Wednesday, February 25, 2009

banyak jalan untuk jalan-jalan



Kenapa sih punya hobi traveling sering dianggap hobinya orang kaya? Atau cuma buang-buang uang alias pemborosan? Saya sering mendapat tuduhan seperti itu. Tentu saja buru-buru saya tepis, “Lho, aku tuh travelling karena cari uang, je. Bukan buang uang!”

Di negera berkembang seperti Indonesia, di mana waktu adalah kerja untuk mencari uang, dan kerja itu sering diasosiasikan dengan aktifitas fisik yang memeras keringat, kegiatan dolan-dolan dianggap sebagai kegiatan rekreatif yang nggak produktif. Hanya sebagian dari masyarakat kelas menengah ke atas yang bisa menikmati waktu luang dengan kegiatan rekreatif. Masyarakat kebanyakan yang sudah bekerja sehari lebih dari 12 jam tanpa henti tapi hasilnya nggak cukup untuk makan, seakan nggak memiliki ruang untuk menikmati waktu luang apalagi plesiran.

Kalau dirunut dari sejarah tentang waktu luang yang pernah saya baca, perkembangan industri pariwisata dan tradisi travelling ini terkait dengan berkembangnya revolusi industri pada akhir abad ke-18. Revolusi industri yang ditandai dengan beralihnya penggunaan tenaga hewan dan manusia menjadi tenaga mesin memberi peluang besar pada terciptanya pola pembagian kerja manusia berdasarkan skill. Orang nggak lagi bekerja karena kekuatan fisiknya, tetapi karena keahlian yang dimilikinya.

Mekanisme kerjanya diatur dengan jam kerja, sehingga dikenallah istilah work and play, yaitu saat dimana orang harus bekerja kantoran dan saat di mana mereka bisa off alias beristirahat. Orang Barat yang terjerat dengan jam kerja memang butuh ruang untuk melepaskan kepenatannya dan memulihkan energi. Saat-saat menjelang off ini seringkali dirayakan dengan keriangan, seperti yang tersirat dalam slogan “Thank God it’s Friday” (TGF). Kita sering menyebutnya dengan Jumat Gaul. Jumat malam menjadi hari dugem sedunia buat orang kantoran.

Aturan kerja kantoran juga mewajibkan pemberian cuti kerja pada karyawan. Karena jam kerja orang Barat yang gila-gilaan, nggak ada libur bersama di Harpitnas (hari kejepit nasional) mereka bisa mendapat cuti hingga 30 hari per tahun. Cuti sebulan penuh itu biasanya digunakan untuk menjelajahi negara-negara lain. Dan lahirlah tradisi traveling dan backpacking.

Masyarakat agraris di Indonesia tentu saja nggak peduli dengan TGF apalagi backpacking. Everyday is work day. Pagi-pagi berangkat ke sawah, istirahat sebentar di gubuk mereka, lalu kembali ke rumah menjelang matahari terbenam. Begitu setiap hari. Kalaupun ada saatnya menikmati plesiran, adalah ziarah (pilgrimage) ke makam-makam sesepuh yang dianggap memiliki wibawa dan bisa memberikan berkah. Seperti ke makan para wali, makan raja-raja Mataram, makam tokoh-tokoh yang lekat dengan mitos masa lalu. Atau menghadiri hajatan keluarga jauh di luar kota.

Meskipun saat ini wilayah perkotaan di Indonesia sudah semakin luas dan banyak orang yang kerja di kantoran, tapi etos kerjanya masih belum optimal. Di sela-sela jam kerja orang masih bisa leyeh-leyeh santai, para pegawai negri sudah bisa mampir ke mall jam 2 siang, karyawan swasta keliatannya serius di depan komputer tapi ternyata lagi seru YM-an atau Facebook-an. Sudah begitu banyak libur bersama yang menurut saya malah kontraproduktif, membuat kita dituduh sebagai bangsa yang pemalas.

Dengan kata lain, bagi masyarakat Indonesia waktu luang bukan sesuatu yang mahal dan membutuhkan perjuangan untuk memperolehnya. Jadi kalau banyak waktu luang yang bisa dinikmati untuk menghibur diri, kenapa harus travelling jauh-jauh yang menguras tabungan? Itulah sebabnya kenapa orang Indonesia masih menganggap travelling sebagai hobinya orang berduit.

Saya sendiri juga termasuk orang yang masih eman-eman mengalokasikan uang semata-mata untuk travelling. Karena itu kalau pengin liburan, saya memilih waktu di saat orang lain nggak berlibur, yaitu bukan pada libur lebaran, libur seokalah, atau libur akhir tahun. Pada hari-hari peak-seasson, saat di mana semua orang berlibur, harga tiket pasti sangat mahal. Hotel pun juga fully-booked. Liburan jadi nggak nyaman karena banyak orang yang mengunjungi obyek wisata tertentu.

Makanya saya pilih cuti kerja supaya bisa berlibur dengan leluasa. Tiket juga murah karena banyak airline yang memberikan diskon supaya kursi penumpang penuh. Hotel juga begitu, ngobral kamar. Dengan pinter-pinter memilih waktu buat travelling, saya bisa memangkas uang jalan-jalan lebih banyak. Tau nggak, saya pernah dapat tiket Jakarta – Kuala Lumpur cuma Rp 180.000 berdua!

Selain travelling di luar waktu peak-season, saya juga sering travelling bukan dalam rangka semata-mata travelling, tapi dalam rangka kerja. Istilah kerennya business trip. Kebetulan pekerjaan saya memungkinkan untuk mengunjungi daerah-daerah lain di kota lain. Tapi pekerjaan itu tidak saya peroleh dengan kebetulan loh. Saya harus melewati pitching dan tender agar bisa mendapatkan proyek itu. Setelah tender dan kontrak ditandatangani, saya juga harus berjuang mempertahankan agar proyek itu bisa saya dapat di tahun berikutnya dengan memperlihatkan hasil kerja yang optimal. Nggak jarang kontrak tidak diperpanjang bukan karena kerjaan saya yang nggak bagus, tapi karena pengurangan budget perusahaan klien saya. Yang lebih celaka karena ganti managemen dan sang manager sudah punya vendor kesayangan yang menyogoknya dengan segala entertain!

Hobi travelling membuat saya berusaha mencari proyek-proyek lain yang memungkinkan saya bisa beredar, nggak kerja di kantoran terus. Nggak harus proyek yang jauh-jauh kok, proyek kota-kota di Jawa pun juga seru untuk dinikmati sambil jalan. Buat saya perjalanan dinas ke luar kota –bahkan ke pedalaman- bukan merupakan beban, meskipun kadang-kadang melelahkan secara fisik. Tetapi sebaliknya justru menjadi kegairahan tersendiri, yang pikiran saya jadi lebih segar. Kalau kita bisa kerja dengan penuh gairah, hasilnya pun pasti memuaskan.

Nah, kalau saya nggak banyak pergi-pergi berarti saya malah lagi nggak punya duit karena nggak ada proyek yang dikerjain. Jadi, travelling itu nggak selalu buang uang kan? Saya malah dapat duit sambil jalan-jalan. Pulang dari jalan-jalan pun saya bisa nulis untuk jadi duit lagi. Nah, ayo jalan!


TIP nyari kerjaan yang banyak jalan-jalannya
• Jadi wartawan, itu pasti.
• Jadi Humas atau Public Relation Officer yang akan mewakili perusahaan untuk berinteraksi dengan media, public, maupun relasi lain. Kalau relasinya di luar kota atau luar negeri kan seru banget tuh.
• Kerja di NGO atau jadi peneliti. Cocok buat yang suka menjelajah ke pedalaman.
• Jadi pengusaha, seperti saya. Dengan menjadi entrepreneur kita bisa menentukan sendiri proyek-proyek atau unit bisnis yang akan kita terjuni. Karena saya suka travelling, saya lebih suka mencari klien di luar kota Jogja, biar punya alasan jalan. Tapi saya nggak berminat buka bisnis travel-agent, karena saya nggak suka wisata rombongan. Saya lebih suka independent traveller. Jadi membuka bisnis travel agent itu bertentangan dengan semangat backpacking dalam diri saya. Hehe…!

No comments:

Post a Comment