Monday, December 26, 2011

[pameran] kathmandu through my eyes

klik image untuk memperbesar
Sejumlah teman melontarkan pertanyaan yang sejenis sepulang saya dari Nepal, “kok nggak trekking? Nggak ke Everest Base Camp?  Sayang sekali ya…” Lalu saya pun balik bertanya, “memangnya kalau ke Nepal harus mendaki Himalaya?” Sebenarnya saya sangat memaklumi pertanyaan teman-teman yang terlontar dengan nada penuh kecewa itu, sebab hampir sebagian besar orang mengimajinasikan Nepal dengan Himalaya dan puncak Everest-nya.  Saya juga berani taruhan, kebanyakan orang Indonesia yang mimpi ke Nepal adalah para pecinta alam, aktivis MAPALA.

Bagi saya, yang nggak hobi naik gunung ini, Nepal menarik minat saya karena negeri ini eksotis dalam kacamata saya sebagai orang modern. Sebuah negeri tempat tradisi dan budaya lokal masih begitu kental dalam kehidupan warganya.  Negeri dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarana yang membuat saya seolah sedang berada di masa puluhan tahun silam.

Saya beruntung, saat mengunjungi Nepal pada bulan April 2009 lalu, sedang banyak festival di Nepal dalam rangka Buddha Jayanti (Waisak) dan Bisket Jatra Festival (Tahun Baru Nepal). Perayaan yang ditumpahi puluhan ribu orang di Swayambunath dan Bhaktapur itu membuat saya merasakan sensasi luar biasa saat berada di tengah-tengah mereka. Bertemu dengan penduduk asli (indigenous people) adalah obsesi saya setiap kali melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang saya angankan sebagai negeri eksotis.

Puncak dari sensasi saat berlibur ke Nepal adalah ketika saya mendapat kesempatan menginap di rumah sebuah rumah tradisional suku Newar di kawasan yang dilindungi (UNESCO World Heritage) di Bhaktapur, 13 km dari Kathmandu. Inilah kesempatan saya untuk mengenal Nepal lebih dari sekedar yang ada dalam buku panduan perjalanan sekelas Lonely Planet sekalipun. Tinggal bersama penduduk lokal adalah saat dimana saya mengalami kebudayaan lain (experience different culture), melihat aktivitas mereka sejak bangun tidur hingga berangkat tidur lagi.

Kebetulan, suami saya –Edo- juga kurang menyukai nature adventure sehingga ia mendukung dengan gagasan saya mengisi perjalanan ini dengan stok foto yang merekam pilgrim kaum Buddha, festival dan situs warisan budaya, serta kehidupan masyarakat lokal.

Saat memotret, saya lebih suka menggunakan kamera saku (compact) karena membuat saya tidak terlalu berjarak dengan mereka. Mereka juga tidak merasa terganggu oleh kamera saya.

Suluh Pratitasari | www.matatita.com
Eduardo A. Wibowo | www.edography.net