Wednesday, August 18, 2010

TALES yg penuh kerendahan hati

review buku TALES from the ROAD dari mbak Rinurbad...

Etnografi [berasal dari bahasa Yunani ethnos dan graphein] merupakan metode penelitian kualitatif yang diterapkan dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi. Studi ini menelaah budaya, universalitas dan keragamannya berdasarkan penelitian lapangan.

Nuansa etnografislah yang membedakan karya Matatita dengan buku-buku bergenre serupa di peta perbukuan kita. Penulis menggunakan nama pena tersebut dengan pemikiran bahwa kisah-kisah yang diuraikan dalam buku [dan blognya] adalah hasil rekam mata seorang penjelajah dan mata kamera yang tidak pernah alpa ditentengnya.

Kemenarikan sudut pandang ini ditambah oleh ciri setiap perjalanan Matatita sendiri yang tidak semata-mata berlibur, melainkan terkait kepentingan pekerjaan [business trip]. Dalam salah satu tulisannya, ia mengemukakan bahwa waktu luang bagi masyarakat Indonesia bukanlah sesuatu yang mewah sehingga berlibur perlu menjadi rutinitas seperti di luar negeri. Sebabnya, orang kantoran di negeri kita masih bisa mencuri waktu dan berleha-leha pada jam kerja. Dengan demikian, cuti 12 hari per tahun sudah memadai, selain libur bersama yang cenderung kontraproduktif. Penulis mengantungi ‘kelegaan’ ekstra selaku pengusaha, sehingga sambil menyelam, bisa minum air. Ia acap kali sengaja memilih proyek yang mengharuskan bepergian ke daerah-daerah.

Pesona lain Tales from the Road terletak pada porsi cerita perjalanan di dalam negeri yang lebih besar. Jejak Matatita di mancanegara cukup spesifik, antara lain Nepal, Thailand, dan Edinburgh [yang ternyata dibaca Edinbra]. Bali sudah tentu menjadi salah satu titik pijak, kendati ironisnya, Yogyakarta yang begitu ternama merupakan tempat ‘asing’ di telinga warga negeri jiran sekalipun.

Kejelian penulis tampak pada pengamatannya akan pelayanan sopir Tuk-tuk yang berkomitmen mengantar turis seharian dengan biaya flat, sistem komisi dalam kerjasama penarik becak di Malioboro dengan produsen Dagadu palsu, warga lokal Indonesia yang mengusung prinsip komersil sehingga untuk sekali jepret dalam busana daerah pun dikenai bayaran, ponsel kamera lebih mencegah kerikuhan orang daripada membidik dengan kamera berlensa tele, sampai TKW perantau di Taiwan yang diperlakukan amat ‘setara’ oleh pasangan majikannya dan melupakan unggah-ungguh di tempat asal kala bertandang ke rumah sesama orang Jawa. Manfaat Tales from the Road dapat pula diraup dari tips yang disematkan pada pamungkas tiap cerita, selain foto-foto yang mengukuhkan karakteristik Matatita sebagai photo blogger dan sudah tercermin dari sampul bukunya yang eksotis.

Berhubung penulis adalah warga Yogya yang berdekatan dengan keraton pula, cukup lumrah bila ia kerap mengantar-antar atau menjadi host wisatawan luar negeri yang ingin berkeliling kota gudeg. Sebagaimana umumnya backpacker, penulis bergabung dengan komunitas hobiis jalan-jalan baik domestik maupun internasional. Dikemukakannya bahwa menolak menjadi host tidak masalah sebab sesama anggota terbiasa saling mengerti dan masing-masing mempunyai ketentuan spesifik akan tamu yang diperkenankan menginap demi kenyamanan bersama. Pun saat dikunjungi, ternyata tamu dari seberang lautan itu berpindah-pindah tempat menginap sehingga kerepotan yang dikhawatirkan tidak perlu terjadi. Penulis sendiri memiliki kebiasaan beradaptasi di tempat baru [yang didatanginya] dengan menginap di hotel atau hostel, tidak langsung ‘nyangkut’ di rumah kenalan yang bersedia memberikan tumpangan.

Keseluruhan buku ini nikmat dibaca, utamanya, karena kerendahan hati penulis.

No comments:

Post a Comment