Wednesday, April 29, 2009

kangen nepali milk tea

ini menu sarapan kami di nepal..di sebuah warung kecil..

karena roti2 di nepal ukurannya raksasa..kami biasa membeli sepotong utk berdua..

waktu pulang ke jogja saya beli nepali tea 1/4 kg..bentuknya butiran2 kecil spt pasir. nikmat diminum tanpa gula.

karena kangen milk tea..lalu saya tambahkan susu bearbrand. enak sih, tp gak senikmat adonan di warung itu..soalnya mereka pake susu segar yak alias sapi tibet..!

--- Sent using a Sony Ericsson mobile phone

Tuesday, April 28, 2009

tibetan buddhis



monks and tibetan women in boudnath temple, kathmandu



a kid touching prayer wheels



a super star under the buddha eye's stupa

Wednesday, April 22, 2009

lorong dan dinding-dinding



“Bhaktapur yang saya lihat hari ini, nggak berbeda dengan 25 tahun lalu ketika saya pertama kali ke Nepal. Hanya sedikit saja berubah,” ujar Tom, bule asal Kanada, teman ngobrol saya sewaktu nonton festival menjelang Nepali New Year di Nyatapola Temple, Bhaktapur. Saya rasa Tom nggak bohong. Soalnya Bhaktapur merupakan kawasan yang dilindungi, yang masuk dalam UNESCO’s World Heritage List.

Di Lembah Kathmandu, Nepal, ada 7 kawasan yang masuk dalam daftar World Heritage, yaitu Durbar Square di Kathmandu, Patan, dan Bhaktapur, Stupa Buddha di Swayambunath dan Boudnath, dan Candi Hindu di Pashupatinath dan Changu Narayan.
Buat saya Bhaktapur yang paling mengesan. Selain karena tatanan kotanya masih utuh, saya juga punya kesempatan lebih lama mengeksplornya. Nggak sekedar singgah kayak turis, tapi saya tinggal di sana selama beberapa hari. Beruntunglah saya karena mendapat tumpangan tidur di rumah tradisional milik keluarga teman yang saya kenal lewat internet, yang kebetulan juga berada di kompleks heritage itu.

Bhaktapur yang dijuluki City of Devotees merupakan ibukota Lembah Kathmandu pada abad ke 14 hingga 16. Pada saat King Bhupatindra Malla memerintah, Beliau mendirikan bangunan-bangunan megah di kawasan Bhaktapur hingga abad ke-17. Sisa-sisa kemegahan itu tetap terjaga hingga kini, antara lain kompleks Royal palce dengan Durbar Square-nya yang bersisian dengan Taumadhi Square dan Nyatapola Temple. Memang sih, sejumlah restoran dan hotel kini juga bermunculan di kompleks heritage itu, termasuk para warganya yang mencoba mencari nafkah dengan membuka kios cinderamata. Tapi sepertinya kedua kepentingan antara kapitalisme tourisme dan menjaga warisan budaya itu berupaya untuk tampil harmonis dengan mengindahkan arsitektur lokal.



Untuk memasuki kompleks kota lama Bhaktapur, wisawatan asing diwajibkan membeli ticket pass sebesar US$ 10 yang berlaku untuk seminggu. Sebagai wisatawan yang menghargai warisan leluhur dan menyadari bahwa dana pelestarian bangunan bersejarah itu membutuhkan banyak dana, saya dengan penuh kesadaran membayar harga tiket yang sudah ditetapkan. Padahal kesempatan untuk curang sebenarnya terbuka lebar, karena pintu-pintu gerbang untuk memasuki kawasan Bhaktapur ini nggak terlalu ketat dijaga, penjaga loket hanya berjaga pada jam kerja. Sementara gerbang memasuki kawasan ini nggak ada pintunya yang bisa ditutup, sehingga pagi-pagi atau malam hari orang bisa leluasa masuk kawasan ini. Atau menyusur lorong-lorong kecil yang nggak berloket.

Memasuki gerbang kota tua Bhaktapur mengingatkan saya pada kawasan Jeron Beteng kraton Yogyakarta, tempat tinggal saya. Kawasan yang dibentengi tembok kraton itu bisa dimasuki lewat 5 plengkung, yaitu lewat Plengkung Ngasem, Plengkung Wijilan, Plengkung Panembahan, Plengkung Tamansari, dan Plengkung Gading. Di Bhaktapur, wisatawan biasanya masuk lewat Old Town Entrance Gate yang langsung disambut dengan keindahan arsitektur Royal Palace dengan 55 Windows-nya yang penuh ukiran serta Durbar Square, semacam alun-alun atau ruang public terbuka yang berlantai susunan bata merah.

Di Royal Palace itu terdapat Royal Bath alias tempat mandi Raja yang mengingatkan saya pada Tamansari Water Castle yang terletak nggak jauh dari rumah saya di Jogja. Bentuknya seperti kolam yang airnya menyembur dari mulut naga sementara badan naga mengelilingi tepian kolam. Tapi Royal Bath ini cuma terdiri dari satu kolam karena khusus digunakan sebagai tempat mandi King Malla. Kalau di Tamansari ada 3 kolam, 2 kolam untuk mandi para selir serta 1 kolam yang letaknya terpisah untuk mandi Raja dan selir yang lagi dapat giliran mandi bareng. Hehe…

Beberapa hari tinggal di Bhaktapur membuat saya jadi mengkomparasi dengan rumah joglo kami di Jeron Beteng yang berjarak hanya 200 meter dari Tamansari, 50 meter dari Regol Kemagangan (bagian belakang kraton), atau sekitar 400 meter dari Alun-alun Selatan dan Alun-alun Utara yang langsung menghubungkan Pagelaran Kraton Ngayogyakarta. Di Bhaktapur, di rumah Sadan Krishna tempat tumpangan saya, juga nggak jauh dari Royal Palace dan Durbar Square. Menurut peta Lonely Planet yang saya lihat, jaraknya sekitar 400 meteran. Kalau jalan kaki juga nggak nyampai 10 menit kok.

Sayangnya kawasan Jeron Beteng itu nggak masuk dalam daftar UNESCO World Heritage. Sudah terlalu banyak penghuni yang berjubal dan membangun rumah sesukanya di kawasan Sultan Ground. Mumpung gratis!

Selain mengingatkan saya pada Jeron Beteng, setiap kali menyusuri lorong yang membelah rumah-rumah berdinding bata merah di Bhaktapur, ingatan saya langsung melayang ke Kotagede, bekas wilayah kerajaan Mataram (Panembahan Senopati) yang terletak di bagian Timur Kota Yogyakarta.



Kotagede dan Bhaktapur sama-sama memiliki lorong-lorong panjang yang sempit diapit dengan dinding-dinding rumah tak berhalaman yang merapat pada jalan. Dinding-dinding bangunan rumah di Bhaktapur adalah tumpukan bata tak bersemen yang menjulang tinggi berbentuk persegi yang dilengkapi jendela berukiran indah. Sebuah pintu kecil dan pendek (watch your head!)terdapat pada bangunan bagian bawah. Hanya ada satu pintu untuk memasuki rumah bertingkat 3 – 4 lantai itu.

Pada bangunan bagian bawah itu biasanya digunakan untuk berbisnis, membuka kios yang menjual barang kebutuhan harian atau berdagang souvenir yang menggoda wisatawan. Mirip dengan suasana Kotagede sekitar tahun 80-an atau sewaktu saya masih bocah dulu. Sekarang orang-orang Kotagede yang berbisnis mulai membangun area parkir di depan kiosnya, sehingga bangunan kios sedikit lebih menjorok ke dalam, nggak rata dengan jalan.

Di antara dinding-dinding yang merapat dan menjulang tinggi itu biasanya ada sebuah celah, semacam terowongan selebar pintu yang tingginya hanya sekitar 160 cm sehingga jika melewatinya harus menundukkan kepala. Di sisi lain juga terdapat lorong yang menghubungkan dengan ruang public lain yang berbatas dinding, demikian seterusnya sambung-menyambung menjadi satu membentuk perkampungan besar.

Jika memasuki celah ini kita akan menemukan halaman luas, tempat anak-anak bermain dan ibu-ibu ngerumpi sembari merenda benang wol untuk dijadikan sweater penghangat. Public area berbentuk persegi yang dikelilingi dinding-dinding rumah suku Newari, penduduk asli Bhaktapur ini berfungsi semacam halaman rumah milik bersama. Kalau rumah orang Kotagede, halaman luas yang tersembunyi di balik dinding-dinding yang merapat jalan itu adalah milik perorangan, bukan milik bersama.

Di Bhaktapur, halaman bersama ini juga difungsikan sebagai tempat parkir motor bagi yang memiliki. Jumlahnya nggak banyak sih, hanya beberapa gelintir warga yang mampu membeli sepeda dan motor karena kondisi ekonomi mereka yang masih jauh di bawah pendapatan per kapita orang Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini. Mobil pribadi nyaris nggak ada. Selama beberapa hari tinggal di Bhaktapur, mobil yang saya temukan hanya taxi yang mengangkut turis.

Sebagian besar warga di kota lama Bhaktapur mengandalkan kaki untuk berjalan menyusuri lorong-lorongnya. Setiap pagi berduyun-duyun orang mulai memadati jalanan, keluar dari rumah kotak bata merah yang sempit. Yang ibu-ibu melakukan puja atau sembahyang pagi ke pura yang terdapat hampir di tiap sudut jalan. Yang laki-laki bersosialisasi dengan warga lain sambil minum teh di warung-warung. Sementara yang berdagang sayur, ayam, maupun souvenir juga mulai menggelar dagangannya.

Tau nggak, karena jumlah pejalan kakinya jauh lebih banyak ketimbang yang naik sepeda dan motor, udara di kompleks kota lama Bhaktapur ini jadi lebih seger, bebas polusi asap. Dan yang lebih penting, biar jalan jauh nggak keringatan, soalnya hawa di daerang ketinggian 1.450 M dari permukaan laut ini cukup dingin, sekalipun saya ke sana saat musim summer. Saya jadi semangat jalan kaki nih. Selain menyehatkan, juga bisa lebih fleksibel menyusuri lorong-lorongnya dan menyapa anak-anak yang riang berlarian.


TIPS wisata World Heritage
1. Yang utama adalah menumbuhkan kesadaran ikut menjaga warisan budaya yang tak ternilai harganya itu. Jangan main corat-coret dan buang sampah sembarangan, apalagi merusak situs.
2. Tiket masuk kawasan World Heritage biasanya memang lebih mahal apalagi biasanya pakai tariff US$. Tapi duit itu belum seberapa dibanding dengan biaya pelestarian yang harus dikeluargan tiap tahun. Jadi, anggap aja sebagai sumbangan atas kepedulian kita akan cagar budaya.
3. Jangan beli barang antik secara illegal. Lebih baik melapor dulu ke balai Arkeologi setempat.

Tuesday, April 21, 2009

jejak langkah



di Bhaktapur, Nepal



Nepal Telecom baru masuk Bhaktapur tahun 2063 (tahun Nepal) atau 2006 tahun Masehi




di depan National Picture Gallery, London



Nah lo, ada asenering berbentuk segitiga juga.
di Leeds, Northern England



lupa persisnya nemu di mana, tapi yang jelas di dekat sungai Thames, London



yang ini saat berlarian menyeberangi St. James Park, London

Thursday, April 16, 2009

ke NEPAL dalam duka



"Nepal itu di mana sih?" Tanya Alm. Ibu saya, persis 3 hari sebelum beliau berpulang pada Sang Khalik, 12 Maret 2009. Lalu Bapak mengeluarkan peta serta buku ensiklopedi dunia dan kemudian menunjukkannya pada Ibu. "Nepal itu di atas India dan di bawah China," jelas saya sambil menunjuk pada kotak kecil wilayah Nepal dalam peta. "Jadi apa yang menarik di negara sekecil ini?" Tanya Ibu lagi.

Saya lantas bercerita tentang Himalaya dengan Everest yang puncaknya tertingi di dunia. Dan Ibu segera paham karena lebih mengenal nama Himalaya ketimbang Nepal. Tapi kemudian saya tegaskan bahwa saya ke Nepal bukan untuk naik gunung. "Di sana banyak wisata budaya. Juga sebagai pusat agama Buddha karena Siddharta lahir di sana." Ibu lantas manggut-manggut sambil masih mengamati peta.

Kepulangan Ibu yang mendadak 3 hari setelah saya berpamitan itu, membuat saya & bojo sempet berencana membatalkan perjalan kami ke Nepal awal April 2009, sebelum 40 harinya Ibu. Menurut kepercayaan Jawa, sebelum 40 hari kematian, arwah almarhumah dipercaya masih berada di sekitar rumah. Karena itu ada baiknya penghuni rumah tidak melakukan perjalanan jauh.

Tapi karena semua tiket sudah saya beli sebulan sebelumnya, serta nggak memungkinkan untuk refund karena tiket promo, terpaksalah kami tetap berangkat. Meskipun waktu keberangkatannya dipadatkan beberapa hari dan harus nambah biaya upgrade untuk re-schedule tiket. Nggak tega rasanya ninggalin Bapak yang sekarang sendiri di rumah.

Ternyata, traveling dalam suasana berduka memang nggak nikmat. Ketidaknyamanan itu diperparah dengan masalah telekomunikasi yang masih payah di Nepal. Di saat saya membutuhkan untuk bisa keep in touch dengan Bapak setiap saat lewat SMS, sekedar untuk mengabarkan posisi dan kondisi kami serta mendengar kabar dari Jogja, rupanya jaringan telekomunikasi mobile di Nepal belum dibuka akses internasionalnya (outbond). Sehingga simcard Indonesia nggak bisa aktif di Nepal (meskipun sebelum berangkat pihak provider memastikan sudah bekerja sama dengan provider lokal di Nepal). Sementara simcard lokal (Mero Mobile) yang kami pakai selama di Nepal, hanya bisa digunakan untuk berkomunikasi di Nepal (inbond), kirim SMS dan nelpon ke Indonesia tapi nggak bisa menerima SMS balik dari Indonesia. (Padahal kalau baca buku panduan dan website, fitur layanannya lumayan memuaskan, GPRS, MMS, international roaming, dll. Tapi saya nggak pernah berhasil mengaktifkan GPRS-nya dan hanya mendapat jawaban "wait for 30 minutes" melulu.)

Persoalan telekomunikasi ini sebenarnya sudah sempat kami pelajari sebelum berangkat. Sebenarnya pun nggak terlalu masalah nggak bisa terima telpon atau SMS balik dari Indonesia. Itung-itung sekalian nyepi, melupakan sesaat rutinitas pekerjaan dan utang-utang kartu kredit yang belum terbayar (hehe...). Masalahnya, dalam suasana berduka begini, saya pengin tetep bisa berkomunikasi secara lancar. Jadi kalau ada apa-apa, bisa langsung bertindak siaga.

Hari pertama tiba di Kathmandu, saat pesawat mendarat dan ponsel Indonesia kami menyampaikan pesan "limited service", pikiran saya langsung awut-awutan. Begitu tiba di hostel dan meletakkan ransel, saya langsung berburu simcard lokal di kawasan Thamel.

Membeli kartu perdana di Nepal ternyata nggak sesederhana kita beli perdana di Indonesia. Selain harus ngisi dan menandatangani form yang ditulis pake huruf Nepal (tentu saja dibantu pemilik kios ponsel), kita juga harus melampirkan fotocopy passport, copy visa, dan 1 lembar pas foto berwarna. Karena saya butuh 2 kartu untuk saya dan bojo, meskipun dua-duanya pake nama sama, tetep aja harus mengisi 2 form dan melampirkan kopian ID tersebut serta 2 pas foto. Nggak praktis banget kan?

Karena nggak ready dengan fotocopy-an Visa On Arrival yang kami dapat saat mendarat di bandara tadi, kami pun harus mencari tukang fotocopy yang juga nggak mudah didapat di Thamel. Harus menyusuri jalan berdebu dan macet untuk menemukan kios fotocopy imut itu. Lalu balik lagi ke kios ponsel untuk menyerahkannya, setelah membuat si tukang fotocopy sedikit keki karena saya membayarnya dengan selembar uang Rs 500 padahal ongkosnya cuma Rs 5. "Do you have the small one?" tanyanya ketika saya menyodorkan lembaran uang lecek yang saya terima dari Money Changer di Bandara. "No, I haven't. Sorry, I just arrived in Kathmandu," jawab saya sambil menunjukkan lembaran lainnya berupa seribuan Nepal Rupees. Meski bersungut, ia harus maklum, sambil mengorek-ngorek recehan dari lacinya.

Akhirnya saya berhasil mengaktifkan simcard lokal setelah menyerahkan semua kopian ID dan mengisi 2 lembar form serta membayar Rs 1.100 atau sekitar Rp 165.000 dengan pulsa sebesar Rs. 100 atau Rp 15.000. Buru-buru saya kirim SMS ke Indonesia mengabarkan bahwa provider di Indonesia itu sudah berbohong karena ternyata nggak bisa on setiba di Nepal sekalian menginfo nomor simcard lokal kami. Tunggu punya tunggu, SMS itu tak berbalas. Hanya ada report error dari customer service yang membuat saya makin gelisah. Udah SMS-nya error, pulsanya berkurang banyak pula.

Kemudian berlarilah saya ke warnet yang ndilalah nggak jauh dari kios ponsel itu. Mengaktifkan YM! dan berkomunikasi dengan temen di kantor, minta tolong temen untuk nyoba-nyoba nelponin ke nomor Nepal saya atau ngirim SMS lewat segala provider Indonesia. Hasilnya nihil! SMS yang saya kirim bisa diterima dengan baik, tapi saya bak orang tuli nggak bisa menerima balasan SMS dan telpon mereka. Celaka!

Demi memastikan kondisi di rumah (Jogja) baik-baik saja, saya lantas menelpon ke Indonesia, menghubungi Bapak dan menyampaikan masalah telekomunikasi ini. Karena telekomunikasi hanya bisa dari satu pihak, jadilah saya rajin nelpon ke rumah untuk cek & ricek. Boros juga sih, tapi apa boleh buat. Daripada kenapa-napa kan?

(Setelah beberapa hari jadi ponsel budeg sebelah, tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal dengan +4561xxxxxx. Saya bingung dengan kode negara +45 itu. Tapi begitu saya angkat, oh...rupanya Ywed yang pake nomor Matrix Indosat yang seharusnya +62816xxxxx. "Loh, kok kamu bisa menelponku sih?" tanya saya keheranan. Dan kenapa yang muncul angka +45 yang berarti kode negara Denmark ya? Padahal saat itu dia lagi di Seminyak!)

Tuesday, April 14, 2009