Wednesday, January 21, 2009

jadi orang dayak gara-gara haid


Sewaktu masih gadis (baca: sebelum merried), saya sering terganggu dengan penyakit bulanan. Saya sebut penyakit dan bukan PMS (Pre Menstruation Syndrome) karena memang sakitnya luar biasa. Saat hari pertama datang bulan, atau bahkan sehari sebelumnya, otot perut saya mengejang hingga ke paha. Sejurus kemudian keringat dingin mengucur di sekujur tubuh, mata berkunang seperti orang nyaris pingsan, dan setelah itu "muntaber" alias muntah-muntah dan buang air besar. Jika seluruh kotoran dalam tubuh yang berupa keringat, muntahan, dan air besar itu sudah keluar semua, tak berapa lama otot-otot terasa mengendur, lemas, tak jarang membuat saya tertidur beberapa saat. Begitu bangun, sudah segar bugar seperti sedia kala.

Memang sih, nggak setiap datang bulan saya akan tewas seperti itu. Kadang-kadang cuma terasa mules sedikit dan sama sekali tak mengganggu aktivitas. Tapi justru karena penyakit itu datangnya tak terduga, ritual ini tak hanya menyiksa saya tapi juga merepotkan banyak orang. Misalnya pada saat ujian semester, tiba-tiba perut saya nyeri tak tertahankan membuat saya ambruk di bangku. Seisi ruangan langsung heboh. Pegawai TU pun lantas meminta sopir fakultas untuk mengantar saya pulang. Ibu saya pun keheranan melihat mobil Fakultas Sastra UGM masuk ke halaman rumah, tapi ia segera paham begitu melihat saya terbaring di dalamnya.

Atau ketika pada Minggu pagi, saat jogging bareng temen-temen mengitari kampus Bulaksumur. Tiba-tiba perut saya terasa sakit, sehingga nggak bisa lari cepet dan tertinggal di belakang. Baru setengah putaran, saya sudah nggak mampu melanjutkan dan menepi mencari tempat berlindung yang aman. Untung ada warung yang nggak jualan di hari Minggu. Di atas bangku panjang itu saya merebahkan badan. Lebih dari satu jam teman-teman mencari. "Aku sampai nyariin kamu ke UGD RS. Sardjito dan Panti Rapih lho, Ta!" kata Aant salah seorang rekan saya yang ikutan jogging. Saya cuma nyengir sambil berkata, "Sori, lagi 'ritual'" dan mereka pun segera paham.

Meskipun ritual bulanan itu sungguh menyiksa, tapi tak pernah menghalangi niat saya untuk traveling. Padahal sudah berapa kali saja saya harus jungkir balik di perjalanan: di dalam bus umum, di kereta, pesawat, atau bahkan di kapal. Ah, saya nggak pernah bisa melupakan bagaimana saya terkulai tak berdaya di atas geladak kapal feri dalam penyeberangan dari Banyuwangi ke Gilimanuk. Sendiri pula!

Waktu itu saya akan "menyepi" di Ubud - Bali selama seminggu. Saat siang itu berangkat dari Jogja dengan bus Safari Dharma Raya, belum ada tanda-tanda bahwa malamnya akan mengalami "kecelakaan" di atas kapal. Saya pikir tamu kehormatan itu akan datang esok atau lusa setelah saya tiba di Bali. Rupanya, ia membuat kejutan dengan datang dini hari saat bus malam Safari mengantri giliran naik ke kapal feri di pelabuhan Ketapang. Sambil menahan sakit saya berharap antrian tidak terlalu panjang sehingga saya bisa leluasa memilih tempat yang aman di dalam feri.

Begitu bus berhasil masuk ke feri, saya bergegas turun dari bus dan mencari tempat duduk yang nggak jauh dari toilet, supaya kalau pengin "muntaber" nggak perlu jauh-jauh lari. Benar juga, tak berapa lama setelah feri mulai bergerak meninggalkan pelabuhan Ketapang, isi perut saya juga menuntut minta dikeluarkan. Sekali muntah masih belum tuntas hingga saya bolak-balik ke toilet hingga "muntaber" beneran sampai lemas. Sampai-sampai saya rela menggelosor di geladak yang kotor supaya bisa menidurkan badan barang sesaat. Sehingga ketika feri merapat di Gilimanuk, kondisi saya sudah membaik dan bisa melanjutkan bobok di bus dengan lebih nyaman.

Pengalaman menjalani masa ritual bulanan yang paling mengharukan terjadi ketika saya di pedalaman Kalimantan Timur (1994), tinggal selama kurang lebih sebulan bersama suku Dayak Benuaq. Saat-saat genting itu terjadi di pagi hari. Begitu bangun tidur saya merasa ada gangguan khas di perut bagian bawah. Segera saya pergi ke sungai, kamar mandi natural selama di pedalaman, sambil membawa pembalut. Musibah datang dalam perjalanan dari sungai ke lamin (rumah adat suku Dayak yang panjangnya hingga 100 meter!), tempat tinggal kami. Ternyata saya tidak bisa menahan sakit dan terpuruk di semak-semak. Beruntung pagi itu memang waktunya orang mandi, jadi banyak warga yang melihat dan kemudian membantu saya naik ke lamin.

Sesaat kemudian seluruh penghuni lamin yang jumlahnya lebih dari 50 orang itu pun heboh. Mereka mengira saya kesambet wok bengkar atau roh jahat penghuni hutan. Kemudian Mamak Jerma, pemilik bilik di lamin tempat saya tinggal, merencanakan membuat upacara beliatn yaitu upacara tradisional untuk penyembuhan. Orang Dayak percaya bahwa penyakit yang dialami seseorang berasal dari adanya gangguan roh jahat. Untuk menyembuhkannya perlu diadakan upacara beliatn yang dipimpin oleh dukun beliatn. Umumnya upacara tersebut dilangsungkan pada malam hari. Diiringi musik tetabuhan, dukun beliatn menari sambil melantunkan syair dan mantra dalam bahasa Benuaq. Sambil terus menari Si dukun akan mengoleskan ramuan, termasuk darah segar dari ayam dan babi yang disembelih, pada para pasiennya yang terbaring pasrah. Ia juga akan menghisap bagian tubuh tertentu untuk mengeluarkan roh jahat yang bermukim dalam tubuh pasien.

Dan saya akan di-beliatn? Saya geli membayangkan Pak Dasan, dukun beliatn senior yang tak lain adalah adiknya Pak Jerma, akan memantrai penderita sakit bulanan. "Aduh Mak, nggak usah. Sebentar lagi pasti juga sembuh kok," kata saya. Saya juga berusaha menjelaskan bahwa penyakit ini biasa saya alami saat datang bulan, jadi bukan karena wok bengkar. Mamak kemudian manggut-manggut, tapi masih sepertinya masih belum puas dengan jawaban saya. "Tenang Mak, biarkan saya berbaring saja, nanti juga sembuh sendiri."

Saat saya lagi mulai terkantuk, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan seorang bidan desa. "Disuntik ya, Mbak," katanya sambil mengeluarkan suntikan kuno yang berukuran guede dari dalam tasnya. Saya terperanjat. Hah, siapa sih yang berbaik hati ngundang bidan desa datang kemari untuk menyuntik dengan suntikan kebo itu? "Nggak, nggak. Saya nggak pa-pa kok," buru-buru saya menolak.

"Ini bisa mengurangi rasa sakit," rayunya lagi. Tapi dengan tegas saya tolak kembali. "Nggak usah. Sejam lagi pasti saya sembuh kok." Kemudian bidan itu memasukkan kembali suntikan kebonya dan turun dari lamin dengan kecewa. Dan saya kembali memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh yang lunglai setelah terkuras seluruh isinya.

Ketika terbangun sekitar sejam kemudian, saya menemukan sepiring nasi lengkap dengan lauk yang mewah: ikan asin dan telor! Perut saya langsung berjingkrak minta diisi. Biasanya, sehari-hari kami makan dengan sayur dari dedaunan yang diambil dari hutan. Kalaupun lagi Pak Jerma lagi beruntung dapat hasil buruan rusa atau ular kami kecipratan juga. (Sayangnya paling sering nangkap babi, nggak bisa ikutan makan deh!). Kemewahan makan juga bisa saya rasakan sepekan sekali, saat hari pasaran di hari Selasa. Biasanya sepagian saya akan nongkrong di sebuah warung di pasar sambil makan nasi kuning maupun goreng-gorengan sampai kenyang.

Menu istimewa gara-gara ritual bulanan itu ternyata baru kejutan awal. Kejutan berikutnya adalah permintaan Pak Jerma dan istrinya untuk mengangkat saya sebagai anaknya. "Supaya kamu nggak sakit lagi, kamu harus menjadi bagian dari keluarga kami," jelasnya. Saya melongo bahagia karena akan menjadi bagian dari keluarganya. Jadi wong ndayak!

Setelah saya mengangguk, Bapak dan Mamak Jerma mengatur waktu untuk melakukan upacara pengangkatan anak. Piranti upacaranya sederhana saja: sebuah pisau, telur ayam, dan tepung yang dicairkan dalam sebuah piring. Lalu Pak Jerma mengoleskan tepung itu ke wajah saya sambil mengucapkan beberapa patah dalam bahasa Dayak Benuaq. Dan resmilah saya menjadi anak mereka. "Bapak memberimu nama Angkan," kata Pak Jerma. "Saya beri nama Krisna," tambah Jentui, anak pertama Pak Jerma. Hah, jadi nama saya siapa dong? "Berarti nama Dayak-mu adalah Angkan Krisna!" seru Pet, adik Jentui yang diiringi tawa kami semua.

Piranti upacara itu harus saya bawa pulang ke Jogja. Kata Pak Jerma saya juga harus mengoleskan tepung itu pada ayah dan ibu saya supaya kami semua menjadi keluarga. Di Jogja kedua orang saya menurut saya olesin mukanya. Iya lah, daripada ntar kenapa-kenapa, kan?

NOTE: saya lagi nyariin foto waktu prosesi pengangkatan anak itu. Semoga masih ada, ya. Foto di atas diambil saat kunjungan saya ke Dayak Benuaq th. 2008, 14 tahun kemudian!

1 comment:

  1. salam kenal, nama saya hanata.masih kuliah di UGM angkatan 2005.
    wah liat blognya menarik banget banyak pengalaman travelling, belum sempet baca smuanya sih, tapi pasti deh baca satu-satu, menarik soalnya. skalian saya link ya...

    ReplyDelete