Tuesday, February 3, 2009

I travel to meet locals


Sebagai penikmat jalan-jalan yang pengin belajar banyak dari kisah perjalanan teman-teman lain, saya juga bergabung di beberapa milis traveller yang ada di Indonesia. Sesekali ikut kopdaran alias jumpa di dunia nyata. Dan setiap kali kopdaran, setiap kali mendengar kisah-kisah mereka, saya selalu dihantui rasa minder. Sebagian besar dari teman-teman di milis adalah penjelajah alam sejati, yang sudah turun naik gunung, menelusuri perut bumi, mengarungi sungai-sungai berarus liar, atau menyelami dasar lautan bertemu ribuan jenis ikan.

Sementara saya hanyalah pejalan biasa, yang menyinggahi satu daerah ke daerah lain tanpa tantangan adreanalin. Kisah perjalanan saya pun nggak ada heroik-heroiknya, sehingga nggak perlu dirayakan dengan kibaran Merah Putih seperti saat mencapai puncak-puncak gunung. Bahkan, dengan malu saya akui, saya belum pernah naik gunung sekalipun!

Banyak yang nggak percaya bahwa saya belum pernah naik gunung. Apalagi penampilan saya kan cukup maskulin: rambut cepak, wajah cukup "tampan" dengan kumis tipis, nggak pernah pakai rok karena memang nggak punya, lebih suka ranselan ketimbang tas slempang, dan sukanya pake sandal Teva alias sepatu gunung (tau nggak, saya punya 3 pasang dan masih pengin nambah lagi). Simbol-simbol kemacoan yang lekat dalam karakter saya itu ternyata nggak matching dengan selera jalan-jalan atau destinasi wisata yang saya sukai.

Saya lebih suka mengunjungi tempat-tempat yang memungkinkan bisa bertemu dengan penduduk lokal. Tujuan saya jalan-jalan bukan semata-mata untuk menikmati keindahan alam, lebih dari sekedar itu, yaitu untuk experiencing different culture. Pengalaman itu hanya bisa saya dapatkan jika saya tinggal dengan penduduk setempat. Kalaupun nggak punya banyak waktu, minimal saya bisa berada di lingkungan yang banyak didatangi warga setempat. Sokur-sokur bisa ngobrol banyak.

Saya pengagum manusia dari berbagai ras dan etniknya, dengan segala kehidupan sosial budayanya, termasuk hasil karyanya. Saya mengagumi candi-candi yang merupakan karya besar nenek moyang. Atau benteng-benteng, castle, kraton, dan bangunan-bangunan arsitektur. Untuk menikmati kemegahan itu tak jarang saya harus mendaki di ketinggian, meski tidak setinggi gunung berapi. Seperti ketika mendaki ke bukit di desa Dempe untuk melihat Benteng Otanaha di Gorontalo, juga ketika nyekar di makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta yang harus mendaki ratusan anak tangga itu. Di puncak ketinggian itu saya tidak hanya melihat batu-batu, tetapi belajar tentang kehidupan sosial budaya orang-orang yang terkait dengan kawasan tersebut: orang-orang yang dulu membangunnya, yang kini memliharanya, atau yang rutin mengunjunginya.

Beruntunglah saya tinggal di Indonesia yang multi-etnik ini, sehingga bisa "mengalami" kebudayaan lain tanpa harus ke luar negeri. Orang Barat sering menerjemahkan experinencing different culture ini dengan tinggal di negara lain. Tapi bagi orang Indonesia yang negaranya luuaaasss banget dengan penghuni yang sangat beragam etnisnya, experiencing different culture ini dapat dilakukan tanpa harus mengurus passport dan visa.

Itulah sebabnya saya pernah menginap di rumah Mbah Maridjan tapi bukan dalam rangka transit sebelum mendaki Merapi. Saya tinggal di sana karena pengin mengenal kehidupan petani di lereng Merapi. Sama halnya ketika saya dan teman-teman tinggal di desa Kedakan (nDakan), desa terakhir di lereng Merbabu selama 2 minggu semasa kuliah dulu. Niatnya karena pengin tinggal bersama penduduk setempat, belajar mengenali kehidupan mereka.

Begitu juga ketika saya ke Bali, saya lebih suka tinggal di Ubud, yang oleh bule-bule disebut sebagai the cultural heart of Bali. Bukan ke Kuta yang banyak didatangi turis domestik yang pengin nonton bule leyeh-leyeh di pantai. Di Ubud saya juga lebih suka menyewa kamar yang menyatu dengan rumah tinggal mereka. Sehingga saya bisa ngobrol dengan semua anggota keluarga, ngusilin anak-anak mereka, atau membantu meracik sesaji yang tiap pagi mereka siapkan. Saya serasa menjadi tamu keluarga beneran, bukan sekedar wisaawan yang menyewa kamar hotel.

Dengan hanya tinggal di kamar sewaan di Ubud itu, saya sudah merasa berwisata kok. Nggak perlu pergi-pergi lagi mengunjungi pantai-pantainya, surfing atau diving. Memang sih, saya juga pernah belajar diving di Tulamben, Bali. Sekedar pengin bisa nyilem dan melihat keindahan di laut. Yang ternyata memang indah dan mengagumkan. Tapi, buat saya, berinteraksi dengan orang dari berbagai etnis jauh lebih menakjubkan ketimbang bercanda dengan ikan yang nggak bisa diajak curhat.


Ketemunya Jawa juga!

Meskipun Indonesia negara multi-etnik, tetapi untuk bisa merasakan pengalaman kebudayaan lokal diperlukan sedikit perjuangan. Maklum, para perantau dari Jawa sudah merambah ke seluruh penjuru negeri ini. Program transmigrasi yang bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa ke beberapa daerah di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra menjadikan daerah tersebut kian banyak dihuni orang Jawa. Termasuk program pengiriman Sarjana ke tanah Papua pada era 80-an yang bertujuan untuk membangun wilayah Indonesia Timur. Makanya saya sangat setuju dengan kritikan yang ditujukan pada program transmigrasi yang tak lain sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk melemahkan populasi lokal dan mengurangi gerakan separatis di pedalaman.

Ketika saya tiba di Agats, ibukota kabupaten Asmat di pedalaman Papua, saya terkejut melihat wajah-wajah Jawa yang cukup banyak di kantor-kantor insansi pemerintah. Rupanya staf pemerintah itu banyak diimpor dari Jawa dan sebagian Sulawesi Selatan. "Di Agats kita bisa menemukan orang dari semua suku di Indonesia. Ada orang Batak, Minang, Bugis, Toraja, apalagi Jawa," ujar salah seorang alumni UGM yang kini sudah menjadi pejabat di sana. Beliau sendiri bermigrasi ke Papua berkat program pengiriman Sarjana ke Papua pada tahun 1980.

Di kota Sorong juga demikian. Suatu ketika, saya dijemput driver dari kantor relasi saya dari bandara ke hotel. Obrolan basi-basi kalau lagi ke luar kota, apalagi Indonesia Timur, adalah menanyakan asal dan sudah berapa lama tinggal di sana. "Saya dari Purwodadi Grobogan, Mbak," katanya membuat saya terkejut karena ia menyebut nama daerah asal Bapak saya. "Tapi saya lahirnya di Sorong. Orang tua saya transmigran dari daerah sana," jelasnya membuat ingatan saya kembali ke era 1978 atau 1979.

Saya masih berumur 7 atau 8 tahun ketika warga di desa kelahiran Bapak saya heboh oleh program transmigrasi. Karena kebetulan Eyang Kakung ketika itu menjabat sebagai Lurah (sekarang disebut Kepala Desa), saya sering mendengar perbincangan seputar rencana pengiriman sejumlah warga ke Papua. Eyang membuat daftar nama warga yang setuju untuk diberangkatkan transmigrasi. Sebagain besar dari mereka adalah warga desa yang miskin, termasuk keluarga Suwarni, pembantu di rumah Eyang.

Saat hari keberangkatan itu tiba, Eyang Kakung melepas warganya di pelataran Balai Desa. Sebagai Lurah beliau mencoba meyakinkan warganya bahwa kehidupan di tanah Papua akan lebih baik, karena akan mendapat jatah tanah yang cukup luas untuk diolah. Sementara itu Eyang Putri sesenggukan karena harus berpisah dengan orang-orang yang setia mengabdi. Saya juga sedih karena kehilangan Tri dan Murni, teman sepermainan. Mereka mungkin sudah "jadi orang" di Sorong. Setidaknya kehidupannya sudah lebih baik ketimbang di Grobogan dulu. Terbukti tidak banyak yang pulang kampung karena nggak krasan. Diam-diam saya berharap bisa bertemu mereka jika tugas ke Sorong lagi. Semoga.

Selain di Papua, saya juga pernah bertemu transmigran dari Jawa Tengah di Kalimantan Selatan. Nggak cuma bertemu sesaat, tapi tinggal bersama mereka selama 2 bulan. Sebenarnya ini sebuah kecelakaan, sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya.

Tahun 1996 kebetulan UGM mengadakan program pilihan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di luar Jawa, yaitu di Kalimantan Selatan. Demi menyalurkan hasrat traveling dan experiencing different culture, saya pun mendaftar. Setelah melalui berbagai proses seleksi, akhirnya saya terpilih bersama sekitar 100-an mahasiswa UGM lain untuk ditempatkan selama 2 bulan di wilayah Kabupaten Pelaihari, Kalsel.

Sejak pengumuman lolos coaching itu, saya sudah membayangkan kehidupan eksotis di pedalaman Borneo (lagi). Apalagi sebelumnya sudah pernah tinggal dengan suku Dayak di Kaltim, imajinasi tentang orang Banjar di Kalsel pun menghiasi angan-angan saya terus. Saya juga bersemangat mencari literatur tentang kehidupan orang Banjar termasuk pamali-pamalinya supaya nggak menjadi pengacau secara kultural ketika di sana.

Setiba di Kab. Pelaihari, kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang tiap kelompok terdiri dari 6 orang. Saya mendapat jatah ditempatkan di Desa Bluru, Kec. Batu Ampar. Setiba di kecamatan, kami disambut Pak Camat dan Kepala-kepala Desa yang wilayahnya, termasuk beberapa Kepala Desa yang bakal menjadi induk semang kami. Dan betapa terkejutnya saya, ketika ternyata Pak Kades Bluru berbahasa Jawa ketika menyambut kami. "Seluruh warga desa Bluru ini adalah transmigran dari berbagai kabupaten di Jawa Tengah," katanya menjelaskan.

Saya langsung lunglai. Jauh-jauh ke Kalsel, eh ketemunya orang Jawa lagi. Nggak seru banget. Sehari-hari dengan semua warga desa kami ngomong pakai bahasa Jawa. Pak Kades dan seluruh pamong praja, juga Pak RT dan Pak RW, kalau memimpin rapat atau sekedar berkumpul untuk kerjabakti, ngomongnya ya cara Jowo! Jadi apa bedanya KKN di Banjar sama di Purworejo, Ta?" ledek teman seangkatan yang dapat lokasi di Jawa Tengah.

No comments:

Post a Comment