Sunday, March 21, 2010

plesiran pertama...


Untuk pertama kalinya saya mengajak Bindi (4 bln) ke luar kota (baca: desa) dan menginap. Desa yang kami tuju adalah desa kelahiran ayah saya, sebuah desa kecil yang berjarak sekitar 6 km dari kota kabupaten Purwodadi Grobogan, Jawa Tengah. Dari Jogja, jaraknya kurang lebih 130 km atau sekitar 4 jam perjalanan (sudah termasuk mengaso sejam di Solo) dengan mobil pribadi.

Sehari sebelum kami melakukan perjalanan, saya sudah dibuat cukup repot dengan berbagai bekal yang harus dibawa Bindi. Sebagai orang yang terbiasa ringkas selagi bepergian (apalagi cuma semalem), pekerjaan packing-mempacking barang-barang Bindi ini membuat saya terpana sendiri.

Inilah daftar bawaan yang saya bawa ketika ngajak Bindi menginap di rumah keluarga Eyang Kakungnya:

  • Pakaian : 2 set baju ganti di perjalanan (tidak termasuk baju yang dikenakan saat berangkat dan pulang), 2 set baju ganti sehabis mandi sore (kami hanya menginap semalam), dan 2 set baju tidur, topi, celemek makan, selimut, handuk
  • Alat Centil : botol-botol cairan buat mandi, minyak rambut, baby cologne, minyak telon, minyak anti nyamuk, 1 pak pampers isi 12, 1 pak tissue basah, 1 travel pack tissue wajah, 1 pak kapas gulung buat cebok
  • Mainan: beruang teddy dan beberapa mainan yang colorfull dan bisa digigit-gigit, dan buku bacaannya (hihii..buku bayi yg terbuat dari kain itu loh)
  • Feeding set: susu formula, bubur cerelac, piranti makan, 5 botol susu kecil (50 ml), alat sterisasi, termos kecil, botol air putih
  • Perlengkapan tidur: 2 bantal dewasa, 2 guling dewasa, (buat magerin Bindi, soalnya kalo bobok suka muter2) 1 guling baby, 1 bantal baby, 1 bed cover ukuran single (buat alas, takutnya nanti Bindi ngotorin sprei sodara kan gak enak)
Amppuunnn..saya sudah langsung geleng-geleng melihat tumpukan barang bawaan Bindi sebelum dimasukkan ke mobil. Bahkan, bagasi mobil Blazer saya yang maha luas itupun terasa sesak deh.

Moga-moga ini hanya karena 'pengalaman pertama'. Next trip will be lighter..hehehe...

Saturday, March 20, 2010

traveling with baby bindi


Untuk pertama kalinya saya mengajak Bindi ke luar kota (baca: desa) dan menginap. Desa yang kami tuju adalah desa kelahiran ayah saya, sebuah desa kecil yang berjarak sekitar 6 km dari kota kabupaten Purwodadi Grobogan, Jawa Tengah. Dari Jogja, jaraknya kurang lebih 130 km atau sekitar 4 jam perjalanan (sudah termasuk mengaso sejam di Solo) dengan mobil pribadi.

Sehari sebelum kami melakukan perjalanan, saya sudah dibuat cukup repot dengan berbagai bekal yang harus dibawa Bindi. Sebagai orang yang terbiasa ringkas selagi bepergian (apalagi cuma semalem), pekerjaan packing-mempacking barang-barang Bindi ini membuat saya terpana sendiri.

Inilah daftar bawaan yang saya bawa ketika ngajak Bindi menginap di rumah keluarga Eyang Kakungnya:

  • Pakaian : 2 set baju ganti di perjalanan (tidak termasuk baju yang dikenakan saat berangkat dan pulang), 2 set baju ganti sehabis mandi sore (kami hanya menginap semalam), dan 2 set baju tidur, topi, celemek makan, selimut, handuk
  • Alat Centil : botol-botol cairan buat mandi, minyak rambut, baby cologne, minyak telon, minyak anti nyamuk, 1 pak pampers isi 12, 1 pak tissue basah, 1 travel pack tissue wajah, 1 pak kapas gulung buat cebok
  • Mainan: beruang teddy dan beberapa mainan yang colorfull dan bisa digigit-gigit, dan buku bacaannya (hihii..buku bayi yg terbuat dari kain itu loh)
  • Feeding set: susu formula, bubur cerelac, piranti makan, 5 botol susu kecil (50 ml), alat sterisasi, termos kecil, botol air putih
  • Perlengkapan tidur: 2 bantal dewasa, 2 guling dewasa, (buat magerin Bindi, soalnya kalo bobok suka muter2) 1 guling baby, 1 bantal baby, 1 bed cover ukuran single (buat alas, takutnya nanti Bindi ngotorin sprei sodara kan gak enak)
Amppuunnn..saya sudah langsung geleng-geleng melihat tumpukan barang bawaan Bindi sebelum dimasukkan ke mobil. Bahkan, bagasi mobil Blazer saya yang maha luas itupun terasa sesak deh.

Moga-moga ini hanya karena 'pengalaman pertama'. Next trip will be lighter..hehehe...



Thursday, March 11, 2010

fly with low fare airline

europe part 1
europe part 2

Ada banyak maskapai yang melayani penerbangan internasional dari Jakarta ke Eropa. Dari sekian banyak itu yang cukup populer antara lain Air France, British Airways, KLM, dan Lufthansa. Maskapai kelas atas ini melayani terbang ke hampir semua kota-kota besar di Eropa. Hanya saja, harga tiket yang ditawarkan maskapai Eropa ini juga lumayan aduhai.

Karenanya saya lebih suka melirik maskapai penerbangan asal Timur Tengah seperti Emirates, Qatar Airways, Etihad, atau Turkey Airways yang tarifnya lebih murah. Meskipun harga miring tapi layanan tetap prima dan yang lebih penting destinasi kota-kota di Eropa juga tak kalah banyaknya dengan maskapai asal Eropa. Selain alasan tarif, terbang bersama maskapai ini akan membuat saya banyak merenung. Merenungi nasib para TKI yang bekerja di Tanah Saudi. Maklum, maskapai ini sering digunakan agen pengiriman TKI ke Arab Saudi. Dan kita akan menyaksikan bagaimana rombongan TKI itu digiring untuk ngantri memasuki ruang tunggu sebelum boarding, lalu mereka duduk bergerombol dan nglesot di lantai, dan begitu tiba di Dubai pemandangan serupa makin banyak. Nggak hanya TKI yang baru datang dari Indonesia yang sedang menunggu pesawat lain, tetapi juga TKI yang akan pulang kampung dengan beragam ekspresi menyiratkan kehidupan mereka di Tanah Saudi.

Kebetulan saya pernah terbang dengan Emirates saat ke London tahun 2007 lalu. Sungguh, pengalaman akan selayang pandang merekam perjalanan para TKI ke negeri impian mereka itu sungguh menyentuh emosi terdalam saya. Saya pengin merekamnya lagi, kali ini dengan empati yang lebih dalam.

Itulah sebabnya kenapa Emirates langsung nyantol di kepala saya begitu ada rencana ke Eropa lagi. Sensasi empati terbang bersama TKI dan tarif murah dari Emirates adalah perpaduan yang akan membuat perjalanan saya nggak sekedar untuk hore-hore tetapi juga penuh refleksi. (Amiiinnn...).

Jadilah saya spontan membuka website Emirates untuk menengok adakah tarif promo pada bulan Mei mendatang. HArap-harap cemas saya masukkan nama airport di kota departure - arrival, serta tanggal yang saya kehendaki, dan...horreee super low fare-nya langsung nongol di laptop.

Rupanya tidak hanya Emirates yang menawarkan tarif promo pada tanggal keberangkatan dan kepulangan yang sudah saya tentukan. Qatar Airway juga loh. Malah, kalau saya mengajukan tanggal keberangkatan, masih tersedia low fare yang selisihnya hingga USD 200! Bikin kepala saya mendadak berkeringat, karena bergairah melihat tarif super murah yang ditawarkan. Bayangkan, masak Jakarta - Paris return cuma USD 518?

Tahu nggak, dalam urusan perjalanan, semakin murah tiket yang berhasil kita beli, semakin meningkatlah gengsi kita. Sebaliknya, semakin mahal rupiah yang dibayarkan untuk tiket dengan tujuan yang sama, semakin besar kita menanggung rasa kecewa. Haha...

Untungnya saya segera tersadar bahwa perjalanan saya ke Eropa ini tidak semata-mata dolan, tapi ada urusan gaweyan. Jadi saya tetap memprioritaskan pekerjaan tinimbang tarif promo, meski sebisa mungkin tetap mendapatkan harga tiket hemat.

Kemudian saya melanjutkan pencarian. Setiap hari (bahkan sehari lebih dari sekali) saya mengecek harga tiket sesuai dengan tanggal dan rute yang sudah pasti (mendarat di Paris dan meninggalkan Eropa dari kota Athena, Yunani). Supaya lebih fokus dan nggak terlalu banyak pembanding, saya hanya melongok website Emirates dan Qatar.

Persis dua bulan sebelum keberangkatan, saya menemukan best fare dengan menggunakan Emirates yang lebih murah sekitar USD 130 dibanding Qatar. Selain lebih murah, Emirates juga memiliki pilihan waktu terbang yang memungkinkan connecting flight dari Jogja, kampung halaman saya, ke Jakarta dan sebaliknya tanpa harus menginap di Ibu Kota. Itu berarti, saya bisa hemat waktu dan energi.

Yang lebih seru lagi, Emirates menawarkan dua pilihan waktu terbang menuju Paris dengan transit di Dubai selama 3 jam (tiba di Paris jam 13.30) atau transit 10 jam (tiba di Paris jam 20.10) pada hari yang sama. Sebagai pejalan yang menjunjung tinggi filosofi 'sekali terbang dua tiga negara terlampaui', maka dengan senang hati saya memilih transit 10 jam di Dubai. Alasannya sederhana saja, supaya bisa jalan-jalan dan berfoto narsis dengan latar belakang Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia. Haha...! (to be continued)




europe (part 2): plan a trip



(tulisan sebelumnya: europe part 1)

Kerjaan wajib saya di Paris sudah ditetapkan, yaitu tanggal 7-9 Mei 2010. Pihak Panitia sendiri memfasilitasi akomodasi komplit pada pada H-2 hingga H+2. Proposal dolan disambi bisnis yang saya ajukan pada Edo adalah 2 minggu. Jika saya berangkat tanggal 5 Mei, maka saya harus sudah tiba di Jogja ("Ingat, tiba di Jogja. Bukan Indonesia loh!" tegas Edo) adalah tanggal 19 Mei 2010. Persis 14 hari alais 2 minggu. Apes-apesnya jika penerbangan delay (biasanya Jakarta - Jogja yang suka molor), berarti saya tiba di Jogja tanggal 20 Mei 2010.

Meski waktu departure dan arrival-nya sudah ketahuan, tetapi ternyata untuk mem-booking tiket pesawat nggak sesederhana itu urusannya. Bukan karena fasilitas online maskapainya yang ribet. Bukan dong, jaman sekarang hampir semua maskapai yang melayani terbang internasional, sangat mudah di-booking secara online.

Masalahnya justru terletak pada diri saya sendiri. Andai saja saya nggak pengin memanfaatkan aji mumpung ini dengan mengeksplor Eropa, mungkin urusan buking-membukin sudah kelar sejak beberapa hari lalu. Saya tidak bisa membendung hasrat jalan-jalan murah keliling Eropa nih. Tahu sendiri lah, siapapun yang dapat kesempatan jalan-jalan dibayarin pasti penginnya bisa mengoptimalkan destinasi semaksimal mungkin. Apalagi benua yang saya tuju adalah Eropa yang antar negaranya sudah terhubung dengan kereta cepat maupun pernerbangan murah.

Karenanya sebelum mem-booking tiket pesawat, saya harus mematangkan itinerary selama di Eropa terlebih dulu. Nggak perlu itinerary yang detil, setidaknya mencakup dari mana kita akan memulai perjalanan dan kota manakah yang terakhir kali akan kita singgahi.

Untuk itu saya rela memelototi peta Eropa setiap hari. Lalu membuat garis yang menghubungkan dari satu negara ke negara lain alias membuat rute. Tentu saja nggak bisa sekali jadi karena saya harus mengintip fasilitas transport lokal yang tersedia dan berapa biaya yang harus dikeluarkan dengan jalur tersebut. Begitu ketahuan biayanya mahal, saya langsung mengubah rute. Mencari alternatif yang sehemat mungkin.

Setelah berhari-hari berkutat dengan rute, akhirnya saya memutuskan untuk memasuki Eropa dari Paris sesuai dengan agenda kerjaan saya dan kemudian kembali ke Tanah Air dari Athena, Yunani (to be continued).

Wednesday, March 3, 2010

next trip: europe..(part 1)


Kehadiran Baby Bindi akhir Oktober 2009 lalu, memang membuat saya harus berjuang menahan hasrat melakukan perjalanan alias traveling. Bahkan tiket return ke India dan Laos yang sudah saya kantongi sejak jauh-jauh bulan sebelum kehadirannya pun terpaksa saya relakan demi hari-hari bersama Bindi.

Terkecuali jika perjalanan itu dalam rangka urusan pekerjaan atau bisnis. Meski berat, business trip tetap saya prioritaskan. Bukan kenapa-napa, saya kan bukan orang kantoran yang setiap bulan selalu mendapatkan gaji. Sebaliknya, saya harus berjuang supaya temen-temen di perusahaan saya bisa gajian tiap bulan. Jangan heran jika Bindi sudah biasa saya tinggal jalan sejak usianya 15 hari!

Nah, good news-nya, tahun 2010 ini saya mendapat kesempatan business trip ke Eropa. Eits, tapi jangan keburu menganggap saya sebagai konglomerat ya. Bisnis saya masih kecil-kecilan, hanya mengandalkan kerja kreatif otak kanan, alias tidak mengandalkan modal finansial melulu. Dengan kata lain, biar modal dengkul asal kreatif, pasti bisa jalan-jalan keliling dunia. Tul kan?

Negara pertama yang akan kami jajaki adalah Perancis, Paris.

Buat saya, business trip ke Paris bulan Mei 2010 nanti nggak sekedar urusan bisnis, tetapi yang nggak kalah penting adalah trip-nya. Malah, saya lebih bergairah ketika menyusun itinerary alias trip ke mana aja selama di Paris dan Eropa nanti. Tahu nggak, agenda bisnisnya sih cuma 3-4 hari, tapi extend-nya 10 hari! Dasar, nggak mau rugi!

Masih ada waktu dua bulan untuk menyiapkan business & trip ke Eropa nanti. Persiapan bisnis nggak perlu dibahas di sini dong. Lagian lebih asyik menyiapkan itinerary untuk mengeksplorasi Paris dan negara-negara lain di sekitarnya kan?

Berikut persipan yang saya lakukan:

Yang pertama, diam-diam saya sudah membeli buku Lonely Planet edisi Western Europe di Kinokuniya, Jakarta. Harganya memang mahal, Rp 372.000,-. Tapi karena saya merasa lebih nyaman dan aman jika menenteng kitab suci para pejalan ini, saya pun merelakan rupiah tersebut.

Lonely Planet juga sangat membantu saya dalam menyusun itinerary. Karenanya, saya merasa perlu membelinya jauh-jauh hari sebelum berangkat. Dua bulan cukup untuk mempelajari isinya, menyusun trip yang kemungkinan akan saya lalui, mempelajari jalur transportasi (kereta dan low cost airline), juga museum dan situs-situs heritage yang bakal saya kunjungi. (Gila, Eropa tuh gudangnya bangunan heritage yang terdaftar di UNESCO World Heritage List. Sampai bingung saya menyusun prioritas mana yang worthed buat saya).

Dengan mempelajari Lonely Planet, ternyata juga memudahkan saya bernegoisasi dengan Edo yang terpaksa menjadi suami siaga bagi Baby Bindi.

Saat saya ke Eropa bulan Mei nanti, Baby Bindi baru berusia 6 bulan. Kebayang kan repotnya Edo di malam hari dan pagi hari sebelum dia berangkat kerja. (Siang hari Bindi diasuh Mbok Nem dan karena dia cute banget, banyak tetangga yang berbaik hati nemenin main. Jadi Mbok Nem juga bisa ngerjain kerjaan rumah lainnya).

"Jadi kamu mau pergi berapa lama nanti?" tanya Edo tanpa senyum. "Totalnya dua minggu, sekalian perjalanan pulang balik," jawab saya sambil menahan deg-deg-an. "Sepuluh hari aja lah," Edo menego. Saya melotot. "Lah, urusan kerjaan aja mungkin bisa 5-6 hari baru bisa terbebas. Buat perjalanan udah 2 hari. Dua hari sisanya mana cukup buat menikmati Eropa?"

Lalu, saya mengambil Lonely Planet, mengharap pertolongan dari kitab suci pejalan itu. Saya jelaskan rute perjalanan yang pengin saya tempuh setelah urusan di Paris beres. "Ingat lho, sekarang saya sudah bukan traveler biasa. Tapi seorang travel writer, yang butuh data untuk ditulis dan diterbitkan menjadi buku lagi...," tambah saya mencoba meyakinkannya bahwa saya pergi bukan semata-mata dolan. Tentu saja sambil membeberkan target tulisan yang harus saya setor ke penerbit setelah pulang backpacking ke Eropa.

Sebenarnya juga, Edo sangat paham. Bukankah sejak kuliah, sejak pacaran dulu saya sudah terbiasa jalan? Dan setelah merintis bisnis sendiri, jadi makin banyak jalan karena banyak job di luar Jogja.

Masalahnya, karena sekarang kami punya momongan. Butuh perjuangan dan doa untuk mengasuh Bindi selagi ibunya business trip. Meskipun Edo sudah jago mengganti popok, menceboki ketika Bindi pup, mengajak jalan-jalan tiap pagi, dan menggendong dengan posisi nyaman sehingga Bindi bisa tertidur di lengannya...tapi sejago-jagonya ayah, tetep lebih asyik kalo didampingi ibunya kan?

Cukup lama kami membicarakan soal pengasuhan Bindi selama saya pergi nanti. Hingga hari ini, kami masih membicarakan berbagai kemungkinannya. Dan saya belum mem-booking tiket, sengaja mengulurnya, supaya segala sesuatunya fix duluan...(to be continued: plan a trip)