Tuesday, September 28, 2010

etnofotografi nepal (niat yg belum kesampaian)



Tahun 2009 lalu, sepulang dari Nepal, saya pengin banget bikin pameran foto kecil-kecilan sekaligus menandai terbitnya buku travelogue pertama saya TALES from the ROAD (juni 2009). Lalu, saya ajaklah beberapa teman yang pernah menekuni Etnofotografi. Obrolan santai sambil makan siang itu, jauh lebih lezat dan bergizi ketimbang menu yang kami santap di sebua food court di Jogja.

Beberapa hari kemudian, diskusi dilanjut via inbox-nya FB. Malah, Aant Subhansyah sempet menulis hasil pengamatan dan renungannya atas sejumlah foto-foto Nepal. Karena tulisannya sangat keren dan sudah lebih setahun tertimbun di inbox, mendingan saya posting ulang di blog ajah, biar bisa dibaca khalayak.

Penasaran dengan foto-foto Kathmandu bidikan saya dan Edo? Berhubung saya bukan fotografer pro, janganlah membayangkan yang tinggi-tinggi. Saya pun motretnya cuma pake kamera poket kok...(sebagian foto bisa diintip di sini)


Catatan setelah menonton foto perjalanan Matatita di Nepal
oleh: Aant Subhansyah

Pertama-tama, Foto-foto Tita di Nepal itu sedikit banyak memang bersifat turistik. Meski memiliki latar belakang antropologi, pastilah Tita tidak punya waktu untuk riset serius dengan hanya enam hari berada di sana. Terkait dengan itu ada kesan bawa “eksotisme” tak terelakkan dari bidikan kamera yang di arahkan matatita. Akan tetapi, setelah kami menonton bareng (dan tentu saja mengobrolkan) gambar-gambar yang dibuat oleh tita dengan kamera poket itu, ada beberapa hal yang menarik untuk dibicarakan lebih lanjut.

Dari urutan foto dan kisah Tita, terasa bahwa cara dia menjelajah kota-kota tua itu seperti sedang menjelajahi kotanya sendiri. Kota-kota kecil di kaki himalaya itu tampak sangat kuno, banyak rumah rumah kecil berhimpit dan bersusunan. Sekelilingnya sepert dipagari benteng, ada gang/jalan kecil yang berupa tatanan bata merah, lorong-loroang antar bangunan, ruang publik yang ramai orang berlalu lalang, dan tentu saja orang-orang melakukan ritual keagamaan. Melihat foto-foto itu, imajinasi saya dan beberapa kawan yang belum pernah ke sana juga langsung merujuk pada situasi kampung Taman Sari di Yogya dan beberapa tempat di Bali.

Mungkin wajar saja bila Tita atau siapapun, akan secara otomatis merujuk pada kampung halamannya ketika berada di tempat lain. Bisanya seorang turis akan membanding-bandingkan perikehidupan orang-orang baru ditemui dengan diri sendiri. Mencari apa yang berbeda dan dianggap berbeda, lalu mungkin melabelnya dengan istilah ”aneh”, atau kata yang hampir sepadan dengan itu, ”eksotis”.

Eksotisme Nepal memang sudah sangat terkenal, terutama karena negeri ini adalah salah satu gerbang bagi para pendaki himalaya. Akan tetapi, karena Tita memiliki latar balakang antropologi maka dia lebih peduli pada aspek kehidupan sehari-hari orang di sana, dari pada mendaki atau heking di lereng himalaya. Dia mengamati dan berdialog dengan masyarakat tentang keseharian, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hal ini memang dimungkinkan karena Tita lebih memilih tinggal di rumah salah seorang penduduk setempat, di sebuah perkampungan yang oleh Unesco ditetapkan sebagai salah satu warisan kebudayaan dunia. Dapat dikatakan bahwa, sebagai seorang turis Tita setengahnya juga mempraktekkan prosedur kerja-kerja antropologi dalam menjelajahi kehidupan masyarakat kota kuno itu, tentu harus bernegosiasi dengan sempitnya waktu dan keterbatasan lainnya.

Referensi tentang kampung halaman dan latarbelakang antropolog telah mengantarkan turis yang satu ini pada sebuah penjelajahan yang ”ambigu”. Tidak di sana-tidak di sini, atau malah, ada di sana-sekaligus ada di sini (tergantung cara pandang optimistik atau pesimistik). Dalam situasi ini, hasil jepretan kamera matatita juga memantulkan ambiguitas tersebut, antara ”mata turis” dan ”mata antropolog” ; antara negeri asing dan kampung halaman, antara fisik dan bathin (setidaknya begitu yang aku rasakan).

Dari sudut yang agak bergeser, mungkin saja aktifitas memotret dalam penjelajahan ini justru (bisa) menjadi ”ritual” bagi tita dalam menyikapi kontradiksi dalam ambigitas itu. Apalagi perangkat kamera digital memiliki keunggulan di mana hasil jepretan bisa langsung dilihat sesaat setelah pemotretan. Jadi, Tita seperti sedang berlalu-lintas, keluar masuk antara kebudayaannya sendiri, kebudayaan ”the other” dan foto itu sendiri.

Pada saat mengamati foto-foto inilah terjadi ”refleksi” di mana pemahaman tidak berhenti pada sekedar menerima ”the other” sebagai yang berbeda, dan hanya bisa dipahami dari dalam, lebih dari itu, foto-foto itu menuntun tita (dan kami yang kemudian melihat juga) untuk sekaligus mengunjungi ”kampung halaman”, dan menem ukan kenyataan bahwa sesama kitapun yang se-kampung-halaman juga berbeda-beda, bahkan kita sama anehnya dengan orang di negeri lain atau di manapun berada (jadi aneh itu apa?). Dari sinilah jurang pemisah antara ”kita” dengan ”mereka” bisa terjembatani, dan hal ini yang sering hilang dari aktifias dan produk kepariwisataan biasa.

Foto-foto ini sesungguhnya ingin menyampaikan pesan bahwa menjelajahi negeri asing tidaklah harus selalu berlaku seperti turis yang konvensional. Ada hal-hal yang bisa dijadikan bahan untuk merefleksikan diri sendiri ketimbang berupaya menemukan keanehan pada diri orang lain. Perjalanan tita meski secara fisik berada jauh dari kota asalnya, tapi dunia batin menganggap tidak ada yang perlu disekat-sekat. Sesugguhnya ini mengingatkan kita pada konsep “laku” orang jawa, yang sejauh apapun melang-lang maka pada akhirnya justru untuk menemukan jatidiri dan kemanusiaan kita sendiri.

Niat Tita untuk memamerkan dan membicarakan foto-foto itu dalam sebuah sarasehan dapat juga menjadi bagian dari memperluas sekala ‘ritual ngelakoni’ dalam memberi makna lebih dari kisah perjananan tsb. Akan tetapi layakkah foto-foto tsb diberi label “etnofotografi”? Sangat bisa diperdebatkan, akan tetapi hal itu dapat dipermulus apabila Tita dapat memilih/memilah beberapa foto (dari sekian banyak foto yang ada) dan membingkainya dalam tema tertentu (misalnya: tentang komunitas yang tetap bersahaja dalam merespon turisme, atau yg lain), lalu menambahkan referensi yang diperlukan. Dan jangan lupa, proses penjelajanan seperti sekilas dilukiskan di atas juga dapat memperkuat dari sisi hakikat ber-etnografi. Sebab, foto-foto dalam etnofotografi biasanya diperlakukan sebagai data yang melukiskan sisi-sisi tertentu dari komunitas, dan hakikat etnografi itu sendiri adalah komunikasi atau dialog, yang muaranya adalah agar kita semua dapat menjadi reflektif.

(ditulis berdasarkan ingatan pada perbincangan dengan tita, cuk, agus, kendhal, di food fest jakal, 26/06/09)

No comments:

Post a Comment