Tuesday, August 11, 2009

tales from the road. menulis dengan empati

by ukirsari rr manggalani

membaca larik-larik kalimat di buku kisah perjalanan plus tips dari suluh pratitasari a.k.a tita, terbayanglah kerendahan hati sang penulis. sesuai selera saya akan pencarian buku kisah-kisah perjalanan yang berada di luar koridor “i’d already been here and there, became the winner, against all the problems during my travels” –without any sympathetic feeling in it.

matatita –sesuai dengan alias nama yang dipakai penulis, merefleksikan ‘mata’ bukanlah sekadar indera penglihatan, tapi juga memiliki arti mendalam; mata hati. melihat dengan hati serta memberi empati pada porsinya— mengajak pembacanya menikmati kekayaan budaya berbagai negeri, dari sudut pejalan biasa. Sekaligus mensyukuri keberagaman alam dan budaya milik Indonesia sendiri (Meet Locals, 153).

dengan kepekaan hati pula, tita dapat bersabar (meski barangkali mengelus dada) ketika disodori jasa tukang becak ngayogyakarta untuk wisata bbd –batik, bakpia pathuk, dagadu. atau mentertawakan diri sendiri secara fair, atas kejadian penipuan batu permata di bangkok (Scam Everywhere, 27). dan sesekali juga boleh galak, bila terpaksa. contohnya saat dikuntit pria berjaket di wamena, yang bertanya-tanya dengan nada garang (Diadang Intel Gadungan, 17).

bersama sang penulis yang lulusan antropologi universitas gadjah mada, kemegahan angkor wat bisa ‘membumi’ pada tataran setara candi borobudur. sebuah mimpi; bila saja ada infrastruktur dan upaya lebih dari semua pihak terkait untuk menjadikan muntilan sebagai siem reap ‘bayangan’ (Borobudur versus Angkor Wat, 147).

sebagaimana juga prosesi dhaeng (barisan pasukan keraton yogyakarta) dalam upacara garebeg yang dapat ‘go-internasional’ seperti prosesi pergantian pengawal kerajaan inggris di buckingham palace (Prajurit Jogja dan Prajurit Inggris, 173).

atau adanya napas yang sama, antara gerbang kota tua bhaktapur di nepal, dengan kawasan jeron beteng keraton di yogyakarta (Lorong dan Dinding-Dinding, 122).

tak kalah unik –sekaligus membuat saya cemburu– adalah cerita tita mendapatkan nama baru ‘angkan krisna’ lewat perhelatan budaya dayak benuaq. padahal ini bukan kisah yang mulus, karena ia mesti mengalami kejang perut dan terpuruk di semak-semak sebelum digotong ke lamin atau rumah panjang. bahkan sempat dicurigai terkena roh jahat (Ritus Bulanan, 80).

dan di atas semua kisah yang dibingkiskan tita buat pembaca, entah mengapa saya merasa memiliki semacam sesambungan rasa saat membaca buku ini. bukan semata karena telah mengenal sang penulis pun ada kemiripan kisah selama ‘hidup di jalan’ –sebagaimana dialami para traveler dalam berinteraksi dengan lingkungan baru serta menjumpai hal-hal yang sudah diangankan sejak lama.

tita menyimpan duka karena hanya berselang 3 hari setelah ia mengutarakan pada ibunda akan menjelajah ke nepal, beliau kembali ke pangkuan Nya (Ponsel Budek Sebelah, 20). sementara saya saat itu, bepergian solo ke laos ketika ayahanda belum genap 40 hari berpulang. semua urusan traveling sudah dibereskan hampir setahun sebelumnya dan ijin dari beliau sudah saya kantongi jauh-jauh hari.

bisa jadi, inilah ‘pesan’ yang ingin disampaikan secara tidak langsung; bahwa kesedihan itu, bukanlah milik saya semata. masih ada orang lain, yang merasakan hal serupa. bahwa hidup terus berjalan, kaki terus melangkah, meski perasaan tidak sempurna. dan mata milik tita a.k.a suluh pratitasari lah perantaranya. terima kasih ya, jeng!

akhirnya, selamat membaca tales from the road, mencicip keunikan budaya dari yogyakarta hingga nepal. sebuah catatan perjalanan wisata penuh kesan mendalam. meski dituturkan dengan penyampaian yang bersahaja.

judul: tales from the road, mencicip keunikan budaya dari yogyakarta hingga nepal; penulis: matatita; penerbit: B-first (PT Bentang Pustaka); jumlah halaman: 232

No comments:

Post a Comment