Pusat mode dunia, demikian kota ini dijuluki. Sejak abad ke 16 Milan telah berkembang menjadi kota perdagangan barang mewah seperti pakaian, perhiasan, dan barang-barang dari kulit yang wah. Empat abad kemudian, industri tekstil dan fashion mulai berkembang di Milan. Kota ini mencapai keglamorannya sejak tahun 1970. Sejumlah fashion brand kenamaan asal Italia, seperti Gucci, Dolce & Gabanna, Versace, Prada, Armani, dan Valentino hingga kini berkantor pusat di Milan. Sementara itu, hampir semua fashion label internasional membuka toko atau outletnya di Milan.
Tak ayal, kota yang terletak di Italia bagian Utara ini pun menjadi destinasi favorit para model dan perancang busana dari berbagai penjuru dunia. Milan menjadi tempat berburu produk fashion branded favorit mereka. Bagi mereka, ke Italia berarti ke Milan. Berkunjung ke Milan akan menaikkan gengsinya sebagai fashionista.
Saya sendiri punya ketertarikan pada industri fashion Italy, terutama Milan, berawal dari karya foto iklan Oliviero Toscani. Fotografer Italy kelahiran Milan (1942) ini berhasil mendongkrak popularitas produk fashion United Colors of Benetton lewat foto-foto kontroversialnya yang digunakan untuk kampanye iklan pada medio 1980an.
Iklan produk fashion yang mengandalkan unsur warna dalam rancangannya ini cukup unik. Konsep “united colors” ditampilkan melalui model dari berbagai ras: negro berkulit gelap dengan rambut keriting dan bibir tebal, bule berambut blonde, juga wajah asia dengan mata sipit. Issue toleransi, perdamaian, dan respek atas keberagaman dipilih Benetton untuk mengkampanyekan brand-nya.
Pada tahun 1988, iklan multi etnik itu mulai menghiasi majalah-majalah remaja di Indonesia. Kala itu, saya yang mulai menginjak remaja dan lagi belajar centil, akhirnya menjadi salah satu korban iklan Benetton. Setiap hari saya menyisihkan uang saku demi membeli selembar kaos warna ngejreng bertuliskan United Colors of Benetton. Kaos impian itu baru berhasil saya beli tiga tahun kemudian, setelah kuliah dan mulai bisa mencari uang saku tambahan dengan menulis cerpen.
Hingga kini saya masih mengagumi Benetton. Lebih tepatnya mengagumi foto-foto iklannya yang lahir dari ide gila Oliviero Toscani. Kampanye iklan Benetton itu telah banyak mendapat pujian, tetapi di sisi lain juga menimbulkan kontroversi. Kampanye kesetaraan ras yang mengkontraskan kulit hitam dan kulit putih dalam iklan “Breastfeeding” (1989), misalnya, mendapatkan sejumlah penghargaan di Eropa, namun dikecam keras oleh warga Amerika. Barangkali orang Amerika merasa tidak rela jika si bayi yang berkulit putih menyusu pada seorang ibu berkulit hitam yang secara historis merupakan warga kelas embek di Amerika.
Begitu juga iklan yang berjudul “Tongue” (1991) yang menampilkan 3 bocah dengan warna kulit yang berbeda (negro, bule, dan asia) tengah menjulurkan lidah. Pesan yang ingin disampaikan Toscani melalui kampanye ini adalah meskipun bocah-bocah itu memiliki warna kulit yang berbeda, tetapi warna lidah mereka tetap sama. Berbeda-beda tetapi sama saja, begitu kira-kira maksudnya. Iklan ini memenangkan awards di Inggris dan Jerman, namun lagi-lagi mendapat kecaman. Kali ini oleh warga Arab karena dianggap berkonotasi pada pornografi.
Kampanye iklan fashion rancangan dinasti Luciano Benetton yang sarat makna itu memberi kesan yang begitu mendalam dalam ingatan saya. Maka, saya tak ingin melewatkan Milan, kota kelahiran seorang fotografer hebat, Oliviero Toscani. Sekalian mengintip, semodis apakah kota yang dijuluki pusat mode dunia ini?
No comments:
Post a Comment