Thursday, August 25, 2011

roadtrip: mudik bersama si kecil




ngedot nikmat di car seat
Meskipun kami bukan mudiker karena saya dan Edo sama-sama orang Jogja yang betah banget menetap di Jogja, tapi setiap lebaran H+3 kami juga melakukan perjalanan ke luar kota untuk menghadiri acara pertemuan keluarga besar ayah saya. Nggak jauh-jauh banget sih, hanya seputaran Jawa Tengah. Ke Semarang, Ambarawa, Salatiga, atau pulang kampung ke desa kelahiran ayah di Purwodadi Grobogan. Jarak tempuh dari Jogja paling jauh sekitar 150 km.

Dalam kondisi normal, jarak sejauh itu paling lama kami tempuh dalam waktu 4 jam perjalanan. Tapi pada hari raya, di mana jalur Jogja - Semarang termasuk jalur padat mudiker, kami bisa menempuhnya hingga 7 jam! Tahun lalu, saat acara pertemuan keluarga di Salatiga, waktu tempuh Jogja - Salatiga yang biasanya sekitar 2 jam menjadi 5 jam perjalan. Padahal, kami sudah memilih jalur alternatif, lewat Jatinom Klaten yang langsung nembus ke Boyolali kemudian ke Salatiga.

Sebelum punya momongan, biasanya kami gantian nyopir biar capeknya merata.Tapi sejak ada Baby Bindi, bisa dipastikan Edo menjadi driver utama dalam setiap perjalanan kami. Sementara saya kebagian menjaga Bindi. Biar Bindi safe dan bapaknya nyaman nyopir, saya dan Bindi duduk di jok belakang sopir, bukan di depan. Soalnya kalo duduk di depan, tangan Bindi pasti usil, penginnya ikutan megang kopling. Sudah begitu, saya mau tak mau juga ikutan merhatiin jalan yang macem juga jadi cerewet negor Edo kalo dia meleng nyopirnya. Dengan kata lain, duduk di depan bikin perhatian saya terpecah, ngeliat jalan dan ngawasin Baby Bindi.



Sementara duduk di jok belakang jauh lebih nyaman. Jok-nya juga lebih luas sehingga Bindi bisa leluasa bermain atau tidur-tiduran. Saya juga nggak perlu cerewet melihat keruwetan lalu lintas mudik. Sopirnya jadi lebih tenang karena nggak dicerewetin. Hehehe...!

Mengingat roadtrip pada hari raya ini membutuhkan stamina dan konsentrasi yang lebih dibanding saat hari biasa, jauh hari sebelum roadtrip saya menyiapkan beberapa hal, antara lain:

  • Rajin minum vitamin C biar lebih fit. Seseru apapun sebuah perjalanan atau bahkan sekeren apapun pemandangan di jalan, nggak bakalan asyik dinikmati jika badan kita nggak fit. Makanya, kesehatan merupakan prioritas utama yang perlu disiapkan. Stamina si kecil perlu dijaga juga loh, biar bisa menikmati perjalanan dengan riang gembira dan nggak bikin bapak dan emaknya bete karena rewel.

  • Servis kendaraan setidaknya 2 minggu sebelum roadtrip. Selain kesehatan tubuh, kesehatan kendaraan juga merupakan prioritas utama.Servis standar, ganti olie, isi freon, cek roda, dll.

  • Itinerary. Meskipun sudah punya tujuan pasti ke kota tertentu, tapi buat saya perjalanan ini tak ubahnya sebuah rekreasi. Sebisa mungkin, selain mengikuti agenda utama pertemuan keluarga, juga sekalian menikmati destinasi wisata yang ada sepanjang jalan yang kami lewati atau yang ada di sekitar kota tersebut. 

  • Baby gear. Alat tempur andalan saya kalo lagi ngajakin Baby Bindi traveling adalah ransel gendongan bayi. Ransel ini nggak cuma bikin saya mudah menggendong Bindi jika kamu harus jalan-jalan blusukan alias outdoor, tapi juga bikin Bindi merasa nyaman. Kadang malah sampe ketiduran di ransel jika kecapean plesiran. 

  • Baby toys biar nggak jenuh selama di perjalanan. Saya membiasakan Bindi membawa mainan berupa buku yang penuh gambar warna-warni. Dia sangat suka didongengin sambil memperhatikan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Selain bisa dilihat gambarnya, saya memilih buku yang bisa dibikin mainan seperti buku cerita Thomas si kereta api yang dilengkapi roda. Kalo bosen melihat gambarnya, buku itu bisa dijadikan kereta-kereta apian.

  • Sleeping beuaty alias perlengkapan tidur. Dua pasang bantal dan guling bisa dibilang bawaan wajib kami jika roadtrip. Meskipun di tempat tujuan (hotel/ruamh kerabat) nanti sudah tersedia bantal guling, tapi rasanya lebih nyaman jika kami juga bawa bantal guling. Apalagi sehari-hari Bindi demen tidur dengan dikeliling banyak bantal. Selain itu dengan membawa bantal sendiri, Bindi jadi merasa lebih 'homy' meski sedang menginap di tempat jauh.

Nah, roadtrip lebaran kali ini kami akan menginap di Bandungan, Ambarawa. Di kepala saya sudah berjejal rute wisata heritage yang bakal dinikmati Bindi: ke museum kereta Ambarawa, naik kereta jadul atau lori yang pasti akan membuatnya kegirangan, menikmati keindahan gunung Telomoyo dan Rawa Pening, juga menjelajah kompleks Candi Gedong Songo yang berada di dataran tinggi. Kami juga sudah berencana lewat Salatiga, bisa mampir ke Kopeng, pengin memetik buah strawberry langsung dari kebunnya. Seruu...! Nggak sabar pengin segera H+3 lebaran!



Saturday, August 20, 2011

napak tilas (2): lamin adat dayak benuaq


the dayak benuaq longhouse

Di samping papan nama bertuliskan "Lamin Adat Kampung Pepas Eheng" saya berdiri terpaku, menatap bangunan tinggi dan panjang yang terbuat dari kayu ulin. Rumah panjang suku Dayak Benuaq itu pernah saya tinggali selama sebulan pada tahun 1994. Saya masih ingat, kala itu, setiba di pelataran lamin yang luas, saya langsung melepas sepatu supaya telapak kaki saya menginjak tanah Dayak. Begitulah ekspresi kegirangan seorang mahasiswa Antropologi yang mengisi liburan semester dengan going tribe, melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur.

Sekilas tak banyak perubahan dari lamin itu. Atapnya masih sama, atap sirap yang terubuat dari kayu. Dinding-dindingnya memang tak lagi terbuat dari kulit kayu yang banyak celah, tapi sudah terbuat dari papan yang disusun rapat sehingga lebih hangat di malam hari. Tiang-tiang penyangganya masih berupa kayu ulin yang mulai lumutan, bukan diganti beton.

Di antara tiang-tiang penyangga itu, ada empat tangga yang digunakan untuk naik ke atas lamin. Tangga itu hanya terbuat dari sepotong kayu yang dibuat ceruk-ceruk anak tangga. Diameter kayunya mungkin hanya sekitar 15 cm. Saya masih ingat bagaimana takutnya ketika pertama kali naik dan turun tangga itu. Sampai di tengah-tengah kaki saya gemetaran, nggak berani meneruskan langkah ke atas. Mana sudah begitu tidak ada kayu yang digunakan untuk berpegangan.

Tangga-tangga itu masih sama. Hanya di kanan kirinya kini sudah dipasangi kayu yang dapat digunakan untuk berpegangan. Bahakan, tangga yang terdapat di tengah lamin, dibuat lebih lebar sehingga mudah ditapaki. Juga di bagian atasnya dibuatkan semacam kanopi, sehingga sepintas terkesan sebagai tangga utama menuju lamin. Sepertinya tangga ini dibuat untuk kenyaman wisatawan yang ingin naik ke lamin.

Hari ini saya seperti menjadi wisatawan yang menggendong ransel. Saya pilih tangga utama itu untuk naik ke lamin. Alasannya sederhana, saya kawatir sudah kembali takut naik tangga seperti saat pertama melakukannya 14 tahun lalu. Jangan-jangan saya sudah lupa gimana triknya supaya nggak terpeleset. Mana sekarang badan saya sudah gendut begini, 20 kg lebih berat daripada 14 tahun lalu itu. Alasan ke dua, saya kurang yakin apakah tangga yang terletak paling kiri itu masih milik keluarga Pak Jerma, ayah angkat saya?

Dulu keluarga Pak Jerma menempati bilik di bagian hulu lamin, yaitu bilik paling kiri jika dilihat dari arah saya berdiri menghadap lamin saat ini. Jika ada penghuni baru yang ingin tinggal di lamin, mereka boleh membangun bilik baru dengan cara menambahkannya bangunan di salah satu ujungnya, di kanan atau di kiri. Karenanya, saya menjadi ragu-ragu, apakah bilik di bagian ujung kiri lamin itu masih ditempati keluarga Pak Jerma atau jangan-jangan sudah ditempati keluarga lain.

Sesaat kemudian saya sudah sampai di atas tangga. Lalu saya langkahkan kaki memasuki pintunya yang kecil dengan sedikit membungkuk. Pintu ini hanya setinggi tak lebih dari satu setengah meter, sehingg orang dewasa yang melewatinya biasanya perlu sedikit membungkukkan badan.

Suasana lamin sangat lengang. Di ujung sana, ke arah saya berjalan menuju bilik keluarga Pak Jerma, saya hanya melihat seorang lelaki yang tengah menganyam rotan. Siapakah dia, saya tak mengenali wajahnya. Semakin mendekat, semakin saya tak mengenalinya. Berarti mungkin benar, bilik ini sudah buka lagi ditempati keluarga Pak Jerma. Lalu, saya beranikan diri untuk bertanya padanya, "Selamat pagi, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Pak Jerma?" Lelaki itu segera menujuk ke arah seseorang yang tengah berbaring tak jauh darinya, "itu Pak Jerma," katanya membuat saya girang.

Segera saya dekati Pak Jerma, ayah angkat saya, yang lantas terjaga begitu mendengar ada yang menanyakannya. Saya tersenyum merasa mengenali wajahnya, sementara Pak Jerma menatap saya dengan ragu. "Bapak tidak kenal saya ya?" Tanya saya. "Saya Tita, dari Jogja," tambah saya lagi ketika menyadari bahwa lelaki tertua di Kampung Pepas Eheng itu tampak tidak mengenali saya lagi.

Pak Jerma masih menatapi saya, menyelidik. Atau mungkin tak percaya. Sebab Tita yang dikenalnya 14 tahun bertubuh kurus, berambut gondrong, dan berkacama besar. Saya mengangguk, mencoba meyakinkan bahwa saya memang Tita yang pernah sebulan tinggal di biliknya. "Kamukah anakku?" kata-kata itu keluar dari bibir tuanya yang menyentung relung emosi saya. Ternyata saya masih dianggapnya sebagai anak. Ah, saya jadi terkenang ritus pengangkatan anak 14 tahun lalu itu.

"Yang lain pada kemana Pak?" tanya saya kemudian, ketika menyadari hanya ada Pak Jerma dan lelaki itu di lamin ini. "Lagi di rumah Linus, ada beliatn," jawabnya.

Saya terbelalak. Masih ada beliatn rupanya. Pantas saja tadi di pelataran lamin saya sempat mendengar sayup-sayup bunyi tetabuhan khas beliatn. Saya sangat mengenali tetabuhan itu karena dulu selama sebulan tinggal di lamin, hampir setiap malam digelar beliatn, ritus pengobatan tradisional. Dulu saat kami tiba di lamin, juga tengah berlangsung upacara beliatn sentiu, upacara beliatn terbesar, yang membuat saya nggak bisa tidur pada malam-malam pertama karena upacara berlangsung hingga tengah malam, selama 4 hari berturut-turut.

Jadi, masih ada beliatn di sini, di saat jalur transportasi ke rumah sakit kota hanya ditempuh dalam waktu 30 menit?
-Mengenang Pak Jerma yang sudah berpulang pada bulan Agustus 2010 lalu-

napak tilas (1): pedalaman borneo (1994 - 2008)


1994
2008


Saya tak ingat betul berapa jam waktu yang kami habiskan di atas hardtop dari Melak, Kab. Kutai Barat, menuju desa Pepas Eheng Kec. Barong Tongkok pada tahun 1994 lalu. Jarak kilometernya hanya sekitar 36km, tetapi sepertinya lebih dari 3 jam tubuh kami terguncang di atas hardtop yang dipenuhi backpack berisi pakaian dan bekal hidup untuk sebulan di pedalaman Borneo.

Jalanan tak beraspal dari Melak ke pertigaan Mencimai yang terletak di selatan kota kecamatan Barong Tongkok waktu itu kami tempuh sekitar 45 menit. Kemudian dari persimpangan Mencimai kami belok ke barat menuju Pepas Eheng. Sesaat setelah hardtop yang kami tumpangin mebelok ke kanan, kami pun melintasi hutan dengan kondisi jalan tanah/lumpur yang bergelombang.

“Welcome to the jungle..!” seru saya sambil terguncang-guncang. Sebenarnya hutan yang kami lintasi bukan hutan belukar dengan pohon-pohon besar. Tapi lebih menyerupai sebuah kebun luas dengan pohon-pohon yang ranting dan daunnya kadang menjuntai menutup jalan. Jalan tanah yang menjadi becek oleh hujan yang kami lewati mungkin hanya selebar 2 meter, pas untuk satu mobil melintas. Jangan membayangkan bagaimana kalau berpapasan, karena jalan ini jarang-jarang dilewati kendaraan roda empat pada saat itu.

Hampir 2 jam tubuh saya dan teman-teman semobil terguncang. Itupun sebenarnya kami termasuk beruntung, karena pada saat kami melintasi jalan menuju Pepas Eheng, sejumlah warga yang tinggal di jalur Mencimai – Pepas Eheng sedang menyiangi ranting-ranting pohon di tepian jalan. Mereka tengah bekerja bakti, karena beberapa hari ke depan, rombongan Bapak Moerdiono (saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan) akan berkunjung ke Pepas Eheng. Rombongan Pak Menteri ini juga akan diiringi oleh Tim Ekspedisi Kapuas - Mahakam yang kalo nggak salah didukung Kompas.

Persis 14 tahun kemudian, bulan Agustus 2008 lalu, saya berkesempatan napak tilas Melak – Pepas Eheng. Kesempatan ini sudah bertahun-tahun saya impikan, sejak kembali ke Jogja dari Pepas Eheng pada bulan Agustus 1994. Pengalaman eksotis selama sebulan tinggal di lamin (rumah panjang) suku Dayak Benuaq di Pepas Eheng, membuat saya berjanji untuk kembali. Keinginan itu makin membuncah ketika pada tahun 2005 – 2008 saya sering bolak-balik ke Kalimantan untuk urusan pekerjaan.

Dari Samarinda saya berangkat menuju Melak lewat jalur darat. “Nggak lama kok, paling cuma 8 jam perjalanan,” kata relasi saya menginformasikan jarak tempuh dari Samarinda ke Melak. “Pokoknya dinikmati aja deh, pemandangan hutan dan kebun sawitnya,” tambahnya lagi seolah menghibur saya yang mungkin menurutnya jadi nggak semangat membayangkan 8 jam perjalanan ke hulu, bagian tengah Kaltim.

"Ah, jaman dulu sebelum ada jalan darat, saya sehari semalam lewat sungai Mahakam," jawab saya berterus terang. Kini giliran dia yang terhenyak. “Apa? Tahun berapa tuh?” Relasi saya yang pendatang dari Jawa dan baru beberapa tahun ditugaskan di Samarinda itu tampak terkejut keheranan. Nggak nyangka bahwa saya pernah melakukan hal itu.

Saat mobil yang kami naiki mulai memasuki wilayah kota Sendawar, ibukota Ka. Kutai Barat, yang letaknya menyatu dengan kota kecamatan Barong Tongkok, mata saya jelalatan ke sana ke mari, mencari-cari adakah sisa dari masa 14 tahun lalu yang masih dapat saya kenali. Kota ini sudah berubah total. Sudah seramai kota-kota kecamatan di pulau Jawa. Begitu juga ketika saya menyempatkan diri jalan-jalan di dermaga Melak, tempat perahu Putra Mahakam yang pernah kami tumpangi merapat. Sudah tak mampu saya kenali lagi selain air sungai Mahakam yang berwarna coklat.

Saya baru punya kesempatan napak tilas Melak - Pepas Eheng dua hari kemudian, setelah urusan gaweyan dengan relasi beres. "Beneran, berani jalan sendiri?" tanya relasi saya sebelum dia kembali ke Samarinda. Maksudh hati dia berbaik hati akan mengantar saya ke Pepas Eheng, tapi dengan tulus saya tolak karena saya pengin bernostalgia.

Tentu saja saya tak perlu mencari sewaan hardtop lagi karena jalan sudah diaspal, mulus dan lebar. Tapi karena angkutan umum ke sana belum ada, teraksa saya carter mobil juga akhirnya. Ongkosnya lumayan mahal buat kantong orang yang tinggal di Jogja. Rp 200.000 single trip. "Memang berapa lama dari Melak ke Eheng?" tanya saya sambil membayangkan saat terguncang di atas hardtop 14 tahun lalu. "Paling lama 30 menit," kata driver yang membuat saya tercengang. Dulu kan hampir 3 jam, pake bonus pegel-pegel pula.

Begitu mobil kijang sewaan itu melaju meninggalkan pelataran hotel di Melak, saya sudah pasang mata baik-baik mencermati sekitar. Ternyata hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai pertigaan Mencimai Barong Tongkok dari Melak. Sementara itu dari Mencimai ke Pepas Eheng juga hanya memakan waktu sekitar 15 menit!

Gara-gara jalan beraspal itu, saya sampai nggak sadar kalau mobil yang mengantarku sudah berhenti di depan rumah panjang bertuliskan Lamin Adat Kampung Pepas Eheng. "Hah..cepet sekali?" kata saya spontan. Padahal mata saya masih sibuk mencari-cari papan arah, barangkali ada tulisan "Selamat Datang di Desa Pepas Eheng" yang ada di dekat jembatan kecil di erbatasan desa tempat saya pernah berfoto narsis 14 tahun lalu.

Memang sih, mobil yg saya tumpangi sudah melewati sungai dengan jembatan yang kokoh dan ada taman kecil di dekatnya. Ah, tapi saya nggak yakin bahwa itulah jembatan yang sekaligus menjadi batas wilayah desa Pepas Eheng dengan desa Engkuni. Saya kok masih nggak percaya ya.

Thursday, August 18, 2011

train trip




Kereta eksekutif Madiun Jaya mulai beroperasi Juni 2011

Kayaknya sih, kereta api adalah moda transportasi yang sangat dikagumi oleh anak-anak. Barangkali karena gerbongnya yang panjang dan mengeluarkan bunyi yang aneh, berbeda dengan suara kendaraan bermotor, dan juga punya jalan sendiri berupa batangan besi panjaaangg banget. Anak-anak pun jadi terkesima ketika melihat kereta itu melintas di depan mata. Jangan heran jika di lintasan kereta api dekat jembatan layang Jogja, nggak jauh dari stasiun Lempuyangan, banyak orang tua yang mengasuh anak balita di sore hari. Termasuk saya dan Baby Bindi. Hehe...!
 
Saya memang suka mengajak Bindi nonton kereta api sambil nyuapin. Selain di lintasan kereta Stasiun Lempuyangan, seringnya saya mengajak Bindi ke Stasiun Tugu yang lebih bersih dan luas. Jadi Bindi bisa berlarian dengan riang sambil menanti kereta datang. Begitu kereta tiba, ia akan berteriak kegirangan sambil melambai-lambaikan tangannya yang mungil. "Kreta apii..kreta apiii...tuiiitt..ttuuiiittt..tttuuiiitt...!"

Setelah beberapa kali nonton kereta, juga sering nonton tayangan Chuggington, film animasi dengan karakter kereta seperti Thomas, saya pun mengajak Bindi plesiran naik kereta Prameks dengan rute Jogja - Solo beberapa hari lalu.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Bindi naik kereta api. Saat usianya 13 bulan (November 2010), saya pernah mengajak Bindi ke Jakarta dengan kereta api dalam keadaan terpaksa. Terpaksa karena paska erupsi Merapi bandar udara Adisucipto sempat ditutup lebih dari dua minggu. Semua penerbangan dari dan ke Jogja dialihkan ke bandara Adisumarmo Solo dan bandara Ahmad Yani Semarang. Keterpaksaan lain, kondisi udara di Jogja masih berdebu, jadi mumpung saya lagi ada acara di Jakarta nggak ada salahnya ngajakin Baby Bindi sekalian. Itung-itung ngungsi sebentar, biar bisa menghirup udara yang lebih bersih (gara-gara erupsi Merapi,  udara Jakarta jadi lebih segar ketimbang Jogja!)

Dalam perjalanan Jogja - Jakarta dengan kereta Argo Dwipangga selama hampir 9 jam itu Bindi nggak rewel, bahkan bobok pulas di dada saya. Meski begitu ia belum bisa menikmati serunya naik kereta api karena perjalanan dilakukan pada malam hari. Baru beberapa menit kereta bergerak meninggalkan Jogja, Bindi sudah tertidur karena memang saatnya dia tidur malam. Begitu juga saat perjalanan pulang dari Stasiun Gambir ke Satasiun Tugu, belum naik kereta Bindi sudah tidur karena sudah lewat jam sembilan malam (kereta telat sekitar 2 jam saat itu).

Beberapa bulan setelah pengalaman pertama naik kereta malam itu, saya baru sempat mengajak Bindi nyobain naik kereta lagi meskipun cuma jarak dekat, satu jam perjalanan dengan kereta Prameks. Hari Sabtu siang itu kami sungguh beruntung karena bisa mencicip kereta eksekutif yang baru sebulan beroperasi, yaitu kereta eksekutif Madiun Jaya. Kereta ini melayani rute Jogja - Madiun sehari sekali dan rute Jogja - Solo sehari dua kali.

Siang itu kami tiba di Stasiun Tugu sekitar pukul 12.50 menit. Saat menengok jadwal kereta Jogja - Solo, ternyata ada pemberangkatan pukul 13.00. Segera kami berlari menuju loket untuk membeli tiket. Saat akan membayar, ternyata uang dua puluh ribuan yang kami sodorkan kurang untuk tiket 2 orang. "Lho, bukannya tiket Prameks per orang Rp 9.000?". Petugas loket tersenyum dan menginformasikan bahwa kami mengantri untuk kereta eksekutif dengan tarif Rp 20.000 per orang. Kami jadi terbelalak, ketinggalan berita nggak tahu kalau sekarang ada kereta eksekutif.

Saat naik ke gerbong kereta berwarna biru itu, saya makin terbelalak. Keretanya kereeenn..! Gerbongnya dingin pake AC, juga bersih, dan kursinya empuk (malah masih ada yang terbungkus plastik). Sudah begitu, kereta dengan kapasitas 500 orang itu lagi nggak banyak penumpang. Malah di gerbong yang kami tumpangi, nggak lebih dari 8 orang penumpang. Tentu saja Bindi ikutan girang karena gerbong yang lapang bisa membuatnya bebas hilir mudik dan berpindah tempat duduk.

Di sepanjang jalan, Bindi menikmati pemandangan dari jendela kaca yang lebar. Saat kereta mulai bergerak meninggalkan Stasiun Tugu dan melintas di atas Kali Code, Bindi berseru kegirangan. "Kaliii Cooddeee...!" Teriaknya sambil terus mengamati ke bawah. Jangan heran, Bindi memang sangat mengenal Kali Code. Nama sungai itu pertama saya kenalkan saat banjir lahar dingin di Kali Code. Sejak itu, setiap melihat jembatan dan sungai, Bindi selalu menyebutnya Kali Code. Juga ketika kami jalan-jalan ke Singapore River, Bindi menyebutnya Kali Code. Hehee...!

Jika bosan melihat pemandangan dari jendela kaca, Bindi turun dari tempat duduknya dan mengajak jalan-jalan menyusur gerbong. Saat akan melewati pintu penghubung gerbong, kakinya agak takut-takut melangkah karena bidang yang dipijaknya bergoyang-goyang.

Setiba di Solo kami hanya mencari makan siang di Solo Grand Mall lalu kembali lagi ke Stasiun Purwosari untuk naik kereta Prameks ke Jogja. Perjalanan pulang ini kami naik kereta Prameks reguler non AC dan berpenumpang padat. Kebetulan kami dapat tempat duduk di dekat pintu. Rupanya, saat kereta berjalan,  penumpang yang tidak mendapatkan kursi memilih duduk lesehan di area dekat pintu. Jadilah persis di bawah kaki saya, banyak orang yang menggelesot duduk. Bikin Bindi nggak bisa leluasa bergerak. Meski begitu, Bindi tampak enjoy. Malah bisa bercanda dengan penumpang yang gemes melihat tingkahnya.




Jadwal Kereta Prameks per Juli 2011

(jadwal kereta dicomot dari sini)

Wednesday, August 17, 2011

little indiana jones





Bindi di Candi Prambanan




Jalan-jalan di Candi Sambisari
Kami mulai mengajak Baby Bindi berwisata arkeologis setelah usianya 8 bulan ke atas. Saat itu Bindi sudah bisa duduk sendiri dengan nyaman dan sudah mulai tampak menikmati perjalanan. Bindi juga sudah bisa diajak berlama-lama di luar ruang selama beberapa jam. Setelah yakin dengan kondisi fisiknya yang cukup kuat, barulah kami mengajaknya jelajah candi.  

Candi pertama yang kami kunjungi adalah kompleks Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 3 km arah ke timur Candi Prambanan. Kompleks Candi Ratu Boko terletak di atas bukit. Jika menggunakan transportasi umum, penumpang akan turun di pinggir jalan raya Prambanan – Wonosari dan naik mendaki bukit. Lumayan ngos-ngosan, meski sudah dibuatkan tangga khusus untuk mencapai komleks candi. Paling enak memang menggunakan kendaraan pribadi, sehingga bisa langsung memarkir kendaraan di pelataran candi. Hemat energi, mengingat untuk menyusur kompleks Candi Ratu Boko ini yang cukup luas dan banyak tangga naik turunnya ini juga butuh energy ekstra. Apalagi sambil menggendong Baby Bindi.
Saat itu usia Bindi pas 8 bulan dan belum bisa berjalan, sehingga kami mengangandalkan ransel gendongan. Travel gear yang tepat digunakan untuk menjelajah kompleks candi memang ransel gendongan, bukan stroller. Stroller hanya akan membuat kita kerepotan karena jalan di kawasan candi biasanya tidak rata, bahkan ada beberapa anak tangga yang harus dilalui seperti di kompleks Candi Ratu Boko. Dengan ransel gendongan bayi, kita lebih leluasa menjelajah kompleks candi tanpa hambatan. 

Perjalanan pertama jelajah kompleks Candi Ratu Boko ternyata sukses. Bindi nggak rewel meski diajak berpanas-panas. Saat kami beristirahat di bawah pohon kelapa, duduk-duduk di atas batu-batu candi untuk membuka bekal makanan, Bindi juga tampak enjoy. Dia menyantap makanannya dengan lahap. Begitu kenyang dan kembali naik ke ransel gendongan, Bindi langsung tertidur. Dasar bocah! 

Setelah sukses melewati ujian petualangan candi, kami pun merencanakan trip ke candi lagi. Seminggu kemudian, kami mengajak Bindi ke Candi Prambanan ditemani travel gear andalan kami, ransel gendongan. Kompleks Candi Prambanan jauh lebih tertata daripada Ratu Boko yang lebih alami. Penataan Candi Prambanan yang berkonsep taman ini membuat kawasan candi terlihat lebih asri, bersih, dan bikin nggak berasa capek meski harus mengitari kompleks candi karena pintu masuk dan keluar jalurnya berbeda. 

Pada perjalanan kedua jelajah candi ini, Bindi makin terlihat daya tahan tubuhnya yang prima. Dia nggak bobok lagi di ranselnya. Malah mulai ngajak bercanda dengan narik-narik rambut saya atau bapaknya yang bergantian menggendong dengan ransel. Melihatnya tampak makin enjoy diajak bertualang kawasan candi, saya pun lantas mengagegendakan trip ke candi lainya, “kapan-kapan ke Borobudur, yuk,” ajak saya pada Edo yang langsung disetujui. Tinggal mengatur waktu bangun pagi saja, mengingat perjalanan dari Yogya ke Borobudur setidaknya butuh 45 menit. Artinya, kami harus berangkat pagi-pagi supaya sampai tujuan matahari belum terlalu tinggi. 

Sayangnya, belum sampai niatan ke Candi Borobudur kesampaian, erupsi Gunung Merapi yang terjadi sepanjang bulan Oktober 2010 lalu membuat kami perlu menunda agenda jelajah Candi Borobudur. Apalagi muntahan lahar dingin yang sempat berulang kali memutuskan jalur Yogya – Semarang, rasanya kami perlu menunda beberapa bulan atau tahun lagi deh. 

Kami pun mengalihkan trip ke candi-candi lain di sekitar Yogya. Ada puluhan candi-candi kecil yang menarik dijelajahi. Salah satunya adalah Candi Sambisari yang terletak tak jauh dari bandara Adisutjipto. Dari jalan raya Yogya – Solo, sekitar 1 km timur bandara, terdapat jalan ke utara menuju Candi Sambisari. Kira-kira 2 km jauhnya dari ruas jalan utama Yogya – Solo. 

Candi Sambisari ini sangat unik, karena terpendam di bawah tanah. Konon, candi ini ditemukan tanpa sengaja oleh seorang petani bernama Karyowinangun pada tahun 1966. Ketika ia tengah mencangkul sawah, tiba-tiba cangkulnya terantuk bongkahan batu. Saat ia mencoba menggali lebih dalam lagi, rupanya bongkahan batu itu penuh pahatan. Oleh dinas purbakalan, sawah milik Karyowinangun kemudian ditetapkan sebagai suaka purbakala.
Setelah melakukan penggalian dan penelitian selama kurang lebih 21 tahun, barulah terlihat wujud candi Hindu (Siwa) yang diperkirakan dibangunan pada abad ke-9. Rupanya akibat letusan hebat Gunung Merapi yang diperkirakan terjadi pada tahun 1006 M, candi ini jadi tertimbun lahar. Setelah ratusan tahun, lahar yang memadat itu menjadi permukaan tanah di mana di atasnya warga bercocok tanam. Itulah sebabnya, Candi Sambisari berada sekitar 6,5 meter di bawah permukaan tanah.

Saat mengunjungi  Candi Sambisari, Bindi sudah berusia 1,5 tahun dan sudah bisa berlarian. Kami sudah tidak perlu lagi membawa ransel gendongan, mengingat Candi Sambisari ini cukup mungil jika dibandingkan Candi Prambanan, Ratu Boko, dan Borobudur. Luas kawasan Candi Sambisari sekitar 50 x 48 meter, nggak bakal melelahkan buat Bindi. Kalaupun dia minta gendong saat menuruni atau menaiki tangga candi, bisa kami gendong tangan biasa, tak perlu dengan gendongan. 

Tips Jelajah Candi
·         Pilih waktu saat matahari condong ke timur (pagi) atau ke barat (barat) supaya tak terlalu terik. Loket candi biasanya sudah buku pada pukul 06.00 dan tutup pada pukul 17.30.
·         Gunakan travel gear yang nyaman seperti ransel gendongan. Jika tak memiliki, bisa menggunakan gendongan bayi jenis ransel yang diliangkan di punggung.
·         Payung dan topi jangan sampai ketinggalan ya.
·         Bawa minuman botol ekstra biar nggak dehidrasi di tengah jalan.
·         Diapers dan perlengkapan ganti sebaiknya juga dibawa serta, jangan ditinggal di mobil.

Monday, August 15, 2011

cokelat

cokelat Ratu Victoria dari London


Rasa-rasanya saya belum pernah bertemu orang yang nggak doyan coklat. Yang ada kebalikannya. Kebanyakan orang sangat doyan coklat, apalagi jika ada yang ngasih saat hari Valentine atau oleh-oleh dari traveling.

Saya jadi ingat kisah lenyapnya beberapa keping coklat yang bikin heboh teman-teman sekantor. Kepingan coklat bergambar Ratu Victoria dengan diameter 12 cm itu adalah sebagian dari oleh-oleh yang saya bawa dari London (2007). Saya membelinya di National Portrait Gallery, London. Harga per keping sekitar 4 pounds dengan kurs rupiah pada saat itu Rp 18.500,-.

Ada 12 keping yang saya bagikan pada mereka, 11 keping untuk teman-teman di kantor dan 1 keping untuk penjaga malam. Kepingan cokelat itu tersimpan manis di kulkas sepanjang hari supaya nggak lembek kena hawa tropis. Sore, ketika pulang, mereka mengambilnya.

Sunday, August 14, 2011

daypack

me & timberland
Salah satu piranti jalan andalan saya adalah daypack alias ransel kecil  18 - 24 liter. Biasanya kalau lagi backpacking lebih dari seminggu, saya menggunakan dua ransel yaitu ransel backpacker yang ukurannya di atas 45 liter yang berisi segala perlengkapan saya dan ransel daypack yang isinya lebih ringan seperti lonely planet, agenda, botol minum, dan travel wallet untuk menyimpan dokumen perjalanan. Tapi kalau perginya cuma sebentar, 2-4 hari, biasanya saya hanya menggunakan daypack 24 - 30 liter saja.

Dalam keseharian, saya juga biasa menggendong daypack ini, termasuk buat ngantor. Bahkan ransel ini juga sering saya jadikan diaperbag, tempat nyimpen diaper dan perlengkapan bayi kalo lagi jalan sama sama Baby Bindi.