Tuesday, February 24, 2009

nonton prajurit kraton jogja dan prajurit istana buckingham


Saya beruntung tinggal di lingkungan jeron beteng, di kawasan yang masih berada di dalam benteng kraton Yogyakarta. Kebetulan lagi, rumah kami hanya sekitar 50 meter meter dari Regol Kemagangan, bagian tengah Kraton. Persis di seberang rumah kami ada nDalem Prabeyo, tempat yang bersejarah dalam peristiwa Janur Kuning di mana Sultan HB IX mengadakan pertemuan empat mata dengan Letkol Soeharto. Di belakang nDalem Prabeyo itu terdapat regol atau pintu gerbang yang menghubungkan dengan Kraton Kilen, kediaman Sultan HB X.

Jalan di depan rumah kami, Jl. Magangan Kulon, adalah jalan buntu yang tidak dilalui lalulintas umum selain penghuni di kawasan ini. Atau sesekali orang yang nyasar. Jalan itu menghubungkan Regol Kemagangan yang merupakan pintu keluar bagi Sultan dan istri-istrinya yang mangkat atau meninggal dunia. Ketika HB IX meninggal, jenasahnya dilewatkan Regol Kemagangan dengan kereta kencana menuju Imogiri, kompleks makam Raja-raja Mataram yang jaraknya sekitar 20 km dari Yogyakarta.

Pada hari-hari tertentu, seperti saat prosesi Garebeg, jalan depan rumah juga menjadi jalan yang dilewati barisan prajurit kraton yang beriringan menujua Regol Kemagangan. Ada 10 kesatuan prajurit kraton dengan kostum dan senjata aneka rupa, yaitu Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro, Prajurit Surokarso dan Prajurit Bugis. Diiringi terompet dan genderang yang khas, sebelum upacara Garebeg dimulai, kesatuan prajurit kraton ini akan keluar dari markasnya di Pracimosona Alun-alun Utara kemudian berjalan ke Selatan melewati pasar Ngasem, lalu ke Timur menuju Regol Kemagangan, kemudian masuk ke kraton dan keluar lagi membawa gunungan menuju Masjid Gedhe di sebelah Barat Alun-alun Utara.

Iring-iringan prajurit kraton ini merupakan tontonan yang nggak pernah bosan kami tonton sejak kesatuan prajurit ini dihidupkan kembali pada tahun 1970. Artinya sejak saya lahir telinga saya sudah terbiasa dengan musik khas dan derap kaki para prajurit yang lewat depan rumah setidaknya 3 kali setahun (Garebeg Maulud, Besar, dan Syawal).Ternyata meski sudah lebih dari seratus kali mendengar, saya dan orang-orang kampung di sekitar masih saja menyerbu jalan untuk menonton barisan prajurit itu. Padahal dari tahun ke tahun nggak ada perubahan dari kesatuan itu, kecuali usia mereka yang kian tua dengan kulit muka yang makin keriput. Dan justru menambah dramatis, menyiratkan pengabdian yang tulus pada junjungannya. Mungkin itulah yang selalu membuat saya nggak bosan menontonnya. Apalagi mengabadikannya dengan kamera.

Lain halnya dengan prajurit –prajuritnya Ratu Elizabeth. Mereka masih muda dan ganteng. Tapi cueknya setengah mati, nggak pernah sekalipun tersenyum. Biar sudah dijahilin seperti apapun, tetep aja diam seribu bahasa. Kecuekan para prajurit ini merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Banyak yang pengin foto bareng, termasuk saya.



Saya sengaja menyisihkan waktu untuk bisa motret prajurit cuek ini dari dekat. Kebetulan pula setiap hari diadakan prosesi pergantian prajurit berkuda di Whitehall Palace sebrangnya St. James Park (11.00) dan pergantian prajurit jaga di Buckingham Palace (11.30). Biarpun acara ini berlangsung setiap hari, tapi ternyata yang nonton berlimpah ruah. Mulai dari anak-anak sekolah yang dikawal guru, sampai turis-turis asing dari berbagai Negara, termasuk beberapa wajah Indonesia sempat saya lihat di sana.

Prosesi pergantian Horse Guard sih nggak terlalu padat pengunjung. Mungkin karena waktu prosesinya hampir berbarengan dengan yang di Istana Buckingham, banyak turis yang memprioritaskan nonton langsung di Buckingham. Kalau saya sih nggak mau rugi. Mumpung lagi di London, sebisa mungkin dua-duanya dapet dong.

Akibatnya saya harus berkejaran dengan waktu. Sehabis motretin prajurit berkuda yang kudanya jauh lebih tinggi dari tinggi badan saya itu, saya segera berlari melintasi St. James Park yang luuuaaasss banget untuk menuju Buckingham Palace. Kalau nggak lari, bisa ketinggalan momen, karena prosesi pergantian itu hanya berlangsung sekitar 30 menit. Lumayan ngos-ngosan juga sih. Sementara itu nyanyian genderang dan terompet yang dimainkan prajurit jaga di Buckingham Palace sayup-sayup terdengar menyusup lewat sela-sela pepohonan taman. Saya makin mempercepat langkah kaki. Takut udah bubaran.

Begitu berhasil keluar dari taman, saya langsung dihadang kerumunan orang yang berdiri di trotoar untuk menyaksikan prosesi pergantian prajurit. Ya ampuun, banyak banget. Padahal istana Buckingham masih di sebrang sana, tapi kerumunan itu memadati sepanjang trotoar. Kerumunan makin memadat di depan pagar besi istana sang ratu. Tubuh gendut saya juga kesulitan mendesak di antara kerumunan itu. Duh, masak udah nyampe sini nggak dapet gambarnya sihhh...!

Aha, mata saya menemukan sela-sela teralis yang bisa dimasukin lensa kamera. Segeralah saya menyeruak kerumunan. Baru beberapa kali jepretan, tiba-tiba ada mencolek-colek bahu saya. Ketika saya menoleh ke belakang, ups rupanya di belakang saya makin berjubal orang . Si bule yang berdiri persis di belakang saya, minta gentian pengin motret. Terpaksalah saya beringsut keluar dari kerumunan, memberi kesempatan pada turis lain untuk memotret dari sela-sela jeruji pagar besi.



Saya jadi ingat Garebeg Maulud di Jogja. Untuk memotret prajurit kraton yang mengusung gunungan, kita juga harus menyeruak ribuan orang yang berjubel di Alun-alun Utara.

No comments:

Post a Comment