Thursday, September 30, 2010

kereenn...TALES from the ROAD di-review in english


Why are the women of Papua, Bali and Nepal ordinary men carry the load on the head while he prefers to use his shoulder Java? This question of course we can not answered by pure logic game. There are details of the course behind the cultural habits are different. Why did he choose to empower Java shoulder than his head? It is said that this is because the Javanese culture that places and consider the chief as part of the most respected body that could not be treated carelessly. Of course, this culture of evidence we can find the details of daily activities, especially Javanese people lived in rural areas, we can find if we really mingle with them.

The uniqueness of local cultural details that affect the behavior and habits of these people are like a cloth-rag. We find easy but not easy to be utilized. Required carefulness, thoroughness, willingness, and certainly enough concern so that the rag-percha can be collated as a mosaic that we can dismantle the uniqueness of a particular cultural curtain.

Quilt sewing skills into something more we can enjoy that’s what worked for Matatita through his adventure story book labeled, “Tales from the Road”. The presence of this book really gave something different (out of the box), by parity of books adventure story or journey that already exist, particularly in Indonesia.

Indeed in recent years quite a lot of books of travel stories (adventurer) who rises in Indonesia. Unfortunately, awareness, foresight, and willingness to enter participatory author in writing object is not so pronounced. Cultural studies that in fact able to give life from a physical beauty of a location often scattered. Fortunately, with the publication of this book, Matatita have started with the awesome.

Posts Matatita travel stories were not only able to share some exciting hunting tips cheap tickets or accommodation super save more money per se, but is able to make our readers, familiar spirits that make the culture places a special adventure. It is undeniable, totality, perseverance and hard work that made the writer can get such a rare experience traditionally adopted by a family or stay at home Dayak indigenous tribe Newari, Nepal. Persistence and concern was also the author able to successfully make attention to small things like culture and everyday people in these places at the same time trying to close and merge with the local population by respecting their culture.

Perhaps this skill is supported by the academic background of the writer that in fact is a dropout Anthropology Gadjah Mada University. With academic provision that the Matatita able to make accurate comparisons of the strong similarities between the nuances of the old city gate of Bhaktapur in Nepal with Jeron area Beteng Palace in Yogyakarta. Perhaps it was also the academic provision that makes the author able to analyze the potential procession Dhaeng (line troops yogyakarta palace) in the ceremony Gerebeg to be ‘go-international’ as a procession of British royal guards change at Buckingham Palace.

But the above assumption is not entirely correct. Academic provision is just one factor alone. There are many other factors that also affected. Most important is the willingness and concern that exists. As long as they want to try the bloody participatory at our destination community and want to hone avonture foresight in seeing the details of cultural elements that influence in there, then everyone should be able to write stories like Matatita. At least Matatita have started spreading the virus. Hopefully Matatita virus through the book “Tales from the Road” can soon become an epidemic that the world of Indonesian writers Book travel stories more colorful and proud.


(source: taken from here no name; pic taken in brussels by me)


Wednesday, September 29, 2010

e-mail pembaca yg bikin terharu


baru sj sy menyelesaikan membaca buku EUROTRIP anda. saya membacanya didalam mobil diparkiran sekolah ketiga anak saya. sambil menunggui mereka, saya membaca lembar demi lembar catatan perjalanan anda tsb. luar biasa sekali, walaupun saya sedang berada didlm mbl dihalaman parkir sekolah, tapa rasanya saya sedang menjejakkan kaki bersama anda di eropa... sehingga, pagi ini, saya segera menelepon kantor MIZAN MEDIA UTAMA cabang malang, untuk memesan buku pertama anda, TALES FROM THE ROAD.

awalnya saya membeli buku EUROTRIP sekedar iseng saja, karena melihat
ringkasan di cover belakang buku anda tsb, bahwa didalanya memuat perjalanan anda melalui tempat2 bersejarah di eropa, yang memang menarik minat saya sejak dulu, hanya saja rejeki dan takdir yg blm berpihak kpd saya... :-) ternyata keisengan saya membeli buku anda tsb membuahkan inspirasi yg bgt hebat...

semoga Tuhan terus melimpahkan rejeki kepada anda, sehingga anda dpt
terus melakukan perjalanan2 luar biasa, dan anda dapat terus menuliskannya, sehingga dpt menginspirasi banyak orang. saya akan senantiasa menantikan buku2 karya anda selanjutnya, moga2 berkat dan perlindungan Tuhan selalu menyertai anda dalam perjalanan2 anda diwaktu yang akan datang... salam dari Malang...

note:
e-mail dikutip sesuai aslinya, tanpa editing sama sekali...
kalo fotonya, itu suasana meja kerja saya beberapa hari belakangan ini..
hiks, kayak meja petugas ekspedisi ya..banyak amplop isi buku pesanan onlen..

Tuesday, September 28, 2010

etnofotografi nepal (niat yg belum kesampaian)



Tahun 2009 lalu, sepulang dari Nepal, saya pengin banget bikin pameran foto kecil-kecilan sekaligus menandai terbitnya buku travelogue pertama saya TALES from the ROAD (juni 2009). Lalu, saya ajaklah beberapa teman yang pernah menekuni Etnofotografi. Obrolan santai sambil makan siang itu, jauh lebih lezat dan bergizi ketimbang menu yang kami santap di sebua food court di Jogja.

Beberapa hari kemudian, diskusi dilanjut via inbox-nya FB. Malah, Aant Subhansyah sempet menulis hasil pengamatan dan renungannya atas sejumlah foto-foto Nepal. Karena tulisannya sangat keren dan sudah lebih setahun tertimbun di inbox, mendingan saya posting ulang di blog ajah, biar bisa dibaca khalayak.

Penasaran dengan foto-foto Kathmandu bidikan saya dan Edo? Berhubung saya bukan fotografer pro, janganlah membayangkan yang tinggi-tinggi. Saya pun motretnya cuma pake kamera poket kok...(sebagian foto bisa diintip di sini)


Catatan setelah menonton foto perjalanan Matatita di Nepal
oleh: Aant Subhansyah

Pertama-tama, Foto-foto Tita di Nepal itu sedikit banyak memang bersifat turistik. Meski memiliki latar belakang antropologi, pastilah Tita tidak punya waktu untuk riset serius dengan hanya enam hari berada di sana. Terkait dengan itu ada kesan bawa “eksotisme” tak terelakkan dari bidikan kamera yang di arahkan matatita. Akan tetapi, setelah kami menonton bareng (dan tentu saja mengobrolkan) gambar-gambar yang dibuat oleh tita dengan kamera poket itu, ada beberapa hal yang menarik untuk dibicarakan lebih lanjut.

Dari urutan foto dan kisah Tita, terasa bahwa cara dia menjelajah kota-kota tua itu seperti sedang menjelajahi kotanya sendiri. Kota-kota kecil di kaki himalaya itu tampak sangat kuno, banyak rumah rumah kecil berhimpit dan bersusunan. Sekelilingnya sepert dipagari benteng, ada gang/jalan kecil yang berupa tatanan bata merah, lorong-loroang antar bangunan, ruang publik yang ramai orang berlalu lalang, dan tentu saja orang-orang melakukan ritual keagamaan. Melihat foto-foto itu, imajinasi saya dan beberapa kawan yang belum pernah ke sana juga langsung merujuk pada situasi kampung Taman Sari di Yogya dan beberapa tempat di Bali.

Mungkin wajar saja bila Tita atau siapapun, akan secara otomatis merujuk pada kampung halamannya ketika berada di tempat lain. Bisanya seorang turis akan membanding-bandingkan perikehidupan orang-orang baru ditemui dengan diri sendiri. Mencari apa yang berbeda dan dianggap berbeda, lalu mungkin melabelnya dengan istilah ”aneh”, atau kata yang hampir sepadan dengan itu, ”eksotis”.

Eksotisme Nepal memang sudah sangat terkenal, terutama karena negeri ini adalah salah satu gerbang bagi para pendaki himalaya. Akan tetapi, karena Tita memiliki latar balakang antropologi maka dia lebih peduli pada aspek kehidupan sehari-hari orang di sana, dari pada mendaki atau heking di lereng himalaya. Dia mengamati dan berdialog dengan masyarakat tentang keseharian, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hal ini memang dimungkinkan karena Tita lebih memilih tinggal di rumah salah seorang penduduk setempat, di sebuah perkampungan yang oleh Unesco ditetapkan sebagai salah satu warisan kebudayaan dunia. Dapat dikatakan bahwa, sebagai seorang turis Tita setengahnya juga mempraktekkan prosedur kerja-kerja antropologi dalam menjelajahi kehidupan masyarakat kota kuno itu, tentu harus bernegosiasi dengan sempitnya waktu dan keterbatasan lainnya.

Referensi tentang kampung halaman dan latarbelakang antropolog telah mengantarkan turis yang satu ini pada sebuah penjelajahan yang ”ambigu”. Tidak di sana-tidak di sini, atau malah, ada di sana-sekaligus ada di sini (tergantung cara pandang optimistik atau pesimistik). Dalam situasi ini, hasil jepretan kamera matatita juga memantulkan ambiguitas tersebut, antara ”mata turis” dan ”mata antropolog” ; antara negeri asing dan kampung halaman, antara fisik dan bathin (setidaknya begitu yang aku rasakan).

Dari sudut yang agak bergeser, mungkin saja aktifitas memotret dalam penjelajahan ini justru (bisa) menjadi ”ritual” bagi tita dalam menyikapi kontradiksi dalam ambigitas itu. Apalagi perangkat kamera digital memiliki keunggulan di mana hasil jepretan bisa langsung dilihat sesaat setelah pemotretan. Jadi, Tita seperti sedang berlalu-lintas, keluar masuk antara kebudayaannya sendiri, kebudayaan ”the other” dan foto itu sendiri.

Pada saat mengamati foto-foto inilah terjadi ”refleksi” di mana pemahaman tidak berhenti pada sekedar menerima ”the other” sebagai yang berbeda, dan hanya bisa dipahami dari dalam, lebih dari itu, foto-foto itu menuntun tita (dan kami yang kemudian melihat juga) untuk sekaligus mengunjungi ”kampung halaman”, dan menem ukan kenyataan bahwa sesama kitapun yang se-kampung-halaman juga berbeda-beda, bahkan kita sama anehnya dengan orang di negeri lain atau di manapun berada (jadi aneh itu apa?). Dari sinilah jurang pemisah antara ”kita” dengan ”mereka” bisa terjembatani, dan hal ini yang sering hilang dari aktifias dan produk kepariwisataan biasa.

Foto-foto ini sesungguhnya ingin menyampaikan pesan bahwa menjelajahi negeri asing tidaklah harus selalu berlaku seperti turis yang konvensional. Ada hal-hal yang bisa dijadikan bahan untuk merefleksikan diri sendiri ketimbang berupaya menemukan keanehan pada diri orang lain. Perjalanan tita meski secara fisik berada jauh dari kota asalnya, tapi dunia batin menganggap tidak ada yang perlu disekat-sekat. Sesugguhnya ini mengingatkan kita pada konsep “laku” orang jawa, yang sejauh apapun melang-lang maka pada akhirnya justru untuk menemukan jatidiri dan kemanusiaan kita sendiri.

Niat Tita untuk memamerkan dan membicarakan foto-foto itu dalam sebuah sarasehan dapat juga menjadi bagian dari memperluas sekala ‘ritual ngelakoni’ dalam memberi makna lebih dari kisah perjananan tsb. Akan tetapi layakkah foto-foto tsb diberi label “etnofotografi”? Sangat bisa diperdebatkan, akan tetapi hal itu dapat dipermulus apabila Tita dapat memilih/memilah beberapa foto (dari sekian banyak foto yang ada) dan membingkainya dalam tema tertentu (misalnya: tentang komunitas yang tetap bersahaja dalam merespon turisme, atau yg lain), lalu menambahkan referensi yang diperlukan. Dan jangan lupa, proses penjelajanan seperti sekilas dilukiskan di atas juga dapat memperkuat dari sisi hakikat ber-etnografi. Sebab, foto-foto dalam etnofotografi biasanya diperlakukan sebagai data yang melukiskan sisi-sisi tertentu dari komunitas, dan hakikat etnografi itu sendiri adalah komunikasi atau dialog, yang muaranya adalah agar kita semua dapat menjadi reflektif.

(ditulis berdasarkan ingatan pada perbincangan dengan tita, cuk, agus, kendhal, di food fest jakal, 26/06/09)

Friday, September 24, 2010

review by utari dewi




Angkan Krisna! Keren juga ya nama ini terdengar! Itu adalah nama Dayak dari Matatita saat dia diangkat anak oleh sebuah keluarga suku Dayak Benuaq di pedalaman Kalimantan Timur. Peristiwa ini terutama dipicu oleh terkaparnya Matatita karena ‘ritus bulanan'-nya sebagai perempuan. “Supaya kamu nggak sakit lagi, kamu harus menjadi bagian dari keluarga kami”, tulisnya tentang kata-kata Pak Jerma, pemilik bilik di lamin tempat Matatita tinggal. Kejadian ini tentu bukanlah semata-mata hanya pemberian nama, tetapi lebih dari itu ada interaksi yang berkesan antara Matatita dan masyarakat setempat. Ini salah satu dari berbagai kisah Matatita dalam experiencing different culture.

Terbayangkah kita bagaimana keadaan kota Agats sebagai ibukota Kabupaten Asmat di Papua? Wilayah yang terkenal dengan seni ukirnya ini memiliki daratan berupa rawa-rawa yang tidak cukup kuat dijadikan landasan bangunan. Oleh karena itu, jalanan kota terbuat dari papan-papan selebar satu setengah meter, bahkan jalanan itu memiliki nama layaknya kota besar, tetapi tiada traffic light karena tidak ada motor di sana. Semua sudut di kota itu ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk menuju Asmat pun, transportasinya nggak gampang, terutama karena faktor cuaca yang tidak menentu.

Di bagian lain, Matatita juga berkisah soal Bhaktapur di Nepal yang mengingatkannya dengan Yogyakarta, khususnya kawasan Jeron Beteng Keraton. Keduanya memiliki kemiripan, sama-sama memiliki tempat mandi raja. Di Bhaktapur ada Royal Bath dengan hanya satu kolam raja, sedangkan di Yogyakarta, ada Tamansari Water Castle yang memiliki dua kolam untuk selir dan satu kolam untuk raja. Bhaktapur juga memiliki lorong-lorong jalan sempit yang diapit tembok-tembok rumah penduduk, seperti halnya kawasan Kotagede di Yogyakarta.

Di Bhaktapur itu jugalah, Matatita sempat tinggal bersama masyarakat lokal dan mengalami kebiasaan mereka. Dari situ dia tahu bahwa kebanyakan penduduknya jarang mandi karena cuaca yang dingin (jadi tidak keluar keringat) dan tidak mudahnya mendapatkan air. Matatita juga ikut tidak mandi, sebagai bentuk ‘ikut merasakan’! :D

Soal Thailand, Matatita me-‘wanti-wanti’ tentang banyaknya scamp di tempat wisata, dengan cara yang terorganisasi, bentuknya mulai dari makelar transportasi, restoran, hingga batu permata. Mereka akan berusaha‘menggiring’ para pelancong untuk membeli permata, karena hasil giringannya ini akan membuahkan kompensasi bagi mereka. Antisipasti atas hal itu adalah, “percayalah pada Lonely Planet atau guide book dan peta yang Anda baca!”, sarannya.

Selain berbagai kisah interaksi dengan masyarakat lokal di berbagai tempat yang dijelajahinya, Matatita juga membeberkan persiapan menjelang keberangkatan melancong, mulai dari buku panduan, tiket serta tempat penginapan yang dipesan online, dan alat komunikasi. Untuk mengabadikan objek di wilayah tujuan, bekal kemampuan memotret juga perlu disiapkan, misal bagaimana memotret arsitektur bangunan klasik, seperti di Edinburgh contohnya. Dan tak kalah penting adalah soal keamanan. Kita bisa turut merasakan bagaimana pentingnya keamanan antara lain dari pengalaman Matatita di Wamena, Papua dan Ambon, Maluku.

Dibeberkan dengan gaya tutur yang santai namun jelas, Matatita—demikian Suluh Pratitasari menamakan dirinya di internet—telah menyajikan hasil ‘cicipan petualangan’-nya dengan gamblang. Kita bisa merunutnya dalam empat topik, yaitu soal perlengkapan perjalanan dan keamanannya; soal cerita-cerita yang terjadi selama perjalanan (dari awal hingga akhir); tentang masyarakat serta budayanya, juga warisan budayanya; dan bab terakhir soal transportasi, akomodasi, serta makanan. Harapannya tentulah untuk memudahkan kita meresapi setiap cerita yang berderai dari hasil penjelajahannya. Dia juga menyertakan banyak tips melancong yang pasti berguna untuk kita simak. Inilah salah satu keuntungan melancong imajiner bersama Matatita di buku ini.

Bagi saya, “Tales from the Road” ini bisa jadi salah satu ‘artefak’ antropologi, karena didalamnya memuat kebudayaan manusia. Saya rasa, karena hal itu, akan semakin mantap jika Matatita juga menyertakan keterangan yang lebih detil dari setiap foto yang ditampilkan, baik yang di kover buku maupun di halaman dalamnya. Bisa jadi karena perjalanan waktu, objek foto yang saat ini dimuat di buku itu, mengalami perubahan di masa yang akan datang. Who knows? Dan data itu menjadi berharga untuk kajian di masa mendatang.

Satu lagi, ada hal lain yang menggoda dari “Tales from the Road”! Provokasi dari Matatita bahwa melancong itu bisa berarti dapat duit, bukan buang duit! Ahaaa! :D Apalagi jika aktifitas melancong itu dilakukan serangkaian dengan urusan bisnis. Ini dibuktikan Matatita dengan membuat ‘mesin uang’ dari foto hasil jepretannya dan kisah yang dikemasnya, juga keberhasilannya ‘berkelana mencari proyek’! Wuahh, asyiiik! Matatita sendiri adalah pengusaha di bidang kreatif yang selalu berusaha mendapat proyek dari luar kota Jogja, tempat tinggalnya. “Tales from the Road” juga memuat secara gamblang pekerjaan apa saja yang mendukung hobi melancong ini. So, “let’s go experiencing different cultures!”. Hayuuuk…..! :D

-naskah dan foto dicopy dari note-nya utari dewi di fb-

Tuesday, September 7, 2010

ponsel yang bikin gumun



Terhitung sepekan setelah ponsel saya (dua biji!) klelep di Kuta saat Baby Bindi keterjang ombak, saya baru membeli ponsel baru. Penginnya sih, beli iPhone biar gaya. Tapi karena iPhone terasa kegedean dalam genggaman tangan saya, juga harganya yang masih sayang untuk sekedar berkomunikasi, saya pun bertahan untuk tidak berpaling. Tetap setia pada Sony Ericsson (semoga suatu hari GM Marketing soner Indonesia tahu dan mengangkat saya sebagai Ambassador..:D).

Ternyata, seri ponsel Soner sekarang beragam banget. Saya sampai kebingungan mencari seri penerus generasi Cyber-Shot. Jaman dulu seri Cyber-Shot ditandai dengan huruh K seperti K800i, K850, K770, dst. Lalu dua atau tiga tahun belakangan, berubah menjadi C, seperti C702, C901, C903, dst. Baik seri K maupun seri C sudah pernah saya miliki dan sejauh ini selalu bikin saya puas dengan kualitas gambarnya.

Saat ini seri C masih cukup banyak yang beredar di pasaran, meski itu stok lama. Ada C903, C901, dan C510. Saya sudah berniat membeli salah satu diantara C901 atau C510. Buat saya, ponsel yang gue banget adalah yang bisa snap & send dengan kualitas pics yang bisa dibilang bagus. Sepanjang pengamatan saya, Soner cyber-Shot tetap yang terbagus diantara segala jenis kampera ponsel lain. Kalaupun ada saingannya, itu adalah Motozine ZN5 dari Motorola yang bekerjasama dengan Kodak untuk kamera 5MP-nya. Kebetulan saya punya Mozine ZN5 yang dipake Edo.

Begitu sampai konter hp, iman saya digoyahkan oleh Soner Elm GreenHeart. Bodynya simple, pas di genggaman saya, keypad-nya empuk, dan fitur konektivitas-nya komplit: hsdpa, wi-fi. Sudah gitu ada Geo Tag-nya segala yang bisa mencatat jejak saya saat mengabadikan gambar. Kualitas lensanya, kurang tahu apakah juga sekeren seri Cyber-Shot atau standard. Tapi dengan 5MP kayaknya bisa mendekati ponsel Cyber-Shot andalan saya yang cuma 3,2 MP saja itu.

Setelah menimbang berbagai hal, termasuk harga, akhirnya saya pun memilih Elm.

Bismillah. Saya pun semalaman mulai disibukkan dengan perangkat baru itu. Mula-mula menginstal software PC Suite supaya phonebook back-up an yang ada di laptop bisa beralih ke Elm. Lumayan lama proses ini, sempet beberapa kali gagal karena software-nya tidak terinstal optimal. Oh ya, Elm tidak dilengkapi CD dan kabel data, sehingga saya memanfaatkan kabel data lama milik almarhum Cyber-Shot saya.

Tengah malam urusan syncronizing ini baru berhasil. Dilanjut dengan besok paginya, sambil menjalani ritual di atas kloset, saya mengutak-atik Elm. Dari mulai kirim MMS, e-mail, snap & send ke MP, juga ngeset FB. Saat ngeset FB tiba-tiba saya terkejut sendiri, ternyata profile pictures semua kontak saya pada nongol di layar ponsel saat ponsel dalam kondisi stand-by. Nggak cuma profile pictures-nya aja, tapi juga ada balon berisi statusnya. Dwoh....!

Saya gumun banget. Nggak nyangka bahwa teknologi Elm sudah sedemikian care-nya pada social networking seperti FB dan twitter. Yang bikin saya makin kaget lagi, saat login di FB via komputer, tau-tau ada status baru di FB saya yang bunyinya gini "used Facebook for Sony Ericsson on a J10i2 phone for the first time". Saya jadi makin gumun tak karuan...!

Saking gumun disertai bingung, akhirnya saya menonaktifkan koneksi FB via Soner itu. Hiks..mendingan login manual ajah!

(oh ya..ini contoh bidikan awal dengan Elm. Kualitas pics-nya sudah memadai buat sekedar snap & send kok).

image Elm dicomot dari sini

Sunday, September 5, 2010

bikin passport si kecil


Setelah Baby bindi dinyatakan lulus ujian bisa terbang dengan tenang dan menyenangkan saat berlibur ke Bali beberapa waktu lalu, saya lantas semangat untuk bikinin Bindi passport. Emang mau ke mana lagi? Enggak tahu lah, sekedar persiapan, kali-kali ada promo AA biar bisa sigap untuk mendapatkan tiket promonya. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Maka, Baby Bindi pun musti sedia passport sebelum ada tiket promo AA. Hehe...!

Maka, berangkatlah saya ke kantor imigrasi untuk menyerahkan berkas pada hari Kamis siang, 26 Agustus 2010 lalu. Kebetulan antrean penyerahan berkas saat itu nggak rame. Hanya menunggu sekitar 5 menit, nomor saya sudah dipanggil. Dan sekitar 5 menit kemudian berkas saya sudah beres diteliti. "Sertakan surat keterangan domisili saat pemotretan nanti ya," kata petugas sambil memberikan girik untuk pemotretan hari Senin (30/8/2010). Karena Baby Bindi belum punya KTP, maka harus disertakan surat keterangan dari RT/RW hinggal Kelurahan dan Kecamatan.

Urusan RT/RW ini bikin saya rada-rada males sebenarnya. Tapi ya apaboleh buat. Untungnya, kok ya semua berjalan lancar. Malam itu juga saya sudah mendapt surat keterangan yang dicap pak RT dan RW. Besoknya Edo mruput ke kantor kelurahan dan surat itu langsung dicap petugas kelurahan. Habis itu lanjut ke kecamatan minta cap lagi. Dalam sehari urusan beres.

Hari Senin, saatnya pengambilan gambar pun tiba. Penginnya kami bisa mruput, pagi-pagi ke Imigrasi supaya antrean tidak terlalu banyak. Berdasar pengalaman, antrean foto memang agak lama dibanding antrean masukin formulir. Tapi, seperti biasa, pergi sama baby nggak semudah kalau mau pergi sendiri. Segala tetek bengek bekalnya musti disiapin dan dibawa.

Setelah menunggu sekitar 20 menit, nomor antrian Bindi ke loket 1 untuk menyerahkan girik pemotretan dipanggil. Saya menyerahkan berkas pada petugas berikut kekurangan surat keterangan domisili. Lalu disuruh nunggu lagi untuk dipanggil ke loket pembayaran sekitar 10 menit kemudian. Setelah membayar passport 48 halaman sebesar Rp 275.000,- masih menunggu lagi untuk dipanggil ke ruang foto.

Sambil menunggu, saya dan Edo ngajak main-main Baby Bindi yang pagi itu tampak ceria. Heran, dia selalu ceria kalu melihat hal-hal baru. Apalagi kalau ngeliat banyak orang, ngeliat wajah-wajah baru berseliweran. Bindi langsung lunjak-lunjak sambil teriak-teriak kegirangan. Meski begitu, sa
ya agak deg-degan. Pasalnya, pagi tadi Bindi belum pup. Kalo pup di kantor imigrasi kan bikin saya jadi makin ribet. Untung Bindi kompakan, dia baru pup dalam perjalanan pulang dan udah mendekati rumah.

Sekitar 30 menit menunggu, Bindi mendapat panggilan pemotretan. Inilah sesi yang kami nanti-nanti. Saya udah ngebayangin betapa petugas imigrasi nanti bakal dibikin repot mengambil gambarnya. Beneran, saat diberdiriin di kursi untuk pengambilan gambar, Bindi lunjak-lunjak kegirangan. Mungkin dia juga seneng liat mas-mas petugas imigrasi yang friendly dan sangat helpful itu. Saya yang megangi badannya sampe keringatan nahan gerakannya. Setelah beberapa kali pemotretan dan hasilnya nggak pernah pas, akhirnya saya nyerah. Gantian Edo yang megang ajah. Baru deh, setelah dipangku bapaknya, mungkin karena lebih kuat, Bindi jadi nggak heboh polahnya.

Saturday, September 4, 2010

passport photo session


Setelah Baby bindi dinyatakan lulus ujian bisa terbang dengan tenang dan menyenangkan saat berlibur ke Bali beberapa waktu lalu, saya lantas semangat untuk bikinin Bindi passport. Emang mau ke mana lagi? Enggak tahu lah, sekedar persiapan, kali-kali ada promo AA biar bisa sigap untuk mendapatkan tiket promonya. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Maka, Baby Bindi pun musti sedia passport sebelum ada tiket promo AA. Hehe...!

Maka, berangkatlah saya ke kantor imigrasi untuk menyerahkan berkas pada hari Kamis siang, 26 Agustus 2010 lalu. Kebetulan antrean penyerahan berkas saat itu nggak rame. Hanya menunggu sekitar 5 menit, nomor saya sudah dipanggil. Dan sekitar 5 menit kemudian berkas saya sudah beres diteliti. "Sertakan surat keterangan domisili saat pemotretan nanti ya," kata petugas sambil memberikan girik untuk pemotretan hari Senin (30/8/2010). Karena Baby Bindi belum punya KTP, maka harus disertakan surat keterangan dari RT/RW hinggal Kelurahan dan Kecamatan.

Urusan RT/RW ini bikin saya rada-rada males sebenarnya. Tapi ya apaboleh buat. Untungnya, kok ya semua berjalan lancar. Malam itu juga saya sudah mendapt surat keterangan yang dicap pak RT dan RW. Besoknya Edo mruput ke kantor kelurahan dan surat itu langsung dicap petugas kelurahan. Habis itu lanjut ke kecamatan minta cap lagi. Dalam sehari urusan beres.

Hari Senin, saatnya pengambilan gambar pun tiba. Penginnya kami bisa mruput, pagi-pagi ke Imigrasi supaya antrean tidak terlalu banyak. Berdasar pengalaman, antrean foto memang agak lama dibanding antrean masukin formulir. Tapi, seperti biasa, pergi sama baby nggak semudah kalau mau pergi sendiri. Segala tetek bengek bekalnya musti disiapin dan dibawa.

Setelah menunggu sekitar 20 menit, nomor antrian Bindi ke loket 1 untuk menyerahkan girik pemotretan dipanggil. Saya menyerahkan berkas pada petugas berikut kekurangan surat keterangan domisili. Lalu disuruh nunggu lagi untuk dipanggil ke loket pembayaran sekitar 10 menit kemudian. Setelah membayar passport 48 halaman sebesar Rp 275.000,- masih menunggu lagi untuk dipanggil ke ruang foto.

Sambil menunggu, saya dan Edo ngajak main-main Baby Bindi yang pagi itu tampak ceria. Heran, dia selalu ceria kalu melihat hal-hal baru. Apalagi kalau ngeliat banyak orang, ngeliat wajah-wajah baru berseliweran. Bindi langsung lunjak-lunjak sambil teriak-teriak kegirangan. Meski begitu, sa
ya agak deg-degan. Pasalnya, pagi tadi Bindi belum pup. Kalo pup di kantor imigrasi kan bikin saya jadi makin ribet. Untung Bindi kompakan, dia baru pup dalam perjalanan pulang dan udah mendekati rumah.

Sekitar 30 menit menunggu, Bindi mendapat panggilan pemotretan. Inilah sesi yang kami nanti-nanti. Saya udah ngebayangin betapa petugas imigrasi nanti bakal dibikin repot mengambil gambarnya. Beneran, saat diberdiriin di kursi untuk pengambilan gambar, Bindi lunjak-lunjak kegirangan. Mungkin dia juga seneng liat mas-mas petugas imigrasi yang friendly dan sangat helpful itu. Saya yang megangi badannya sampe keringatan nahan gerakannya. Setelah beberapa kali pemotretan dan hasilnya nggak pernah pas, akhirnya saya nyerah. Gantian Edo yang megang ajah. Baru deh, setelah dipangku bapaknya, mungkin karena lebih kuat, Bindi jadi nggak heboh polahnya.