Monday, May 2, 2011

penulis dan pembaca

pelajaran berharga yang terus tertanam dalam benak sebagai penulis adalah berbesar hati ketika karya kita dikritik orang lain. sewaktu remaja dulu hingga kuliah, saat saya sering nulis cerpen di majalah hai, gadis, aneka, dan mode, saya sudah sering diolok-olok teman karena nulis cerpen roman, cinta-cintaan remaja. harap maklum, saat itu saya bergaul sama temen-temen aktivis pers mahasiswa yang sering nulis opini di koran dengan tema politik. sementara itu, di fakultas sastra tempat saya belajar (meski saya ngambil jurusan antropologi), cerpen-cerpen saya juga nggak dianggep sebagai karya sastra besar, alias sastra pop yang bagi sebagian orang mungkin dianggep karya ecek-ecek.

tapi saya tidak pernah minder atau rendah hati. saya juga tidak merasa mereka tengah merendahkan saya. mereka mungkin mengritisi karya saya, tetapi bukan berarti menjelekkan. mengkritisi dan menjelekkan adalah dua hal yang berbeda. yang satu bersifat positif meskipun kadang-kadang terasa menohok dada, yang satu lagi bernada negatif yang biasanya didasari rasa dengki.



bagi saya, cerpen cinta-cintaan remaja itu hanyalah salah satu style yang saya pilih untuk menulis kreatif. juga untuk belajar cari uang dengan menerima honor dari cerpen-cerpen yang dimuat di majalah. selebihnya, saya juga terus belajar menulis dengan style yang berbeda dan segmen pembaca yang berbeda, bukan berupa cerpen tetapi artikel. jadi berimbang, cerpen abege saya dimuat di majalah remaja, artikel saya yang lain di muat di majalah umum. asyik kan?

sebagai penulis, saya juga meluangkan waktu untuk membaca karya orang lain. dulu, saat masih rajin nulis cerpen, saya juga membaca cerpen-cerpen lain yang dimuat di majalah remaja yang biasa memuat cerpen saya. bukan untuk membandingkan, tapi semata-mata untuk belajar, memperkaya kosa kata, mempelajari diksi dan gaya bahasa.

karena saat ini saya lagi mengklaim diri sebawai 'travel writer', saya juga rajin membeli buku-buku traveling karya orang lain. membaca naskah mereka, juga melihat kualitas foto-foto dan cetakan bukunya, membuat saya merasa bahwa karya saya bukanlah yang terbaik. ternyata banyak orang yang sudah melakukan perjalanan lebih jauh, lebih mendalam, memotret dengan lebih keren, menulis dengan lebih terstruktur, dan bahkan dicetak di kertas yang lebih berwarna.

buku saya, bukannya tak pernah ada yang mengkritisi. buku TALES from the ROAD yang saya banggakan itu, juga dikritisi pembaca walau di satu sisi ada pembaca yang menominasikannya sebagai salah satu karya non fiksi terbaik (masuk 5 besar). kritik dari pembaca yang pernah saya terima adalah ketika si pembaca itu menyandingkan TALES dengan novel perjalanan legendaris karya Jack Kerouac, On the Road yang ditulis tahun 1951 tapi baru diterbitin tahun 1957. saya belum membaca novel On the Road (dan jadi pengin baca. di mana nemunya ya?) dan saya merasa perbandingannya ketinggian. tapi saya menghormati pengkritiknya, mungkin karena dia bacaannya karya-karya yang hebat, jadi dia kecewa ketika ternyata buku saya nggak sehebat buku-buku yang dibacanya. mana judulnya mirip-mirip pula.

kritikan lain, dari seorang pembaca yang memang hobi baca buku dan punya blog khusus buku-buku yang dibacanya. dia tinggal di eropa dan bela-belain nitip dibawain TALES pada temannya dari indonesia. begitu sudah membaca, dia kecewa karena ternyata buku saya jauh dari harapannya tentang sebuah karya etnografi perjalanan. katanya, "buku ini tak ubahnya sebuah buku how to". saya bahagia sekali ketika menemukan review tentang TALES di blognya. sungguh, itu review yang cerdas. dan saya tidak perlu marah atau tersinggung, apalagi kemudian menganggap karya sendiri sebagai karya ecek-ecek.

saya tak mau menjadi minder (atau tinggi hati) dengan penulis lain hanya karena karya saya berbeda style penulisannya. saya justru seneng ketika ada orang yang menjejerkan karya saya dengan karya yang lain. mengurai perbedaan style penulisan, bukan berarti merendahkan yang satu atau meninggikan yang lainnya. justru ketika perbedaan itu diurai, kita jadi tahu karya kita ditempatkan di mana oleh pembaca. sekali lagi PEMBACA. sebab pengarang sudah mati.

tiba-tiba saya kok jadi teringat pakar semiotika roland barthes tentang "the death of the author". katanya, kematian penulis atau pengarang itu diiringi dengan kebangkitan pembaca, di mana pembaca bisa memaknai teks yang mutitafsir itu berdasarkan pengalaman-pengalaman personalnya. setiap pembaca akan memiliki tafsir yang berbeda atas karya teks.
teori ini membuat saya tidak marah ketika buku saya dikritisi orang lain. bahkan, kadang-kadang saya sengaja mengambil jarak supaya saya bisa mengkritisi karya saya sendiri kok.

sebagai penulis saya juga menjalin pertemanan dengan sesama penulis perjalanan. lewat forum travel writing sembari minum kopi yang embrionya sudah saya rintis sejak 2007, saya mengundang sejumlah penulis untuk berbagi kisah inspiratif pada pembaca. forum yang saya impikan menjadi media bagi penulis & pembaca ini, merupakan forum independent yang idenya saya gagas sendiri (sekarang dibantu teman-teman pencinta buku), lalu mencari rekanan untuk mensupport yaitu penerbit dan pemilik kafe, jika masih kurang untuk biaya cetak poster dan backdrop biasanya saya nombokin pake duit sendiri.

lewat forum ini saya belajar banyak dari penulis-penulis besar, ada pak sapardi djoko damono, ada andrea hirata, mas kris budiman, novelis putu fajar arcana, juga teman-teman sesama travel writer yang bukunya diterbitin penerbit lain maupun indie publishing. terus terang saya terharu lho, saya kan bukan penulis besar. tapi ternyata mereka mau membagi ilmu di forum gratisan yang saya buat ini. amien.

1 comment:

  1. Ahh.. klu ada yang lbh high class maupun low class itu ma udah biasa. Tapi yg penting bwt q, TALES nya mbak Tita itu asyik dibaca. Jarang" ada bk Travelling yg hbs terbc di tgn aye.. hehehe..
    Sejauh ini br TALES and Eurotrip, Fav aye sih TALES. Celoteh mbak Tita itu nJOGJa banget + ke Jowo anne ndak katinggalan.. FABULOUS! FABULOUS!
    from: Alvina

    ReplyDelete