Wednesday, June 30, 2010

Cerita Tita, Menjahit Perca Budaya

Oleh : Wahyu Ari Wicaksono
KabarIndonesia

Mengapa perempuan-perempuan Papua, Bali dan lelaki Nepal biasa memikul beban di atas kepala sedangkan lelaki Jawa lebih memilih menggunakan bahunya?

Pertanyaan ini tentu saja tak bisa kita jawab dengan permainan logika semata. Ada detail-detail budaya yang tentunya melatarbelakangi kebiasaan-kebiasaan yang berbeda tersebut. Kenapa lelaki Jawa memilih memberdayakan bahunya dibandingkan kepala? Konon hal ini dikarenakan kultur budaya Jawa yang menempatkan dan menganggap kepala sebagai bagian tubuh paling terhormat yang tak bisa diperlakukan sembarangan. Tentu saja bukti kultur ini bisa kita temukan pada detail-detail aktivitas-aktivitas harian yang dijalani orang Jawa terutama di kawasan rural, yang bisa kita temukan jika kita benar-benar membaur dengan mereka.

Keunikan detail-detail budaya lokal yang mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan masyarakat tersebut memang ibarat kain-kain perca. Gampang kita temukan tapi tak gampang untuk kita manfaatkan. Dibutuhkan kejelian, ketelitian, kemauan, dan tentu saja kepedulian yang cukup agar nantinya perca-perca tersebut bisa kita susun sebagai mozaik yang bisa membongkar tabir keunikan sebuah budaya tertentu.

Keahlian menjahit perca menjadi sesuatu yang lebih bisa kita nikmati itulah yang berhasil dilakukan Matatita melalui buku cerita petualangannya yang berlabel,"Tales from the Road". Kehadiran buku ini benar-benar memberi sesuatu yang berbeda (out of the box) dari paritas buku-buku kisah petualangan/perjalanan yang telah ada, khususnya di Indonesia.

Memang akhir-akhir ini cukup banyak buku-buku kisah perjalanan (avonturir) yang terbit di Indonesia. Sayangnya kepedulian, kejelian, dan kemauan penulis untuk masuk secara partisipatoris dalam objek tulisannya belum begitu terasa. Kajian budaya yang notabene mampu memberi nyawa dari sebuah keindahan fisik suatu lokasi kerap tercecer. Untungnya dengan terbitnya buku ini, Matatita sudah memulainya dengan mengagumkan.

Tulisan kisah perjalanan Matatita itu tak hanya mampu berbagi sejumlah tip seru berburu tiket murah atau akomodasi super ngirit semata, tetapi mampu membuat kita pembacanya, mengenal ruh-ruh budaya yang menjadikan tempat-tempat petualangan menjadi spesial. Tak bisa dipungkiri, totalitas, kegigihan dan kerja keras sang penulislah yang membuatnya bisa mendapatkan pengalaman langka semisal diangkat anak secara tradisional oleh keluarga Dayak atau tinggal di rumah asli Suku Newari, Nepal. Kegigihan dan kepedulian jugalah yang berhasil menjadikan penulis mampu memperhatikan hal-hal yang kecil seperti budaya dan keseharian masyarakat di tempat tersebut sekaligus berusaha dekat dan melebur dengan penduduk setempat dengan cara menghormati budaya mereka.

Boleh jadi kepiawaian ini memang didukung oleh latar belakang akademis sang penulis yang notabene merupakan jebolan Anthropology UGM. Dengan bekal akademis itulah maka Matatita mampu membuat komparasi akurat mengenai nuansa kesamaan yang kuat antara gerbang kota tua Bhaktapur di Nepal dengan kawasan Jeron Beteng Keraton di Yogyakarta. Mungkin bekal akademis itu pulalah yang membuat penulis mampu menganalisa potensi prosesi Dhaeng (barisan pasukan keraton yogyakarta) dalam upacara Gerebeg untuk bisa ‘go-internasional’ seperti halnya prosesi pergantian pengawal kerajaan Inggris di Buckingham Palace.

Namun asumsi di atas tidaklah sepenuhnya benar. Bekal akademis hanyalah salah satu faktor semata. Ada banyak faktor lainnya yang turut berpengaruh. Yang terpenting adalah kemauan dan kepedulian yang ada. Asalkan mau berdarah-darah untuk mencoba berpatisipatoris pada masyarakat tempat tujuan kita beravonturir serta mau mengasah kejelian dalam melihat detail unsur-unsur budaya yang berpengaruh di sana, maka semua orang seharusnya bisa menulis cerita seperti Matatita. Setidaknya Matatita telah memulai menyebarkan virusnya. Mudah-mudahan saja virus Matatita lewat buku "Tales from the Road" ini bisa segera mewabah sehingga dunia perbukuan cerita perjalanan penulis Indonesia semakin berwarna dan membanggakan. Selamat beravonturir.

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik):
redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com//

No comments:

Post a Comment