Sejak jaman Kekaisaran Romawi, Roma merupakan kota yang tak pernah kekurangan air. Pada masa itu sedikitnya dibangun 9 saluran air mengelilingi wilayah Romawi yang jika ditotal panjangnya hingga 415 km. Di beberapa titik kemudian dibangun kolam penampungan air sebanyak 591 kolam dan 39 monumen fountain. Sayangnya ketika Kekaisaran Romawi runtuh, saluran air ini pun terbengkelai dan rusak.
Adalah Paus Nicholas V (1397-1455) yang berinisiatif untuk kembali membangun fountain dengan tujuan menghiasi kota Roma sebagai ibukota umat Kristiani sedunia. Dimulailah dengan membangun saluran air minum Aqua Vergine yang dirancang arsitek Leon Battista Albert. Setelah itu secara bertahap menyusul dibangun fountain. Salah satu dari fountain pertama yang dibangun pada masa Renaissance ini adalah fountain Piazza Santa Maria di Trastevere (1499).
Hingga kini sedikitnya terdapat 280 monumen fountain dengan disain artistic yang spektakuler. Sekedar untuk menyebut beberapa monumen fountain yang menkjubkan antara lain Fontana del Pantheon yang berlokasi di depan Pantheon, Fontana dei Quattro Fiumi rancangan Bernini yang terletak di tengah-tengah Piazza Navona, dan Fontana di Trevi yang merupakan fountain terbesar di Roma dengan tinggi 26 m dan lebar 20 m.
Fontana di Trevi (Trevi Fountain) juga merupakan obyek wisata andalan Roma. Wisatawan yang datang ke Roma selalu menyempatkan mengunjungi Trevi Fountain. Bukan semata karena Trevi Fountain merupakan fountain terindah dan terbesar di Roma, tetapi karena mitos melempat koin yang melegenda itu.
Konon jika kita melempar koin ke kolam itu, niscaya suatu hari akan kembali ke Roma lagi. Maka berloma-lombalah para wisatawan dari berbagai negeri saling melemparkan koin sambil make a wish semoga kembali ke Roma lagi. Nggak Cuma itu, ada mitos lain yang dipercaya terkait dengan lempar-melempar koin ini, yaitu bakal menemukan jodoh dan berlanjut ke pelaminan.
Saya jadi ingat film drama komedi “When in Rome” (2010) yang saya tonton di pesawat Emirates dalam perjalanan ke Paris tempo hari. Film yang dibintangi Kristen Bell (sebagai Beth) ini mengangkat topik tentang mitos asmara di balik koin yang terlempar di Trevi Fountain. Dikisahkan, dalam kondisi agak mabuk dan menenteng botol minuman, Beth yang malam itu hatinya terluka karena melihat cowok idamannya mencium seseorang,lantas mausk ke kolam “fountain of love” dan mengambil beberapa koin yang ada di dasar kolam. Dia baru tahu dari adikknya bahwa jika mengambil koin yang ada di kolam tersebut, maka pelempar koin itu akan jatuh cinta dengan siapapun yang mengambil koinnya. Celakanya, Beth mengambil 5 koin. Dan kelucuan film ini pun dimulai. Beth dikejar-kejar oleh 5 orang yang tak dikenalnya.
Tentu saja koin cinta itu hanyalah mitos. Malah setiap malam ada petugas khusus yang mengumpulkan koin dari kolam untuk kemudian digunakan sebagai subsidi bagi kaum miskin. Tahu nggak, setiap hari sedikitnya terkumpul koin totalnya € 3000. Jika dirupiahkan lebih dari 30 juta, bo!
-kisah lain ttg roma..ada di buku EUROTRIP safe & fun..-
Ada dua hal yang membuat saya takjub begitu tiba di St Peter’s Square (Piazza San Pietro) atau lapangan Santo Petrus. Pertama, kekaguman saya pada arsitektur Gian Lorenzo Bernini yang mendesain ruang terbuka di depan gereja Basilica (St Peter’s Basilica) ini. Bernini merancang area ini agar dapat menampung orang sebanyak mungkin, sehingga Paus dapat memberkati semua umatnya baik dari tengah façade gereja maupun dari jendela istana Vatikan.
Bernini mengerjakan lapangan Santo Petrus dalam waktu setahun, yaitu pada tahun 1656 hingga 1657 di bawah pengawasan ketat Paus Alexander VII. Renovasi yang dilakukan Bernini adalah menambahkan pilar-pilar yang disusun membentuk setengah lingkaran pada sisi Utara dan Selatan lapangan. Selain itu Bernini juga membangun air mancur (fountain), menggantikan fountain lama, dan meletakkannya segaris dengan tugu obelisk dan pilar. Fountain ini konon adalah fountain terindah di Eropa pada abad ke 17 dan jika kita meminum airnya bisa bikin awet muda.
Rancangan Bernini memberikan karakter yang kuat pada lapangan Santo Petrus. Jika dilihat dari atap dome gereja Basilica, lapangan Santo Petrus terlihat seperti sebuah anak kunci dengan bagian ujungnya yang nyaris menyentuh sungai Tiber. Indah sekali!
Ketakjuban yang kedua adalah pada antrian panjang untuk memasuki gereja Basilika. Dalam rintik hujan, orang-orang setia mengantri sambil memegang payung atau raincoat untuk melindungi diri. Sesaat saya ragu. Hujan-hujan begini, harus ngantri entah berapa jam. Males banget rasanya.
Lalu saya melangkahkan kaki mengelilingi lapangan, menikmati keindahan arsitektur abad 17 karya Bernini dari segala sisi. Tiba-tiba saya teringat Angels & Demons, novel karya Dan Brown. Lapangan Santo Petrus ini termasuk salah satu setting dalam novel best seller tersebut. Hhmm..saya jadi pengin mencari sebuah tanda di lantai lapangan Santo Petrus yang terukir pada balok pualam: West – Ponente.
Imaginasi saya mengembara, membayangkan Langdon dan Vittoria berada di lapangan Santo Perus ini. Mereka menunduk, mengamati batu pualam berbentuk elips yang terpasang diantara batu-batu granit lantai piazza itu. West Ponente atau Angin Barat adalah seraut wajah malaikat yang tengah mendesahkan napas dengan keras. Di batu pualam itu terlihat lima garis hembusan angina yang keluar dari mulut sang malaikat. Kemudian Langdon dan Vittoria terhenyak menyadari petunjuk kedua menuju jalan pencerahan yang dilihatnya pada relief batu pualam itu, yaitu Udara. Langdon akhirnya menemukan sebuah karya Bernini yang berhubungan dengan Udara.
Tapi benarkah batu pualam berelief mata angina itu juga rancangan Bernini? Bernini memang mendapat tugas merancang bangunan piazza atau lapangan Santo Petrus. Tapi ternyata, menurut informasi yang saya temukan di website www.saintpetersbasilica.org dikatakan bahwa batu pualam berelief itu baru ditanam pada tahun 1852 pada masa Paus Pius IX. Itu berarti lebih dari 170 tahun setelah kematian Bernini. Jumlah batu pualam yang tertanam di piazza itu pun tidak hanya satu West Ponente, tapi ada 16 yang ditanam mengelilingi obelisk. Jiiaahh…, ketahuan Dan Brown ngawur. Tapi namanya juga novel, antara fakta dan fiksi boleh dikacaukan.
Di antara batu pualam berelief mata angina (Wind Rose) itu terdapat marmer bertuliskan “Centro del Colonnato” yang merupakan titik tengah antara tugu, fountain, dan pilar. Segera saya injakkan kedua kaki saya di atasnya, lalu saya sapukan pandangan ke depan, ke kiri, dan ke kanan. Jajaran pilar di depan saya tampak simetris karena saya melihatnya dari titik tengah. Cantik sekali!
Dari Centro del Colonnato itu pula, mata saya menangkap antrian yang kian panjang untuk memasuki gereja Basilika. Hujan ternyata tidak menghalangi hasrat mereka untuk melongok bagian dalam gereja yang juga tempat para Paus dimakamkan. Hujan tidak mengurangi kesabaran mereka, tetap rapi dalam antrean. Kenapa saya tidak meniru mereka? Bukankah saya ke Vatikan untuk melihat makam Paus? Saya tersadar dan tergerak melangkah.
(sekedar kutipan dari travelogue "eurotrip" yg sedang saya susun)