Friday, September 24, 2010

review by utari dewi




Angkan Krisna! Keren juga ya nama ini terdengar! Itu adalah nama Dayak dari Matatita saat dia diangkat anak oleh sebuah keluarga suku Dayak Benuaq di pedalaman Kalimantan Timur. Peristiwa ini terutama dipicu oleh terkaparnya Matatita karena ‘ritus bulanan'-nya sebagai perempuan. “Supaya kamu nggak sakit lagi, kamu harus menjadi bagian dari keluarga kami”, tulisnya tentang kata-kata Pak Jerma, pemilik bilik di lamin tempat Matatita tinggal. Kejadian ini tentu bukanlah semata-mata hanya pemberian nama, tetapi lebih dari itu ada interaksi yang berkesan antara Matatita dan masyarakat setempat. Ini salah satu dari berbagai kisah Matatita dalam experiencing different culture.

Terbayangkah kita bagaimana keadaan kota Agats sebagai ibukota Kabupaten Asmat di Papua? Wilayah yang terkenal dengan seni ukirnya ini memiliki daratan berupa rawa-rawa yang tidak cukup kuat dijadikan landasan bangunan. Oleh karena itu, jalanan kota terbuat dari papan-papan selebar satu setengah meter, bahkan jalanan itu memiliki nama layaknya kota besar, tetapi tiada traffic light karena tidak ada motor di sana. Semua sudut di kota itu ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk menuju Asmat pun, transportasinya nggak gampang, terutama karena faktor cuaca yang tidak menentu.

Di bagian lain, Matatita juga berkisah soal Bhaktapur di Nepal yang mengingatkannya dengan Yogyakarta, khususnya kawasan Jeron Beteng Keraton. Keduanya memiliki kemiripan, sama-sama memiliki tempat mandi raja. Di Bhaktapur ada Royal Bath dengan hanya satu kolam raja, sedangkan di Yogyakarta, ada Tamansari Water Castle yang memiliki dua kolam untuk selir dan satu kolam untuk raja. Bhaktapur juga memiliki lorong-lorong jalan sempit yang diapit tembok-tembok rumah penduduk, seperti halnya kawasan Kotagede di Yogyakarta.

Di Bhaktapur itu jugalah, Matatita sempat tinggal bersama masyarakat lokal dan mengalami kebiasaan mereka. Dari situ dia tahu bahwa kebanyakan penduduknya jarang mandi karena cuaca yang dingin (jadi tidak keluar keringat) dan tidak mudahnya mendapatkan air. Matatita juga ikut tidak mandi, sebagai bentuk ‘ikut merasakan’! :D

Soal Thailand, Matatita me-‘wanti-wanti’ tentang banyaknya scamp di tempat wisata, dengan cara yang terorganisasi, bentuknya mulai dari makelar transportasi, restoran, hingga batu permata. Mereka akan berusaha‘menggiring’ para pelancong untuk membeli permata, karena hasil giringannya ini akan membuahkan kompensasi bagi mereka. Antisipasti atas hal itu adalah, “percayalah pada Lonely Planet atau guide book dan peta yang Anda baca!”, sarannya.

Selain berbagai kisah interaksi dengan masyarakat lokal di berbagai tempat yang dijelajahinya, Matatita juga membeberkan persiapan menjelang keberangkatan melancong, mulai dari buku panduan, tiket serta tempat penginapan yang dipesan online, dan alat komunikasi. Untuk mengabadikan objek di wilayah tujuan, bekal kemampuan memotret juga perlu disiapkan, misal bagaimana memotret arsitektur bangunan klasik, seperti di Edinburgh contohnya. Dan tak kalah penting adalah soal keamanan. Kita bisa turut merasakan bagaimana pentingnya keamanan antara lain dari pengalaman Matatita di Wamena, Papua dan Ambon, Maluku.

Dibeberkan dengan gaya tutur yang santai namun jelas, Matatita—demikian Suluh Pratitasari menamakan dirinya di internet—telah menyajikan hasil ‘cicipan petualangan’-nya dengan gamblang. Kita bisa merunutnya dalam empat topik, yaitu soal perlengkapan perjalanan dan keamanannya; soal cerita-cerita yang terjadi selama perjalanan (dari awal hingga akhir); tentang masyarakat serta budayanya, juga warisan budayanya; dan bab terakhir soal transportasi, akomodasi, serta makanan. Harapannya tentulah untuk memudahkan kita meresapi setiap cerita yang berderai dari hasil penjelajahannya. Dia juga menyertakan banyak tips melancong yang pasti berguna untuk kita simak. Inilah salah satu keuntungan melancong imajiner bersama Matatita di buku ini.

Bagi saya, “Tales from the Road” ini bisa jadi salah satu ‘artefak’ antropologi, karena didalamnya memuat kebudayaan manusia. Saya rasa, karena hal itu, akan semakin mantap jika Matatita juga menyertakan keterangan yang lebih detil dari setiap foto yang ditampilkan, baik yang di kover buku maupun di halaman dalamnya. Bisa jadi karena perjalanan waktu, objek foto yang saat ini dimuat di buku itu, mengalami perubahan di masa yang akan datang. Who knows? Dan data itu menjadi berharga untuk kajian di masa mendatang.

Satu lagi, ada hal lain yang menggoda dari “Tales from the Road”! Provokasi dari Matatita bahwa melancong itu bisa berarti dapat duit, bukan buang duit! Ahaaa! :D Apalagi jika aktifitas melancong itu dilakukan serangkaian dengan urusan bisnis. Ini dibuktikan Matatita dengan membuat ‘mesin uang’ dari foto hasil jepretannya dan kisah yang dikemasnya, juga keberhasilannya ‘berkelana mencari proyek’! Wuahh, asyiiik! Matatita sendiri adalah pengusaha di bidang kreatif yang selalu berusaha mendapat proyek dari luar kota Jogja, tempat tinggalnya. “Tales from the Road” juga memuat secara gamblang pekerjaan apa saja yang mendukung hobi melancong ini. So, “let’s go experiencing different cultures!”. Hayuuuk…..! :D

-naskah dan foto dicopy dari note-nya utari dewi di fb-

No comments:

Post a Comment