Monday, July 26, 2010

paris left bank v.s right bank



Jika berlibur ke Paris, kita akan sering mendengar istilah Left Bank dan Right Bank. Tadinya saya pikir sekedar mengacu tepi kiri dan tepi kanan sungai Seine. Ternyata, konon, pengertiannya lebih dari sekedar penunjuk arah. Tapi juga mengacu pada karakteristik kultur kedua wilayah tersebut. Jaman dulu, malah orang-orang yang berasal dari wilayah Left Bank nggak mau disamakan dengan mereka yang berasal dari wilayah Right Bank, begitu pula sebaliknya. Masing-masing merasa punya etos yang berbeda.

Tapi itu jaman dulu banget. Terutama ketika kedua wilayah itu belum disambungkan lewat sejumlah jembatan di atas sungai Seine.

Saat ini kita hanya bisa melihat perbedaan kedua wilayah tersebut lewat karakteristik arsitektur bangunan yang ada di sana. Left Bank atau dalam bahasa Perancis disebut La Rive Gauche, berada di sebelah Selatan sungai Seine. Kawasan ini favorit saya, karena di kawasan inilah para filsuf, penulis, seniman besar bermukim, seperti Jean-Paul Sartre, Ernest Hemingway, dan Pablo Picasso. Kawasan orang-orang kreatif ini bernama Latin Quarter.

Menyusuri kawasan nyeni ini membuat saya bisa menghirup aura Paris yang sesungguhnya yaitu sebagai kota seni. Di sepanjang tepi sungai Seine, berderet kios-kios buku kuno, lukisan, maupun benda-benda klasik lainnya. Sayangnya hampir semua buku itu ditulis dalam bahasa Perancis. Padahal saya sudah naksir beberapa buku komik seperti Tintin dan Asterix untuk nambah koleksi.

Satu-satunya toko buku bekas terlengkap yang menjual buku bekas dalam bahasa Inggris adalah toko buku Shakespeare & Company yang terletak di 37 rue de la Bûcherie. Toko buku yang didirikan Sylvia Beach ekspatriat asal Amerika pada tahun 1919 ini sekaligus berfungsi sebagai perpustakaan dan tempat berdiskusi sastra maupun workshop penulisan. Serunya lagi, Shakespeare & Co terbuka lebar bagi para penulis untuk menginap for free di toko bukunya. Bikin berkhayal jadi penulis kelas dunia nih, sambil membayangkan tidur di kasur yang semua dinding-dindingnya dipenuhi buku koleksi Shakespeare & Co.

Left Bank juga memanjakan saya dengan deretan café-café terbuka, dengan kursi dan meja yang ditata di teras yang bersisian dengan lorong-lorong sempit. Meskipun saya nggak mampu membayar secangkir kopi dan menikmati Paris sambil berlama-lama duduk di sana, saya sudah cukup terhibur menyaksikan orang-orang yang bercengkerama sambil menyeruput kopi hangat. Saya jadi membayangkan jaman dulu ketika para filsuf berdiskusi di café-café seperti ini di Paris.

Berbeda dengan Left Bank yang menurut saya memancarkan kultur klasik Paris yang kuat, maka di Right Bank atau La Rive Droite kita akan melihat Paris modern yang terletak di Utara sungai Seine. Di kalangan wistawan Right Bank cukup popular karena kawasan ini memiliki sejumlah destinasi wisata favorit. Cobalah melongok boulevard Avenue des Champs-Élysées yang terkenal itu. Saya rasa siapaun setuju bahwa Avenue des Champs-Élysées merupakan nama jalan yang paling popular di Paris. Boulevard ini akan berujung di monument Arc de Triomphe yang dibangun atas ide Napoleon pada tahun 1806.

Destinasi wisata lain yang menjadi andalan kawasan Right Bank adalah museum Louvre. Museum yang menyimpan lukisan Mona Lisa karya Leonardo da vinci ini makin banyak dikunjungi wisatawan sejak novel Da Vinci Code karya Dan Brown meledak di pasaran. Berjubal orang mengunjungi Louvre hanya untuk melihat lukisan Mona Lisa, termasuk saya. Dan begitu menemukan lukisan yang terkenal itu, semua pengunjung kecewa. Hiks, ternyata lukisannya keciiilll banget. Sudah kecil yang nonton berjubal pula. Jangan harap bisa berfoto dengan latar Mona Lisa, apalagi traveling sendirian seperti saya. Kecuali jika mau mengantri bergantian yang itu lumayan lama nunggu gilirannya.

Kalau pengin hang out, nongkrong di café dan menikmati lukisan di sejumlah galeri seperti di kawasan Left Bank, saya rasa Montmartre adalah tempatnya. Montmartre terletak di kawasan atas Paris, bahkan bisa dibilang kawasan paling tinggi. Mont dalam bahasa Perancis berarti gunung, seperti mount dalam bahasa Inggris. Lokasi ini agak jauh dari sungai Seine, tapi bisa ditempuh dengan mudah menggunakan Metro, kereta underground.


-temukan kisah tentang Paris lainnya di buku saya "EUROTRIP: safe & fun"-

Monday, July 12, 2010

menikmati sore di akropolis


Akropolis dengan kuil Parthenon yang berdiri megah di atasnya merupakan salah satu alasan jutaan orang yang berkunjung ke Athena. Demikian pula dengan saya, nekat ke sana meski saat itu kondisi politik di Athena sedang memanas. Aksi protes mewarnai kota dilanjut dengan pemogokan massal melumpuhkan Athena. Tapi warisan arkeologis paling spektakuler di Eropa ini selalu mengundang saya saya untuk menyinggahinya. Apa boleh buat, kesempatan tak boleh dilewatkan.


Begitu tiba di hostel dan mandi untuk menyegarkan diri, sore itu saya segera mengayunkan kaki saya ke Akropolis yang dalam bahasa Yunani berarti sebuah tempat di ketinggian. Meski berada di tempat yang tinggi namun berjalan kaki menuju akropolis tidaklah terlalu menguras energi. Malah menyenangkan. Kebetulan hostel tempat saya menginap terletak di kawasan Makrianni, dekat stasiun metro Akropoli, salah satu akses menuju Akropolis.


Pedestrian menuju Akropolis sangat lebar, selebar jalan raya yang tersusun dari batu granit ukuran persegi kecil-kecil yang ditata serapi jalan konblok. Di sisi jalan terdapat sejumlah bangunan berupa café terbuka dan Museum Akropolis. Pada sore hari kawasan ini merupakan area bermain yang menyenangkan bagi anak-anak. Ada yang main lempar-lemparan bola, sepedaan, hingga yang berkerumun menonton pertunjukan sulap dan badut. Ibu-ibu juga banyak yang mendorong baby stroller, menikmati sore di musim semi.


Setelah berjalan kurang lebih 500 meter, saya membelokkan langkah ke kanan, menapak susunan batu-batu pualam. Jalan berundak di bawah pepohonan rindang itu membawa saya ke Herodes Atticus, gedung theatre yang dibangun orang Romawi pada tahun 161 SM dan hingga kini masih sering digunakan untuk konser musik klasik, balet, maupun pertunjukan budaya lain.


Herodes Atticus terletak di sisi Selatan bawah kuil Parthenon. Dinding-dinding gedung theatre ini tersusun dari balok-balok batu cadas putih dengan ceruk-ceruk lengkung khas arsitektur Romawi. Bangunan ini akan mengingatkan saya pada Colosseum di Roma dan Arena di Verona, hanya saja tidak melingkar. Bangunan ini tersambung ke Theater Dionysious, theater batu pertama yang dibuat pada tahun 342 SM oleh Lykourgos yang juga digunakan sebagai arena permainan gladiator pada masa Romawi.


Lalu saya menyusur jalan di sisi Herodes Atticus yang berupa lantai pualam. Saya takjub menapakinya. Baru kali ini saya berjalan di perbukitan yang berlantai marmer. Jalan marmer ini menuntun saya ke pintu gerbang memasuki kompleks kuil Parthenon. Ketika saya akan membeli tiket, petugas mengingatkan bawha pintu akan ditutup 30 menit lagi (tutup pukul 19.00). Terpaksa saya memilih untuk tidak membeli karcis sambil berharap semoga besok saya masih punya waktu untuk kembali. Sebab, nggak mungkin rasanya saya mengeksplor kompleks Parthenon hanya dalam waktu 30 menit.


Untuk mengobati kekecewaan menengok kuil Parthenon yang dibangun dari batu pualam persembahan untuk Dewi Athena, saya naik ke bukit batu Aeropagos. Dari atas bukit terjal berbatu-batu ini Parthenon terlihat dengan jelas. Jika melihat ke bawah tampak kota Athena yang padat. View yang cantik. Saya pun memutuskan duduk-duduk di atas bebatuan itu untuk beberapa saat, sambil menikmati matahari yang mulai condong ke barat dan angin sore yang menyegarkan.


Ketika turun dari bukit Aeropagos, langit mulai berwarna jingga tanda senja sebentar lagi tiba. Jam di pergelangan saya menunjuk angka 8 malam. Saatnya kembali ke hostel, mengistirahatkan badan supaya esok bisa melanjutkan dengan wisata arkeologis yang lain.


Ancient Agora merupakan pusat kota Athena pada masa Sokrates dan Plato masih hidup. Kawasan seluas kurang lebih 5 hektar ini juga disebut Forum of Athens, yaitu tempat berkumpulnya banyak orang. Mereka berkumpul untuk mendengarkan pidato di majelis tinggi, berdiskusi politik, atau sekedar mengolah otot membentuk badan. Sisa-sia peninggalan pusat kota ini memang tinggalah reruntuhan. Bahkan tempat bersejarah di mana Sokrates diadili mejelis rakyat karena dianggap subversive pun hanya berupa blok puing-puing dengan papan kecil bertuliskan “People Council Hall”.


Roman Agora. Pada masa kekaisaran Romawi, Agora menjadi pusat perbelanjaan yang ramai. Situs yang dibangun di sebelah timur Ancient Agora ini didirikan pada masa Kaisar Augustus antara abad ke 9 – 11 SM. Warisan arkeologis di kompleks Roman Agora yang menarik dilihat adalah Tower of the Winds (Aerides). Tower setinggi 12 m dengan diameter 8 m ini pada bagian atasnya terdapat relief 8 dewa mata angin, yaitu Boreas (Utara), Kaikias (Timur Laut), Eurus (Timur), Apeliotes (Tenggara), Notus (Selatan), Livas (Barat Daya), Zephyrus (Barat), and Skiron (Barat Laut).


Temple of Zeus Olympian. Konstruksi kuil yang dipersembahkan untuk Dewa Zeus ini mulai dibangun pada abad ke 6 SM. Namun baru terselesaikan pada jaman Romawi di bawah kekuasaan gubernur Hadrian pada abad ke 2 SM atau sekitar 638 tahun kemudian. Kuil ini semula terdiri dari 104 pilar besar yang ukurannya melebihi ukuran pilar standard pada masa itu. Kini hanya tinggal 15 pilar yang masih berdiri serta 16 lainnya yang berserak di sekitarnya.



--selengkapnya tentang athena ada di travelogue eurotrip-ku ya--

Friday, July 9, 2010

Fund Raising ala Trevi Fountain


Sejak jaman Kekaisaran Romawi, Roma merupakan kota yang tak pernah kekurangan air. Pada masa itu sedikitnya dibangun 9 saluran air mengelilingi wilayah Romawi yang jika ditotal panjangnya hingga 415 km. Di beberapa titik kemudian dibangun kolam penampungan air sebanyak 591 kolam dan 39 monumen fountain. Sayangnya ketika Kekaisaran Romawi runtuh, saluran air ini pun terbengkelai dan rusak.


Adalah Paus Nicholas V (1397-1455) yang berinisiatif untuk kembali membangun fountain dengan tujuan menghiasi kota Roma sebagai ibukota umat Kristiani sedunia. Dimulailah dengan membangun saluran air minum Aqua Vergine yang dirancang arsitek Leon Battista Albert. Setelah itu secara bertahap menyusul dibangun fountain. Salah satu dari fountain pertama yang dibangun pada masa Renaissance ini adalah fountain Piazza Santa Maria di Trastevere (1499).


Hingga kini sedikitnya terdapat 280 monumen fountain dengan disain artistic yang spektakuler. Sekedar untuk menyebut beberapa monumen fountain yang menkjubkan antara lain Fontana del Pantheon yang berlokasi di depan Pantheon, Fontana dei Quattro Fiumi rancangan Bernini yang terletak di tengah-tengah Piazza Navona, dan Fontana di Trevi yang merupakan fountain terbesar di Roma dengan tinggi 26 m dan lebar 20 m.


Fontana di Trevi (Trevi Fountain) juga merupakan obyek wisata andalan Roma. Wisatawan yang datang ke Roma selalu menyempatkan mengunjungi Trevi Fountain. Bukan semata karena Trevi Fountain merupakan fountain terindah dan terbesar di Roma, tetapi karena mitos melempat koin yang melegenda itu.


Konon jika kita melempar koin ke kolam itu, niscaya suatu hari akan kembali ke Roma lagi. Maka berloma-lombalah para wisatawan dari berbagai negeri saling melemparkan koin sambil make a wish semoga kembali ke Roma lagi. Nggak Cuma itu, ada mitos lain yang dipercaya terkait dengan lempar-melempar koin ini, yaitu bakal menemukan jodoh dan berlanjut ke pelaminan.


Saya jadi ingat film drama komedi “When in Rome” (2010) yang saya tonton di pesawat Emirates dalam perjalanan ke Paris tempo hari. Film yang dibintangi Kristen Bell (sebagai Beth) ini mengangkat topik tentang mitos asmara di balik koin yang terlempar di Trevi Fountain. Dikisahkan, dalam kondisi agak mabuk dan menenteng botol minuman, Beth yang malam itu hatinya terluka karena melihat cowok idamannya mencium seseorang, lantas mausk ke kolam “fountain of love” dan mengambil beberapa koin yang ada di dasar kolam. Dia baru tahu dari adikknya bahwa jika mengambil koin yang ada di kolam tersebut, maka pelempar koin itu akan jatuh cinta dengan siapapun yang mengambil koinnya. Celakanya, Beth mengambil 5 koin. Dan kelucuan film ini pun dimulai. Beth dikejar-kejar oleh 5 orang yang tak dikenalnya.


Tentu saja koin cinta itu hanyalah mitos. Malah setiap malam ada petugas khusus yang mengumpulkan koin dari kolam untuk kemudian digunakan sebagai subsidi bagi kaum miskin. Tahu nggak, setiap hari sedikitnya terkumpul koin totalnya € 3000. Jika dirupiahkan lebih dari 30 juta, bo!


-kisah lain ttg roma..ada di buku EUROTRIP safe & fun..-

Wednesday, July 7, 2010

baby travel gear


Baby Carry Out (BCO)

Inilah travel gear pertama yang dimiliki Baby Bindi. Saya membelinya sekitar 2 minggu sebelum kelahiran Bindi. BCO termasuk barang yang kala itu saya anggap sebagai 'must buy' selain kebutuhan standar newborn. Lucu banget ngebayangin ada bayi mungil yang terselip di dalam keranjang, lalu
diletakkan di jok mobil belakang, dan saya menjagai di sisinya. Belum-belum saya udah ngebayangin Bindi bakal sering diajak jalan-jalan nih.

BCO akhirnya kepake waktu Bindi keluar dari rumah sakit beberapa hari setelah kelahirannya. Yang kedua, seingat saya, dipake waktu waktu mau imunisasi. Setelah itu, nggak pernah dipake lagi karena Bindi mulai menunjukkan gelagat nggak nyaman di keranjangnya. Ya wis, terpaksalah BCO berubah fungsi, buat nyimpen selimut, mainan, dll. Untung ada temen yang lahirin baby 3 bulan kemudian. Jadilah BCO dihibahkan un
tuk temen saya. Saya bilang padanya, "ini buat bobokin baby saat pulang dari RS."

Stroller
Belum g
enap usia 2 bulan, saya sudah bernafsu membelikannya stroller. Waktu itu Edo kurang setuju, katanya entar aja nunggu agak gede dikit. Ternyata stroller itu beragam jenisnya. Ada stroller yang emang khusus buat newborn atau biasa disebut kereta bayi. Stroller jenis ini masa kepakenya palingan cuma 3-4 bulan. Setelah baby mulai gede, apalagi bisa duduk sendiri, jadi kelihatan aneh kalo pake kereta bayi. Ada juga stroller yang didisain bisa digunakan sebagai kereta bayi maupun untuk baby yang sudah bisa duduk. Tapi menurut pengamatan kami, bentuknya nggak manis.

Se
telah menimbang-nimbang, sementara hasrat pengin punya baby stroller udah nggak bisa ditahan lagi, akhirnya kami memilih stroller dewasa. Eh, maksudnya, stroller yang sebenarnya difungsikan untuk baby yang sudah bisa duduk. Tapi sandarannya bisa direbahkan, untuk bobokan, walaupun tidak ada list tepi yang melindungi sisi kanan kiri bayi.

Ternyata Bindi emang kelihatan mungil banget
dengan stroller dewasanya. Stroller-nya jadi terkesan kedodoran. "Wis ra papa, ngunduri gede," kata saya.

Ketika Bindi masuk 3 bulan dan lehernya sudah cukup kuat menyangga kepalanya sendiri, kami menegakkan sandaran stroller dan mendudukkan Bindi di atasnya. Wow, ternyata udah nggak terlalu kedodoran! Bindi juga kelihatan lebih lucu duduk di strolle
r dan kedua bahunya diikat sabuk pengaman.

Car Seat
Tak berapa lama setelah Bindi bisa duduk nyaman di strollernya dan mulai banyak diajak keluar buat jalan-jalan, kami menghadiahinya car seat. Ternyata Bindi nggak betah berlama-lama di car seat-nya. Palingan cuma 15 menit duduk udah gelisah minta diangkat dan dipangku. Mungkin karena dia belum bisa duduk nyaman ya, sehingga kalo kelamaan bersandar dan ruang geraknya terbatas, jadi nggak betah. Setelah beberapa kali mendapat penolakan, akhirnya kalo jalan-jalan nggak pake car seat lagi.

Kebetulan car seat ini bisa difungsikan juga sebagai tempat duduk atau kursi goyang yang bisa diayun pelan. Jadi barang ini masih bisa difungsikan untuk ngajarin Bindi duduk atau main-main sambil diayun-ayun.

Car seat ini baru mulai berfungsi sebagai mana mestinya ketika Bindi udah bisa duduk yaitu sekitar umur 6 bulan. Setelah bisa duduk sendiri, ternyata dia jadi nyaman di car seat-nya. Apalagi kalo udah disodorin mainan. Di perjalanan ditanggung nggak bakalan rewel, bahkan kalo kecapean main dia bisa tertidur di car seat loh.

Ransel Gendongan
Meskipun kami bukan pendaki gunung, tapi karena suka jalan-jalan 'blusukan'...ransel gendongan bayi menjadi impian saya sejak Bindi belum lahir. Mungkin karena saya udah sering lihat backpacker bule yang menggendong bayinya dengan ransel khusus ini, saya pun jadi pengin ikutan.

Rupanya nggak gampang mendapatkan barang ini, apalagi di Jogja. Malah saya nemunya nggak sengaja, ketika main kano dan mampir ke toko outdoor milik temen, eh ada ransel gendongan dipajang. Langsung aja saya beli.

Oh ya, waktu itu Bindi usinya hampir 7 bulan. Badannya masih sedikit tenggelam di ransel itu, tapi dia nyaman di gendongan. Malah kadang-kadang kalo diajak jalan kelamaan jadi ketiduran di atas gendongan.

Usia 7 bulan ternyata usia yang cukup kooperatif buat si baby untuk diajak jalan-jalan 'blusukan'. Kami pun jadi makin sering ngajakin Bindi jalan. Hampir tiap hari Minggu kami punya jadwal trip with Baby Bindi. Karena saya suka wisata heritage, Bindi pun jadi sering diajakin ke situs-situs arkeologis. Ke Tamansari (hehehe..yang ini dari jaman masih newborn juga udah rutin karena deket rumah), ke candi Ratu Boko, ke candi Prambanan, dan sederet situs lain yang sudah ada dalam agenda Bindi's trip. (to be continued)

Tuesday, July 6, 2010

verona, kota peristirahatan julius caesar




Saya mulai jatuh cinta pada Verona sejak 30 menit sebelum kereta yang saya tumpangi tiba di stasiun Verona Porta Nuova. Pemandangan di luar jendela kereta membuat saya enggan berpaling. Hamparan bukit-bukit hijau membentang dan rumah-rumah mungil di atas bukit yang dipagari pepohonan, menyiratkan kesejukan dan ketenangan. Keindahan yang membuat saya berandai-andai. Andai saya bisa tinggal di rumah di atas bukit berpagar pepohonan itu…


Siapa sangka, ternyata rumah Laura –host saya di Verona- juga terletak di atas bukit, dikelilingi kebun anggur. Ketika malam itu Laura menjemput saya di stasiun dan membawa saya ke pinggiran kota menuju rumahnya, langit mulai gelap. Hanya kerlip lampu di kejauhan yang nampak, sementara di kanan kiri jalan berliku dan menanjak yang kami lalui tampak gelap. “My house is about 8 km from the city,” kata Laura seolah minta permakluman jika jalan yang dilalui tampak lengang. Dia tidak tahu bahwa diam-diam saya tengah mensyukuri peruntungan ini, menemukan tempat peristirahatan yang tenang jauh dari kebisingan kota.


Esok paginya, saya makin jatuh cinta pada Verona. Begitu membuka pintu keluar dari rumah Laura, saya langsung disambut udara pagi yang segar, matahari yang mulai mengintip, dan pohon-pohon anggur yang hijau. “It’s so..soo..ssooo beautiful place, Laura!” seru saya penuh ketakjuban. Laura tersenyum tanda bahagia karena sudah berhasil menjadi host yang bisa memberikan suguhan pemandangan cantik untuk guest-nya. Lalu ia menyarankan agar saya mengunjungi Castel San Pietro yang berada di puncak bukit agar bisa menikmati kecantikan kota Verona.


Castel San Pietro berada di puncak bukit di tengah kota Verona. Karena saya berjalan kaki mendaki bukit itu, maka saya memilih jalan tikus, sebuah lorong kecil di samping kedai es krim, yaitu Via Botte. Lorong ini khusus pejalan kaki, berupa anak-anak tangga yang diapit dinding-dinding tinggi termpat tinggal warga.


Lumayan bikin ngos-ngosan juga mendakinya. Setiap kaki mengeluh minta diistirahatkan, saya melihat ke bawah dan terhibur oleh pemandangan sekitar. Begitu sampai puncak, di pelatasan Castel San Pietro, hilang sudah segala lelah tergantikan oleh ketakjuban kecantikan Verona dilihat dari atas.


Apa yang saya lihat di bawah sana sungguh indah. Sungai Fiume Adige yang mengalir tenang, membelah kota Verona. Deretan bangunan berjejer rapi di pinggir sungai. Dinding-dinding bangunan berwarna kuning muda, putih, salem, dan orange dengan kotak-kotak jendela kayu tampak kontras berpadu dengan warna coklat genting yang mendominasi view kota Verona dari atas.


Konon, kencantikan Verona sudah dikenal sejak jaman Romawi. Verona menjadi destinasi favorit para bangsawan Romawi jika ingin berekreasi. Bahkan Julius Caesar, juga suka melepaskan kepenatan dengan tinggal selama beberapa hari di negeri jajahannya, Verona.


Enggan rasanya turun ke bawah. Berlama-lama saya nikmati keindahan kawasan yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage ini.


--kutipan dari buku travelogue saya yg siap diterbitkan--