Saturday, August 20, 2011

napak tilas (1): pedalaman borneo (1994 - 2008)


1994
2008


Saya tak ingat betul berapa jam waktu yang kami habiskan di atas hardtop dari Melak, Kab. Kutai Barat, menuju desa Pepas Eheng Kec. Barong Tongkok pada tahun 1994 lalu. Jarak kilometernya hanya sekitar 36km, tetapi sepertinya lebih dari 3 jam tubuh kami terguncang di atas hardtop yang dipenuhi backpack berisi pakaian dan bekal hidup untuk sebulan di pedalaman Borneo.

Jalanan tak beraspal dari Melak ke pertigaan Mencimai yang terletak di selatan kota kecamatan Barong Tongkok waktu itu kami tempuh sekitar 45 menit. Kemudian dari persimpangan Mencimai kami belok ke barat menuju Pepas Eheng. Sesaat setelah hardtop yang kami tumpangin mebelok ke kanan, kami pun melintasi hutan dengan kondisi jalan tanah/lumpur yang bergelombang.

“Welcome to the jungle..!” seru saya sambil terguncang-guncang. Sebenarnya hutan yang kami lintasi bukan hutan belukar dengan pohon-pohon besar. Tapi lebih menyerupai sebuah kebun luas dengan pohon-pohon yang ranting dan daunnya kadang menjuntai menutup jalan. Jalan tanah yang menjadi becek oleh hujan yang kami lewati mungkin hanya selebar 2 meter, pas untuk satu mobil melintas. Jangan membayangkan bagaimana kalau berpapasan, karena jalan ini jarang-jarang dilewati kendaraan roda empat pada saat itu.

Hampir 2 jam tubuh saya dan teman-teman semobil terguncang. Itupun sebenarnya kami termasuk beruntung, karena pada saat kami melintasi jalan menuju Pepas Eheng, sejumlah warga yang tinggal di jalur Mencimai – Pepas Eheng sedang menyiangi ranting-ranting pohon di tepian jalan. Mereka tengah bekerja bakti, karena beberapa hari ke depan, rombongan Bapak Moerdiono (saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan) akan berkunjung ke Pepas Eheng. Rombongan Pak Menteri ini juga akan diiringi oleh Tim Ekspedisi Kapuas - Mahakam yang kalo nggak salah didukung Kompas.

Persis 14 tahun kemudian, bulan Agustus 2008 lalu, saya berkesempatan napak tilas Melak – Pepas Eheng. Kesempatan ini sudah bertahun-tahun saya impikan, sejak kembali ke Jogja dari Pepas Eheng pada bulan Agustus 1994. Pengalaman eksotis selama sebulan tinggal di lamin (rumah panjang) suku Dayak Benuaq di Pepas Eheng, membuat saya berjanji untuk kembali. Keinginan itu makin membuncah ketika pada tahun 2005 – 2008 saya sering bolak-balik ke Kalimantan untuk urusan pekerjaan.

Dari Samarinda saya berangkat menuju Melak lewat jalur darat. “Nggak lama kok, paling cuma 8 jam perjalanan,” kata relasi saya menginformasikan jarak tempuh dari Samarinda ke Melak. “Pokoknya dinikmati aja deh, pemandangan hutan dan kebun sawitnya,” tambahnya lagi seolah menghibur saya yang mungkin menurutnya jadi nggak semangat membayangkan 8 jam perjalanan ke hulu, bagian tengah Kaltim.

"Ah, jaman dulu sebelum ada jalan darat, saya sehari semalam lewat sungai Mahakam," jawab saya berterus terang. Kini giliran dia yang terhenyak. “Apa? Tahun berapa tuh?” Relasi saya yang pendatang dari Jawa dan baru beberapa tahun ditugaskan di Samarinda itu tampak terkejut keheranan. Nggak nyangka bahwa saya pernah melakukan hal itu.

Saat mobil yang kami naiki mulai memasuki wilayah kota Sendawar, ibukota Ka. Kutai Barat, yang letaknya menyatu dengan kota kecamatan Barong Tongkok, mata saya jelalatan ke sana ke mari, mencari-cari adakah sisa dari masa 14 tahun lalu yang masih dapat saya kenali. Kota ini sudah berubah total. Sudah seramai kota-kota kecamatan di pulau Jawa. Begitu juga ketika saya menyempatkan diri jalan-jalan di dermaga Melak, tempat perahu Putra Mahakam yang pernah kami tumpangi merapat. Sudah tak mampu saya kenali lagi selain air sungai Mahakam yang berwarna coklat.

Saya baru punya kesempatan napak tilas Melak - Pepas Eheng dua hari kemudian, setelah urusan gaweyan dengan relasi beres. "Beneran, berani jalan sendiri?" tanya relasi saya sebelum dia kembali ke Samarinda. Maksudh hati dia berbaik hati akan mengantar saya ke Pepas Eheng, tapi dengan tulus saya tolak karena saya pengin bernostalgia.

Tentu saja saya tak perlu mencari sewaan hardtop lagi karena jalan sudah diaspal, mulus dan lebar. Tapi karena angkutan umum ke sana belum ada, teraksa saya carter mobil juga akhirnya. Ongkosnya lumayan mahal buat kantong orang yang tinggal di Jogja. Rp 200.000 single trip. "Memang berapa lama dari Melak ke Eheng?" tanya saya sambil membayangkan saat terguncang di atas hardtop 14 tahun lalu. "Paling lama 30 menit," kata driver yang membuat saya tercengang. Dulu kan hampir 3 jam, pake bonus pegel-pegel pula.

Begitu mobil kijang sewaan itu melaju meninggalkan pelataran hotel di Melak, saya sudah pasang mata baik-baik mencermati sekitar. Ternyata hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai pertigaan Mencimai Barong Tongkok dari Melak. Sementara itu dari Mencimai ke Pepas Eheng juga hanya memakan waktu sekitar 15 menit!

Gara-gara jalan beraspal itu, saya sampai nggak sadar kalau mobil yang mengantarku sudah berhenti di depan rumah panjang bertuliskan Lamin Adat Kampung Pepas Eheng. "Hah..cepet sekali?" kata saya spontan. Padahal mata saya masih sibuk mencari-cari papan arah, barangkali ada tulisan "Selamat Datang di Desa Pepas Eheng" yang ada di dekat jembatan kecil di erbatasan desa tempat saya pernah berfoto narsis 14 tahun lalu.

Memang sih, mobil yg saya tumpangi sudah melewati sungai dengan jembatan yang kokoh dan ada taman kecil di dekatnya. Ah, tapi saya nggak yakin bahwa itulah jembatan yang sekaligus menjadi batas wilayah desa Pepas Eheng dengan desa Engkuni. Saya kok masih nggak percaya ya.

No comments:

Post a Comment