Thursday, December 30, 2010

my things in 2010


Ada banyak keinginan yang belum tercapai sepanjang 2010. Tapi juga banyak hal tak terduga yang membuat tahun 2010 terlewati dengan penuh gairah. Saya jadi pengin berbagi kegairahan yang saya lewati bulan demi bulan di tahun 2010.

  1. Januari 2010

Live the dream. Januari adalah bulan bermimpi, memimpikian sejumlah ide besar untuk mengisi bulan-bulan berikutnya di sepanjang 2010. Mimpi besar saya pada Januari 2010 adalah merintis publishing company. Sebenarnya bukan merintis, tapi meneguhkan karena bidang publishing sudah cukup lama saya tekuni. Sudah 7 tahun saya mengerjakan beberapa project yang terkait dengan publishing. Hanya saja, buku dan media (newsletter/majalah) yang saya terbitkan tidak dijual umum alias hanya untuk kalangan terbatas. Padahal jumlahnya lumayan banyak, beberapa jurnal universitas, ada newsletter/corporate magazine perusahaan BUMN, ada buku hasil riset NGO, juga travel magazine. Jadi, jika pada Januari 2010 saya pengin show off ke public, menerbitkan buku atau majalah yang dijual umum, yang nangkring di rak-rak toko buku (best seller, harapannya!), bukan sebuah mimpi yang berlebihan kan?

  1. Februari 2010

Off dulu. Sebenarnya saya sudah berniat untuk cuti jalan-jalan di tahun 2010, mengingat Baby Bindi masih jauh lebih membutuhkan saya alias belum bisa terlalu lama ditinggal. Juga masih bikin repot kalau diajak jalan karena usianya baru mau masuk 4 bulan. Selain itu saya juga lagi berjuang membangkitkan semangat seorang sahabat untuk menulis kisah perjalanannya akan saya terbitkan. Ini bakal jadi buku pertama yang diterbitin publishing company yang saya impikan di bulan lalu.

  1. Maret 2010

Next Trip: Europe. Tawaran business trip ke Paris itu datang tak dinyana dari seorang rekan sesama backpacker. Saya tak kuasa menolak karena kerinduan menggendong ransel sudah setahun terpendam. Kesempatan tak akan datang dua kali. Tapi bagaimana dengan Baby Bindi dan suwami nanti? Apa kata orang jika saya meninggalkannya untuk bepergia ke benua lain? Sungguh berat rasanya menyampaikan niatan business trip ini ke suwami. Tapi, masak kesempatan emas ini disia-diakan begitu saja? Beruntunglah saya punya suwami yang sungguh pengertian. Agenda jalan-jalan disambi bisnis itupun dikabulkan. Setelah mendapat restu dari suwami, mulailah saya menyusun itinerary dan berburu tiket promo bair irit.

  1. April 2010

Deal! Mengontak penerbit seraya memamerkan itinerary saya ke Eropa selama 15 hari di bulan Mei mendatang. Buntutnya sih menawarkan diri untuk menuliskan kisah perjalanan itu untuk kemudian diterbitkan menjadi buku.

  1. Mei 2010

Female Solo Traveler. Meski sudah cukup sering jalan sendiri, tapi perjalanan solo kali ini sangat istimewa buat saya. Bukan karena solo traveling ke Eropa, tapi karena saya terpaksa meninggalkan Baby Bindi (6 bulan) di rumah bersama Bapaknya. Mengharu biru banget. Saya tidak dapat menahan tangis ketika akan berangkat, bahkan Mbok Nem ikut sesenggukan. Saya juga selalu menitikkan air mata setiap kali Edo mengirim MMS berisi foto maupun rekaman suara Baby Bindi. Di negeri yang jauhnya ribuan mil dari Ngayogyakarta itu, saya hanya bisa berdoa semoga suatu hari bisa Eurotrip bareng Baby Bindi dan Bapaknya.

  1. Juni 2010

My travelogue book. Ini menjadi bulan yang paling menggairahkan. Saya tidak hanya menuliskan kisah perjalanan saya selama 15 hari ke Eropa, tetapi juga mengerahkan timkreatif di kantor untuk merancang kaver dan melay-out isi buku.

  1. Juli 2010

Travel Writing Forum. Kangen bikin event Sembari Minum Kopi. Dan mumpung sebentar lagi saya akan meluncurkan buku Eurotrip, jadilah forum ini ditumpangi promosi buku sendiri. Hehe…! Tapi forum kali ini cukup seru, bekerjasama dengan Komunitas Backpacker Dunia, saya menggelar tema “Travel Writing & Sharing Info Backpacking ke Eropa”.

  1. Agustus 2010

Traveling with Baby Bindi. Untuk pertama kalinya saya mengajak Baby Bindi terbang dengan pesawat dan berlibur ke Bali. Liburan kali ini benar-benar saya tujukan buat mengajari Bindi bersentuhan dengan budaya lain. Bali saya pilih karena multikultur. Harap maklum, buat saya traveling itu adalah experience different culture, maka saya pun penginnya Baby Bindi juga mulai belajar bersentuhan dengan kultur lain sejak dini. Setelah lolos liburan ke Bali, Bindi akhirnya saya buatkan passport. Siap-siap buat overseas ya, nduk.

  1. September 2010

Terbit. Sebenarnya naskah dan lay out buku sudah kelar sejak Agustus. Tapi dikarenakan berdekatan dengan Idul Fitri, buku Eurotrip: Safe & Fun baru bisa nangkring di tokot-toko buku sekitar 20 September. Buku ini adalah buku traveling ke dua yang sudah diterbitkan oleh penerbit yang sama.

  1. Oktober 2010

Birthday Trip. Oktober adalah bulan yang selalu memberi keberuntungan buat saya. Oktober tahun ini juga luar biasa karena Baby Bindi genap satu tahun. Berhubung kami sama-sama lahir di bulan Oktober, boleh dong merayakan bersama dengan traveling. Sekali lagi saya memilih Bali, lebih tepatnya Ubud. Kami stay di Ubud selama 4 hari, nggak mampir Kuta sama sekali seperti umumnya wisatawan domestic yang berlibur ke Bali.

  1. November 2010

Nominator. Sungguh, saya tak menyangka bahwa “TALES from the ROAD”, travelogue pertama saya (terbit 2009), terpilih sebagai finalis 5 besar dalam Festival Pembaca Indonesia 2010. Buku yang nggak best seller itu, ternyata mendapat apresiasi yang membuat saya terharu sekaligus bangga dan kian besemangat untuk menulis etnografi perjalanan yang nggak sekedar how to get there.

  1. Desember 2010

Familty Trip to Makassar. Meski sudah berpuluh kali ke Makassar untuk urusan gaweyan, tapi inilah pertama kalinya saya ke Makassar bersama suwami dan Baby Bindi. Bahagianya bisa mengenalkan Bindi pada kultur yang berbeda lagi.



Note:

Januari 2011 masih saya isi dengan mimpi di Januari 2010. Semoga setelah setahun mimpi itu akan berwujud. Live the Dreams!


image source: naturesgrafitti

Wednesday, December 29, 2010

Borough Market, pasar yang bikin lapar


Borough Market, pasar makanan dan kue (food market) ini saya temukan tanpa sengaja dalam perjalanan menuju Tower Bridge. Dari terminal Victoria, saya naik bus dan turun di dekat persimpangan jalan antara Southwark Street dan Borough High Street. Lalu berjalan kaki menyusur Stoney Street yang menurut peta yang saya baca akan membawa saya ke tepian sungai Thames menuju London Bridge dan Tower Bridge. Baru beberapa langkah menyusur jalan itu, mata saya tertegun menemukan los-los pasar buah dan makanan. Langkah saya langsung terhenti mengamati sekeliling. Seketika itu pula saya merasa lapar, lapar mata dan lapar perut!

Bayangkan, di sebelah kanan saya ada los buah dan sayuran untuk salad Elsey & Bent yang menyegarkan mata. Di sebelah kiri saya ada kios Aroma Market yang menjual segala jenis penyedap masakan Italia. Di sebelahnya ada fish shop. Lalu tak jauh di hadapan saya yang tengah berhenti melangkah karena takjub, ada los City Bakery yang menjual aneka bread, pastry, dan cake.

Makin ke dalam langkah saya mneyusur Stoney Street, makin lapar saja perut ini karena makin banyak aneka makanan yang teronggok. Mana sesiangan itu saya hanya menyantap seporsi fish & chip.

Borough merupakan food market yang sudah ada sejak tahun 1014 atau bahkan jauh sebelumnya. Pertumbuhan food market ini tak lepas dari keberadaan London Bridge, yang menarik minat para pedagang untuk berjualan bahan makanan seperti sayuran, ikan, gandum dan biji-bijian. Jumlah pedagang yang berjualan di sekitar London Bridge ini kian bertambah, hingga terpaksa direlokasi di tempat lain yang tak begitu jauh dari London Bridge, yaitu di Borough High Street sejak abad ke 13. Kawasan itulah yang hingga kini kemudian menjadi Borough Market.

Hingga kini Borough Market menjadi food market terbesar dan terlengkap di Inggris. Traders yang membuka kios di Borough Market umumnya bukan sekedar reseller, tetapi juga produsen. Misalnya para penjual kue, mereka kebanyakan menjual kue yang mereka buat sendiri, bukan kue titipan.

Pengin ngintip bagaimana pasar makanan ini menggugah selera kita? Catat hari bukanya ya, soalnya nggak setiap hari. Hanya hari Kamis (11.00 – 17.00), Jumat (12.00 – 18.00), dan Sabtu (08.00 – 17.00). Sebenarnya selain hari-hari itu juga tetap ada pedagang yang menggelar dagangan. Tapi jumlahnya tidak sebanyak pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu.

How to get there

· Naik tube, turun di stasiun London Bridge atau Borough

· Naik bus, turun di London Bridge, Borough High Street, atau Southwark Street

· Jalan kaki di sisi selatan sungai Thames (Southbank) atau jika dari London City menyeberangi London Bridge.

Thursday, December 23, 2010

YORK kota hantu yang cantik



Percaya nggak percaya, York mendapat julukan the most haunted city in Europe. Kota hantu! Konon memang banyak hantu gentayangan di penjuru kota ini. Selain bercokol di bangunan-bangunan kuno warisan Abad Pertengahan seperti York Minster dan St. Mary’s Abbey, hantu-hantu itu juga suka nongkrong di sejumlah bar & café, bahkan tinggal di beberapa hostel. Serem banget ya?

Maklum, hampir semua bangunan yang ada di kota York merupakan bangunan kuno yang berusia ratusan tahun, bahkan lebih dari seribu tahun. Konon, bangunan kuno yang masih bertahan membuat penghuni kota masa lalu itu juga tetap bertahan.

Saking banyaknya hantu di York akhirnya banyak bermunculan biro perjalanan yang secara khusus menyediakan paket “ghost hunting”. Paket wisata hantu ini tarifnya antara £4 - 5 per orang. Wisata dilakukan pada malam hari sekitar puku 20.00 (atau lebih malam lagi) dan berlangsung sekitar satu jam. Destinasinya macem-macem, tiap biro punya rute “jejak hantu” yang berbeda tetapi biasanya menyusur kawasan yang memang dikenal angker seperti di York Minster. Peserta tour akan diajak berjalan-jalan menyinggahi tempat-tempat yang sering terjadi “penampakan” sambil didongengi tentang tragedi jaman Victorian yang menyisakan arwah-arwah gentayangan di sekitar York Minster. Dongeng menjelang tidur yang menyeramkan!

Lalu saya pun bertanya-tanya, memangnya seseram apa sih kota York itu? Di buku-buku traveling York sering digambarkan sebagai kota kecil tercantik di Inggris Utara. Tapi juga selalu ada deskripsi tambahan tentang hantu-hantu yang sering menampakkan sosoknya dalam remang. Ngeri juga membayangkan jangan-jangan nanti saya ketempelan hantu York saat jalan-jalan di sana. Gimana pula kalau mendadak kesurupan, lalu saya menjadi manusia abad pertengahan yang bergaya aristokrat. Atau malah berubah menjadi manusia Viking. Hiiiii….!

Tapi kemudian buru-buru saya tepis, daripada serem membayangkan hantu di York yang bakal nyamperin, mendingan saya menikmati pesona York sebagai city of extraordinary cultural dan historical wealth. York adalah kota kecil di Inggris Utara yang menyimpan warisan sejarah budaya pada masa Romawi, jaman Viking, dan Abad Pertengahan. Sisa-sisa warisan tiga jaman itu berkumpul menjadi satu di sebuah tempat yang dipagari tembok (city walls) sepanjang kurang lebih 3.5 km. Kebayang kan betapa kecilnya York dan betapa di tempat yang kecil itu tersimpan warisan sejarah budaya yang tak ternilai indahnya.

Si kecil York juga memiliki lorong-lorong sempit yang diapit bangunan-bangunan lama berdinding bata merah yang kini difungsikan sebagai café, toko, dan tourist attractions lainnya. Inilah daya tarik lain di York yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain. Di jalan yang sempit itu berduyun turis menyusurinya, menikmati kesejukan kota York sambil keluar masuk dari satu toko ke toko lain. Itulah suasana di Shambles, jalan tertua di York yang paling crowded dan mengundang siapapun untuk ikutan menyusur lorongnya sambil window shopping.

Suasana serupa Shambels sebenarnya dapat dijumpai di hampir semua lorong-lorong York, seperti yang berada di sekitar York Minster, katedral terindah di kota ini. Di mata saya York adalah lorong-lorong sempit dan panjang yang diapit toko-toko berarsitektur kuno abad belasan. Semakin dalam lorong yang kita susuri, semakin mendalam pula keterpesonaan saya pada York. Keterpesonaan yang membuat saya abai bahwa s cantik York ini juga dikenal sebagai Kota Hantu.

FOTO> atas: york minster | tengah: hantu kemayu di taman samping york minster..xixixixi... | bawah: lorong-lorng york yang cantik

Saturday, December 11, 2010

Leeds, a Shopping Arcade Tour



Jika buka karena pengin menghemat akomodasi dengan numpang di rumah seorang kawan, mungkin saya tidak akan singgah di Leeds. Kota yang terletak di Yorkshire Barat (Inggris Utara) ini memang jarang-jarang disebut dalam destinasi wisata. Bahkan mungkin travel agent di Indonesia tidak ada yang mengenal kota Leeds. Saya sendiri juga baru tahu ada kota bernama Leeds hanya karena punya kenalan yang kuliah di sana. Hehe…!

Padahal, menurut Wikipedia, Leeds adalah kota ketiga terbesar (berdasar populasi)setelah London dan Birmingham. Leeds juga merupakan kota di Inggris yang dianggap paling sukses dalam New Urban Revolution. Leeds dianggap berhasil meredisain dan rebranding kotanya menjadi ‘new something of somewhere’. Tapi, apa dong yang menarik dari Leeds untuk wisatawan?

“Leeds kan terkenal dengan shopping arcade-nya,” kata Ima, kenalan saya yang sudah tiga tahun tinggal di Leeds. Kota belanja dong kalau gitu. Apa bedanya sama Hong Kong? Hehehe, makin banyak aja tanda tanya yang berkeliaran di benak saya. Habisnya, sejak kami tiba di Leeds pada sore hari sekitar pukul 19.00 (langit masih terang benderang di musim semi), saya tidak melihat tanda-tanda kota ini layak disebut kota belanja. Apalagi shopping arcade-nya sampai dikenal luas itu. Ah, mungkin karena Ima tinggal di Leeds dan pengin promosi kota tempatnya menuntut studi kali ya? Batin saya penasaran.

Padahal ada produk retail besar yang berasal yang berasal dari Leeds lho. Tahu Marks & Spencer (M&S) kan, departemen store terbesar di Inggris yang juga ada di Jakarta. Selama ini kita hanya mengenalnya sebagai deptstore yang berasal dari Inggris, tapi tidak tahu persis Inggris-nya di kota mana. Ternyata M&S lahir dari sebuah kios kecil di pasar Leeds, yaitu Leeds City Market atau Leeds Kirkgate Market. Nggak nyangka kan?
Michael Marks, pemilik kios di Kirkgate Market itu mulai berjoin dengan Thomas Spencer pada tahun 1884. Duet ini melahirkan brand M&S yang kini mendunia dan memiliki sedikitnya 895 toko yang tersebar di lebih dari 40 negara.

Sejarah perbelajaan Leeds sebenarnya sudah dimulai sejak era Victorian. Pada masa itu Leeds merupakan salah satu kiblat belanja di Inggris. Saat ini pun Leeds masih menjadi kota paling asyik buat belanja bagi yang tinggal di Inggris utara. Saya baru percaya bahwa Leeds merupakan a mecca of shopping setelah mampir ke Victoria Quarter (VQ) shopping arcade. Victoria Quarter merupakan pusat perbelanjaan kelas atas dibangun ulang pada tahun 1989 – 1996. Area ini meliputi sejumlah shopping arcade yang sudah ada sejak abad 19, yaitu County Arcade, Cross Arcade, Queen Victoria Street, dan King Edward Street.

Saya menyempatkan menyusur lorong Cross Arcade dan County Arcade yang membentang antara vicar Lane dan Briggate. Lorong panjang dengan sisi kanan kiri berupa toko-toko branded yang menjual produk kelas atas seperti FCUK, Harvey Nicholas, Louis Vuitton, dan produk branded lainnya. Sepertinya nggak nyangka, kota yang nggak popular di Inggris itu ternyata memiliki sejumlah outlet resmi produk fashion branded.

Selain berisi toko-toko produk kelas dunia, arsitektur shopping arcade juga membuat saya takjub luar biasa. Arsitekturnya menonjolkan atap lengkung yang terbuat dari logam dan kaca. Sementara pada dindingnya terdapat sejumlah mozaik yang terbuat dari batu pualam.

Selain Victoria Quarter, tempat yang asyik melihat orang lalu lalang berbelaja adalah di Briggate, di sebelah timur pintu County Arcade. Suasana orang berlalu-lalang di Briggate ini mirip di Pasar Baru, Jakarta. Ramai. Saya menyempatkan duduk di bangku-bangku kosong yang tersedia di sepanjang ruas jalan di Briggate untuk menikmati lalulalang orang berbelanja.

Oh ya, ada satu lagi tempat belanja yang layak ditengok, yaitu Leeds City Market atau Leeds Kirkgate Market yang telah melahirkan pengusaha retailer besar Marks & Spencer. Leeds Kirkgate Market terletak di seberang Cross Arcade, yaitu di ruas jalan Vicar Lane. Di dalam pasar yang dibangun pada tahun 1875 ini memiliki interitor yang lebih klasik dengan bagian atapnya yang menggunakan glass-roof yang disangga lengkungan logam yang cantik.

Jadi, semalam di Leeds saya bisa menikmati rekreasi mata alias window shopping yang cukup menyegarkan. Ini window shopping dalam arti sesungguhnya loh, karena tak ada satu barang pun yang saya beli di kawasan belanja ini. Saya cuma mondar-mandir menikmati kesibukan orang berbelanja serta mengagumi arsitektur bangunan ini sambil bernarsis ria di depan kamera.

tartan, scottish fashion

Saya masih SD ketika pertama kali melihat orang pake baju Tartan. Orang itu adalah Pangeran Charles dan saya melihatnya dalam acara Dunia Dalam Berita di TVRI. “Laki-laki kok pake rok?” tanya saya polos. Kali lain, di majalah, saya melihat Pangeran Charles berfoto dengan ‘rok’ kotak-kotak dengan sebuah tas kecil yang menggantung di bagian depannya. Dalam gambar itu Lady Diana juga mengenakan gaun dengan motif senada rok-nya Pangeran Charles. Saya makin penasaran dan diam-diam menyukai motif kotak-kotak ala ‘rok’ Pangeran Charles itu.

Setelah baca kisah petualangan Tintin di Pulau Hitam saya baru tersadar bahwa rok yang dikenakan Pangeran Charles mirip dengan rok yang dikenakan Tintin saat bertualang di Skotlandia. Rupanya rok kotak-kotak itu adalah baju tradisional Skotlandia untuk pria yang disebut Tartan Kilt. Tartan merupakan sebutan untuk kain tradisional Skotlandia sedangkan Kilt adalah lilitan kain Tartan pada lingkar pinggang dengan batas bawah hingga lutut menyerupai rok. Untuk memperkuat ikatan digunakan sabuk (belt). Asesoris wajib yang biasanya menyertai Kilt adalah Sporran yaitu tas kecil yang menggantung pada bagian depan tengah Kilt.

Nah, begitu berkesempatan ke Skotlandia, Tartan Kilt menjadi target cenderamata yang saya incar. Pengin beliin Tartan Kilt buat suami tercinta biar kayak Tintin. Beberapa saat setelah tiba di Edinburgh, sambil menikmati sore di kota tua ini, saya juga menyempatkan singgah di toko cenderamata yang masih buka untuk melihat-lihat. Survey pertama itu bikin saya shock. Ternyata harga Tartan Kilt itu muahaaalll, nggak terjangkau buat kantong saya. Baru kain Tartan-nya saja harganya yang termurah seratusan pounds, lalu belt-nya berapa puluh pounds, terus Sporran-nya yang unik itu harganya puluhan hingga ratusan pounds. Kalau mau komplit minimal harus sedia dana £500. Jika dirupiahkan pada saat itu (2007) sekitar 9 jutaan. Tidaaakk…!

Seketika saya men-delete Tartan Kilt dari daftar oleh-oleh.

Meski begitu, saya belum juga beranjak dari konter yang memajang koleksi Tartan Kilt berikut asesorisnya. Bahkan, esoknya ketika menyambangi sejumlah toko souvenir, konter ini menjadi favorit saya, yang membuat saya betah berlama-lama mengamatinya. Iya, saya bisa belajar etnografi Skotlandia di toko souvenir yang menjual baju Tartan ini.

Rupanya, beragam motif Tartan dan asesorisnya itu menunjukkan asal clan (marga) orang Skotlandia. Setiap clan memiliki warna dan motif kain Tartan yang berbeda. Begitu pula dengan simbol yang juga berbeda-beda. Sekedar contoh, misalnya clan Wallace. Warna tartan Wallace adalah kota-kota merah hitam dengan garis kuning. Sementara logonya (crest) bertuliskan Pro Libertate yang berarti For Freedom atau For Liberty. Jadi jangan sampe salah pasang, kalau mau pake Tartan Wallace pasangannya crest Pro Libertate, bukan pake logo Dulcius Ex Asperis milik clan Ferguson.

Asal tahu saja Skotlandia memiliki lebih dari seratus clan. Kebayang kan berapa banyak motif Tartan yang ada. Jika ingin tahu lebih jauh tentang Scottish Clan termasuk jenis Tartan yang dimilikinya dapat diintip melalui situs ini www.ancestralscotland.com. Di situs ini kita juga bisa memasukkan nama tertentu untuk mengecek apakah nama tersebut merupakan salah satu clan dari bangsa Skotlandia atau bukan. Jika merupakan clan, akan terdapat uraian tentang sejarah clan tersebut, daerah asalnya, juga motif dan warna Tartan yang digunakannya.

Oh ya, sebagai pengganti rasa kecewa karena saya tak mampu membeli Tartan Kilt, akhirnya saya hanya membeli selembar kain serbet (50 x 70 cm) Clans of Scotland yaitu gambar peta negeri Skotlandia berisi nama-nama clan sesuai daerah asalnya. Di sisi kanan kirinya terdapat gambar logo-logo clan bangsa Skotlandia. Cenderamata yang murah meriah ini sudah cukup mengingatkan saya akan beragam clan yang ada di negeri di awan itu.


prince charles image is taken from here | clan symbol image taken from wikipedia

[scots language] do you ken?


Saya tidak bisa melupakan peristiwa konyol di konter check in Edinburgh Airport ketika saya akan kembali ke London. Sambil menyerahkan boarding pass dan passport, petugas konter check ini itu mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak saya pahami. “Pardon?” Kata saya sambil mendekatkan telinga, berharap bisa menangkap kata-kata si mbak petugas konter check in itu. Sialnya, hingga tiga kali ia mengulang kalimatnya, tak satu kata pun saya mengerti.

Lalu ia meminta bantuan pada rekan di sampingnya untuk berkomunikasi dengan saya. “Do you speak France?” tanyanya. Saya menggeleng. “Germany?” saya menggeleng lalu. “I speak English,” tegas saya. Petugas itu tersenyum lalu menunjuk pada papan notice yang ada di meja check in bahwa ada larangan memasukkan cairan ke dalam tas. Benda cair harus dimasukkan dalam kantong plastik transparan dan harus dikeluarkan pada saat pemeriksaan di x-ray scanner.

Woalah, barulah saya ngeh dan paham. Rupanya, si mbak tadi menanyakan apakah di dalam tas saya ada benda cairnya. Tapi kenapa bahasa Inggris-nya kayak orang berkumur gitu ya? Satu kata pun tak ada yang bisa saya tangkap.

Sebenarnya, selama di Skotlandia saya memang sudah sering dibikin bingung dengan bahasa Inggrisnya. Logatnya terasa sangat asing di telinga saya. Sebenarnya pula, saya sudah tahu bahwa dialek yang ‘aneh’ itu dikarenakan orang Skotlandia sendiri memiliki bahasa ibu yaitu Gaelic. Bahasa Gaelic yang berasal dari Irlandia itu telah digunakan oleh hampir semua wilayah di Skotlandia sejak abad ke 6. Setelah Skotlandia menjadi bagian dari Inggris Raya, komunikasi dalam bahasa Inggris sering bercampur dengan bahasa Gaelic. Sebagai contoh, orang Skotlandia lebih suka menggunakan kata “aye” ketimbang “yes”, “wee” untuk menyebut “small”, “tattie” untuk menggantikan “potato”.

Konon, orang Inggris sendiri juga masih sering terbengong jika berkomunikasi dengan orang Skotlandia. Apa lagi saya yang baru sekali ini mendengar dialek Skotlandia kan?

Nah, gara-gara salah tangkap itu, saya jadi ngumpulin beberapa phrase yang biasa digunakan untuk berkomunikasi di Skotlandia. Siapa tahu suatu hari nanti balik ke Skotlandia lagi, saya sudah nggak bakalan salah dengar. Hehe…!!!

Scots Language

English

Hiya

Hello

Where are you fae?

Where are you from?

Where do you bide?

Where are you living just now?

You alright pal?

Are you OK?

I’m no bad, and yerself?

I’m OK, how about you?

What er ye like?

What are you like?

Do you ken?

Do you understand?

There’s a wee nip in the air

It’s cold

The nights are fair drawing in

It’s getting darker earlier

Dinnae hav the willies

Don’t get scared

I don’t have a scoobie

I have no idea

I’ve got the glass on you

I’ve been watching you

It’s a grand day

Usually grey sky but without rain

Image: me in Balloch village, Scotland Highland

Friday, December 10, 2010

experience boat cruise


Salah satu tujuan saya mengajak Baby bindi traveling adalah untuk mengenalkan dengan berbagai alat transportasi. Saat jalan-jalan ke Makassar, kami mengajak Baby bindi naik perahu. Nggak jauh-jauh kok, cuma dari dermaga Pantai Losari ke Pulau kahyangan yang ditempuh sekitar 15 menit sekali jalan. Penginnya sih sekalian ke Samalona, biar bisa main air, tapi karena Samalona relatif lebih jauh (30-45 menit), sementara ini adalah pengalamana bindi berperahu, maka saya memilih untuk mengurungkan hasrat. Gak apa yang deket dulu, nanti kalau bindi sudah ketahuan enjoy, bolehlah dicoba lagi berperahu yang lebih jauh.

Ternyata Bindi enjoy banget di atas perahu. Dia takjub melihat hamparan air yang begitu luasnya. Juga kegirangan melihat percikan air laut di sisi kanan kiri perahu. Tangannya menunjuk ke segala arah sambil berkata-kata yang kemudian saya terjemahkan sendiri, "ooww..itu ada kapal besar" atau "ada ikannya nggak ya" atau "lautnya luas ya, bu..."

Sampai di Pulau Kahyangan, Baby Bindi cuma main-main pasir sebentar. Sebenarnya sih dia masih betah berlama-lama, tapi saya yang nggak betah. Pagi itu, saat kami berperahu ke Pulau Kahyangan, sebenarnya tidak dengan persiapan. Iseng-iseng aja nyuapin sarapan pagi Bindi di tepi pantai Losari, lalu pas mau balik ke hotel kami nyari warung coto. Lagi bengong di pinggir jalan yang tak jauh dari dermaga, eh ditawarin tukang perahu. "Gimana, sekalian aja yuk?" tanya saya pada Edo yang langsung disetujui. Jadilah kami yang belum mandi ini berperahu ke pulau Kahyangan.

Oh ya Pulau Kahyangan adalah salah satu pulau kecil yang sering dijadikan tempat untuk menggelar berbagai event. Di pulau kecil ini dibangun sejumlah cottage dan bungalow yang pintunya langsung menghadap ke laut. Juga terdaapt play ground dan panggung hiburan. Katanya, pulau ini jadi tempat yang asyik untuk menikmati lampu-lampu kota Makassar di malah hari.

Setelah berjalan-jalan mengelilingi pulau yang pagi itu tampak sepi (apakah penghuninya masih pada tidur di cottage ya?), akhirnya kami kembali ke perahu. Di atas perahu yang membawa kami kembali, Baby Bindi tertidur, diterpa semilir angin pagi yang sejuk dan bikin mengantuk.