Tuesday, June 30, 2009

beli onlen aja....



Nggak sabar nunggu bukunya nongol di toko buku di kotamu? Atau nggak sempet pergi ke toko buku? Pesen langsung di sini dan dapat bonus tandatangan penulis lengkap dengan travel quotation dari Matatita.



Harga buku Rp 32.000 (tanpa diskon, incl. Matatita's signature & travel quotation). Harga tidak termasuk ongkos kirim.



Pesan tertulis lewat E-mail: shop@talesfromtheroad.info Sertakan nama, alamat lengkap, dan no hp. Alamat lengkap diperlukan untuk menentukan ongkos kirim. Rincian biaya dan ongkos kirim ke kota tujuan serta nomor rekening akan diinformasikan lewat E-mail balasan.

Eh ya, kalau mau kaos juga ada loh. Beli paket bundling (buku + tandatangan + pembatas buku + kaos) cuma Rp 75.000 (belum termasuk ongkos kirim). Tapi kalau pengin kaosnya aja, boleh juga kok..50 ribu saja (size: XL/L/M/S)









Monday, June 29, 2009

TALES @ gramedia


TALES from the ROAD tersedia di GRAMEDIA Grand Indonesia - Jakarta.
buat yang belum menemukan di toko buku..mendingan beli onlen ajah...kirim e-mail ke shop@talesfromtheroad.info





Wednesday, June 24, 2009

meet MATATiTA at Pesta Buku Jakarta


Halo Jakartaaa....! Ketemuan di Pesta Buku, yuks...! Ada diskon 20% buat TALES from the ROAD plus tandatangan aseli dari Matatita. Eh, boleh juga foto-foto bareng. Hehe...traveller juga narsis loh...

So, segera tandai kalender mejamu dan pasang alarm untuk agenda yang satu ini: SABTU, 27 Juni 2009, jam 17.00 Wib di Stand Buku MIZAN, Istora Gelora Bung Karno - Senayan JAKARTA.



Monday, June 22, 2009

TERBIT = belajar bikin tanda tangan...



Serius..itulah kesibukan saya dua hari ini, sejak mendapat kabar dari penerbit bahwa TALES sudah akan mulai didistribusikan hari ini, Senin 22 Juni 2009. Meski baru akan masuk ke toko-toko buku paling cepat besok pagi, dan paling cepat lusa saya bisa melihat wujud aslinya, tapi sejak Sabtu kemarin saya sudah sibuk sendiri. Sibuk bikin tanda tangan kayak waktu mau lulus SD karena harus menandatangani ijasah!

Ini gara-gara saya tidak menggunakan nama asli, Suluh Pratitasari, dan memilih menggunakan MATATITA sesuai nama domain travelblog saya.

Berlembar-lembar kertas saya habiskan untuk mencoret-coret.

"Mbak, hari Sabtu besok bisa book-signing di Pesta Buku Jakarta kan?" Ditta, bagian promosi penerbit mencolek saya lewat YM! Membuat saya makin gencar berlatih tanda tangan. Duh, jangan-jangan kalo keseringan tandatangan "matatita", ntar giliran menandatangi slip kartu kredit bisa salah nih. Hihiii...

Selain mengarang tandatangan, kegiatan yang cukup menyibukkan saya adalah mengarang TRAVEL QUOTATION yang ingin saya bubuhkan khusus untuk pembeli buku via onlen. Saya terinspirasi Anita Roddick yang bukunya saya temukan di toko buku bekas. Di bukunya yang berjudul Body and Soul, Anita membubuhkan tandatangan dan quotation untuk salah seorang pembacanya yang bernama Donnie. Begini tulisnya: "Be courageous. It's the only place left uncrowded!" Meskipun Donnie kemudian meloakkan buku itu, tidak menyimpan dalam rak bukunya, tetapi quotation yang ditulis Anita Roddick toh bisa menginspirasi saya, yang ndilalah nemu buku itu di indonesia.

Dan, kenapa saya tidak mencontohnya ya?

Friday, June 19, 2009

bersiap ngopi bareng traveller




Begitu tahu bahwa travelogue saya segera terbit, seorang kawan berkomentar, "Sembari minum Kopi harus segera dibuat lagi. Kali ini juragane sing dadi seleb!"

Sembari Minum Kopi (SMK) adalah forum obrolan penulis yang saya bentuk sejak tahun 2007. hingga kini belum banyak event yang kami selenggarakan, tetapi dari yang hanya beberapa kali itu SMK berupaya menghadirkan penulis-penulis kreatif yang bermutu, seperti Andrea Hirata, Putu Fajar Arcana, Kris Budiman, dan bahkan sastrawan besar Sapardi Djoko Damono. Penginnya memang bisa rutin, tapi apa boleh buat, kami masih belum punya tim yang khusus menangani event tersebut. Dengan kata lain, SMK kami selenggarakan sebagai "ekstra kurikuler" di luar rutinitas kantoran (meskipun kantor sendiri juga siy...)


SMK punya niat mulia, yaitu menghadirkan penulis tertentu untuk berbagi tips dan menulari krativitas pada peserta. Karenanya, tema obrolan pun beragam, mulai dari tips MenuliskanKisah Perjala
nan (bersama Andrea Hirata & Fatimah Zahra), Menulis Novel Etnografi (Putu Fajar Arcana & Kris Budiman), hingga bagaimana Menulis Puisi Cinta (bersama Sapardi Djoko Damono). Mini seminar tersebut disajikan secara cuma-cuma alias gratis, berkat kerjasama sejumlah pihak.

Sempat pula kepikiran untuk merancang obrolan lanjutan ke dalam format workshop penulisan sesuai tema-tema di atas. Hanya saja, ya itu tadi, SMK masih belum ditangani oleh tim khusus, masih sambil lalu. Sehingga gagasan tentang workshop pun masih belum terealisir.

Kini, setelah saya menerbitkan buku sendiri, yang sedikit banyak juga hasil hasutan Andrea ketika saya mengundangnya untuk menjadi narasumber dalam obrolan kopi "Menulis Kisah Perjalanan", saya tergelitik untuk mewujudkan gagasan membuat workshop penulisan. Wong nyatanya saya juga bisa nerbitin buku kok. Jadi nggak ada salahnya jika saya menularkannya pada yang lain kan?

Jadilah hari ini saya ingin berjanji. Berjanji membuat forum obrolan untuk traveller dan travel writing workshop. Dukung saya ya!

Tuesday, June 9, 2009

tentang JUDUL

Kenapa sih judulnya harus pake bahasa Inggris, TALES from the ROAD? Agak susah saya menjawabnya. Jawaban paling sederhana adalah karena judul itu sudah saya gunakan sejak lama di travelblog saya www.matatita.com . Itu pula sebabnya saya menggunakan nama MATATITA dan bukan nama asli saya Suluh Pratitasari untuk buku travelogue ini.

Sementara alasan yang sedikit argumentatif adalah bahwa travelling merupakan aktivitas global, yang berupaya mengunjungi tempat-tempat lain, melewati berbagai batas wilayah dan kebudayaan. Bahasa Inggris (sekalipun ala tarzan) hingga kini masih dinobatkan sebagai bahasa Internasional yang digunakan para pejalan dari berbagai budaya dan bahasa untuk bisa saling berkomunikasi.

Jadi, jika kemudian buku ini menggunakan bahasa Inggris sebagai judul utama dan sub judul yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, bukan dimaksudkan untuk gaya-gayaan atau sok kebarat-baratan apalagi menempatkan bahasa sendiri sebagai kelas dua. Bagi saya, kedua bahasa yang digunakan ini merupakan simbol pertemuan antar dua budaya yang berbeda dan kemudian saling berkompromi, sebagaimana yang biasa dihadapi para traveller ketika menjelajah ke suatu tempat nun jauh dari kampung halamannya.

Monday, June 8, 2009

edorsement dari Riyanni Djangkaru

"Pastinya, buku ini tidak hanya soal traveling," komentar Riyanni Djangkaru, mantan presenter Jejak Petualang itu memberi penegasan bahwa TALES from the ROAD (selanjutnya disingkat TALES) bukanlah travel guide-book sebangsa Lonely Planet. Jangan berharap menemukan petunjuk "how to get there", "when to go", maupun "recommended hotel" di buku saya ya.

Lalu, apa yang bisa didapat dengan membaca TALES from the ROAD?


"Salah satu esensi mengunjungi suatu lokasi adalah bisa merasakan perbedaan yang ada, bagaimana pemahaman kita terhadap suatu perbedaan dan menerimanya sebagai suatu sudut pandang baru …." tulis Riyanni lagi. Di endorsement yang ditulisnya untuk TALES, Riyanni mengungkapkan bahwa perjalanan wisata seringkali dianggap sebagai "kunjungan singkat" ke obyek-obyek wisata yang sudah populer termasuk tempat yang memiliki pemandangan indah dan memberikan kenyamanan. Padahal bukan itu esensi dari traveling.

Saya jadi teringat kata Andrea Hirata. Sekitar akhir 2007 lalu, saya membuat obrolan kecil-kecilan bertema "Menuliskan Kisah Perjalanan" dengan nara sumber Andrea Hirata. Saat itu saya begitu terkesan dengan Edensor, novel ketiganya yang menurut saya bisa dimasukkan dalam genre kisah perjalanan (travelogue). Andrea sendiri rupaya juga bersemangat mengisi forum obrolan sembari minum kopi yang saya adakan itu.

Sebagai moderator acara, saya memintanya untuk membocorkan kiatnya bisa menuliskan novel perjalanan yang detil dan menarik itu. Katanya, "jangan terjebak pada keindahan sebuah obyek wisata." Karena jika kita sudah terjebak pada keindahan suatu tempat, kita hanya bisa menuliskan keindahan itu yang nggak beda dengan brosur-brosur wisata. Andrea kemudian memberikan tips khusus agar perjalanan wisata menjadi berkesan, "mencobalah terlibat dengan aktifitas warga setempat. Misalnya ikutan memanen buah anggur di Eropa seperti yang pernah saya lakukan."

Saya setuju banget dengan apa yang dikatakan Andrea. Bagi saya traveling is experiencing different cultures. Saat di mana saya belajar tentang kehidupan bersama orang-orang dari berbagai kebudayaan. Ketika merencanakan traveling (atau seringnya karena perjalanan dinas), yang saya cari bukanlah obyek wisata, tetapi di mana saya bisa bertemu dengan penduduk lokal. Buat saya berada di antara penduduk setempat merupakan "traveling yang sesungguh"nya.

Nah, pengalaman berada di antara orang-orang dari berbagai daerah dengan latar belakang kebudayaan yang beragam itulah, yang menjadi tema utama dalam penulisan ini. Pertemuan dengan penduduk lokal itu bisa terjadi dalam berbagai situasi: dalam perayaan adat yang meriah, ditipu calo yang membuat saya jadi uring-uringan, ditipu sopir taksi, atau bahkan dihadang orang yang mengaku sebagai intel.

Perjalanan wisata tidak selamanya indah dan mudah, tetapi penuh liku dan perjuangan. Keberhasilan meloloskan diri dari semua hambatan itu, merupakan oleh-oleh paling berharga yang saya miliki disamping foto-foto perjalanan yang menghabiskan bermega-mega piksel. Lewat buku ini, saya pengin membagikan oleh-oleh termahal itu.

Thanks Riyanni, kamu berhasil menangkap gagasan saya tentang experiencing different cultures!

Thursday, June 4, 2009

kisah COVER


Sebelum akhirnya penerbit memilih salah satu disain cover, inilah ketiga disain yang saya siapkan bersama timkreatif REGOL, perusahaan kreatif yang saya kelola. Puas banget rasanya, nulis buku yang covernya didisain sama tim sendiri. heheheh...

Sekarang, ijinkan saya berbagi kisah tentang cover buku ini...


Ide menggunakan foto jejak kaki ini muncul tak sengaja. Selagi melihat-lihat koleksi foto traveling sepulang dari Nepal, tiba-tiba saya tersadar bahwa ternyata saya memiliki sejumlah foto jejak kaki di atas lempengan logam yang ditanam di permukaan tanah seperti itu.

Lalu, jadilah kegemaran memotret jejak kaki itu sebagai ilustrasi cover. Mumpung juga pas dengan judulnya, TALES from the ROAD. Dan karena kisah perjalanan saya lebih banyak menyusuri tempat-tempat eksotis yang kaya keragaman budaya, dipilihlah jejak kaki di atas asenering berupa lempengan logam yang bertuliskan huruf Nepal. Jangan bertanya apa bunyinya karena saya tidak bisa membaca huruf Nepal itu (sekedar catatan, di Nepal terdapat lebih dari 90 bahasa daerah!).

Yang terpenting dari lempengan logan Nepal itu adalah muatan lokal dan tradisional yang tercermin dari ukiran huruf tersebut. Penginnya sih, supaya semakin menguatkan perjalanan yang saya lakukan bukan adventure naik turun gunung apalagi shopping dari mall ke mall. Tapi untuk experiencing different cultures.

Semangat mengalami kebudayaan lain itu juga diperlihatkan lewat image-image di atasnya: Prajurit Kraton yang sudah sepuh, perempuan papua yang wajahnya tengah dirias, perempuan Nepal yang menjalani ritual pagi dengan sesaji di piring, serta perempuan Bali yang menyunggi sesaji. citra-citra itu mewakili interest saja pada seni, budaya, dan tradisi lokal di tiap-tiap tempat yang saya kunjungi.



endorsement dari wartawan senior TEMPO

Bertanyalah saya pada Editor, "kalau minta endorsement harus ngasih fee atau honor nggak sih?" Dan ternyata tidak ada honor. "Kalau minta Kata Pengantar, baru ada honornya," jawabnya.

Jadi, jika kemudian ada yang bersedia memberikan endorsement untuk buku saya tanpa bayaran, tentulah saya harus menaruh hormat atas penghargaannya. Bayangkan, diantara kesibukannya, mereka harus meluangkan waktu khusus membaca naskah saya yang tebalnya lebih dari 100 hal ketik spasi tunggal. Sudah begitu, nggak hanya satu kalimat yang mereka berikan, malah beberapa paragraf sehingga Editor harus jeli memilih kalimat yang tepat untuk dipajang di cover buku.

Endorsement dari mbak Mardiyah Chamim, misalnya. Direktur Eksekutif TEMPO Instititue yang juga mengelola situs www.acehjourney.net, memberi komentar yang cukup banyak untuk tulisan saya. Saya mendapat forward dari Editor, endorsement utuh yang belum dipilih. Ijinkan saya mengutipnya beberapa bagian ya....

Matatita, pilihan nama yang menarik. Ada kesan kepolosan, kejelian mengeksplorasi hal-hal baru, cerdik, dan sekaligus bermain-main di situ. Ramuan yang jelas dibutuhkan seorang penulis perjalanan –genre penulisan yang belakangan makin digemari. (hihi...bahkan dia mengomentari internet nickname yang kemudian kupake sebagai pesudonim)

Jika ada yang disebut kelemahan, paling-paling hanya karena Jeng Tita terlalu mengikuti gaya bahasa lisan khas Jogja yang kadang agak susah dipahami –terutama buat yang bukan orang Jawa. Namun, kekurangan ini sekaligus juga menjadi kelebihan Tita. Dengan jurus bertutur lincah begini, warna-warni pengalaman Tita menjadi jauh lebih hidup.(nah kan...ketangkep lagi deh jawa-nya saya! emang nggak bisa berbahasa indonesia yang baik...)

Tita membagi bab-bab dalam bukunya secara tematik. Ini jurus yang menarik karena menghindarkan Tita dari kecenderungan menulis itinerary perjalanan yang membosankan. Tema demi tema mengalir lancar, mulai tips praktis bertualang murah, bepergian dengan TKI yang lugu-konyol-mengharukan, sampai ritual menstruasi yang membikin Tita kelimpungan saat menginap di tengah Suku Dayak Benuaq, di pedalaman Kalimantan Timur.(hehe...setelah baca travelogue-ku nemu ide apa mbak?

Terus-terang, buku Tita membuat saya ‘cemburu’.(wwwaaaaa....jadi redaktur senior TEMPO kan malah lebih banyak jajah negara milangkori-ne tho mbak...!)

Endorsement adalah penghargaan tak terkira untuk penulis. Karenanya, sungguh, saya merasa berhutang budi.

(disain biografi penulis by regol...)

edorsement dari chief editor majalah JALANJALAN

"Ini buku travel populer pertama yang ditulis dari sudut pandang 'wong Yojo'. 'Ya ampun' diganti "Duh Gusti', 'tergesa-gesa' jadi 'kemrungsung'. Unik, lucu, dan pastinya menghibur" itu kutipan dari endorsement yang diberikan Cristian Rahadiansyah, Editor in Chief Majalah JalanJalan untuk TALES from the ROAD, travelogue matatita.

Saya nyengir sendiri membacanya.Cristian bisa menangkap kejawawaan saya dengan membaca naskah yang dikirimkan penerbit padanya.

Dalam setiap artikel yang saya tulis di buku itu, memang bertebaran kata-kata dan ungkapan bahasa Jawa. Saking banyaknya, bahkan Editor terpaksa mengedit beberapa. Menggantinya dengan kalimat bahasa Indonesia atau memberinya terjemahan dalam kurung. Saya nggak protes kok, karena toh buku itu nantinya akan didistribusikan secara meluas di seluruh Indonesia. Kasihan juga pembaca yang nggak ngerti bahasa Jawa, bisa-bisa malah terganggu dan malas meneruskan membaca.

Buat saya, penggunaan kata/ungkapan Jawa dalam travelogue itu merupakan bentuk ekspresi lokal yang muncul secara spontan. Maklumlah, sehari-hari saya berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Meeting pakai bahasa Jawa, nulis e-mail dan YM!-an juga merasa lebih enak pakai bahasa Jawa, membalas reply di blog...tahu kan pasti Jawanya keluar. Nah, begitu menulis travelogue, catatan perjalanan yang gue banget itu, mau tidak mau, Jawa-nya muncrat di sana sini deh.

Saya pernah "dikomplain" relasi saya. Katanya, "heran deh aku, kalau ngobrol sama Mbak Tita kok pasti jadi kebawa ngomong pakai bahasa Jawa ya?" Relasi saya itu juga orang Jawa juga sih, tapi sudah ditempatkan di luar Jawa cukup lama dan sudah jarang ngobrol pakai bahasa Jawa. (Seringnya malah ngomong pakai bahasa Indonesia logat Jakarta yang konon bergengsi itu).

Kali lain, ada relasi yang kebetulan sudah lama kenal. Tapi kalau ketemu di kantor perusahaannya, kami sama-sama menggunakan bahasa Indonesia, terutama jika ada staf lain yang ikutan ngobrol. Begitu ditinggal berdua, dia bilang "wis, ngomong ngganggo basa Jawa wae. Luwih penak. Tapi yen mengko pas bocahe teka, ngomong nganggo Bahasa Indonesia meneh yo." Hahahaha....!