Monday, May 25, 2009

pintu biru bata merah


Saya terpesona pada dinding bata merah, yang merupakan bangunan khas arsitektur rumah tradisional Nepal. Juga jendela-jendela kayu tak berkaca, tempat para perempuan melongokkan kepalanya, melihat dunia luar.

Rumah bata merah dengan pintu dicat biru menyala ini sungguh eye-catching. Edo langsung meminta saya berfoto di depannya. "Mumpung kamu juga lagi pake baju merah," katanya. Kontras yang asyik di mata.

Jadilah saya bergaya-gaya di sana. Belum puas bergaya, tiba-tiba bocah pemilik rumah nyelonong masuk. Hehe...maaf ya, Dik..numpang mejeng. rumah kamu keren deh...


(location: swayambunath hill, kathmandu)



Sunday, May 24, 2009

on the road to nagarkot - nepal

,

wwaaa....penumpangnya berjubal bangeettthh....naik belakangan aja aaahhh...daripada sesak napas...



hiiyyaaa...setelah satu setengah jam berjubal bak sarden di dalam bus yang seharusnya cuma untuk 26 penumpang...akhirnya nyampe juga di nagarkot. dan inilah jalan berliku, sempit, dan menanjak yang dilalui bus uyuk-uyukan ini..., menuju ketinggian 1.950 m dari permukaan air laut...


Saturday, May 23, 2009

riyani djangkaru & matatita


kabar ini datang dari penerbit lewat ym! "mbak, riyani djangkaru sudah bersedia memberikan endorsment untuk matatita"

waw..great!

ada 2 nama yang saya usulkan pada penerbit untuk memberikan endorsment pada buku catatan perjalanan matatita (judulnya masih rahasia ya....) yang menurut rencana akan beredar di pasaran pada bulan juni/juli..pas musim libur anak sekolah.

salah satu di antara 2 nama itu adalah riyani djangkaru. kenapa riyani? alasan paling sederhana adalah karena saya penonton setia "jejak petualang" hanya ketika riyani masih menjadi host-nya. hehhee...! soalnya presenter2 berikutnya nggak seseru penjelajahan yg dilakukan riyani siy..:D. tapi lebih tepatnya, pada saat itu jejak petualang masih cukup banyak menelusuri daerah2 pedalaman indonesia seperti papua dan nusa tenggara. juga banyak menampilkan prosesi/upacara adat di pedalaman, nggak melulu naik turun gunung dan menyelami lautan.

saya rasa, pengalaman riyani djangkaru menyusuri pedalaman indonesia dikit2 mirip dengan yang dilakukan matatita. di bukunya, matatita banyak berkisah tentang perjalanannya menelusuri tempat-tempat eksotis di pedalaman (termasuk di beberapa negara asia), tinggal bersama penduduk setempat, menyukai angkot dan pasar tadisional karena di situlah ia bisa bertemu penduduk lokal, menghadiri beberapa festival dan upacara adat, juga menyusuri situs-situs heritage yang menunjukkan kejayaan masa lalu.

nama kedua yang saya usulkan masih berusaha dihubungi penerbit. nama lelaki itu, saya harapkan banget bisa memberikan endorsment untuk matatita. memang, dia tidak sepopuler riyani djangkaru, setidaknya di kalangan anak muda. tetapi media yang dipimpinnya (edisi indonesia) sudah dikenal luas dan dijadikan referensi utama untuk kegiatan penjelajahan dan observasi. semoga pihak penerbit bersedia sedikit lebih bersusuah payah untuk mendapatkan endorsment-nya ya.

sebenarnya ada nama lain yang ingin saya usulkan untuk memberikan endorsment, yaitu ian wright, host "globe trekker" yang sableng. atau anthony bourdin, si ganteng yg menjadi host "no reservantions". wekekekk...

dilarang makan pinang




Bagi yang sudah pernah ke Papua menggunakan pesawat, pasti akan menemukan stiker larangan makan pinang yang ditempel di kaca-kaca ruang tunggu Bandara Sentani. Mau tahu kenapa sampai sebegitu gencarnya pihak Angkasa Pura membuat larangan makan pinang selama di bandara?

Nih, lihat contohnya, bekas kunyahan pinang yang diludahkan di sepanjang jalan beraspal. Nggak rela kan, kalau lantai keramik Bandara Sentani yang kinclong itu jadi penuh bercak kemerahan....




(noda-noda pinang ini difoto di jalan dekat bandara, Wamena - Kab. Jayawijaya)

Saturday, May 16, 2009

the story of gudeg


The young jackfruit cooked in coconut milk with spices that known as gudeg is the most popular Jogjanese food. There are two kinds of gudeg cooking. First is dry gudeg that cooked more than twice or overcooked. The colour is dark brown and the taste is sweet. The dry gudeg usually served with cassava leaf, dark brown boiled egg, and krecek, crisp beef rind. This food is popular as gift brought back from Jogja because the dry gudeg is very durable for 4 – 5 days.

Different from the first type, the wet gudeg is cooked only once. The taste is not as sweet as the dry gudeg and served with areh, coconut milk that has been simmered until thick. Some people from other city commonly like this type because its taste more deliciously oily and salty. But they couldn’t brought back because wet gudeg is not durable.

The Gudeg sellers are commonly come from Bulaksumur village, north of Jogja city. Before the University of Gadjah Mada was built at Bulaksumur, the jackfruit plants thrive on this village. Then the villagers not only cooked the young jackfruit for their family but also peddled the Gudeg to other places of Jogja city.

Some people from Bulaksumur village have no permanent gudeg stall. Every morning they paddled their bike that carried gudeg food. They sell the gudeg at the sidewalk. In the afternoon, when the food sold out, they back home to prepare the food that will be sell at night.

Nowadays, we could find gudeg in 24 hours a day. Gudeg stalls at kampong Barek - Bu-laksumur are commonly open in the early morning. At noon, we could visit kampong Wijilan near the Kraton to get gudeg for lunch. In the evening, gudeg stalls are easily to find in Jogja main roads, like Jl. Malioboro, Jl. Bigjend Katamso, Jl. Solo. Jl. P. Mangkubumi, Jl. Sultan Agung, etc. The night gudeg stalls are known as warung lese-han, stall that spread out on the ground. Even, in the middle of the night, we could enjoyed gudeg in gudeg pawon at Jl. Kusumanegara.

Thursday, May 14, 2009

little guide



she is 8, cute, and could speak english little..:D

location: bhaktapur, nepal

Monday, May 11, 2009

Ambon: Queen of The East



Sejak abad ke 15, kota Ambon telah dikenal bangsa Arab dan Eropa sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Pada pertengahan abad ke 17, Ambon berkembang menjadi kota dagang dan administrasi yang menghubungkan seluruh kepulauan Maluku. Konon, ramainya perdagangan cengkeh dan rempah-rempah di Ambon pada masa itu lebih sibuk daripada kota-kota dagang lain seperti Batavia, Malacca, dan Manila. Bahkan orang Belanda sempat menjuluki Ambon sebagai “Queen of the East”. Sayangnya pembomban yang terjadi pada masa Perang Dunia II telah menghancurkan arsitektur colonial Ambon sebagai kawasan dagang paling sibuk di Maluku.

Setelah masa kemerdekaan, Ambon kembali menata puing-puing dan tumbuh kembali menjadi pusat perniagaan dan pemerintahan provinsi Maluku. Sejak awal tahun 1970an pertumbuhan kota Ambon mulai tertata dan terarah sesuai dengan rencana pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Sayangnya, konflik Ambon yang terjadi pada 19 Januari 1999, kembali menghancurkan infrastruktur dan tatanan sosial ekonomi politik kota Ambon.

Butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikan konflik di Ambon tersebut. Sejumlah pengamat sosial menilai bahwa penyelesaian konflik di Maluku membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun. Namun berkat dukungan dari seluruh kekuatan masyarakat Maluku dan berbagai pihak terkait, dalam waktu kurang lebih 3 tahun konflik di Maluku dapat terselesaikan dengan damai.


Kini, setelah 10 tahun konflik berlalu, Ambon kembali membangun dengan mengedepankan nilai-nilai dan kearifan lokal yaitu Pela dan Siwalima yang menjunjung tingga kerukunan sehingga tercipta kesejahteraan bersama. Masyarakat Ambon yang multikultur dan cinta damai merupakan sumber daya utama untuk membangun Ambon yang namanya sudah mendunia sejak abad ke 15.

Ambon memiliki banyak potensi untuk dikembangkan selain cengkeh dan rempah-rempah yang menjadikan bangsa Eropa, Arab, Cina, dan Jepang berdatangan. Sumber daya kelautan merupakan potensi lain yang dapat meningkatkan perdagangan perikanan maupun wisata bahari. Event tahunan Darwin – Ambon Yach Race yang sudah terselenggara sejak tahun 1976 – 1998 dan kembali dilangsungkan lagi pada tahun 2007 dan 2008 merupakan salah satu bukti betapa Ambon masih tetap mempesona dunia.

Sunday, May 10, 2009

riyani djangkaru & matatita


kabar ini datang dari penerbit lewat ym! "mbak, riyani djangkaru sudah bersedia memberikan endorsment untuk matatita"

waw..great!

ada 2 nama yang saya usulkan pada penerbit untuk memberikan endorsement pada buku "tales from the road", catatatan perjalanan yang idenya diambil dari tulisan-tulisan yang pernah saya posting di matatita.com.

salah satu di antara 2 nama itu adalah riyani djangkaru. kenapa riyani? alasan paling sederhana adalah karena saya penonton setia "jejak petualang" hanya ketika riyani masih menjadi host-nya. hehhee...! soalnya presenter2 berikutnya nggak seseru penjelajahan yg dilakukan riyani siy..:D. tapi lebih tepatnya, pada saat itu jejak petualang masih cukup banyak menelusuri daerah2 pedalaman indonesia seperti papua dan nusa tenggara. juga banyak menampilkan prosesi/upacara adat di pedalaman, nggak melulu naik turun gunung dan menyelami lautan.

saya rasa, pengalaman riyani djangkaru menyusuri pedalaman indonesia dikit2 mirip dengan yang dilakukan matatita. di bukunya, matatita banyak berkisah tentang perjalanannya menelusuri tempat-tempat eksotis di pedalaman (termasuk di beberapa negara asia), tinggal bersama penduduk setempat, menyukai angkot dan pasar tadisional karena di situlah ia bisa bertemu penduduk lokal, menghadiri beberapa festival dan upacara adat, juga menyusuri situs-situs heritage yang menunjukkan kejayaan masa lalu.

nama kedua yang saya usulkan masih berusaha dihubungi penerbit. nama lelaki itu, saya harapkan banget bisa memberikan endorsment untuk matatita. memang, dia tidak sepopuler riyani djangkaru, setidaknya di kalangan anak muda. tetapi media yang dipimpinnya (edisi indonesia) sudah dikenal luas dan dijadikan referensi utama untuk kegiatan penjelajahan dan observasi. semoga pihak penerbit bersedia sedikit lebih bersusuah payah untuk mendapatkan endorsment-nya ya.

sebenarnya ada nama lain yang ingin saya usulkan untuk memberikan endorsment, yaitu ian wright, host "globe trekker" yang sableng. atau anthony bourdin, si ganteng yg menjadi host "no reservantions". wekekekk...

ps.
mengingat ide penulisan buku "tales from the road" diambil dari sebagian dari kisah perjalanan yang saya posting di blog ini, so...mohon maaf jika ada beberapa artikel yang tidak lagi bisa diakses ya...

but don't worry...saya tetap akan menuliskan kisah perjalanan saya di sini kok..meskipun sekarang juga sudah bikin another personal blog mampir ke sini ya... http://matatita.net

ikuti info-info lebih lanjut tentang buku "tales from ther road" di matatita[dot]net ya....

Friday, May 8, 2009

hah, 400 halaman?

Minggu ini adalah jadwal lay-out buku travelogue matatita yang rencananya beredar bulan Juni. Yang mengejutkan, kabar dari editor pagi ini: "Mbak, bukumu jadinya tebel banget. Sekitar 400-an halaman."

Saya terperanjat. Nggak mengira akan jadi sebanyak itu. Materi yang saya setor ke penerbit hanya sekitar 125 halaman spasi satu dengan font kesukaan saya, Trebuchet 11 point. Ada sekitar 40 judul artikel di dalamnya yang terbagi menjadi 4 chapter sesuai tema tulisan.

Selain tulisan yang sudah saya setor itu, di laptop saya masih ada 16 judul tulisan yang baru separoh jalan. Itupun masih sangat mungkin bertambah menjadi beberapa judul lagi. (Biasanya, kalau lagi ngetik sering muncul ide dadakan).

Sebenarnya saya sendiri merasa kurang optimal menulis. Prose penulisan itu baru mulai saya lakukan pertengahan Februari 2009. Itupun nggak intens. Penulisan bener-bener terhenti sejak Mamah masuk rumah sakit karena serangan stroke pada tanggal 11 Maret dini hari dan akhirnya berpulang pada Sang Khalik esok paginya 12 Maret 2009. Praktis setelah itu saya nggak membuka file-file tulisan sama sekali.

Hampir sebulan saya nggak peduli dengan tulisan yang sebagian sudah saya e-mail ke penerbit. Saya baru mulai menulis lagi menjelang akhir April, mungkin sekitar tanggal 20-an setelah berdiskusi dengan Editor. Saya berjanji akan menuntaskan tulisan tersebut pada tanggal 30 April 2009 (Kamis). Yang lagi-lagi meleset, karena ada acara ke luar kota. Dua hari kemudian, SMS dari CEO penerbit datang. "Nggak sabar pengin baca nih," tulisnya di SMS yang membuat saya jadi tahu diri. "Hehe, Selasa ya Mas," jawab saya singkat.

Meski masih banyak ide yang pengin ditulis, tapi Selasa sudah menjadi harga mati. Saya nggak boleh mengacaukan jadwal cetak penerbit yang sudah disiapkan sejak awal. Jadilah apa yang sudah terketik saja yang saya setorkan. Sebanyak 125 hal spasi tunggal itu.

Ternyata, jumlah itu kebanyakan! "Buat buku berikutnya aja, Mbak. Seri 2," kata Editor. Hihi.., iya juga sih. Kan saya masih punya banyak celengan tulisan yang belum tuntas. Menarik juga idenya. Saya pun nyicil ayem karena masih punya waktu lebih longgar untuk menulis lagi dan memfokuskan tulisan dengan tema yang berbeda dari yang travelogue pertama.

Saat ini editor tengah memilah dan memilih beberapa tulisan yang akan didrop. Ada sekitar 100 halaman yang harus lengser, nggak naik cetak. "Supaya harga jualnya lebih terjangkau," katanya lagi. Dan saya setuju. Lagi pula, segmen pembaca travelogue matatita ini adalah anak muda, menjelang dewasa, yang tentunya nggak terlalu jor-joran untuk membeli buku. Kalau bisa sih malah minjem temen aja.

Selagi editor mengedit, saya dan timkreatif REGOL tengah menyiapkan disain cover-nya.