Monday, January 31, 2011

plesiran bareng baby itu irit kok!

Baby Food dari Garuda Indonesia

Ngajakin plesiran baby/infant (under 2 years) itu sebenarnya irit loh. Yuk, kita itung-itungan. Biaya transport dan akomodasi yang menyedot dana terbesar selagi traveling, nggak berlaku buat baby. 

Akomodasi jelas free karena hotel biasanya memberlakukan tarif sewa kamar untuk berdua dan free for kids under 10 years old. Biaya transport jika menggunakan moda transportasi darat juga free. Naik kereta dan bus nggak bakalan di-charge. Sementara kalao naik pesawat, jauh deket tarif infant berkisar antara 120-150 ribu (tergantung airline). Tarif ini berlaku flat alias pukul rata, enggak kayak tarif emak dan bapaknya yang mengikuti jenis tiketnya.

Meskipun infant cuma bayar 120 ribu, tapi di pesawat dapat jatah konsumsi yang nggak kalah sama orang dewasa (tentu saja yang ini hanya berlaku buat airline yang memberi fasilitas konsumsi untuk penumpang). Misalnya, saat Baby Bindi naik Merpati Airlines dari Jogja - Makassar return. Baby Bindi juga dapat satu dos isi makanan komplit (bukan snack) seperti jatah emak dan bapaknya. Memang sih itu nggak bakal kemakan sama Bindi karena nasinya kurang lunak, tapi kan lumayan buat nambahin jatah emak dan bapaknya. Hihi...!

Yang asyik kalo naik Garuda (itu sudah pasti). Ternyata Garuda punya menu khusus buat infant, yaitu 2 botol makanan bayi merk Heinz. Sedaapp...! Harga satu botol Heinz baby food di supermarket antara 22 - 32 ribu. Untuk dua botol itu anggep aja 50 ribu. Padahal Baby Bindi cuma bayar tiket Garuda ke Bali 130 ribu sekali jalan. Kalau dikurangi 50 ribu buat jatah konsumsinya, berarti cuma sekitar 80 ribu yang masuk ke airline.


Itu pun nggak semua. Karena masih ada gift lainnya dari Garuda untuk infant flyer ini, yaitu satu paket berisi diapers, bedak jonhson ukuran kecil, satu saset tissue basah, satu lembar perlak plastik ukuran mini, dan juga mainan bebek-bebekan dari karet yang bisa bunyi cit-cit-cit. Saya kurang tahu persis berapa biaya produksi untuk satu paket gift itu. Mungkin sekitar 25-50 ribu kali ya. 

Nah, kalo begitu semakin kecil lagi jatah rupiah yang masuk ke airline. Bisa dibilang, nol rupiah alias pihak airline nggak terlalu ngarep pemasukan dari infant flyer ini. 
Setelah transport dan akomodasi, aksi hemat traveling with baby ini masih berlaku di daerah tujuan. Buat masuk-masuk ke tempat wisata, biasanya bayi nggak perlu bayar tiket.Kalo ada yang memberlakukan tiket buat bayi, mari kita komplain seperti pengalaman saya saat ngajak Bindi ke Trans Studio Makassar

Oh ya, Based on my experience, traveling with Baby Bindi itu bikin saya nggak tergoda bela-beli yang aneh-aneh. Di Ubud misalnya, biasanya saya suka bela-beli craft aneh-aneh buat pajangan rumah, eh waktu sama Bindi, saya nggak beli apapun. 

Alasannya sederhana, pertama nggak ada waktu karena buat ngurusin Bindi sejak bangun tidur sampe kemudian saatnya jalan-jalan udah menghabiskan energi. Kedua, nggak nyaman banget ngajak Baby Bindi milih-milih craft, entar malah tangannya beraksi mberantakin dagangan orang kan bikin celaka. Ketiga, terlalu menikmati kebersamaan dengan Bindi sampe nggak kepikiran mikiran napsu pribadi. Hihii...!

Nah, sekarang ketahuan kan, emang irit. Jadi, nggak ada alasan buat nggak ngajak si kecil jalan-jalan kan? Mumpung dia masih infant under 2 years, yuks ajakin traveling. Kalo udah di atas 2 tahun udah bayar full tiket pesawatnya loh. Hehehe...!!!!

Sunday, January 30, 2011

kuliner nusantara isn't a baby friendly destination

Baby Bindi terlelap di Bali Zoo resto

Kalo lagi plesiran sama Baby Bindi, saya dan Edo nyaris nggak pernah makan bersama dalam satu meja. Makannya musti bergantian. Kalo saya yang duluan makan, berarti Edo yang jagain Bindi, biasanya diajak jalan-jalan. Begitu saya selesai makan, gantian saya ambil alih Bindi. Kalau kebetulan waktu makan kami bersamaan dengan waktu makannya Bindi, seringnya pas makan siang,  barulah kami bisa duduk semeja bertiga. Saya nyuapin Bindi duluan dan Edo makan menunya. Begitu Edo dan Bindi selesai makan, mereka jalan-jalan sementara saya gantian yang menyantap makanan.

Terkecuali kalo ngepasin jam makan, Baby Bindi lagi tertidur. Ini kesempatan emas yang nggak kami sia-siakan untuk menikmati menu pilihan yang mak-nyus. Mumpung si kecil lagi terlelap, emak dan bapaknya puas-puasin makan yang enak-enak. Hehe...!

Demi kenyamanan Baby Bindi yang terpaksa nungguin emak dan bapaknya gantian makan, kami suka pilih-pilih tempat makan. Sokur-sokur yang ada garden dan kolam ikan, jadi Bindi bisa enjoy main-main selagi kami gantian makan. Apes-apesnya kami pilih makan di mall yang adem dan enak buat strolling juga. Kalo sudah begini, soal pilihan menu jadi nomor dua. Sing penting wareg, nggak perlu kuliner-kulineran deh.

Tapi sesekali pernah juga kami 'maksa' Bindi wisata kuliner nusantara. Waktu di Makassar, saya ajakin Edo makan Konro Karebosi dan ikan bakar Lae-Lae. Niatan saya sebenarnya mulia, karena ini kali pertama Edo ke Makassar, sementara saya udah sering. Masak enggak nyobain kuliner Makassar sih? Padahal kan banyak ragamnya, dari konro, mie titi, sup kepala ikan, dll..dll...

Begitu nyampe di Konro Karebosi, saya dan Edo baru sama-sama tersadar, bahwa warung ini nggak baby friendly. Coba saja lihat, pengunjungnya buanyak,tempat duduknya terisi semua, musti nunggu sebentar untuk bisa duduk, sudah begitu asapnya mengepul nggak nyaman banget buat si kecil. 

Saat bergantian makan pun juga kurang nyaman, karena nggak ada tempat buat jalan-jalan sama Baby Bindi. Keluar warung udah jalan, panas pula kalo siang. Sementara di dalam warung juga padat. Alhasil, konro yang biasanya terasa nikmat kalo saya santap sendiri pas lagi ke Makassar, kali ini berasa sama sekali nggak ada enak-enaknya. Makannya musti buru-buru karena kasian sama Baby Bindi. Hiks..!

Sejak itu kami mencoret daftar kuliner nusantara dalan tiap family trip kami. Mendingan makan di restoran atau di mall yang nyaman buat si kecil. 




Friday, January 28, 2011

free for infant, tapi pake eyel-eyelan


awal desember lalu baby bindi jalan-jalan ke trans studio makassar. meski belum banyak wahana yang baby friendly, tapi lumayanlah..bindi bisa liat aneka permainan dan juga jalan-jalan di theme park studio yang luas dan adem.

oh ya, saat mau beli tiket, saya sempet nanya ke petugas, apakah bayi juga harus bayar tiket. lalu petugas tiket menyuruh saya nanya ke petugas pemeriksa tiket yg berjaga di gate, pintu masuk. "harus bayar full," katanya. bayi yang berumur 4 bulan ke atas harus bayar seperti orang dewasa. saya kaget, masa bayi belum bisa jalan dan tidak mungkin menikmati semua wahana yang disediakan juga harus bayar full? yang bener aja. di luar negeri biasanya free for infant, 50% for kids, dan full payment for adult.

lalu saya bertanya pada petugas di ticket booth lagi, "yang bener aja mbak, masa bayi bayar full?" lalu mereka bingung sendiri. saya di suruh nunggu beberapa saat. si mbak itu bolak-balik menghubungi orang-orang yang dianggap bisa membuat keputusan.
setelah sekian lama menunggu, barulah si mbak bilang bahwa bayi gak perlu bayar. saya pun melenggang dengan senang menuju pintu masuk. "sudah ada tiket untuk bayinya?" tanya petugas pintu masuk. saya terkaget. "lho, tadi dibilang free tuh?" si mbak petugas menggeleng, "harus punya tiket sendiri," katanya maksa. saya jadi sebel, "oke, mbak ke sana aja, tanya ke petugas di ticket booth ya," males dong kalo saya disuruh bolak-balik.

finally sih, dapet free for infant. tapi pake nunggu lama dan pegel. hiks..!

Friday, January 14, 2011

Baby Bindi on Magazine (Maj. Sekar, 12 Jan 2011)


Kebanggaan seorang Ibu yang berprofesi sebagai penulis adalah, ketika anaknya nongol di media. Hehe...! Karena Baby Bindi belum bisa baca dan nulis, sementara enggak apa deh diwakili emaknya dulu.

Ceritanya, bulan November 2010 lalu saya diwawancarai Mbak Tassia dari Maj. Sekar (Gramedia Majalah). Wawancara by phone Jakarta - Jogja. Lumayan lama juga wawancaranya, soalnya sempet diselingi break karena batuk-batuk dulu. Hiks..!

Tema wawancaranya seputar "traveling with baby". Buat saya, yang doyan traveling, ngajakin Baby Bindi jalan-jalan itu merupakan bagian dari proses belajar mengenal alam dan budaya lain. Sebisa mungkin saya berusaha mengajak Bindi traveling yang saya dedikasikan untuk dirinya, bukan untuk kepentingan orang tuanya.

Karena itu, saya lebih suka mengajak Bindi traveling ke tempat-tempat yang saya sudah sering mengunjunginya. Misalnya ke Ubud, Bali. Saya kan udah lumayan fasih daerah itu, jadi saya nggak tergoda pengin melihat macem-macem. Dengan begitu, saya bisa optimal memperkenalkan Bindi pada alam dan budaya lain: jalan-jalan ke sawah, ngliat enabuh gamelan bali, main sama bule-bule kecil, dll.

Ada kalanya, saya terpaksa mengajak Baby Bindi bepergian jauh untuk urusan keluarga. Nah, ini yang rada-rada bikin repot karena nggak bisa sepenuhnya rekreasi. Misalnya saat kami ke Makassar bulan Desember 2010 lalu. Kami ke sana dalam rangka kawinan sodara.

Sebenarnya, kami sudah disiapin kamar di hotel yang nggak jauh dari famili yang punya gawe itu. Tapi demi kenyamanan Baby Bindi, saya memilih bayar hotel sendiri di dekat Pantai Losari, yang jadi agak jauh dari rumah famili. Alasannya sederhana aja sih, kalau saya nginep di dekat rumah famili, pasti mau nggak mau harus menghadiri prosesi pernikahan adat Bugis yang sudah berlangsung selama 3 hari berturut-turut sebelum malam resepsi. Duh, enggak kebayang, capeknya bawa Bindi ke sana. Walaupun, sejujurnya, saya sangat amat ingin mendokumentasikan prosesi perkawinan Bugis secara lengkap. Mana famili saya itu keturuan bangsawan bugis pula kan. Tapi kalau saya maksain keinginan saya, kasian Baby Bindi-nya.

Jadilah saya pilih hotel menjauh, supaya ada waktu lebih longgar untuk berekreasi. Bindi bisa berperahu ke Pulau, bisa main ke Trans Studio, bisa jalan-jalan menyusur pantai, juga masih bisa menghadiri salah satu prosesi adat Mapacci pada malam sebelum ijab.

Nah...kembali ke majalah Sekar edisi 12 Januari 2011..edisi Baby Bindi...semoga akan segera disusul dengan buku yang saya susun "Traveling with Baby". Doain yaa....!

Thursday, January 6, 2011

English Tea: Twinings & Yorkshire Tea



Sebagai penikmat teh, saya merasa menemukan surga saat traveling di Inggris. Tahu sendiri kan, orang Inggris punya tradisi minum teh yang lahir dari kalangan bangsawan Inggris sejak abad ke 16. Tradisi para bangsawan ini menjadikan Inggris sebagai salah satu negara yang memiliki teh ternikmat dan dikenal luas ke penjuru dunia. Salah satunya adalah Twininggs of London yang sering saya beli di sejumlah supermarket di Indonesia.

Twinings ternyata mulai dipasarkan oleh Thomas Twining sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, tepatnya pada 1706. Racikan teh klasik andalannya yang sangat saya sukai adalah English Breakfast dan Earl Grey. Keduanya merupakan jenis teh hitam, bedanya English Breakfast sedikit lebih kental sementara Earl Grey lebih beraroma dan bercampur citarasa bergamot. Teh hitam klasik ini paling nikmat diseduh pagi hari sebagai menu sarapan.

Saat menginap di rumah Ima, saya mendapat suguhan teh Twinings dengan aneka rasa buah. Ada rasa strawberry, mango, orange, cinnamon, dan lainnya. Bahkan juga ada rasa campuran dari beberapa buah dalam satu tea bag. “Kirain Twinings cuma bikin classic tea,” kata saya sambil mencicip teh tiga rasa orange, mango, cinnamon dalam satu satu kantong. Ternyata enak juga. Jadilah saya membeli beberapa kotak Twinings Infusion aneka rasa yang pada saat itu belum banyak dijumpai di Indonesia.

Kebetulan pula saya belanja Twinings di minimarket Tesco di Leeds yang notabene merupakan wilayah Yorkshire. Mendadak saya jadi ingat tentang Yorkshire Tea yang pernah saya baca situsnya di internet. Mumpung lagi di Yorkshire, mendingan beli Yorkshire Tea Traditional sekalian meski cuma sekotak buat incip-incip. Harganya sama, sekitar £2.50 per kotak isi 25 bags.

Yorkshire Tea, teh yang diproduksi Taylors of Harrogate ini mungkin hanya popular di negara asalnya. Sepanjang yang saya ingat, sepertinya belum pernah menemukan kotak teh Yorkshire di Indonesia, bahkan di supermarket terkemuka seperti Sogo dan Carrefour. Padahal Yorkshire Tea umurnya juga sudah ratusan tahun loh. Perusahaan teh yang didirikan oleh Charles Taylor sudah ada sejak tahun 1886 atau lebih dari 200 tahun yang lalu.

Saat membeli beberapa kota teh Twinings dan sekotak teh Yorkshire di minimarket Tesco, saya melihat varian Yorkhshire Tea tidak sebanyak Twinings. Kalau nggak salah nggak lebih dari lima rasa, yaitu Traditional, Hard Water, Gold, Decaffeinated, dan Assam. Stok yang paling banya dipajang di rak adalah Traditional. Tapi selain teh, juga ada beberapa biskuit Yorkshire. Biskuit ini biasanya dimakan bersamaan minum teh. Rasa biskuit yang manis bisa menjadi pengganti gula, sehingga teh tak perlu diseduh dengan gula pasir lagi.

Soal rasa tehnya dibanding Twinings, menurut kecapan lidah saya sih sebenarnya nggak beda-beda amat. Sama-sama nikmat dan tidak terlalu pekat (apalagi jika dibanding dengan racikan teh nasgital –panas, manis, dan kental- ala Jogja). Sayangnya Yorkshire Tea masih sulit dibeli di Indonesia. Jadi sampai sekarang saya hanya setia pada Twinings yang mudah diperoleh di supermarket di Jogja. Hehe…!

Tuesday, January 4, 2011

london black cab


“Jangan naik taksi di London kalau nggak mau jadi kere.” Kalimat itu disampaikan hampir sebagian teman yang saya pernah berkunjung atau tinggal di London. Taksi memang merupakan alat trasnportasi termahal di Inggris. Apalagi buat traveler asal Indonesia yang nilai kurs rupiahnya terasa jatuh banget jika disandingkan dengan poundsterling.

Tapi siapa sangka jika ternyata saya terpaksa naik taksi dari London ke Heathrow airport yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 40 menit dan harus membayar kurang lebih 600 ribu jika dirupiahkan pada tahun 2007. Ini gara-gara Dewi, teman jalan saya, tersesat di Tower Bridge dan kami sempat kucing-kucingan sementara harus segera ke airport untuk kembali ke Indonesia. Karena nggak mau mengambil resiko bakal ditinggal pesawat dan itu berarti kami bakal butuh uang lebih banyak untuk biaya hidup tambahan di London, akhirnya saya memutuskan untuk “meningalkannya”, kembali ke hotel mengambil bagasi kami di loker. Lalu saya SMS ke Dewi menyuruhnya langsung ke airport meski saat itu saya bener-bener nggak tahu posisinya ada di mana.

Dari hostel tempat kami menginap di Camden, saya terpaksa menyewa taksi meskipun sebenarnya stasiun tube nggak seberapa jauh dari hostel. Masalahnya saya kan harus bawa bagasi milik Dewi juga. Nggak sanggup banget jika harus naik turun tanggal stasiun tube dengan 2 kopor dan 2 ransel besar.

Saya minta bantuan resepsionis untuk menelponkan taksi. Setelah terhubung, resepsionis memberikan gagang telpon ke saya untuk bernegosiasi sendiri dengan driver. Tarif taksi yang saya sewa dari hostel itu ternyata bukan tarif resmi, tapi jatuhnya lebih murah karena menggunakan mobil pribadi bukan city cab resmi. Sebenarnya agak deg-degan juga naik taksi gelap (sopir taksinya pun berkulit gelap karena migrant asal Afrika). Buat antisipasi, saya sempat mencatat plat nomornya dan kemudian saya kirimkan via SMS ke suwami yang ada beribu mil di Jogja. Hehe…!

Oh ya, tetapi saya juga pernah mencicip naik black cab saat di Leeds. Kali ini yang bayarin sang host alias tuan rumah, yaitu dari terminal Leeds ke rumah Ima di Sevile Road. Jaraknya nggak terlalu jauh, sekitar 10 menit saja waktu tempuhnya.

Ternyata beda loh, naik black cab yang bentuknya mungil dan mengingatkan saya pada Mr. Bean itu. Beda dengan kalau kita naik taksi-taksi di Indonesia atau di Singapura. Bedanya, di belakang kursi sopir dibatasi oleh kaca bening sehingga di dalam mobil imut ini terdapat dua ruang yang terpisah, yaitu ruangan driver dan ruangan penumpang. Memang sih, belum semua city cab sudah dipasangi partisi kaca seperti ini. Konon, ini demi keamanan si sopir, supaya tidak terjadi tindak kejahatan yang dilakukan oleh penumpang taksi. Tapi barangkali juga demi privasi penumpang. Dengan adanya partisi berupa kaca, obrolan penumpang nggak terdengar oleh driver.

Untuk komunikasi antara driver dengan penumpang dilakukan lewat mikrofon yang terpasang di kabin. Saat kami bertiga lagi seru-serunya ngobrol, tiba-tiba terdengar suara driver yang menanyakan arah tujuan kami lewat speaker kecil yang tersedia. Lalu dengan segera Ima menjawab sambil mendekatkan mulutnya kea rah speaker tersebut. Lucu juga ya.


Tarif Resmi Taksi di London (sumber dari Transport for London)

Distance

Approx
journey
time

Monday to Friday
06:00 - 20:00
(Tariff code 1)

Monday to Friday
20:00 - 22:00
Saturday and Sunday
06:00 - 22:00
(Tariff code 2)

Every night
22:00 - 06:00
Public holidays
(Tariff code 3)

1 mile

5 - 12 mins

£4.60 - £8.40

£5.00 - £8.60

£5.20 - £8.60

2 miles

8 - 15 mins

£7.20 - £11.20

£7.20 - £11.20

£8.00 - £12.40

4 miles

15 - 30 mins

£11 - £19

£13 - £19

£15 - £23

6 miles

20 - 40 mins

£17 - £28

£19 - £28

£24 - £34

Between Heathrow
and
Central London

30 - 60 mins

£43 - £75

£43 - £75

£43 - £75

*) Tarif minimum £2.20


note: image black cab dicomot dari sini