Friday, November 18, 2011

bakpia [bukan] asli jogja

Suatu ketika saya membeli bakpia Pathuk bukan untuk oleh-oleh, tetapi untuk menyuguhi tukang batu yang sedang merenovasi rumah. Sekedar memberinya camilan pendamping teh panas untuk suguhan rehat. Karena bukan dalam rangka memberi buah tangan, kali ini saya sengaja membeli bakpia dari brand yang bukan juara satu.

Meskipun bukan bakpia juara, tetapi brand bakpia ini cukup populer di Jogja, terutama di kalangan tukang becak yang biasa mengantar wisatawan membeli oleh-oleh khas Jogja. “Bakpianya sekotak berapa, Mbak?” tanya saya pada penjaga toko oleh-oleh di daerah Pathuk (Jl. K.S Tubun) sambil memilih-milih bakpia. “Kalau yang isi 15 harganya lima belas ribu, yang isi 20 harganya dua puluh ribu,” jawabnya. Lalu si Mbak penjaga toko itu bergeser lebih mendekat ke arah saya dan berbisik, “kalau Mbak-nya datang ke sini nggak diantar tukang becak, nanti dapet diskon tiga ribu rupiah per dos. Tapi diskonnya khusus bakpia aja.”

Saya segera paham. Pantas tukang-tukang becak lebih suka merekomendasikan bakpia KW 2 (kwalitas nomor dua) ini pada para wisatawan karena akan mendapat komisi Rp 3.000 per kotak bakpia yang dibeli. Pantas saja tukang becak rela dibayar Rp 3.000 untuk perjalanan bolak-balik dari Malioboro, Rotowijayan (batik), Pathuk, dan kemudian kembali lagi ke Malioboro. Rupanya komisi yang akan didapat tukang becak dari pembelian bakpia (dan juga batik) jauh lebih banyak ketimbang tarif Rp 3.000 return yang dikenakannya.
Seketika saya terkagum pada kedahsyatan sepotong bakpia Pathuk. Makanan berbahan dasar tepung terigu dengan isi kacang hijau (sekarang sudah lebih variatif, ada isi keju, coklat, nanas, dll), berdiameter sekitar 3 cm ini ternyata memiliki peran yang luar biasa dalam industri pariwisata Yogyakarta. Bakpia bukan sekedar camilan biasa. Pada sepotong bakpia, terdapat potongan memori tentang kota Jogja. Keduanya nyaris tak bisa dilepaskan. Menyebut kata bakpia (Pathuk), akan membawa ingatan kita pada Yogyakarta. Pada sepotong bakpia itu pula, ribuan wong cilik di Yogyakarta (tukang becak dan tukang parkir), mengharap komisi dari hasil penjualan bakpia Pathuk.