gapura, terdapat hamparan rumput luas. Segerombolan kambing biasa merumput di area ini, sementara sang gembala berteduh di bawah pohon jati tak jauh dari tempat itu. Area ini dulunya adalah alun-alun. Di area ini masih terdapat umpak yang tertata, mungkin dulunya menjadi pondasi tiang bangunan berpilar, semacam pendopo.

Di area Alun-alun terdapat batur tinggi, yang disebut Candi Pembakaran. Seperti yang tersurat pada namanya, batungunan batu berukuran kurang lebih 25 x 10 M dan tinggi sekitara 1,5 M dengan tangga menghadap ke barat ini diperkirakan sebagai tempat pembakaran mayat kaum Hindu. Di candi ini ditemukan sisa-sisa pembakaran.

Arah Tenggara dari alun-alun, terdapat sejumlah bangunan yaitu paseban (ruang tunggu sebelum menghadap raja), pendopo, dan pringgitan. Di sebelah barat Pendopo terdapat altar kecil dengan 3 gapura kecil berjejer. Tingginya kira-kira hanya 1 meter, karenanya diberi nama Candi Miniatur. Bangunan ini juga sering digunakan sebagai tempat pemujaan. Berdampingan dengan kompleks ini terdapat kolam keputren, yaitu pemandian untuk kaum perempuan. Kolam-kolam dari batu cadas putih ini berbentuk lingkaran, ada juga yang berbentuk persegi. Hingga kini sumber air dari kolam masih keluar, meski tak lagi bening.

Situs lain yang terdapat di kompleks ini adalah dua gua, yaitu gua lanang (laki-laki) dan wadon (perempuan). Bentuk gua ini menyerupai ceruk dengan kedalaman sekitar 3 meter. Fungsinya sebagai tempat semedi. Yang menarik gua ini sepertinya sengaja dibuat dengan mengeruk bukit batu yang ada di kompleks ini. Persis di sisi gua wadon, terdapat area datar dengan dinding batu. Di sisinya terdapat anak tangga yang menghubungkan ke gua lanang. Anak tangga ini terbuat dari batu utuh yang ditatah berundak.

Menyusuri kompleks Kraton Ratu Boko yang terletak di perbukitan memang serasa pendakian dan trekking pendek sekitar 2 jam. Pastikan kesiapan fisik Anda jika berniat menyusuri reruntuhan Ratu Boko. Meski di kawasan ini terdapat beberapa warung kecil yang menjual minuman dingin, tak ada salahnya Anda membekali diri dengan air mineral dari rumah. Jika kelelahan mendera, berisitrahatlah di perbukitan di atas Candi Pembakaran. Pengelola taman wisata candi telah menyediakan bangunan joglo untuk beristirahat sekaligus menikmati Candi Prambanan dari ketinggian bukit. Saatnya menarik napas lega, meresapi keindahan atas kemegahan masa lalu!

kepulan asap di station willem I

Sejarah perkeretaapian di Indonesia dimulai sejak Netherlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) membangun lintasan kereta api sepanjang 26 km yang menghubungkan antara Kemijen dan Tanggung. Kedua stasiun ini merupakan bagian dari jalur kereta dari Semarang – Solo – Yogyakarta pada tahun 1864. Lintasan kereta api Semarang – Yogyakarta dapat dikatakan sebagai jalur tersulit, karena melintasi pegunungan dengan ketinggian mencapai 711 meter dari permukaan air laut.

Rute perjalanan menanjak yang ditempuh kereta api uap hingga kini masih dapat kita nikmati dengan paket wisata yang disediakan Museum Kereta Api Ambarawa. Jalur kereta yang ditempuh adalah Ambarawa – Bedono sejauh 9km. Begitu tiba di Stasiun Jambu, lokomotif seri B25 akan dilangsir ke gerbong paling belakang untuk mendorong gerbong kereta bergerak menuju Stasiun Bedono. Tentu saja kereta tua ini tak akan melaju kencang, tetapi perlahan disertai ringikan dan kepulan asap yang keluar dari cerobong loko. Tttuuiiitt…ttuuuiiitt…! Dari ketinggian itu pula kemdusian kita dapat menikmati keindahan alam pedesaan dan kesejukan hawa pegunungan.

Menikmati keindahan alam bukanlah satu-satunya daya tarik yang ditawarkan Museum KA Ambarawa. Di museum yang semula merupakan bangunan Station Willem I Ambarawa ini, kita dapat menyaksikan sejarah lokomotif uap yang pernah melintas di Jawa. Di halaman museum terdapat 24 lokomotif kuno yang buatan tahun 1891 -1966. Salah satunya adalah lokomotif CC50 buatan Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik Winterthur, Swiss dan Werkspoor, Belanda yang mendapat julukan Berkoningin alias Ratu Pegunungan. Konon, lokomotif yang diproduksi tahun 1927 ini merupakan loko yang paling gesit menempuh jalur pegunungan yang menanjak dan berliku.

Dengan mengunjungi Museum KA Ambarawa, kita juga disuguhi kemegahan arsitektur peninggalan Belanda pada bangunan stasiun. Stasiun KA Willem I Ambarawa memang bukan stasiun pertama yang dibangun Belanda. Tetapi pembangunan stasiun ini memiliki pertimbangan politis, kala itu untuk kepentingan militer Belanda. Ambarawa adalah lokasi yang sangat strategis untuk menghubungkan kekuatan militer dari Jawa bagian Utara dan Selatan karena letaknya yang berada di tengah-tengah. Untuk kepentingan militer ini, Belanda membangun khusus jalur Ambarawa – Magelang. Karenanya stasiun ini pun memiliki nama yang unik, yang tidak mengacu pada tempat, tetapi pada nama Raja Belanda yang kala itu bertahta, yaitu Willem I.

Memang, sejarah perkeretaapian Indonesia yang dibangun Belanda tak dapat dipisahkan dari kepentingan militer dan kolonialisme. Tentu kita tak bloleh semata-mata mengenangnya sebagai bentuk penjajahan, karena hanya akan menimbulkan luka. Sebaliknnya, apa yang telah diwariskan Belanda jadikan sebagai pemicu untuk menjadi bangsa yang maju.

Tuesday, January 13, 2009

penangkaran mutiara teluk terima - bali

Sejak jaman dulu mutiara telah menjadi perhiasan yang banyak digrandrungi kaum wanita. Mutiara telah menjadi simbol kemewahan dan keanggunan wanita. Bagi sejumlah wanita di kalangan atas, mengenakan untaian kalung mutiara akan menambah rasa percaya diri jika tampil di muka publik. Mutiara memang memiliki daya pikat luar biasa.

Di tingkat dunia, Indonesia dikenal sebagai penghasil mutiara kelas satu. Kualitas mutiara Laut Selatan (South Sea Pearl) hasil budidaya siput unggul belum tersaingi di pasaran dunia. Tersedianya lingkungan perairan yang jernih, berpasir, berterumbu karang, bebas dari pencemaran, serta sepi dari gangguan lalu lintas kapal dan alat-alat transportasi laut lainnya yang menggunakan bahan bakar minyak menjadi syarat utama untuk penangkaran maupun budidaya mutiara.

Teluk Terima di kawasan Taman Nasional Bali Barat merupakan lokasi yang cukup potensial untuk penangkaran mutiara. Sejak tahun 1997 sebagian dari kawasan perairan di Teluk Terima telah dijadikan area penangkaran mutiara oleh PT. Disthi Kumala Bahari pemilik brand mutiara The Bali Pearl. Melalui program Educational Tourism Program yang dikembangkan PT. DKB, kawasan penangkaran mutiara ini kini menjadi salah satu alternatif kunjungan wisata menarik untuk mengenal mutiara secara lebih mendalam.

Di kawasan ini pengunjung dapat menyaksikan setiap tahap penangkaran mutiara, mulai dari operasi penanaman nucleus ke dalam siput hingga masa panen yang berlangsung sekitar 1,5 – 2 tahun tergantung kondisi air laut. Kondisi air laut memang sangat berperan dalam pertumbuhan mutiara. Tidak ada treatment khusus yang dilakukan, semua sangat tergantung pada alam.

Untuk menjaga kualitas mutiara, tindakan yang bisa dilakukan hanyala meminimalisir stress siput atau kerang. Kerang yang stress akan menghasilkan mutiara berbintik hitam. Semakin banyak bintik hitamnya, apalagi sampai membentuk ring, maka akan semakin rendah pula nilai mutiara tersebut. Cara paling sederhana yang dilakukan adalah dengan mencuci kerang setiap sepuluh hari sekali agar sirkulasi air lebih lancar. Demikian juga penanganan saat panen yang harus hati-hati. Saat meletakkan kerang tidak boleh dengan cara melempar, tetapi dengan cara meletakkannya pelan-pelan.

Mengingat kawasan pengangkaran mutiara ini berada di area perairan yang terbuka, penjagaan kawasan ini pun dilakukan secara ketat. Selama 24 jam penuh patroli oleh polisi bersenjata dilakukan. Tujuannya tidak semata-mata untuk menghindari pencurian, tetapi juga menghalau para pencari ikan yang sering menggunakan sianida yang dapat membunuh bioata laut lainnya.

Nah, jika Anda pecinta perhiasan mutiara, agendakan hari libur Anda untuk mengunjungi penangkaran mutiara di Teluk Terima Bali Barat.

tajen, sabung ayam bali

Sabung ayam atau tajen nyaris tak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Bali, terutama kaum lelaki. Adanya larangan tajen karena sering dikaitkan dengan judi sejak tahun 1981, memang membuat acara tajen tak lagi dilakukan secara terbuka di wantilan yaitu bangunan tradisional yang umum terdapat di desa. Acara tajen kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh warga Bali. Namun belakangan, sejak era reformasi, acara tajen diadakan untuk penggalangan dana.

Acara tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, tajen sangat lekat dengan tradisi tabuh rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat Hindu Bali. Upacara tabuh rah ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan lain. Persembahan ini dilakukan dengan cara menyembelih bagian leher hewan tersebut. Sebelum upacara persembahan, dilakukan serangkaian upacara, antara lain perang sata yaitu pertarungan ayam dalam rangkaian kurban suci yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang sata merupakan simbol perjuangan hidup.

Tradisi tabuh rah di Bali sering diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yadnya, yaitu upacara suci yang ditujukan untuk menyelaraskan unsur-unsur alam dengan kehidupan manusia. Salah satu upacara Butha Yadnya adalah acara tawur yang diadakan sehari sebelum Nyepi. Dalam acara ini biasaya diadakan pertarungan ayam. Selain itu dalam Prasasti Batur Abang tahun 933 Saka dan Prasasti Batuan tahun 944 Saka juga disebutkan bahwa sabung ayam untuk upacara tabuh rah diperbolehkan, namun bukan untuk berjudi. Jumlah ayam yang boleh disabung pun dibatasi tiga pasang ayam.

Dalam perkembangannya, ritual suci tabuh rah mengalami pergeseran makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering dijadikan ajang berjudi. Kini, banyak bajar (desa) yang menggelar tajen yang biasa disebut tajen terang untuk kepentingan menggalang dana. Setiap desa di Bali memiliki tatacara tersendiri untuk mengatur tajen terang ini, para pecalang pun dilibatkan untuk menjaga keamanan. Dalam tajen terang ini yang diutamakan adalah hiburan, bukan menang atau kalah. Meski demikina, sebelum diadakan acara tajen terang, desa adat terlebih dahulu juga menyelenggarakan upacara kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.

Bagaimanapun, keberadaan tajen atau sabung ayam memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali. Karena itu sudah selayaknya jika pemerintah tidak semata-mata membuat larangan, namun mengemas kegiatan ini menjadi atraksi menarik bagi wisatawan.

perjalanan mistis ke trunyan

Terletak di tepi timur Danau Batur, sekitar 45 menit berperahu dari Kintamani, desa Trunyan yang terpencil ini merupakan salah satu desa Bali Aga atau Bali kuno. Warga Trunyan menyebut diri mereka sebagai Bali Turunan, yaitu orang yang pertama kali turun dari langit dan menempati Pulau Bali. Mereka menyebut penduduk Bali lainnya sebagai Bali Suku yaitu orang-orang berasal dari Jawa (Majapahit). Meski masyarkat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya.

Salah satu tradisi yang menarik perhatian budayawan dan wisatawan adalah ritus kematian. Meskipun sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenasah. Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu.

Upacara kematian di Trunyan disebut dengan istilah mepasah. Jenasah dibaringkan di atas lubang yang tak terlalu dalam, bagian atas dibiarkan terbuka. Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang. Tidaklah mengherankan jika di area Sema banyak berserakan tengkorak dan tulang-tulang.

Meskipun jenasah orang Trunyan tidak dikubur dan dibiarkan terbuka, konon tak menyebarkan bau busuk. Masyarakat Trunyan meyakini bahwa bau busuk jenasah telah disedot oleh pohon Taru Menyan. Konon, pohon ini dikenal menebarkan aroma wangi. Dalam mitos masyarakat Trunyan dipercaya bahwa aroma wangi yang ditebarkan pohon Taru Menyan sempat tercium oleh Dewi Danu yang berada di Kahyangan dan kemudian turun ke bumi mencarinya. Setelah menemukannya, daerah di sekitarnya kemudian dinamakan Trunyan.

Masyarakat Trunyan memiliki tiga sema (kuburan). Sema Wayah atau kuburan utama diperuntukkan bagi warga yang meninggal secara wajar. Sema Muda untuk menguburkan bayi, anak-anak, dan orang dewasa yang belum menikah. Sedangkan Sema Bantas diperuntukkan warga yang kematiannya tidak wajar, misalnya karena mengalami kecelakaan atau bunuh diri.

Sema Wayah atau kuburan utama telah menjadi obyek wisata yang sering dikunjungi turis asing. Untuk menuju lokasi ini, pengunjung harus menggunakan sampan menyusuri lereng Bukit Abang di tepi Danau Batur. Sepanjang perjalanan berperahu sampan menuju Sema Wayah, pengunjung akan disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Di sebelah barat membentang keindahan alam perbukitan di sekitar Danau Batur yang mempesona, sementara itu di sebelah Timur sebuah altar batu berisi tumpukan tengkorak yang berjejer di bawah rindangnya pohon Taru Menyan mengantar pengunjung ke dalam perjalanan mistis yang tak terlupakan.

kasada dan legenda orang tengger

Bagi masyarakat Tengger di kabupaten Probolinggo Jawa Timur, Bromo bukanlah sembarang gunung berapi. Kehidupan kosmologi masyarakat Tengger nyaris tak dapat dipisahkan dari Gunung Bromo. Gunung berapi yang berada di tengah lautan pasir atau segara wedi seluas kurang lebih 9 kilometer ini dalam kepercayaan orang Tengger dianggap sebagai Dewa Brama. Konon, nama Gunung Bromo berasal dari Dewa Brama dalam kepercayaan Hindu. Sementara itu, hubungan antara manusia dan roh halus di Gunung Bromo dapat dilihat dalam upacara Kasada yang rutin dilaksanakan setahun sekali.

Dalam legenda Kasada digambarkan bahwa cikal bakal masyarakat Tengger berasal dari “Joko Seger” dan “Rara Anteng”. Konon, kata Tengger juga diambil dari suku kata terakhir kedua nama pasangan ini, yaitu Rara Anteng dan Joko Seger. Setiap tanggal 14 bulan Kasada dalam sistem penanggalan Tengger, selalu diadakan upacara sesaji kepada roh Dewa Kusuma, putra bungsu Joko Seger dan Rara Anteng yang dijadikan korban untuk menyelamatkan keluarga dan masyarakat Tengger. Sebagai gantinya, setiap tahun roh Dewa Kusuma menginginkan sesaji dari masyarakat Tengger berupa hasil bumi yang dilemparkan ke dalam kawah Gunung Bromo.

Hingga kini masyarakat Tengger masih melangsungkan upacara Kasada. Legenda Rara Anteng dan Joko Seger dikisahkan kembali untuk mengawali rangkaian upacara Kasada kemudian dilanjut dengan berdoa kepada Dewa Gunung Bromo dan Dewa Kusuma yang dipimpin Lurah Dukun Tengger. Setelah itu, pada dini hari, barulah naik ke puncak Bromo dan melempar sesajian ke dalam kawahnya.
Sebelum mengirim sesaji kepada Dewa Kusuma sebagai inti dari upacara Kasada, dalam ritual ini biasanya juga dilangsungkan “pelantikan” bagi calon dukun di Tengger. Dalam upacara yang dikenal dengan istilah “Mulunen” ini calon dukun diwajibkan merapal mantra panjang tanpa putus. Mantra yang diucapkan dalam bahasa Jawa Kuno ini panjangnya hingga 1 jam. Setelah selesai mengucapkan matra, Lurah Dukun akan menanyakan pada dukun-dukun lain yang menguji, “Sah? Sah?” Jika jawabanya “Saahhh…” maka luluslah calon dukun dari ujian pendadaran.
Menghapal puluhan mantra memang syarat utama menjadi Dukun Tengger. Jumlah mantra yang harus dihapalkan oleh dukun mencapai 90 bab. Kehidupan sehari-hari para Dukun Tengger ini tak dapat dipisahkan dari mantra, karena setiap hari selalu ada warga yang datang menyampaikan suatu keinginan yang diteruskan oleh dukun melalui mantra-mantra.
Bagi masyarakat Tengger, keberadaan dukun sebagai pemimpin ritual memang sangat penting. Mereka adalah perantara masyarakat Tengger dengan Hyang Widhi Wasa, Sang Penguasa Jagad. Juga kepada Sang Hyang Brahma yang bersemayam di Gunung Bromo, kepada roh para leluhur, dan Buta Kala. Di tangan mereka pulalah, kelangsungan tradisi Tengger akan terjaga.

menyusuri sungai mahakam

Bagi warga Kalimantan, sungai bagaikan urat nadi. Melalui sungai yang membelah pulau ini, berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat setempat berlangsung. Sungai juga merupakan jalan raya terbesar yang menghubungkan berbagai daerah pedalaman di Kalimantan. Bahkan, sebelum transportasi darat dan udara berkembang, sungai menjadi satu-satunya pilhan transportasi antar propinsi di Kalimantan. Dari Banjarmasin ke Palangkaraya dapat ditempuh transportasi lewat speedboat melintasi sungai Martapura. Sementara dari Samarinda ke Pontianak, terasa eksotis dengan perahu di atas sungai Mahakam dan Kapuas.

Karena itu, mengunjungi Kalimantan tanpa menikati perjalanan dengan perahu menyusuri sungai belumlah terasa lengkap. Sisihkan waktu setidaknya 2 hari untuk menikati eksotisme menyusuri sungai yang membelah hutan di pedalaman Kalimantan. Rute Samarinda – Melak sejauh 24 jam di atas Sungai Mahakam layak dicoba. Siapa tahu Anda beruntung dapat melihat ikan pesut yang hanya tersisa beberapa puluh ekor. Biasanya hewan mamalia air ini muncul antara Kota Bangun sampai Muara Pahu.

Kapal motor atau taksi air dari Samarinda (hilir) ke Melak (hulu) ini biasanya berangkat pukul 7.00 WITA dan akan tiba di Melak sekitar pukul 6.00 WITA keesokan harinya. Taksi air berkapasitas 40 ton ini mampu menampung penumpang hingga 60 orang. Terdapat dua kelas harga tiket, di bagian bawah beralas karpet plastik yang bercampur tumpukan barang, sepeda motor, dll serta di lantai dua dengan kasur berbusa tipis.Tak ada kabin, hanya tempat tidur berjejer yang bagian bawahnya bisa dijadikan locker untuk penyimpanan barang. Taksi air ini dilengkapi toilet berupa bilik kecil di bagian belakang. Tak ada bak air di dalamnya, hanya disediakan sebuah ember plastik bertali dan papan yang dilubangi untuk menimba air dari sungai. Sekaligus lubang untuk membuang hajat.

Meski taksi air ini memiliki fasilitas yang sederhana, namun perjalanan dengan kapal ini relatif aman dan nyaman. Jumlah kecelakaan relatif kecil. Sungai Mahakam pun sudah dilengkapi sejumlah rambu-rambu yang membantu nahkoda untuk mengemudikan kapal.
Di samping itu juga tak perlu merasa kawatir dengan guncangan kapal, air sungai Mahakam ini cukup tenang sehingga kapal pun bergerak dengan tenang dan nyaman.

Untuk mengusir kejenuhan, duduklah di anjungan. Nikmatilah keindahan alam Kalimantan, sungai yang lebar laksana lautan dan pohon-pohon menjulang tempat bersemayam margasatwa. Menjelang sore, saat langit kemerahan dan udara meniupkan kesejukan, inilah saat yang tepat untuk mengabadikan sejumlah gambar lewat ponsel kamera. Setelah itu, kirimkan lewat MMS kepada kerabat dan sahabat Anda. Buatlah mereka takjub dengan ekspedisi Mahakam yang tengah Anda nikmati!

makang ikang di makassar

Makassar adalah surga para penikmat ikan. Kota maritim yang menjadi pintu gerbang perdagangan di wilayah Indonesia Timur ini memang menyimpan kekayaan laut yang dapat dijadikan menu santapan lezat. Berbagai jenis ikan laut seperti ikan baronang, sunu (kerapu), cepa, bolu (bandeng), kakap, maupun cumi-cumi yang diracik dalam bumbu khas Makassar selalu menggoda selera pengunjung kota ini.

Jika ingin menikmati masakan ikan segar yang baru ditangkap nelayan, cobalah ke Paotere di bagian utara Kota Makassar. Pelabuhan yang menyimpan sejarah kerajaan Gowa – Tallo sewaktu memberangkatkan 200 armada perahu Phinnisi ke Malaka untuk mengusir penjajah Belanda ini, kini difungsikan sebagai pelabuhan rakyat dan tempat pelelangan ikan (TPI). Di pelabuhan ini kita dapat menyaksikan kesibukan di TPI ini mulai berlangsung sejak dini hari, saat para nelayan melabuhkan perahu dan membongkar hasil tangkapannya. Tak lama berselang, transaksi antara pembeli dan nelayan dalam bahasa Makassar dan Bugis menambah keriuhan TPI. Para pembeli ini umumnya pedagang ikan di pasar atau pemilk warung ikan bakar yang tersebar di seantero kota Makassar.

Di sekitar Pelabuhan Paotere banyak dijumpai warung-warung yang menyajikan menu ikan bakar. Bandeng bakar menjadi primadona di kawasan Paotere. Ikan bandeng ini dibelah dan dibakar dengan tingkat kematangan tertentu, sehingga memberikan aroma khas. Ikan bandeng bakar ini biasa disajikan dengan sambal mangga dan kacang.

Selain di Paotere, di pusat kota Makassar sendiri terdapat sejumlah rumah makan favorit yang menyediakan menu ikan bakar, seperti Rumah Makan “Lae Lae” di Jl. Datu Museng atau Rumah Makan “Aroma Labakkang” di Jl. Chairil Anwar. Ikan bandeng bakar juga dapat dinikmati di Rumah Makan “Pangkep Utama” di kawasan Pasar Baru. Bedanya, bandeng bakar di rumah makan ini tidak dibelah tetapi dibakar utuh dan disajikan dengan sup kacang merah.

Kawasan paling padat yang menyajikan warung ikan bakar adalah di Jl. Metro Tanjung Bunga. Kawasan ini merupakan relokasi para pedagang kaki lima (PKL) yang semula berjejer di sepanjang Pantai Losari hingga mendapat julukan “rumah makan tepanjang” atau “bangku terpanjang” di dunia. Para PKL ini sebagian besar menjual masakan khas Makassar seperti ikan bakar, coto, konro, mie kering, dan lain sebagainya. Hanya saja mereka baru menggelar dagangannya pada malam hari.

Selain hidangan bakar, di Makassar juga terdapat masakan ikan berkuah yang khas, yaitu pallubasa, sejenis sup. Masakan ikan pallubasa yang populer adalah pallubasa kepala kakap di Jl. Mappanyukki. Bedanya dengan sup pada umumnya, pallubasa terasa sedikit asam dan pedas, kuahnya berwarna kekuningan. Bumbu dasar masakan ini adalah kunyit, sereh, belimbing wuluh, irisan cabai rawit, serta tumisan bawang merah dan putih. Masakan yang dihidangkan panas dan berasa asam pedas ini sungguh menyegarkan, apalagi jika disantap pada malam hari.

Kenikmatan makang ikang di Makassar memang tak ada duanya. Apalagi, berbagai menu ikan itu dapat kita nikmati dengan harga terjangkau. Bahkan bisa dibilang murah. Seporsi pallubasa kepala kakap Mappanyukki misalnya, tak lebih dari Rp 10.000. Seporsi menu ini terdiri dari sepiring nasi, sepiring pallubasa berisi kepala kakap berukuran hampir selebar piring. Begitu juga di daerah Paotere, dengan uang sepuluh ribu rupiah, kita sudah dapat menikmati seporsi bandeng bakar. Di kawasan wisata kuliner Tanjung Bunga, kadang-kadang memang sedikit mahal. Maklum, banyak wisatawan dari luar Makassar yang suka bersantap di sana. Meski begitu, untuk menikmati ikan baronang bakar seberat hampir 1 Kg, lengkap dengan sepiring nasi dan segelas air putih tak lebih dari Rp 20.000. Rasanya memang tak berlebihan jika Makassar layak mendapat julukan sebagai surga para penikmat ikan.


(I wrote this article for mediaHALO TELKOMSEL)

rumah adat toraja

Eksotisme Tana Toraja tak hanya terletak pada keindahan alamnya, tetapi juga pada kekayaan budayanya. Meski sebagian besar masyarakat toraja merupakan pemeluk agama Kristen yang taat, namun mereka juga masih menjunjung tinggi adat istiadat. Bagi mereka, Tana Toraja adalah tanah leluluhur yang harus selalu dijaga kelestarian budayanya. Keberadaan rumah adat Tongkonan sebagai pusat kebudayaan Toraja sangat berperan dalam kelesatarian budaya Toraja.

Rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu, namun diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana toraja. Di rumah adat inilah keluarga Toraja biasa berkumpul untuk berdiskusi maupun bertukar pikiran. Oleh karenanya rumah adat ini disebut Tongkonan, berasal dari istilah “tongkon” yang dalam bahasa toraja berarti duduk.

Konstruksi rumah adat Tongkonan terbuat dari kayu tanpa menggunakan unsur logam seperti paku. Kedua ujung atapnya menjulang, mirip rumah tradisional Batak di Sumatera Utara. Sebagian orang mempercayai bahwa bentuk atapnya yang seperti perahu melambangkan haluan dan buritan. Namun banyak juga yang menyakini bahwa atap rumah Tongkonan melambangkan kepala dan tanduk kerbau.

Kerbau memang binatang yang memiliki arti penting dalam tradisi Toraja. Pada setiap upacara adat di Toraja, terutama upacara pemakaman, orang Toraja akan menyembelih kerbau sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuan ekonominya. Kemudian tanduk kerbau itu dipasang pada Tongkonan milik keluarga mereka. Semakin banyak tanduk yang terpasang di Tongkonan, semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik Tongkonan tersebut.

Selain tanduk kerbau yang menghiasi Tongkonan, ornamen rumah adat ini juga sangat unik. Orang Toraja hanya menggunakan 4 warna dasar untuk membuat ornamen rumah Tongkonan, yaitu warna hitam, merah, kuning, dan putih. Keempat warna tersebut merepresentasikan Aluk To Dolo yaitu kepercayaan asli orang Toraja. Warna hitam melambangkan kematian dan kegelapan, kuning merupakan simbol anugerah dan kekuasaan Illahi, putih merupakan warna daging dan tulang yang berarti suci, dan merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia.

Semua bangunan rumah adat Tongkonan menghadap ke utara karena mereka meyakini bahwa leluhur orangToraja berasal dari Utara. Namun ada juga yang beranggapan bahwa arah Utara, seperti halnya Timur, merupakan arah yang baik bagi kehidupan. Terlepas dari berbagai mitos dan kepercayaan orang Toraja mengenai rumah adat mereka, eksistensi Tongkonan layak kita hargai. Keteguhan memegang adat dan tradisi merupakan kearifan lokal yang berharga bagi kita semua.

the dayak's longhouse

Dahulu, orang Dayak di pedalaman Kalimantan membangun tempat tinggal mereka secara berderet, sambung-menyambung, sehingga menjadi satu kesatuan rumah tinggal yang panjangnya hingga puluhan meter. Dalam satu bangunan rumah panjang (biasa disebut lamin atau betang) terdiri dari beberapa bilik yang berisi beberapa anggota keluarga. Konon, cara bertempat tinggal secara berkelompok seperti ini dilakukan untuk menghindari ancaman musuh maupun serangan dari berbagai binatang buas di hutan.

Kini, setelah suku-suku di pedalaman Kalimantan tak lagi terisolasi, banyak warga yang membangun rumah tunggal. Keberadaan rumah panjang sebagai pusat kebudayaan pun mulai mengalami pergeseran. Bahkan banyak rumah panjang yang akhirnya rusak dan dirobohkan karena tak terawat.

Di pedalaman Kalimantan Timur, masih terdapat beberapa rumah panjang yang masih menjadi pusat kebudayaan warga setempat. Salah satu rumah panjang yang sering dikunjungi wisatawan mancanegara adalah Lamin Eheng, rumah panjang suku Dayak Benuaq yang terdapat di desa Pepas Eheng Kec. Barong Tongkok, Kab. Kutai.

75 Meter
Lamin Eheng mulai dibangun sekitar tahun 1963. Semula hanya terdiri dari tiga bilik dan kini terdiri dari 8 bilik. Panjang lamin mencapai lebih dari 75 meter dengan lebar 12 meter dan tinggi 2,5 meter. Jumlah penghuni yang tinggal di lamin ini kurang lebih 80 orang.

Meskipun banyak warga desa Pepas Eheng yang mendirikan rumah tunggal, namun mereka tetap menjadikan lamin atau rumah panjang sebagai tempat untuk bermusyawarah dan menyelenggarakan upacara adat. Semua kegiatan sosial dan budaya dipusatkan di lamin.

Nah, jika Anda ingin menikmati eksotisme pedalaman Borneo, sempatkanlah bermalam di lamin. Anda dapat menyaksikan aktivitas sehari-hari warga setempat, yaitu berladang dan menganyam tas rotan (anjat). Pada malam hari biasanya masih sering dilangsungkan upacara adat beliatn, yaitu upacara untuk menyembuhkan orang sakit.


How To Get There
• Untuk mencapai Desa Pepas Eheng, terlebih dahulu Anda harus singgah di Melak. Dari Melak, Anda dapat menyewa ojek atau jip ke Pepas Eheng dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan.
• Melak, kota kecil di tepian Sungai Mahakam ini, terletak kurang lebih 400km dari Kota Samarinda. Untuk mencapai kota ini Anda dapat menggunakan jalan air, menyusuri sungai Mahakam dengan perahu selama 22 jam (berangkat dari Samarinda pukul 07.00 dan tiba di Melak pukul 05.00).
• Jika Anda berangkat dari Balikpapan, ada 2 pilihan transportasi untuk menuju melak. Lewat daratan dengan waktu tempuh kurang lebih 11 jam, atau lewat udara dengan pesawat Dirgantara Air Service (DAS) selama 60 menit.

(I wrote this article for mediahalo telkomsel customer newsletter, pamasuka area)

pantai-pantai di kendari

Kendari, kota kecil yang menjadi ibukota Sulawesi Tenggara (Sultra) ini seakan terkesan low-profile. Minimnya publikasi menjadikan potensi wisata kota penghasil mete ini kurang dikenal. Padahal, Kendari menyimpan keindahan pantai yang mempesona.

Salah satunya adalah Teluk Kendari yang telah menjadi landmark kota. Teluk seluas 2.800 Ha ini memiliki latar belakang Pulau Bungkutoko yang menghijau di kejauhan dan perahu-perahu yang mengantar penumpang ke pulau-pulau kecil di propinsi ini. Kesibukan perahu motor yang menjadi transportasi utama untuk menjangkau pulau-pulau tersebut merupakan pemandangan menarik di pagi hari.

Sementara itu di sore hari, Teluk Kendari merupakan menjadi rendevous yang mengasyikkan bagi warga setempat. Setiap sore, banyak warga duduk-duduk di bibir teluk menikmati keindahan alam sambil bercengkerama. Warung-warung tenda yang berderet di sepanjang teluk yang menawarkan aneka masakan menjadikan suasana makan malam di pinggiran teluk terasa makin nikmat.

Jika ingin berenang di pantai, kita bisa menyinggahi Pantai Mayari yang letaknya tak jauh dari Teluk Kendari. Sembari berenang di pantai berpasir putih dan berair tenang ini, kita juga bisa menikmati lalu lalang speedboad yang menuju Pulau Muna, salah satu pulau yang cukup besar di propinsi Sultra. Di pinggir pantai ini juga terdapat cottage yang dapat disewa untuk pengunjung.

Keindahan pantai pasir putih Kendari yang lain dapat ditemukan di Pantai Nambo, berjarak sekitar 12 km dari Kendari atau sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil. Pantai yang terletak di kawasan Abeli ini merupakan tempat wisata favorit warga Kendari di hari libur. Pantai ini memiliki ombak yang tenang dan berair bersih, sehingga sangat nyaman untuk berenang bersama keluarga.

Masih belum puas menyusuri pantai? Bagaimana jika menikmati ikan bakar khas Kendari dengan racikan sambal yang yummy? Tak sulit menemukan ikan bakar yang gurih dan nikmat karena hampir di setiap ruas jalan di Kendari terdapat warung atau rumah makan yang menjual ikan bakar.


How to Get there
• Saat ini baru terdapat 3 penerbangan menuju Kendari, yaitu Merpati, Lion Air, dan Sriwijaya Air
• Untuk menjangkau kota-kota lain di sekitar Kendari, biasanya masih menggunakan transportasi air belum banyak bus yang tersedia. Kecuali jika kita menyewa mobil dan driver
• Karena obyek wisata di Kendari sebagian besar berupa wisata pantai, pastikan Anda tak meninggalkan sunscreen untuk melindungi kulit

(I wrote this article for mediahalo, telkomsel customer newsletter, pamasuka area)

SINGKAWANG, indonesia chinese town

Sebuah pepatah mengatakan, kunjungan ke Kalimantan Barat belumlah dianggap sah jika belum singgah ke Singkawang. Kota kecil berjarak sekitar 147 km dari Pontianak ini memang memiliki karakteristik yang unik dan khas. Nuansa negeri oriental yang kental akan terasa begitu memasuki kota Singkawang. Terdapat 38 kelenteng yang mudah dijumpai di tiap ruas jalan dengan warna merah dan kuning yang menyala.
Wajarlah jika kota Singkawang mendapat julukan Kota Seribu Kuil.

Padamulanya Singkawang hanyalah sebuah desa kecil bagian dari wilayah kerajaan Sambas. Namun desa kecil ini cukup ramai karena menjadi tempat transit para pedagang dan penambang emas di daerah Montrada yang terletak di jalur antara Singkawang dan Pontianak. Para penambang emas dan pedagang yang singgal di Singkawang kebanyakan datang dari Cina. Lama kelamaan mereka menetap di desa ini, selain menjadi pedagang dan penambang emas, mereka juga mulai membuka lahan untuk bertani. Hingga akhirnya etnis Tionghoa yang mendiami Singkawang jumlahnya menempati urutan pertama atau sekitar 40.96% dari penduduk Singkawang, selebihnya adalah suku Melayu, Dayak, dan Jawa.

Selain para pedagang, orang Tiongkok atau China yang singgah ke Singkawang umumnya juga memiliki keahlian membuat keramik. Setelah mereka menetap di Singkawang, keahlian membuat keramik juga diwariskan pada keturunannya hingga Singkawang juga dikenal sebagai kota penghasil keramik yang tersohor hingga mancanegara.

Sentra industri keramik khas Singkawang ini terletak di Desa Sakok. Pabrik ini mulai berdiri tahun 1895, pabrik yang pertama didirikan di wilayah Kalimantan Barat. Setidaknya terdapat tujuh usaha keramik tradisional di Singkawang. Proses pembuatan keramik ini masih dilakukan secara manual tanpa bantuan mesin pemutar otomatis maupun mesin cetak khusus. Begitu juga dalam pewarnaan yang menggunakan bahan-bahan alami. Dari penelitian yang dilakukan sejumlah ahli, industri keramik tradisional di Sakok ini merupakan salah satu yang tersisa di Asia Tenggara, selain yang ditemukan di Filipina.

Selain menghasilkan karya seni bermutu tinggi berupa keramik tradisional, warga etnis Tionghoa di Singkawang juga masih menjunjung tradisi dan nilai-nilai budaya. Saat perayaan Cap Go Meh (15 hari setelah Imlek), di Singkawang diadakan arak-arakan ta-thung yaitu orang yang kemasukan roh dewa atau leluhur. Para ta-thung yang kemasukan roh ini memiliki kekuatan magis yang tidak akan mempan oleh senjata tajam. Konon, tradisi ini sudah mulai punah di negeri China daratan dan hanya dilangsungkan di kantong-kantong budaya di Tibet dan Taiwan. Sementara itu di Singkawang tradisi ini masih berlangsung dan memberikan kemeriahan warga setempat setiap tahun baru Imlek.

How To Get Singkawang
• Kota Singkawang dapat ditempuh dengan jalan darat dari Pontianak, kurang lebih sekitar 2,5 – 3 jam perjalanan. Jangan kawatir, jalan raya menuju Singkawang sudah mulus tak berbatu.
• Jika Anda ingin mengunjungi Singkawang saat perayaan Cap Go Meh, ada baiknya menggunakan jasa travel agen dari Pontianak dan pesanlah tempat jauh-jauh hari sebelumnya. Maklum, seputar imlek tingkat hunian hotel di Singkawang cukup padat. Di samping itu banyak perantau yang pulang kampung ke Singkawang.
• Selain nuansa etnis Tionghoa yang kental, Singkawang juga memiliki sejumlah pantai cantik yaitu Pantai Pasir Panjang berjarak 17 km, Pantai Gosong sekitar 45 km, dan Pantai Batu Payang sekitar 20 km dari kota Singkawang. Pastikan cream tabir surya Anda tak tertinggal!


(I wrote this article for mediahalo telkomsel customer newsletter, pamasuka area)