Showing posts with label italy. Show all posts
Showing posts with label italy. Show all posts

Tuesday, August 3, 2010

taste the real italiano pizza


Satu lagi keuntungan menginap di jaringan silaturahmi sesama backpacker, selain mendapatkan tumpangan yang nyaman, saya punya kesempatan untuk menikmati citarasa kuliner asli Italia, the real Italiano pizza.


Sejak saya datang, Laura (host saya di Verona City, Italy) sudah wanti-wanti agar saya menyisakan waktu untuk makan bareng. Waktu yang kami sepakati adalah malam hari, selepas dia pulang kantor, sebelum kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kami janjian ketemu di Arena pukul 19.00 lalu bersama-sama menuju Ristorante Pizzeria Redentore, restoran pizza yang menempati bekas bangunan kuno, di pinggir sungai Adige tak jauh dari Roman Theater.


Siang itu, ketika naik ke bukit San Pietro, saya sempat melihat bangunan restoran itu dari atas. Sebuah bangunan kuno yang bagian halamannya diisi meja kursi berpayung. Tempat yang nggak mungkin saya singgahi jika jalan sendiri karena harganya pasti tak terjangkau. Siapa sangka, Laura malah mengajak saya makan pizza di restoran itu.


Ketika membuka buku menu yang disodorkan waitress, saya tersentak. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena semua menu pizza ditulis dalam bahasa Italia. Mencoba minta buku menu in English ke waitress, tapi setelah menunggu cukup lama nggak diantar juga. Akhirnya, Laura dan Micola –temannya yang ikut menemani- membantu saya menerjemahkan beberapa menu yang saya tunjuk. Ternyata, mereka pun kesulitan mencari beberapa padan katanya dalam bahasa Inggris, terutama untuk ingredient tertentu.


Akhirnya, saya pun menyerahkan pilihan pada Laura dan Micola. “So, what kind of topping do you want? Meet, bacon, or fish?” Saya segera memilih fish sambil membayangkan ikan salmon. Sialnya, nggak tersedia topping ikan. Yang tersedia hanyalah topping kerang dan udang laut. Ya wis gak apa, saya juga suka kerang dan udang kok.


Ketika pesanan sudah datang, mata saya terbelalak lebar. “Wooowwww…!” Saya sama sekali nggak ngebayangin bahwa kulit kerangnya tidak dikupas dan diletakkan di atas sepiring pizza ukuran jumbo. Akankah saya sanggup menghabiskan pizza dengan topping seafood ini? “This isn’t Indonesian portion. But I’ll try…,” kata saya sambil melahap “seafood pizza” itu dengan semangat. Mumpung dibayarin, hehe….!



-temukan kisah tentang Italia lainnya di buku saya "EUROTRIP: safe & fun"-

Tuesday, July 6, 2010

verona, kota peristirahatan julius caesar




Saya mulai jatuh cinta pada Verona sejak 30 menit sebelum kereta yang saya tumpangi tiba di stasiun Verona Porta Nuova. Pemandangan di luar jendela kereta membuat saya enggan berpaling. Hamparan bukit-bukit hijau membentang dan rumah-rumah mungil di atas bukit yang dipagari pepohonan, menyiratkan kesejukan dan ketenangan. Keindahan yang membuat saya berandai-andai. Andai saya bisa tinggal di rumah di atas bukit berpagar pepohonan itu…


Siapa sangka, ternyata rumah Laura –host saya di Verona- juga terletak di atas bukit, dikelilingi kebun anggur. Ketika malam itu Laura menjemput saya di stasiun dan membawa saya ke pinggiran kota menuju rumahnya, langit mulai gelap. Hanya kerlip lampu di kejauhan yang nampak, sementara di kanan kiri jalan berliku dan menanjak yang kami lalui tampak gelap. “My house is about 8 km from the city,” kata Laura seolah minta permakluman jika jalan yang dilalui tampak lengang. Dia tidak tahu bahwa diam-diam saya tengah mensyukuri peruntungan ini, menemukan tempat peristirahatan yang tenang jauh dari kebisingan kota.


Esok paginya, saya makin jatuh cinta pada Verona. Begitu membuka pintu keluar dari rumah Laura, saya langsung disambut udara pagi yang segar, matahari yang mulai mengintip, dan pohon-pohon anggur yang hijau. “It’s so..soo..ssooo beautiful place, Laura!” seru saya penuh ketakjuban. Laura tersenyum tanda bahagia karena sudah berhasil menjadi host yang bisa memberikan suguhan pemandangan cantik untuk guest-nya. Lalu ia menyarankan agar saya mengunjungi Castel San Pietro yang berada di puncak bukit agar bisa menikmati kecantikan kota Verona.


Castel San Pietro berada di puncak bukit di tengah kota Verona. Karena saya berjalan kaki mendaki bukit itu, maka saya memilih jalan tikus, sebuah lorong kecil di samping kedai es krim, yaitu Via Botte. Lorong ini khusus pejalan kaki, berupa anak-anak tangga yang diapit dinding-dinding tinggi termpat tinggal warga.


Lumayan bikin ngos-ngosan juga mendakinya. Setiap kaki mengeluh minta diistirahatkan, saya melihat ke bawah dan terhibur oleh pemandangan sekitar. Begitu sampai puncak, di pelatasan Castel San Pietro, hilang sudah segala lelah tergantikan oleh ketakjuban kecantikan Verona dilihat dari atas.


Apa yang saya lihat di bawah sana sungguh indah. Sungai Fiume Adige yang mengalir tenang, membelah kota Verona. Deretan bangunan berjejer rapi di pinggir sungai. Dinding-dinding bangunan berwarna kuning muda, putih, salem, dan orange dengan kotak-kotak jendela kayu tampak kontras berpadu dengan warna coklat genting yang mendominasi view kota Verona dari atas.


Konon, kencantikan Verona sudah dikenal sejak jaman Romawi. Verona menjadi destinasi favorit para bangsawan Romawi jika ingin berekreasi. Bahkan Julius Caesar, juga suka melepaskan kepenatan dengan tinggal selama beberapa hari di negeri jajahannya, Verona.


Enggan rasanya turun ke bawah. Berlama-lama saya nikmati keindahan kawasan yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage ini.


--kutipan dari buku travelogue saya yg siap diterbitkan--

Friday, June 11, 2010

venice: napak tilas marco polo


Ada dua petualang asal Venice (Venezia dalam bahasa Italy) yang saya kagumi. Yang pertama Marco Polo, pedagang abad ke 13 yang menjelajah jalur sutra dari Venesia hingga Xanadu, Cina. Kala itu Marco Polo baru 17 tahun ketika mendampingi ayahnya berdagang dan menjalin kerjasama dengan Kublai Khan. Keberanian remaja Marco membuat Khan terpesona dan kemudian mengangkat Marco sebagai pegawai diplomatik kekaisaran. Tugasnya antara lain mengawal putri istana yang akan menikah dengan pangeran Persia. Marco pun kian banyak menjelajahi Asia, melintas gurun dan menyeberangi teluk.


Setelah kurang lebih 24 tahun menjelajah Asia, Marco kembali ke Venesia pada usia 41 tahun. Tiga tahun kemudian, terjadi perang antara Venesia dan Genoa. Marco yang semula menjadi salah satu nahkoda dalam pertempuran itu akhirnya tertangkap dan dipenjarakan. Di penjara ia bertemu dengan Rustichello da Pisa yang menuliskan semua kisah perjalanannya menjelajah Eropa hingga Asia.


Kumpulan tulisan yang kemudian dibukukan dengan judul ll Millione (The Travels of Marco Polo), membuat banyak orang penasaran. Tak sedikit yang mengiranya pembual besar karena kisahnya tentang negeri-negeri aneh yang dikunjunginya. Sementara itu banyak pula penjelajah yang tergoda menyusur jejak Marco Polo.


National Geographic juga secara khusus melakukan penjelajahan ini dengan melibatkan sejumlah penulis dan fotografer andal National Geographic, antara lain Michael Yamashita. Perjalanana napak tilas Mike dari Venice hingga Cina ini diterbitkan dalam buku fotografi berjudul Marco Polo: a Photographer’s Journey. Selain itu National Geographic Channel juga pernah memutar serial “the 24 year odyssey of Marco Polo” yang saya tonton lewat televisi berlangganan.


Penjelajah asal Venesia ke dua yang saya kagumi setelah Marco Polo adalah Francesco da Mosto. Barangkali tidak banyak yang mengenalnya. Saya sendiri baru beberapa tahun ini mengikuti petualangannya di BBC Knowledge Channel. Francesco adalah arsitek, sejarawan, penulis, film maker, dan presenter TV. Sejumlah acara petualangan yang ditayangkan di travel channel yang popular adalah "Francesco’s Mediterranean Voyage, a cultural journey through Mediterranean from Venice to Istanbul". Sebagai seorang arsitek dan sejarawan, Francesco bisa mendeskripsikan setiap tempat yang disinggahinya dengan sangat menarik, lengkap dengan detil seni dan budaya yang tersirat di dalamnya. Saya pun jatuh cinta dengan host berambut putih itu.


Dua petualang itulah yang menginspirasi saya untuk mampir ke Venice, termasuk mencari rumah Maraco Polo.


Ternyata, tidak mudah menemukan rumah sang petualang legendaries ini karena ternyata setiap orang memberi informasi yang berbeda tentang letak rumah Marco Polo. Saya jadi teringat tayangan salah satu episode napak tilas jejak Marco Polo di National Geographic channel. Dalam episode itu, fotografer Mike Yamashita berdiri di depan rumah yang konon dipercaya sebagai rumah Marco Polo. Lalu ia bertanya pada setiap orang yang lewat, “Di mana rumah Marco Polo?”. Ternyata setiap orang memberi jawaban yang berbeda arah. Bahkan ada yang menggeleng tanda tak tahu.


Jadi di mana sebenarnya rumah penjelajah Jalur Sutra ini? Ada yang bilang tak jauh dar Rialto Bridge dan Grand Canal. Di jalan arah Maliban Theatre kita akan ketemu sebuah restoran pizza yang konon adalah rumah Marco Polo. Bangunan lain yang diyakini sebagai rumah keluarga Marco Polo adalah di Corte del Milion. Namun tak jauh dari dari situ ada opera-house yang juga diyakini sebagai tempat tinggal Marco Polo.


Jangan-jangan memang Marco Polo punya banyak rumah ya, kan dia pedagang? saya bertanya-tanya dalam hati. Tapi bisa juga Marco Polo memang pernah tinggal di beberapa rumah, yaitu saat bersama keluarganya sebelum melakukan perjalanan ke Asia, kemudian saat ia kembali ke Venice 24 tahun kemudian, dan setelah keluar dari penjara mungkin juga menempati rumah yang lain. Barangkali.



image: narsis ala self-timer mode on di depan stasiun santa lucia, venice...siap2 napak tilas..hehehe


(sekedar kutipan dari travelogue "eurotrip" yg sedang saya susun)

Sunday, June 6, 2010

milan, benetton, dan saya


Pusat mode dunia, demikian kota ini dijuluki. Sejak abad ke 16 Milan telah berkembang menjadi kota perdagangan barang mewah seperti pakaian, perhiasan, dan barang-barang dari kulit yang wah. Empat abad kemudian, industri tekstil dan fashion mulai berkembang di Milan. Kota ini mencapai keglamorannya sejak tahun 1970. Sejumlah fashion brand kenamaan asal Italia, seperti Gucci, Dolce & Gabanna, Versace, Prada, Armani, dan Valentino hingga kini berkantor pusat di Milan. Sementara itu, hampir semua fashion label internasional membuka toko atau outletnya di Milan.


Tak ayal, kota yang terletak di Italia bagian Utara ini pun menjadi destinasi favorit para model dan perancang busana dari berbagai penjuru dunia. Milan menjadi tempat berburu produk fashion branded favorit mereka. Bagi mereka, ke Italia berarti ke Milan. Berkunjung ke Milan akan menaikkan gengsinya sebagai fashionista.


Saya sendiri punya ketertarikan pada industri fashion Italy, terutama Milan, berawal dari karya foto iklan Oliviero Toscani. Fotografer Italy kelahiran Milan (1942) ini berhasil mendongkrak popularitas produk fashion United Colors of Benetton lewat foto-foto kontroversialnya yang digunakan untuk kampanye iklan pada medio 1980an.


Iklan produk fashion yang mengandalkan unsur warna dalam rancangannya ini cukup unik. Konsep “united colors” ditampilkan melalui model dari berbagai ras: negro berkulit gelap dengan rambut keriting dan bibir tebal, bule berambut blonde, juga wajah asia dengan mata sipit. Issue toleransi, perdamaian, dan respek atas keberagaman dipilih Benetton untuk mengkampanyekan brand-nya.


Pada tahun 1988, iklan multi etnik itu mulai menghiasi majalah-majalah remaja di Indonesia. Kala itu, saya yang mulai menginjak remaja dan lagi belajar centil, akhirnya menjadi salah satu korban iklan Benetton. Setiap hari saya menyisihkan uang saku demi membeli selembar kaos warna ngejreng bertuliskan United Colors of Benetton. Kaos impian itu baru berhasil saya beli tiga tahun kemudian, setelah kuliah dan mulai bisa mencari uang saku tambahan dengan menulis cerpen.


Hingga kini saya masih mengagumi Benetton. Lebih tepatnya mengagumi foto-foto iklannya yang lahir dari ide gila Oliviero Toscani. Kampanye iklan Benetton itu telah banyak mendapat pujian, tetapi di sisi lain juga menimbulkan kontroversi. Kampanye kesetaraan ras yang mengkontraskan kulit hitam dan kulit putih dalam iklan “Breastfeeding” (1989), misalnya, mendapatkan sejumlah penghargaan di Eropa, namun dikecam keras oleh warga Amerika. Barangkali orang Amerika merasa tidak rela jika si bayi yang berkulit putih menyusu pada seorang ibu berkulit hitam yang secara historis merupakan warga kelas embek di Amerika.


Begitu juga iklan yang berjudul “Tongue” (1991) yang menampilkan 3 bocah dengan warna kulit yang berbeda (negro, bule, dan asia) tengah menjulurkan lidah. Pesan yang ingin disampaikan Toscani melalui kampanye ini adalah meskipun bocah-bocah itu memiliki warna kulit yang berbeda, tetapi warna lidah mereka tetap sama. Berbeda-beda tetapi sama saja, begitu kira-kira maksudnya. Iklan ini memenangkan awards di Inggris dan Jerman, namun lagi-lagi mendapat kecaman. Kali ini oleh warga Arab karena dianggap berkonotasi pada pornografi.


Kampanye iklan fashion rancangan dinasti Luciano Benetton yang sarat makna itu memberi kesan yang begitu mendalam dalam ingatan saya. Maka, saya tak ingin melewatkan Milan, kota kelahiran seorang fotografer hebat, Oliviero Toscani. Sekalian mengintip, semodis apakah kota yang dijuluki pusat mode dunia ini?



note:

find more benetton campaign history and ads