Friday, July 13, 2012

ada yang minat kerjabareng

Selang beberapa hari saya membuat website MATATOURS yang menggunakan hosting gratisan dari blogpsot, saya mendapat message dari seorang kawan yang tertarik untuk berkongsi mengembangkan bisnis travel. Saya terkejut. Sungguh-sungguh nggak nyangka bakal ada yang berminat investasi di bisnis yang baru beberapa hari saya lahirkan. Nggak salah nih?

Katanya, ia tertarik dengan konsep traveling yang saya kembangkan lewat bendera Matatours. Untuk alasan ini, saya nggak terlalu terkejut mengingat kami sama-sama belajar ilmu Antropologi sehingga kami sudah terbiasa jalan-jalan menjelajah ke tempat-tempat yang non-touristy. Antropolog mengajari kami untuk jalan-jalan bukan sekedar sebagai kegitan rekreatif, tetapi juga sebagai salah satu cara untuk mengalami kebudayaan lain. Jalan-jalan ala antropolog ini membuat perjalanan menjadi lebih bermakna, karena selalu ada upaya belajar dan mikir yang terselip di dalamnya. Bukan sekedar jalan-jalan yang narsis dan hip-hip hura.

"Tapi, jualan paket perjalanan seperti ini susah. Bahkan mungkin nggak laku jika dibisniskan," kata saya saat kami akhirnya janjian ngopi bareng. Soal urusan laku dan nggak laku, saya sudah merasakan sendiri lewat hasil penjualan buku-buku traveling yang saya tulis. Buku TALES from the ROAD yang dipuji banyak orang, yang pernah dinominasikan dalam Festival Pembaca Indonesia (2009), yang isinya dinilai sangat inspiratif karena membuat pembaca jadi mengenal kebudayaan lain di pelosok Tanah Air dan di belahan dunia lain, tapi penjualannya nggak laku. Secara bisnis dianggap tidak menguntungkan. Sementara itu, buku EUROTRIP yang saya tulis karena rasa penasaran mengapa pembaca Indonesia kurang menyukai travelogue ala TALES from the ROAD dan lebih suka buku panduan perjalanan, di luar dugaan laku keras. Tiga bulan pertama setelah edar, langsung cetak ulang dan cetak ulang lagi pada bulan kedelapan.

Meskipun kami cukup sadar diri bahwa menjual paket jalan-jalan ala antropolog nggak bakalan laku -setidaknya untuk saat ini di Indoensia- tapi kami begitu antusias mendiskusikan paket-paket tour unik dan bergizi yang mungkin bisa dicoba. "Paket tour yang pake mikir," tambahnya.

Oh ya, sahabat saya itu sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Belanda, di negeri yang museum seni-nya selalu diantre pengunjung beratus-ratus meter. Katanya, di Eropa sudah cukup banyak wisata minat khusus yang unik dan bergizi. Misalnya tour napak tilas film-film box office seperti Da Vinci code dan Harry Potter. Bahkan juga ada paket tour yang dikhusukan untuk para pecinta buku dan sastra yaitu literary tour.

Tentu saja saya juga minat banget mengikuti paket tour seperti ini. Masalahnya, berapa gelintir orang sih yang mau jauh-jauh datang ke Eropa hanya untuk napak tilas jejak Da Vinci Code? Bisa jadi jumlahnya 1:1juta jika dibandingkan dengan orang Indonesia yang ke Eropa untuk melihat menara Eiffel. Dari 1 juta orang Indonesia, mungkin hanya ada 1 orang rela mengeluarkan uang untuk napak tilas Da vinci code. Satu orang itu pun sudah bisa ditebak, hidupnya mapan dan sudah beberapa kali mengunjungi Eropa dan benua lain. Atau minimal, dia sedang dapat beasiswa studi di Eropa. Hehe...!

Obrolan sembari minum kopi dan teh yang terkesan idealis itu, terus terang menghantui pikiran saya. Memang kecil kemungkinan bikin paket tour ke Eropa untuk napak tilas film atau buku-buku sastra terkenal. Tapi kalau untuk napak tilas buku saya, EUROTRIP Safe & Fun (2010) sepertinya kok masih optimis ya. Setidaknya sejak buku itu terbit saya sudah mendapat puluhan permintaan nge-trip bareng ke Eropa. Kenapa tidak dicoba? Dan kalau tidak mencoba sekarang, kapan lagi? Perjalanan ke Eropa harus berkompromi dengan musim. Musim semi adalah perjalanan tour yang cukup menyenangkan, tidak terlalu dingin, matahari baru tenggelam pada pukul 20an malam, dan bunga tulip tengah bermekaran. Timing yang pas buat wisatawan Indonesia nih.


Saya pun lantas disibukkan dengan proyek jalan-jalan pertama ke Eropa.




berawal dari buku

jalan-jalan, nulis, narsis @ubud travel writing trip

Sejak menerbitkan buku EUROTRIP: Safe & Fun (2010), saya mendapat puluhan email maupun message di inbox facebook yang nadanya sama, "kapan bikin acara jalan-jalan bareng ke Eropa, Mbak?" Biasanya saya akan menjawab dengan malas-malasan karena selama ini merasa lebih nyaman sebagai solo traveler. Bahkan isi buku EUROTRIP itu juga memberikan sejumlah tips bagi pejalan solo, terutama buat female solo traveler. Jadi, saya merasa aneh sendiri jika membuat trip jalan bareng rame-rame.

Maka, dengan tegas saya mengabaikan ajakan para pembaca buku saya.

Sampai suatu hari, seorang pembaca memberi komentar yang sangat menyentuh sisi keangkuhan saya. Katanya ia sudah membaca beberapa buku traveling tentang Eropa yang ditulis para backpacker Indonesia. Katanya lagi, buku Eurotrip yang saya tulis menurutnya punya kelebihan. "Matatita tidak hanya menunjukkan bahwa pergi ke Eropa sekarang lebih terjangkau, tapi juga mengajak saya menyususri tempat-tempat yang tidak diceritakan penulis lain. Misalnya saat ke Paris, Matatita menggambarkan kawasan Latin Quarter tempat para seniman dan filsuf besar seperti Jean-Paul Sartre, Ernest Hemingway, dan Pablo Picasso dengan sangat indah. Bahkan dia membayangkan para filsuf Perancis tengah berdiskusi di kafe-kafe....".

Saya tertawa saat mendengar pujiannya. Ya iyalah, secara saya memang suka seni dan sastra, jadi wajar kan jika saya menjelajah tempat itu. Tapi, pembaca itu berkata-kata lagi, "Justru itu, berarti Anda memiliki selera jalan-jalan yang nggak sekedar I've been there, pernah ke Paris dan berfoto dengan latar Eiffel....". Meski saya masih tertawa, tapi sejujurnya saya terpana oleh kata-katanya.

Kemudian saya menjadi bertanya-tanya pada diri sendiri. Kok dia begitu jeli mengamati buku dan gaya jalan-jalan saya ya. Apakah memang ada orang lain yang seide dengannya. Jangan-jangan cuma dia saja yang barangkali punya ketertarikan di bidang yang sama. Berarti cuma kebetulan saja.

Lama saya tercenung meresapi komentarnya. Saya bahkan memutar ingatan ke beberapa tahun silam, mengobrak-abrik semua memori tentang perjalanan saya baik yang sendiri maupun bersama teman-teman.

Saya jadi ingat, suatu hari saya pernah mengajak kawan liburan ke Bali. Dia dengan tegas menolak, "Ah, Bali mah bosen!" Saya protes, sebab saya tak pernah merasa bosen dengan Bali, terutama Ubud. "Kamu pernah ke Ubud belum?" Dia menggeleng. "Nah, ayo ke Ubud..." Setelah berdebat panjang, akhirnya kami jadi juga berangkat ke Ubud. Begitu tiba di Ubud dan menginap dua malam, dia marah-marah, "kenapa ya aku tidak mengenalmu dari dulu. Ternyata kamu bisa menunjukkan tempat yang luar biasa." Lalu ia pun ketagihan ke Ubud. Begitu juga sahabat saya yang lain, seorang penulis, yang mengenal Ubud dari saya hingga dia pernah nge-kost di Ubud untuk merampungkan tulisannya. Tapi kali lain, saya pernah merasa sedih ketika berhasil menghasut seorang kawan berlibur ke Ubud dan setelah itu dia tidak memberikan kesan positif.

Selera jalan-jalan memang berbeda bagi tiap orang. Tetapi dari sekian macam, pasti juga ada yang merasa mirip satu sama lain. Meski jumlahnya tidak banyak.

Dari situlah saya mengikis ego saya.

Kemudian saya mulai membuat acara trip barengan. Bukan murni jalan-jalan, tapi disisipi dengan workshop penulisan perjalanan yang saya namai Travel Writing Trip. Saya mengajak teman-teman ke Ubud selama beberapa hari, sambil jalan-jalan juga memberi materi penulisan. Ide iseng itu, rupanya mendapat respon yang membungahkan hati. Pada trip berikutnya saya mengajak teman fotografer untuk membekali wawasan tentang memotret perjalanan. Kali lain, saya iseng-iseng mengajak menjelajah kampung di Kotagede. Nggak nyangka, ada juga yang mau diajak blusukan seharian.

Ah, ternyata saya juga bisa kok jalan bareng-bareng dan tetap asyik. Asalkan, nggak keluar dari jalur yang sesuai dengan ketertarikan saya. Saya lihat, teman-teman juga enjoy dengan perjalanan kami.

Dari sanalah MATATOURS dilahirkan dengan niatan mengumpulkan para pejalan yang memiliki selera jalan ala antropolog (dweh, berat banget..!). Maksud saya, jalan-jalan yang real life experience. Jalan-jalan yang mengeksplorasi satu kawasan dengan lebih detil. Jalan-jalan untuk mengenal keragaman manusia budaya dari berbagai bangsa. Jalan-jalan untuk menelusur jejak para penulis buku/novel dan film yang mendunia. Hhmm..intinya bukan sekedar jalan-jalan I've been there seperti kata pembaca saya tadi.

Oh ya, Matatours saya lahirkan tepat pada tanggal 14 Februari 2012. Sengaja saya memilih bertepatan dengan hari yang diyakini sebagai Hari Kasih Sayang, supaya dicintai banyak travelers..hehehe...