Saturday, August 29, 2009

introducing my dayak family


Kenalkan, ini keluarga angkat saya di Lamin Adat Pepas Eheng, Kaltim. Foto-foto ini diambil 14 tahun setelah kunjungan pertama saya (1994 - 2008).

Beruntung, persis 14 tahun kemudian, di bulan Agustus 2008, saya mendapat tugas ke Melak, Kutai Barat. Tentu saja saya tak ingin melewatkan kesempatan langka ini. Begitu urusan pekerjaan kelar, saya extend 2 hari untuk mengunjungi mereka dan menginap di lamin meski hanya semalam saja.

Rasa haru dan deg-degan memenuhi ruang bathin saya membayangkan pertemuan yang bakal terjadi. Hmm..seperti apakah gerangangan sekarang? Apakah mereka masih mengingat saya?

Betapa terkejutnya saya melihat perubahan infrastruktur yang ada: jalanan beraspal sehingga hanya butuh 30 menit dari Melak ke Pepas Eheng, listrik, dan ponsel yang membuat mereka bisa SMS dan berhalo-halo. Luar biasa..!!

Apakah teknologi mengubah tradisi mereka juga? Ternyata tidak sepenuhnya, saudara-saudara! Ketika saya turun dari mobil dan mendekat, menginjakkan kaki di pelataran lamin, sayup-sayup terdengar bunyi tetabuhan khas musik Beliatn. Bunyi yang persis saya dengar ketika saya tiba di tempat ini Juli 1994. Ketika itu penghuni lamin lamin tengah sibuk menyiapkan Beliatn -upacara penyembuhan- yang akan berlangsung malam hari. Dan sekarang, ketika saya datang 14 tahun kemudian, bunyi tetabuhan khas Beliatn terdengar jelas dari rumah Pak Linus Karim yang terletak persis di bawah lamin. Lagi ada upacara Beliatn di rumah Pak Linus siang itu. Dan malam harinya, Beliatn juga dilangsungkan di lamin, di depan biliknya Pak Jerma.

Kok nggak berubah ya, batin saya. Mereka masih memlih Beliatn ketimbang pergi ke Puskesmas atau Rumah Sakit di kota kecamatan yang sekarang bisa ditempuh dalam waktu 15 menit. Kenapa ya...saya masih bertanya-tanya. Dan terus bertanya, sembari mandi di pancuran di belakang rumah Loren yang harus menuruni tebing dulu, sembari makan nasi lauk ikan asin di dapur bersama anjing2 peliharaan keluarga Pak Jerma, sembari berbaring di bilik yang dinding-dindingnya mengirim semilir angin juga diiringi bunyi ngik-ngok babi-babi di bawah lamin, dan sembari minum kopi di pagi hari bersama penghuni lamin yang lain...

Yang jelas, satu hal yang menggembirakan, ketika saya datang dan menyapa Pak Jerma yang tengah berbaring di lamin, dan menanyakan apakah dia masih ingat Tita yang dari Jogja, lalu dijawabnya ingat. Dan ketika saya berkata "Saya Tita, Pak..." Tahu apa jawabnya? Jawabannya sungguh menyetuh emosi terdalam saya, "Oh...kamu kah anakku?" (Saya terkenang ritus pengangkatan anak 14 tahun lalu itu...hanya karena saya sempet sakit bulanan di Lamin...hehehe. Tentang kisah pengangkatan anak ini baca di Tales from the Road yaaaa…!)

Mamak Jerma, ibu angkat saya. Gayanya dari dulu nggak berubah.
Rokok dan baju terbuka.


Beginilah kalau dukun Beliatn beraksi mengobati orang sakit. Kebayang kan, bagaimana kalau dulu saya mau di-Beliatn karena sakit bulanan sementara mereka mengira saya kesambet
'wok bengkar' alias roh jahat yang datang dari hutan.

Pak Sungan, dukun Beliatn itu. Break dulu, telpon-telpon dulu ah...:D


Suasana makan bareng di lamin...bareng anjing peliharaan juga loh...





Tuesday, August 25, 2009

kebakaran kapal di senggigi - lombok


hhmm..gara-gara membaca postingan seorang teman yang lagi liburan di senggigi dan gili (lombok), saya jadi teringat peristiwa kebakaran kapal di senggigi yang sempat terekam kamera saya. pagi itu, di hari minggu 15 agustus 2005 (ups..udah lama banget yak...), saat lagi sarapan di sebuah hotel di tepian pantai senggigi, tiba-tiba diusik oleh pemandangan aneh di tengah laut. kepulan asap dari sebuah kapal perama!

kepulan asap itu mula-mula hanya berwarna abu-abu. tapi karena tiupan angin laut pagi yang cukup kencang, dalam sekejap kepulannya pun menghitam pekat. pemandangan itu tentu saja menarik perhatian banyak orang, termasuk saya yang lagi menikmati sarapan pagi di resto hotel persis di tepi pantai.

bergegas saya tinggalkan setangkup roti oles, sarapan pagi saya. lalu berlari mendekat ke bibir pantai, merekam gambar dengan kamera poket kodak. dan inilah hasilnya, rekaman gambar 5 menit yang menghanguskan kapal perama.


asap mulai mengepul dari bagian dalam kapal


perahu penolong mulai berdatangan


kepulan asap htam di atas lautan senggigi yang biru


angin laut mengobarkan api..hanya dalam waktu 5 - 10 menit kapal naas itu tinggal rangka belaka


Tuesday, August 18, 2009

liputan di Sinar Harapan

"Selama ini tak banyak buku kisah perjalanan yang mengungkapkan budaya setempat. Untuk itu saya mencoba menuliskannya..." harian sore Sinar Harapan, 18 Agustus 2009
link beritanya silakan klik di sini

jalan-jalan ke National Geographic Store



welcome to NatGeo Store - Singapore.
lokasi tepatnya di vivocity - harbour front

toko apa galeri apa museum ya...

dinding yang dipenuhi foto-foto humanis khas National Geographic


foto-foto yang ditata layaknya pameran foto..
eh, ini barang dagangan loh...foto-foto itu bisa dibeli dan bersertifikat

the yellow border and the yellow t-shirt...:D


juru foto: edo

Friday, August 14, 2009

liputan RADAR JOGJA ttg Matatita



Banyak orang yang telah bepergian ke berbagai penjuru tanah air maupun ke pelosok dunia. Tapi sedikit yang menuangkannya dalam tulisan. Sudah ada yang menuliskan kisah perjalanannya, tapi sedikit yang merangkainya dalam pendekatan budaya. Matatita melakukannya.

(ERWAN WIDYARTO, Radar Jogja Minggu, 9 Agustus 2009)



klik image di atas untuk membaca tulisan selengkapnya







Wednesday, August 12, 2009

liputan GudegNet untuk Travel Writing Weekend Forum

Selasa, 11 Agustus 2009, 23:28 WIB

Menembus Penerbit Buku dengan Menuliskan Kisah Perjalanan

Iwan Pribadi - GudegNet


Menuliskan Kisah PerjalananSebenarnya menembus penerbit buku untuk sehingga dapat menerbitkan karya seseorang, tidak sesukar yang selama ini dibayangkan.

Karena sesungguhnya para penerbit saat ini sedang agresif dalam mencari penulis-penulis untuk diterbitkan karyanya menjadi sebuah buku.

Demikian ungkap Salman Farid ketika mengawali acara Sembari Minum Kopi yang kali ini mengangkat tema Menuliskan Kisah Perjalanan: Kiat Menembus Media dan Penerbit.

Bahkan, CEO Bentang Pustaka ini menambahkan, sejak beberapa tahun belakangan para penerbit juga mencari tulisan-tulisan yang dinilai layak untuk diterbitkan dan marketable di Internet dengan mengunjungi blog-blog yang banyak tersebar di sana.

Beberapa yang tulisan di blog yang berhasil diangkat menjadi tulisan antara lain “The Naked Traveler (Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia)” karya Trinity, dan yang baru saja terbit adalah “Tales From The Road” karya Matatita.

MatatitaMatatita yang juga hadir kesempatan ini turut membagikan tips dan pengalamannya seputar menerbitkan kisah perjalanan yang semula berada di blog menjadi sebuah buku.

Menurutnya, jika ingin lebih mudah ditemukan oleh penerbit, maka sebaiknya membuat blog yang segmented dan membicarakan satu hal saja yang khusus dan spesifik, misalnya tentang perjalanan saja, tentang kuliner saja, dan lain sebagainya.

Khusus untuk menuliskan kisah perjalanan, Matatita memberikan masukan agar jangan terpesona dengan keindahan tempat yang sedang kita datangi, sebab jika itu terjadi maka akan melahirkan tulisan yang datar, biasa-biasa saja, dan sudah banyak dibahas oleh orang lain yang mengunjungi tempat itu.

Untuk itu akan lebih baik jika tulisan perjalanan tersebut memerhatikan hal-hal yang kecil seperti budaya dan keseharian masyarakat di tempat tersebut, dan berusaha dekat dan melebur dengan penduduk setempat dengan cara menghormati budaya mereka. Dengan demikian niscaya akan ditemukan hal-hal yang khas dan menarik yang dapat dijadikan sebagai bahan tulisan.

Pada akhirnya, Matatita berpesan bahwa oleh-oleh atau produk yang sebenarnya dari seorang traveler itu adalah berupa foto-foto dan/atau tulisan. Untuk itu ia berpesan kepada siapapun yang memiliki hobi jalan-jalan untuk jangan ragu-ragu untuk menuliskan kisah perjalanannya. Siapa tahu ada penerbit yang melirik dan kemudian tertarik untuk menerbitkan.




Tuesday, August 11, 2009

tales from the road. menulis dengan empati

by ukirsari rr manggalani

membaca larik-larik kalimat di buku kisah perjalanan plus tips dari suluh pratitasari a.k.a tita, terbayanglah kerendahan hati sang penulis. sesuai selera saya akan pencarian buku kisah-kisah perjalanan yang berada di luar koridor “i’d already been here and there, became the winner, against all the problems during my travels” –without any sympathetic feeling in it.

matatita –sesuai dengan alias nama yang dipakai penulis, merefleksikan ‘mata’ bukanlah sekadar indera penglihatan, tapi juga memiliki arti mendalam; mata hati. melihat dengan hati serta memberi empati pada porsinya— mengajak pembacanya menikmati kekayaan budaya berbagai negeri, dari sudut pejalan biasa. Sekaligus mensyukuri keberagaman alam dan budaya milik Indonesia sendiri (Meet Locals, 153).

dengan kepekaan hati pula, tita dapat bersabar (meski barangkali mengelus dada) ketika disodori jasa tukang becak ngayogyakarta untuk wisata bbd –batik, bakpia pathuk, dagadu. atau mentertawakan diri sendiri secara fair, atas kejadian penipuan batu permata di bangkok (Scam Everywhere, 27). dan sesekali juga boleh galak, bila terpaksa. contohnya saat dikuntit pria berjaket di wamena, yang bertanya-tanya dengan nada garang (Diadang Intel Gadungan, 17).

bersama sang penulis yang lulusan antropologi universitas gadjah mada, kemegahan angkor wat bisa ‘membumi’ pada tataran setara candi borobudur. sebuah mimpi; bila saja ada infrastruktur dan upaya lebih dari semua pihak terkait untuk menjadikan muntilan sebagai siem reap ‘bayangan’ (Borobudur versus Angkor Wat, 147).

sebagaimana juga prosesi dhaeng (barisan pasukan keraton yogyakarta) dalam upacara garebeg yang dapat ‘go-internasional’ seperti prosesi pergantian pengawal kerajaan inggris di buckingham palace (Prajurit Jogja dan Prajurit Inggris, 173).

atau adanya napas yang sama, antara gerbang kota tua bhaktapur di nepal, dengan kawasan jeron beteng keraton di yogyakarta (Lorong dan Dinding-Dinding, 122).

tak kalah unik –sekaligus membuat saya cemburu– adalah cerita tita mendapatkan nama baru ‘angkan krisna’ lewat perhelatan budaya dayak benuaq. padahal ini bukan kisah yang mulus, karena ia mesti mengalami kejang perut dan terpuruk di semak-semak sebelum digotong ke lamin atau rumah panjang. bahkan sempat dicurigai terkena roh jahat (Ritus Bulanan, 80).

dan di atas semua kisah yang dibingkiskan tita buat pembaca, entah mengapa saya merasa memiliki semacam sesambungan rasa saat membaca buku ini. bukan semata karena telah mengenal sang penulis pun ada kemiripan kisah selama ‘hidup di jalan’ –sebagaimana dialami para traveler dalam berinteraksi dengan lingkungan baru serta menjumpai hal-hal yang sudah diangankan sejak lama.

tita menyimpan duka karena hanya berselang 3 hari setelah ia mengutarakan pada ibunda akan menjelajah ke nepal, beliau kembali ke pangkuan Nya (Ponsel Budek Sebelah, 20). sementara saya saat itu, bepergian solo ke laos ketika ayahanda belum genap 40 hari berpulang. semua urusan traveling sudah dibereskan hampir setahun sebelumnya dan ijin dari beliau sudah saya kantongi jauh-jauh hari.

bisa jadi, inilah ‘pesan’ yang ingin disampaikan secara tidak langsung; bahwa kesedihan itu, bukanlah milik saya semata. masih ada orang lain, yang merasakan hal serupa. bahwa hidup terus berjalan, kaki terus melangkah, meski perasaan tidak sempurna. dan mata milik tita a.k.a suluh pratitasari lah perantaranya. terima kasih ya, jeng!

akhirnya, selamat membaca tales from the road, mencicip keunikan budaya dari yogyakarta hingga nepal. sebuah catatan perjalanan wisata penuh kesan mendalam. meski dituturkan dengan penyampaian yang bersahaja.

judul: tales from the road, mencicip keunikan budaya dari yogyakarta hingga nepal; penulis: matatita; penerbit: B-first (PT Bentang Pustaka); jumlah halaman: 232

Monday, August 10, 2009

di radiooooo...


lupa nggak minta rekaman siaran...
ya wis..pamer foto aja yak..hihiii

liputan annida online tentang "women backpackers talkshow"


Annida-Online--Jalan-jalan menjadi bagian yang menyenangkan dalam hidup. Lantas bacpacking menjadi jalan yang tepat mewujudkanya jika berkocek terbatas. Ini adalah inti dari buku kedua perempuan petualang, Matatita si penulis Tales From The Road dan Trinity dengan buku The Naked Traveler. Menjumpai pembaca bukunya kedua woman backpacker tersebut datang menghadiri jumpa penulis-pembaca dalam event Pesta Buku Rakyat yang digelar Penerbit Mizan di Pasar Festival di bilangan Kuningan, Jakarta (Sabtu, 1/08).

Banyak buku yang mengisahkan petualangan backpacker sekarang. Knowledge, pengalaman yang sangat personal, perenungan, dan hal lain yang dialami masing-masing menurut Mbak Tita yang asli Jogjakarta membuat setiap buku berbeda dan asyik dinikmati. Dirinya dalam Tales From The Road lebih banyak bercerita tentang human culture di setiap pelosok Indonesia yang kaya dengan kekhasan etnik.

"Saya suka berbaur langsung dengan penduduk lokal. Berada di tengah-tengah mereka. Pernah di Borneo saya pingsan yang oleh penduduk dibilang kesambet di hutan dan harus dibawa untuk ritual belian karena saya bukan orang Dayak. Saya jelaskan itu bukan apa-apa karena saya biasa begitu jika datang bukan," ujar Tita. Alhasil karena terus saling ngotot, jalan tengah diambil dengan melakukan upacara 'angkat anak". Di Papua juga ada wawasan baru baginya yang baru mengetahui koteka itu ukuran dan coraknya berbeda tergantung tiap-tiap suku.

Lain Tita lain Trinity, lajang yang telah mengunjungi 40 negara ini merasa nyaris tidak ada kesulitan berwisata murah di luar negeri. Semua relatif aman karena transportasi yang lancar dan petunjuk jalan yang jelas. Bacpacking di Indonesia bagi Trinity jauh lebih menantang karena berbagai hambatan geografis dan transportasi. Oleh karena itu dijamin jika sudah menguasai medan negeri sendiri, melancong ke Eropa atau Amerika bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan. "Pokoknya asal berani dan punya tiket, urusan di luar gampang. Semua dipelajari langsung ketika mulai melakukan perjalanan," tuturnya menyakinkan. Tentu saja tetap perlu perencanaan matang mengkalkulasi anggaran, menginvetarisir tempat wisata yang menarik, hotel representatif, rute yang aman plus murah. Internet yang menyajikan informasi lengkap dan berkembangnya milist backpacker juga sangat membantu mewujudkan keinginan seseorang menjelajahi setiap sudut bumi Allah. Dia saja tak merasakan berbagai kendala berarti, meskipun activitas backpacking mulai dijalaninya sejak usia belasan. Apalagi era sekarang yang semua serba gampang diketahui sehingga bisa mematangkan rencana.

Banyak sekali hal menarik menjadi tema perbincangan jumpa penulis yang dilakukan Penerbit Mizan dengan kedatangan Matatita dan Trinit. Peserta yang hadir juga sempat berbagi pengalaman perjalanan masing-masing. Selain bincang-bincang, seperti biasanya bagi-bagi doorprize juga berlaku. Dalam beberapa hari ke depan, Penerbit Mizan akan mengelar beragam acara lain sampai tanggal 6 Agustus 2009 di Pasar Festival. Boleh tuh, siapkan jadwal ke sana. [Elzam]