Sunday, September 25, 2011

UBUD Travel Writing & Travel Photography Trip - 5 - 9 Oct 2011

UBUD Travel Writing & Travel Photography Trip
bersama Matatita, Agustinus Wibowo, dan Raiyanni Muharramah
5 – 9 Oktober 2011

Materi workhsop (outdoor class)
·         Mengenal ragam (genre) penulisan perjalanan
·         Menstrukturkan pengalaman perjalanan sebagai narasi
·         Tips & trik fotografi traveling (mengoptimalkan kamera saku)

Biaya workshop Rp 3.700.000,- dengan fasilitas sbb:
  • Tiket Pesawat Jakarta/Jogja - Denpasar  PP
  • 4 day pass UWRF untuk panel/diskusi (tidak termasuk biaya workshop khusus)
  • Menginap 3 malam di bungalow/budget accommodation (twin sharing, jika jumah peserta ganjil maka ada satu kamar berisi 3 peserta)
  • Sarapan pagi di hotel (sandwich, buah segar, teh/kopi)
  • Dinner meals di cafĂ© ubud
  • Travel Kit (tas pinggang, peta ubud, bloknot, pulpen)
  • Sepeda Motor/Sepeda Gunung (sharing) buat exploring Ubud (bensin isi sendiri)

Biaya tidak termasuk:
·         Makan siang
·         Tiket masuk anjungan wisata
·         Pengeluaran pribadi
Pendaftaran (min 8 orang):
1.    Kirim email pendaftaran ke smartraveler@matatita.com, cantumkan nama dan alamat lengkap, no telp/hp yang bisa dihubungi, situs blog, atau akun fb. Tuliskan UBUD pada subject email.

2.    Pendaftaran terakhir (lunas)
30 September 2011
3.    Pembayaran via transfer. No Rekening akan diinformasikan via e-mail.

Monday, September 5, 2011

Traveler Aji Mumpung


Setelah menerbitkan tiga buku traveling, dan tengah menulis buku traveling lainnya, saya semakin merasa bahwa sebenarnya saya bukanlah seorang traveler. Bukan pula seorang backpacker atau flashpacker atau apalah istilahnya. Apalagi jika menilik travel-time saya yang ternyata nggak sehebat temen-temen backpacker lain yang saya kenal meskipun mereka belum menerbitkan buku.

Saya hanyalah pejalan aji mumpung. Mumpung dapat tugas ke Paris, ya wis sekalian jalan-jalan ke beberapa negara lain di Eropa. Mumpung tiket Air Asia lagi promo nol rupiah, ya wis di-booking aja buat jalan-jalan ke negara tetangga. Mumpung dapat proyek ngerjain media, ya wis sembari memburu nara sumber sekalian traveling ke penjuru tanah air.


Nah, ketika keberuntungan itu lagi menjauh, saya lebih suka menghabiskan waktu di Jogja saja. Aha..ini juga sebuah keberuntungan ya, bisa lahir dan tinggal di Jogja. Di kota wisata nomor dua di Indonesia setelah bali. Itu berarti setiap hari saya bisa traveling dong. Apalagi saya tinggal di deket Kraton, Tamansari, Alun-alun, gudeg Wijilan..wis lengkap sudah! Orang lain harus menyisihkan waktu dan uang untuk bisa menikmati Jogja, tapi setiap hari saya malah melewati rute wisata itu.


Memang sih, kadang-kadang saya juga off dari gaweyan untuk sekedar leyeh-leyeh di Ubud. Ubud lagi, Ubud lagi. Habis gimana ya, Ubud is my mood sih. Ubud itu mencerahkan jiwa dan bathin saya. Segala yang nyebelin tiba-tiba bisa langsung amblas begitu saya mencium aroma bunga kamboja yang terselip di telinga patung-patung Bali. Itu yang bikin saya sering nggak punya alternatif lain yang bisa dijadikan pilihan tempat buat berlibur. Itu pula yang kemudian membuat saya akhirnya sadar, bahwa ternyata banyak tempat-tempat wisata di Jawa yang jadi terlewat nggak pernah saya kunjungi. 


Coba, menurutmu ironis nggak, saya sudah lebih dari 20 kali dolan ke Ubud tapi belum pernah sekalipun ke Telaga Sarangan!


Jadi, saya memang tidak pantas menyebut diri sebagai traveler, meskipun pengin dan punya akun FB: Matatita Traveler. Ternyata saya belum menyinggahi tempat-tempat wisata populer yang nggak begitu jauh dari kota saya.


Saya memang suka dan menikmati setiap perjalanan, tetapi bukan orang yang suka menambah destinasi wisata. Buat saya tempat yang pernah dikunjungi bukan berarti jadi tidak menarik jika dikunjungi lagi. Bahkan saya sering menemukan hal-hal baru pada tiap-tiap kunjungan, meski itu berkali-kali dilakukan.


Jadi, jika kemudian saya bisa menuliskan kisah perjalanan dan diterbitkan, tentu bukan karena saya sudah jalan ke puluhan negara, ratusan kota, dan ratusan desa. Bukan kok. Saya rasa mungkin hanya karena saya bisa menuliskannya dan punya perspektif yang sedikit berbeda dengan traveler lain, sehingga ada penerbit yang menganggap tulisan saya layak dibaca publik. Itu saja.


Jadi, sekali lagi, saya hanyalah traveler aji mumpung. Dan semoga dewi keberuntungan nggak mau jauh-jauh dari saya.

Sunday, September 4, 2011

horse riding

naek kuda @bandungan, ambarawa
Kuda adalah salah satu binatang yang cukup diakrabi Bindi. Kebetulan tak jauh dari rumah kami ada pangkalan andong (delman), sehingga hampir tiap hari Bindi melihat kuda. Kadang-kadang kami juga mengajaknya berandong ria, sambil menyanyikan lagu "naik delman istimewa kududuk di muka..."

Selain mengakrabi andong-andong yang mangkal di dekat rumah, Bindi juga pernah beberapa kali kami ajak main ke kandang kuda milik keluarga pengusaha Mirota Batik. Kandang kudanya terletak di bagian belakang rumah makan House of Raminten di bilangan Kotabaru. Kudanya banyak, kalo nggak salah lebih dari empat ekor. Sudah begitu gede-gede pula.

Pernah pada hari minggu siang, saat kami lunch di sana, ngepasin saat membersihkan kuda-kuda tersebut. Kuda-kuda itu dikeluarkan dari kandangnya untuk dimandikan, disisir ekornya, juga diganti tapal sepatunya. Bindi kegirangan banget menyaksikan pemandangan langka itu. Apalagi kuda-kudanya cukup lulut alias jinak, nggak marah saat Bindi mengusap kepalanya.

Setelah mengakrabi kuda, akhirnya Bindi punya kesempatan naik kuda saat berlibur ke Bandungan, Ambarawa. Memang sih, kudanya nggak segagah kuda andong dan kuda koleksi keluarga Mirota Batik di Jogja. Kuda di kawasan wisata Bandungan umumnya berukuran kecil. Tingginya kira-kira hanya satu setengah meter, bahkan umumnya kurang dari segitu. Tapi justru karena ukurannya yang kecil itu, kuda ini jadi kids friendly. Anak-anak nggak takut untuk naik. Lagipula, kita tidak perlu memacu kuda sendiri, karena pemiliknya akan menuntun kuda tersebut.

Bindi juga nggak takut ketika kami menaikkannya ke punggung kuda. Meskipun awalnya agak tegang, tapi begitu kudanya jalan, Bindi mulai menikmati.

Tarif sewa kuda di Bandungan pada hari biasa sekitar Rp 15.000-20.000 untuk keliling kawasan wisata selama 15-20 menit. Rutenya boleh pilih, mau keliling taman atau melewati pasar Bandungan yang banyak menjual buah dan hasil bumi itu. "Kalu nyewa perjam bisa lebih murah, sekitar Rp 60.000," kata penjual minuman botol yang mangkal bersisian dengan pangkalan kuda. Tapi karena kawatir Bindi bosen di atas kuda jika kelamaan naik, mendingan yang short time aja. Toh sekedar untuk mengenalkan Bindi naik kuda. Juga supaya Bindi bisa mendengar dengan jelas bunyi sepatu kuda seperti yang sering kami nyanyikan bersama "tuk tik tak tik tuk tik tak suara sepatu kuda...!"