Saturday, June 28, 2008

meeting locals

Finding the hidden treasure in every places I've been to. Semangat inilah yang selalu saya tanamkan dalam benak setiap kali melakukan perjalanan dinas. Bepergian dalam rangka pekerjaan memang tak sebebas pergi untuk berlibur. Selain nggak bisa memilih daerah tujuan, sesampainya di kota tujuan pun sudah dihadang dengan berbagai skedul yang musti diselesaikan seefektif mungkin sehingga bisa segera pulang. Begitu sampai rumah, masih harus merampungkan laporan hasil ber-business traveling itu.

Daerah yang saya kunjungi kebanyakan di wilayah Indonesia Tengah hingga Timur: Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Janganlah membandingkannya dengan kota-kota di Jawa pada umumnya, apalagi Jogja yang indah dan nyaman itu, sebagaian besar daerah di wilayah itu masih sulit diakses oleh transportasi umum. Jadwal penerbangan pesawat pun terkadang hanya beberapa kali terbang dalam seminggu. Di Papua tak jarang pesawat batal terbang karena cuaca buruk.

Selain medan yang kurang aksesibel, infrastruktur di beberapa daerah juga masih standard. Membuat saya selalu membatin, "oh indahnya Jogja, kampung halamanku.." Hahaha...

Oh ya, perjalanan dinas yang saya lakukan seringkali harus menemui orang-orang ternama di daerah, ya pengusaha, tokoh masyarakat, bupati, walikota, hingga gubernur. Hampir semuanya orang sibuk dengan mobilitas tinggi. Jadwal ketemuan yang sudah kami sepakati pun tak jarang berubah, bahkan bisa berganti hari.

Dalam masa "penantian" ini, tak banyak yang bisa saya lakukan selain harus standby sehingga sewaktu-waktu bisa meluncur sesegera. Kalau nggak banyak obyek wisata yang dekat dengan kota, detik-detik penantian ini biasanya saya isi dengan keliling kota naik angkot/ojek atau berjalan menyusuri lorong-lorong pasar tradisional.

Sensasi di Atas Angkot

Bagi saya, naik angkot merupakan sensasi tersendiri. Inilah saat di mana saya bisa menyatu dengan penduduk lokal dalam ruang berukuran sekitar 2 x 4 meter. Di antara deru mesin kendaraan dan musik dari soundsystem murahan di dalam angkot, saya berusaha menyimak percakapan para penumpang yang menggunakan bahasa daerah maupun bahasa Indonesia dengan logat lokal yang kental.

Kadang-kadang angkot juga bisa menguji kesabaran kita. Adakalanya angkot nggak mau jalan sebelum penumpang penuh. Di terminal pasar Jibama, Wamena (Papua) sopir baru mulai menyalakan mesin jika penumpang sudah penuh bertumpuk-tumpuk. Angkot jenis L300 yang idealnya hanya untuk 12 orang, di Wamena bisa berisi 21 orang dengan muatan barang belanjaan yang ditumpuk di atas kap. Untuk mendapatkan 21 penumpang itu, sedikitnya butuh waktu antara 1 - 2 jam.

Orang-orang sudah mulai gelisah dan nggak sabar. Tetapi saya tetap duduk manis di dalam angkot yang kursinya sudah jebol-jebol itu. Bau sampah pasar dan keringat penumpang menebarkan aroma yang mengalahkan semprotan The Body Shop di tubuh saya. Tapi saya justru menikmatinya.

Sensasi sejenis juga saya rasakan saat menyusuri lorong-lorong pasar tradisional. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di pasar tanpa membeli apapun (kecuali minuman karena kehausan). Saya berusaha untuk menyinggahi pasar tradisional di setiap kota yang saya kunjungi. Biasanya, pagi-pagi saya sudah meluncur ke pasar dengan angkot. Suasana pagi di pasar lebih terasa hiruk-pikuk karena masih banyak pedagang yang baru datang dari desa.

Pasar juga merupakan satu-satunya tempat di mana penduduk lokal bertemu, entah untuk bertransaksi atau sekedar nongkrong. Di pedalaman, pasar itu nggak ubahnya sebuah mall di kota besar yang menyedot orang untuk datang berduyun-duyun tanpa membeli sesuatu alias buat cuci mata.

Hhmm, saya jadi teringat saat ke Pepas Eheng pedalaman Kaltim tahun 1994 lalu. Hari pasaran yang jatuh setiap hari Selasa disambut dengan keriangan seluruh penghuni desa. Malam menjelang hari pasaran, atau pada hari Senin malam, pedagang-pedagang dari kecamatan sudah mulai berdatangan. Mereka menginap semalam di lamin (rumah panjang) supaya Selasa pagi-pagi sekali sudah bisa menggelar dagangan di Pasar Delit, yang terletak di sisi barat desa. Setiap Senin malam, terjadi kemeriahan di lamin. Lamin bak pasar malam yang terang benderang, banyak pedagang berkumpul, warga berduyun-duyun ke lamin, dan kemudian bermain tongkok (sejenis permainan dadu).

Esok paginya, kemeriahan itu berpindah di tanah lapang di sisi barat desa. Pasar Delit bagaikan magnet yang menyedot seluruh penghuni desa. Anak-anak sekolah pun membolos untuk ke pasar, menyusul Bapak dan Ibu Guru mereka yang juga tak ingin melewatkan momen sekali dalam sepekan itu.

Di pasar, seperti halnya di atas angkot, saya menemukan keindahan dan kekayaan budaya negeri ini. Terkadang, saya belajar tentang kearifan lokal dari sana.

Tuesday, June 24, 2008

keyboard addict

Suatu kali, saat tugas ke Bau Bau dan Kendari, saya tidak membawa laptop. Sengaja, karena rencana semula saya akan pergi barengan relasi dari Makassar. Nggak serulah kalau saya nanti asyik berlaptop ria sendiri.

Eh, ternyata relasi saya malah ketinggalan pesawat. (Baru kali ini ada pesawat yang terbang lebih awal, 15 menit sebelum jadwal take off yang tertera di tiket). Dia baru menyusul esok harinya. Ternyata pula, ia cuma semalam di Bau Bau, padahal semula kami berencana 4 hari di Pulau Buton itu. Saya sendiri juga sudah mengubah jadwal demi mengejar narasumber lain. Ya maklum lah, saya kan perginya dalam rangka kerja jadi begitu pulang tetep harus menghasilkan sesuatu. Nggak boleh rugi dong, namanya juga perusahaan sendiri.

Jadilah saya hanya 3 hari di Bau Bau, kemudian lanjut dengan boat ke Kendari selama 2 hari. Karena Kendari pernah saya kunjungi dan sempet mengesplornya, sementara pekerjaan saya di Kendari hanya untuk mewawancarai satu profil, saya pun jadi kesepian tanpa laptop. Padahal, sejak beberapa hari ini kepala saya sedang dipenuhi banyak ide yang menuntut segera disalurkan dalam bentuk tulisan. Sempat pula berusaha mencari warnet supaya idenya nggak amblas karena didera penyakit lupa. Tapi, warnet ternyata juga bukan solusi. Tempat duduknya kurang nyaman dan ruangnya pun terlalu sempit. Sudah tiga warnet yang saya singgahi, tapi tak ada yang membuat saya bisa mengetik dengan posisi tanpa gelisah.

"Ya wis, ditulis tangan wae," komentar Bojo ketika saya curhat lewat ponsel. Sudah sih, saya sudah menuliskannya di agenda kecil yang saya bawa. Tapi ternyata, tangan saya sudah kehilangan stamina sejak mengenal komputer sedari kuliah dulu. Tangan ini tak hanya mudah pegel jika diajak menulis banyak, tetapi juga manja karena penginnya menulis pakai pulpen yang tintanya lancar. Kalau pulpennya nggak enak, rasanya makin cepet pegel dan tulisannya pun nggak karuan.

Barangkali inilah yang disebut keyboard addict. Keyboard komputer secara perlahan bisa melumpuhkan daya tahan tangan. Apalagi sudah beberapa tahun ini saya lebih sering pakai laptop dengan keyboard yang lebih empuk, hanya butuh sentuhan lembut untuk memunculkan huruf-huruf di layar monitor. Mengetik tak lagi perlu tenaga. Sampai akhirnya saya juga mengganti keyboard PC di kantor dengan model keyboard baru yang sudah didesain seperti keyboard laptop.

Tangan saya pun makin manja karenanya.

Friday, June 20, 2008

house on the hill

Siang itu (20/6/2008), saya tiba di Bau Bau pukul 11.15 Wita dengan Merpati (JOG - UPG - BUW). Driver relasi baru menjemput setelah sholat Jumat. Sebenarnya sih nggak terlalu lama, tapi bandara BUW yang sangat imut dan sedikit rame ketika ada pesawat landing dan take off itu membuat saya jadi makhluk paling linglung. Beberapa tukang ojek yang menawari sempat saya tolak karena tidak tahu harus menuju ke mana. "Nunggu jemputan aja Mbak. Semua hotel penuh nih, karena ada acara Kapolda. Jadi harus muter nyari dulu," ujar relasi saya yang tengah menyidapkan event di Pantai Kamali. Beginilah di kota kecil, begitu ada pejabat berkunjung, semua hotel fully-booked.

Lalu saya bengong di ruang tunggu bandara yang sepi. Bener-bener sepi, karena yang tersisa hanya 5 orang: saya, ibu penjaga kantin yang sudah mulai berkemas, seorang pegawai dinas perhubungan, seorang polisi bandara, dan seorang lelaki tak berseragam. Mereka sedang mengobrol.

Sementara perut saya mulai kelaparan. Saya yakin ini lapar psikis. Hehe... Bengong di bandara sepi ini akan membuat saya makin kelaparan. Mendingan nekat ke kota, mencari inapan sendiri tanpa bantuan relasi. Toh saya sudah biasa melakukan yang beginian kan?

Villanya Pak Kasim

Segeralah saya buka "the bibble LP". Hanya ada 4 hotel yang direkomendasikan LP. Saya pilih yang di luar kota, yang tidak beralamat di jalan yang menggunakan nama pahlawan nasional (Jl. Kartini, Jl. Diponegoro, Jl. Sultan Hasanuddin, dll). Hotel yang saya telpon itu bernama Highland Resort atau House on The Hill a.k.a Bukit Villa. Wuih, keren banget nih namanya. Seperti apakah wujud hotel yang direview LP seperti ini: "has one of the most spectacular setting of any hostel in eastern Indonesia."

"Mau bicara dengan siapa?" Jawab suara di seberang ketika saya mencoba menelpon Hill House. Kok nggak seperti jawaban resepsionis hotel ya, jangan-jangan sudah berganti nomor, bain saya. Maklum lah, LP yang saya miliki ini terbitan tahun 2005, baragkali saja memang sudah tidak up to date.

"Betul ini Bukit Villa?" tanya saya ragu.

"Iya, betul. Mau bicara dengan siapa?" Jawabannya membuat saya semakin nggak mengerti.

"Saya mau menginap di sini, Mbak. Masih ada kamar kosong nggak?" lanjut saya.

"Sebentar saya tanyakan dulu. Nanti nelpon lagi ya," jawabnya membuat saya makin tak mengerti.

"Loh, bukannya ini Bukit villa?"

"Iya, tapi ini nomor telpun kantor notaris..."

What..?!

"Kantor pemilik Bukit Villa," lanjutnya.

"Ya sudah, kalau gitu saya minta nomor telpon hotelnya dong..."

"Biar saya telponkan saja ya. Nanti Mbak nelpon kemari lagi."

LOL...! Aneh. Kayak gini kok the most spectacular sih? Saya nyaris kehilangan selera. Tapi karena tak ada pilihan, saya pun menelponnya lagi. "Haloo..mau bicara dengan siapa?" Haiyah.., barangkali memang seperti itu greetings yang digunakan untuk menyapa setiap telpun masuk, batin saya geli.

Ternyata masih ada kamar. "Oke, lalu alamat hotelnya di mana ya Mbak?" Saya tidak menemukan alamat Hill House di LP. Bahkan nama kampung atau daerahnya pun tak ada.

"Bilang saja ke tukang ojek, minta dianar ke villanya Pak Kasim. Semua sudah tahu kok," katanya. Hhmm..., pasti Pak Kasim ini Notaris terkenal di Bau Bau. Atau mungkin Notaris pertama? Ah, jangan-jangan satu-satunya notaris di kota kecil ini?

Tetapi sudah tidak ada tukang ojek di bandara ini. Saya celingak-celinguk, barangkali melihat lelaki nangkring di atas motornya. Petugas bandara yang sejak tadi menawari ojek lantas menebak, "cari ojek ya?" Saya mengangguk dan dia tersenyum, "dari tadi ditawarin nggak mau." Senyum kemenangannya makin terbuka lebar. Lalu dipanggilnya seseorang.

Eh, kok yang datang rekan sejawatnya? Sama-sama berseragam Dinas Perhubungan pula! Kepada rekan sejawatnya itu, ia memberitahukan lokasi villa Pak Kasim. Setelah ia mengangguk paham, saya dipersilakan memboncengnya.

House on The Hill memang benar-benar spectacular. Berada di atas bukit batu, tersembunyi di balik rerimbunan, dan hanya ada satu jalan utama untuk menuju ke sana. Jalan itu kecil, selebar jalan desa tetapi sudah beraspal. Tak ada angkot lewat (kecuali dicarter), hanya sesekali motor pengojek yang melintas.

Saya yakin pendatang kesulitan menemukan tempat ini kalau bukan karena membaca LP dan popularitas Pak Kasim sebagai pemiliknya. Di depan villa tak ada sign-board yang terpasang. Bahkan pagarnya pun hanya pagar kayu biasa, seperti rumah orang kampung pada umumnya. "Yang bener, masak ini tempatnya?" Tanya saya pada petugas bandara eh tukang ojek ketika menghentikan kendaraannya di depan pagar kayu jelek itu. "Ya bener, kalau villa Pak Kasim memang di sini tempatnya." Karena saya ragu, saya pun mempersilakan dia menunggu sementara saya masuk ke halaman menanyai seseorang di sana.

Rupanya memang inilah tempatnya. Untuk sesaat saya merasa shock. Duh, kok terpencil begini ya. Mana sepertinya rumah kampung. Tapi rasa shock itu hanya sesaat. Begitu Atty, penjaga villa, mengantar saya ke paviliun di belakang rumah, saya langsung shock dalam artian takjub.

Gila...view-nya cantik banget. Dari paviliun kayu berlantai 2 dengan 3 kamar itu, saya bisa memandang kota Bau Bau dari ketinggian. Hamparan laut luas dan hijaunya pepohonan bukit mempesonakan siapapun yang melihatnya. Dari dalam kamar yang berdinding kaca lebar, keindahan itu dapat saya nikmati sambil leha-leha di atas kasur berkelambu.

Angan saya pun dibawa berkelana....

Wednesday, June 18, 2008

SCAM everywhere

Tiga kata ini sangat fasih diucapkan tukang becak yang mangkal di seputaran Malioboro: "Batik, Bakpia Pahtok, Dagadu." Dengan sangat antusias para tukang becak ini menawarkan jasanya mengantar wisatawan untuk belanja oleh-oleh khas Jogja. Saking antusiasnya, mereka sering nggak peduli apakah yang ditawari itu bener-bener wisatawan atau orang Jogja yang baru keluar dari Malioboro Mall. atau Pasar Beringharjo. Saya sering risih karenanya. Meski sudah jelas-jelas menenteng kunci motor yang dengan sengaja pula saya ayun-ayunkan dengan harapan Pak Becak tahu bahwa saya naik motor, mereka tetap saja menyapa, "Monggo Mbak...Bakpia Pathok, Dagadu, Batik...." Dan meski sudah dijawab, "Mboten, Paaakk..." kadang mereka masih memaksa dengan mengimingi tarif murah, "Tiga ribu saja, bolak-balik."

Yup, memang cuma tiga ribu rupiah untuk rute dari Malioboro ke pusat Dagadu (palsu) dan Batik di Rotowijayan, kemudian sebelum kembali ke Malioboro mampir dulu di Pathok (Jl. K.S Tubun) yang merupakan kawasan pedagang bakpia. Beberapa di antaranya malah ada yang memasang tarif lebih murah Rp 2.000,-. Tarif itu rasanya memang nggak masuk akal mengingat jarak tempuh dari Malioboro ke Rotowijayan (dekat Kraton) kemudian balik ke utara dan ke barat dikit di Pathok, baru kembali ke Malioboro. Jarak tempuhnya kurang lebih sekitar 5 km.

Sementara itu tarif normal tukang becak untuk jarak tempuh sejauh itu biasanya mencapai lebih dari Rp 10.000. Kecuali kalau kebetulan dapat becak yang sekalian jalan pulang, sehingga harganya masih bisa dinego. Saya sendiri kalau kebetulan iseng naik becak setelah belanja dari Beringharjo ke rumah, di timur Pasar Ngasem, yang nggak jauh dari kawasan batik dan penjual kaos Dagadu palsu, biasanya kena tarif Rp 5.000. Itupun setelah nego. Penawaran pertama yang mereka berikan rata-rata Rp 6.000 - Rp 7.000. Walaupun ada juga yang meminta Rp 10.000,-

Jadi, kalau tarif normal one-way dari Malioboro ke Ngasem saja Rp 5.000,- artinya kalau return alias balik lagi ke Malioboro mustinya kan dua kali lipatnya. Apalagi dari Ngasem dan Rotowijayan itu kalau nggenjot ke arah utara (Pathok dan Malioboro) lebih berat, karena jalannya sedikit menanjak. Tapi, untuk wisawatan yang mau belanja batik, bakpia, dan dagadu Pak Becak memberinya tarif khusus: cuma Rp 3.000,- saja.

Ini bukan dalam rangka turut mensukseskan pariwisata Jogja, lho. Tarif murah Pak Becak itu merupakan hasil kerjasama antar para tukang becak dengan pedagang batik dan dagadu di Rotowijayan serta pedagang baktia di Pathok. Mereka sudah berkong-kalikong. Jika Pak Becak bisa mengantar wisatawan ke tokonya dan melakukan transaksi senilai tertentu, Pak Becak akan mendapat komisi dari hasil penjualannya. Konon, komisi itu bisa jauh lebih besar ketimbang tarif Rp 3.000,- yang dikenakan untuk penumpang.

Ketika pemalsuan kaos Dagadu Djokdja mulai sekitar tahun '98 (setelah krisis ekonomi melanda Tanah Air), sewaktu saya masih menjadi PR Dagadu Djokdja -yang asli doongg...-, saya sempet mendengar kabar bahwa komisi untuk Pak Becak bagi tiap lembar kaos yang terjual sekitar Rp 3.000 - Rp 5.000,-..! Kebetulan pula tempat tinggal saya nggak jauh dari kawasan para pemalsu ini. Setiap hari saya melintasinya dan menyaksikan kerumunan tukang becak yang mengharap komisi. (Setiap menjelang lebaran, Pak Becak juga sering mendapat paket sembako dan sarung dari para pemilik toko Dagadu palsu ini).

Suatu ketika saya pernah berniat iseng menjadi wisatawan yang mbecak dari Malioboro dengan menikmati tarif murah itu. "Ntar nyampe deket rumah minta turun. Jadi ongkosku mbecak bisa murah," kata saya pada seorang teman yang lantas ditimpali teman yang lain, "Huu...aku pernah dipisuhi tukang becak gara-gara begitu!"

Bangkok Gems Scam

Fenomena becak yang mengharap komisi penjualan ini tidak hanya ada di Jogja. Di Bangkok juga banyak tuk-tuk bertarif murah (cuma 20 THB atau sekitar Rp 6.000) untuk berkeliling di beberapa tempat wisata. Tapi bukan tukang tuk-tuk itu sendiri yang langsung menawarkan jasa murah, melainkan ada orang lain yang berperan sebagai corn-artist alias calo. Orang ini biasanya berkeliaran di kawasan wisata Bangkok, seperti di dekat Grand Palace, Khaosan Road, maupun Siam Square. Dengan bahasa Inggris yang cukup fasih, ia akan menyapa wisatawan dan kemudian berbaik hati menunjukkan obyek-obyek wisata tertentu yang menarik untuk dikunjungi.

Ah, saya jadi teringat pada pengalaman buruk ketika ke Bangkok untuk pertama kalinya. Ketika hendak menyeberang jalan menuju Grand Palace, seseorang mendekat dan menyapa dengan ramahnya. "Hi, where do you want to go?". Dan ketika saya meyebut Grand Palace, dengan ramah dia memberitahu, "Today is Buddhist holiday. The Palace is close and will be open at 2 PM," katanya. "But don't worry. You could go to other places. Have you been to Standing Buddha?" Lalu ia meraih peta Bangkok dari tangan saya. "Let me show you many interesting places in Bangkok," tambahnya. Dilingkarinya beberapa tempat menarik, diberinya nomor untuk masing-masing tempat sesuai dengan urutan.

Saya mulai tertarik dengan informasinya karena tempat-tempat yang disebutnya sebenarnya berada di luar target tujuan jalan-jalan kami. Nggak ada salahnya ke sana juga kan? Apalagi, ia juga mengatakan bahwa untuk mendukung promosi di hari libur umat Buddha ini, pemerintah memberikan subsidi pada tukang Tuk-tuk sehingga tarifnya pun bisa lebih murah. "You only pay for twenty Baht," katanya. "But only for the Yellow Tuk-tuk," tambahnya.

Saya pikir, Yellow Tuk-tuk adalah tuk-tuk yang dicat kuning. Tapi rupanya tuk-tuk itu tak berbeda dengan tuk-tuk lain, sama-sama kucel. Hehe...! Tuk-tuk itu sedang ngetem tak jauh dari kami sehingga ketika kami mendekat, dengan sigap dia langsung meyebut dirinya sebagai si yellow tuk-tuk driver.

Saya naik sambil menunjukkan peta yang sudah ditandai corn-artist tadi. Diantarnya kami ke Standing Buddha Temple yang memang keren. Bayangkan, patung Buddha berdiri itu begitu raksasa. Orang Thai memang gemar membangung patung-patung Buddha raksasa dari berbagai posisi: standing, slepping, sitting...!

Di obyek wisata pertama itu kami benar-benar puas. Hampir satu jam kami habiskan waktu untuk memotret dan melihat-lihat kawasan wisata itu. Lalu kami lanjutkan ke obyek wisata berikutnya. Pak tuk-tuk menghentikan kami di sebuah bangunan sepi, entah apa namanya. Kami disambut seseorang, "The temple is close because Monks are having their lunch," kata seseorang berpenampilan parlente sambil mempersilakan duduk di bangku dengan meja kecil di hadapannya. Saat itu memang jam makan siang. Dan kami pun mengisi waktu sembari ngobrol. Asyik juga ngobrol dengannya, bahasa Inggrisnya cukup fasih. Ngakunya sih, ia lama tinggal di Amerika, membuka bisnis Thai Restaurant di sana. Saat ini ia dan keluarganya tengah berlibur dalam rangka Buddhist holiday.

Obrolan ngalor-ngidul itu kemudian berujung pada promosinya tentang International Export Centre. Saya langsung membayangkan sebuah pameran besar yang digelar di JCC Senayan. Dia juga bercerita tentang diskon khusus untuk pembelian batu permata. Ditunjukkannya saya kwitansi dari pembeliannya yang nilainya ribuan dollar. Waw....! Katanya pula, hari ini adalah hari terakhir sale besar-besaran itu. Saya tergoda, bukan untuk membeli batu-batuan karena memang pada dasarnya kurang tertarik perhiasan, tetapi karena embel-embel "international export" yang disebutnya. Hhmmm..siapa tahu bisa menemukan benda-benda etnografi di sana.

Saya sungguh kecewa ketika tukang tuk-tuk itu mengantar kami ke sebuah toko sepi dan hanya menjual perhiasan dan batu permata. Tapi biar nggak terkesan aneh, saya pun pura-pura menikmati keindahan perhiasan yang dipajang di etalase. Si Mbak penjaga dengan agresif menawari kami. Kami menolak dan setelah satu putaran lalu keluar dari toko perhiasan itu. "I want to go to international export centre" kata saya pada tukang tuk-tuk yang sudah menghentikan kami di toko permata. "Yes, that is international export."

Saya ternganga. Kemudian saya minta Pak tuk-tuk mengantar ke obyek wisata saja. Dia menurunkan saya di sebuah temple, entah apa namanya. (Uhs, kok hanya Standing Buddha Temple aja yang saya ketahui namanya yak. Tapi memang temple-temple ini tidak berpapan nama.) Seperti temple sebelumnya, temple ini pun juga sepi. Tapi arsitekturnya cukup menarik, sehingga kami pun mengambil beberapa gambar. Saat lagi mau mejeng, tiba-tiba nyaris menabrak seseorang yang melintas dari samping. "Oh I'm sorry," kataku. "Are you a tourist?" Tanyanya kemudian. Saya memaklumi pertanyaan itu, karena wajah Jawa saya memang mirip dengan kebanyakan orang Thai, sehingga sering dituduh warga Thailand.

Orang itu mengaku berasal dari Sumatra Utara bermarga Sembiring tapi lama tinggal di London. Garis wajahnya tidak menunjukkan karakter Batak sama sekali, tapi juga nggak bule banget. Berkulit sawo matang, berhidung bangir. Mungkin blasteran melayu - bule. Logat Inggrisnya memang London sih (halah, baru sekali ke London udah sok familiar nih). Bahasa Inggris yang mengalir cepat tapi dengan volume yang rendah. Biasanya kalo Inggris bukan mother tounge, pasti ngomongnya sambil kayak mbengok-bengok alias teriak..hehehe...

Merasa sama-sama turis, kami pun ngobrol sambil mengelilingi temple yang sepi. (Heran, nggak ada satupun wisatawan lain selain kami). Obrolan kami ternyata juga sampai pada bahasan gems & stones yang tidak menarik itu. "Yes, I've been there. May be I've to think twice to buy," kata saya ketika dia menyebut International Export Centre. "You crazy, you don't buy it. You crazy. You could sell them in your country in high price," katanya dengan berkali-kali menyebut "you crazy". Saya cuma tertawa. Lalu dikeluarkannya kwitansi pembelian permata dari tasnya. Dia bilang sudar berkali-kali ke Bangkok untuk membeli permata dan kemudian menjualnya di London dan Paris dengan harga dua atau tiga kali lipat.

Lalu dia merekomendasikan salah satu toko permata langganannya. Nama toko itu dituliskannya di peta lipat yang selalu saya tenteng. Dalam hati saya membatin, males ah ke toko permata lagi. Saya kan nggak hobi perhiasan.

Ketika keluar dari temple, tukang tuk-tuk bertanya saya pengin ke mana. "Grand Palace, please." Saya sudah kepengin ke sana sejak tadi. "The Palace still close," jawabnya. Saya lirik jam tangan memang belum jam dua. Lalu ia meminta saya memperlihatkan peta lipat Setelah itu ia menyalakan tuk-tuknya. Saya tak tahu mau dibawa ke mana lagi, pokoknya jam dua siang harus ke Grand Palace.

Ternyata ia menghentikan kami di depan sebuah toko sepi lagi. Yang saya yakin itu toko permata lagi. "Don't stop here, please. I don't like jewellery!" Teriak saya. Dengan bahasa Inggris patah-patah, Pak tuk-tuk bilang bahwa dia butuh kupon untuk makan. Dengan membeli sesuatu di toko itu, dia akan mendapat kupon makan.

Hhhmm...gelagat buruk percaloan ini mulai kami tangkap. Apalagi ketika kami keluar dari toko dan tak membeli sesuatu. Dia mengatakan bahwa dia butuh kupon. Kemudian dibawanya kami ke sebuah toko permata berhalaman luas dengan mobil-mobil terparkir di sana. Begitu kami masuk, kami langsung disambut dengan seseorang yang bisa berbahasa Indonesia. Di antarnya kami melintasi workshop para pengrajin batu permata (mirip seperti workshop perak di Kotagede), sebelum kemudian sampai di ruangan yang penuh dengan etalase-etalase berisi batu permata.

Saat itu saya baru tersadar bahwa kami memang tengah digiring untuk belanja batu permata. Pak tuk-tuk dan para calo yang bertebaran di kawasan Khaosan Road, maupun yang menanti mangsa di temple-temple itu akan mendapat komisi dari penjualan. Itu berarti, pedagang permata ini harus memark-up harga batu setinggi mungkin untuk dapat memberikan komisi pada para corn-artist itu.

Duh..! Saya terlongong-longong. Tapi sekaligus mengagumi strategi mereka yang hebat. Jauh lebih canggih ketimbang praktek calo bakpia dan dagadu palsu di Jogja. Para corn-artist ini tak hanya mengambil keuntungan ekonomis dari para wisatawan, tapi juga sudah menipu mentah-mentah dengan dalih "Buddhist Holiday". Tahu nggak, ketika kemudian kami diturunkan di dekat Grand Palace dan kami berjalan menuju pintu gerbangnya, kekecewaan maha dahsyat menyelimuti perasaan saya. Di gerbang masuk Grand Palace itu tertulis Open Daily 8 am - 3 pm. Dan sekarang sudah jam tiga kurang beberapa menit, loket sudah tutup. (Wahai dinas pariwisata Thailand, mereka harus dibasmi dan dimusnahkan! Tindakan mereka sungguh merugikan bagi citra turisme Thailand).

Saya pengin misuh. Memisuhi ketololan saya yang bagai kena hipnotis terhasut para corn-artist. Berjam-jam saya menghabiskan waktu mengitari Bangkok dengan yellow tuk-tuk keparat itu. Saya merasa malu, sudah menjadi pelancong yang tertipu. (Eh, ternyata hal yang menyakitkan sudah kena tipu itu bukan pada persoalan angka-angka, tapi lebih pada harga diri).

Malamnya di hotel, saya habiskan waktu untuk menelusur jejak para gem-scam lewat internet. Uh, ternyata memang modus operandinya mirip dengan yang dilakukannya terhadap saya.

Beikut ini sekedar tips untuk menghidari Bangkok's Scam yang nggak cuma menjadi makelar batu permata, tetapi juga restoran dan transportasi terutama jalur darat ke Angkor Wat (Cambodia). Sebenarnya rambu-rambu peringatan itu sudah dipasang di banyak tempat, sayangnya memang kurang eye-chatching. Jadi, mendingan begini aja:
  1. Berhati-hatilah jika sedang di kawasan wisata seperti Khasan Road, Grand Palace, dan Siam Square
  2. Abaikan sapaan ramah orang Thailand yang fasih berbahasa Inggris
  3. Tolaklah mentah-mentah ketika mereka mulai sok tau dengan menunjukkan tempat-tempat tertentu
  4. Kalau mereka menunjukkan kwitansi pembelian benda-benda berharga, jangan lantas pecaya. Itu kwitansi palsu yang mereka bikin sendiri. Soalnya, saya ingat betul, font alaias tulisan tangan yang tertera di kwitansi yang ditunjukkan corn-artis pertama dan kedua sama persis tuh, meski nominalnya berbeda.
  5. Percayalah pada Lonely Planet atau guide-book dan map yang Anda baca. Hehee...

Tuesday, June 17, 2008

JOGJA is my life

Saya sengaja menjiplak tagline Bali is My Life untuk judul tulisan ini. Rasanya kok pantes juga jika tagline ini disandingkan dengan Jogja, berbeda dengan Jogja Never Ending Asia yang berupaya menjadikan Jogja sebagai bagian dari Asia, yang kesannya “maksa banget". (Dan ternyata tagline itu juga kurang mempan). Jogja is My Life terasa lebih menyentuh daerah emosi terdalam para warganya. Apalagi bagi para pendatang yang pernah tinggal di Jogja –entah untuk kuliah atau sekedar mampir plesiran- yang selalu punya keinginan kembali ke Jogja.

Seperti halnya Bali yang memikat para wisatawan asing hingga banyak yang memilih menetap di Bali, Jogja juga memiliki magnet luar biasa yang membuat orang krasan berlama-lama. Bedanya, yang memimpikan bisa tinggal dan menikmati eksotisme Bali adalah orang bule alias orang asing, sementara yang memimpikan tinggal dan menikmati masa pensiun di Jogja umumnya orang Indonesia, baik orang asli Jogja maupun dari luar Jogja. Artinya, baik Bali maupun Jogja sama-sama menawarkan kenyamanan, meskipun segmennya berbeda: segmen bule dan segmen lokal atau domestik.

Dalam dunia pariwisata Jogja, kita dapat melihat dengan jelas begitu banyaknya wisatawan domestik –terutama pelajar- yang berkunjung dibanding wisatawan asing yang makin menyusut dan hanya menjadikan Jogja sebagai kota transit sebelum ke Bali. Meski saya tak memiliki data statistik yang pasti, namun saya menyakini bahwa hampir setiap sekolah (SD – SMA) di P. Jawa menjadikan Jogja sebagai tujuan utama untuk study – tour. Mereka mengunjungi Jogja tak hanya pada hari libur sekolah, tetapi hampir setiap akhir pekan (sabtu – Minggu), parkiran bus pariwisata di seputar Malioboro dan Kraton selalu berjejal.

Sementara itu wisatawan domestik yang mengajak keluarga untuk liburan ke Jogja biasanya memilik saat long-weekend, libur akhir tahun, maupun libur lebaran. Pada musim-musim libur seperti itu dapat dipastikan tingkat hunian hotel di Jogja meningkat drastis. Begitu pula kepadatan jalan raya –apalagi Malioboro- yang dipenuhi mobil-mobil berplat berplat nomor luar kota (kebanyakan Jakarta).

Segmen lokal atau domestik ini mustinya mendapat perhatian yang lebih dari Badan Pariwisata Daerah (Baparda) kota maupaun propinsi DIY. Sehingga Baparda juga menerbitkan brosur pariwisata yang kental muatan lokal, bukan sekedar brosur informasi singkat tentang obyek-obyek wisata yang lebih cocok untuk wiatawan asing.

Menurut saat, bacaan ringan tentang Jogja yang mengangkat tema living culture maupun segala hal yang lekat dengan keseharian hidup orang Jogja, lebih cocok untuk disuguhkan pada tamu domestik. Suguhan seperti ini akan membuat mereka mengenali Jogja inside – out. Dan karena sudah kenal luar dalam, mereka pun juga akan memiliki kesan yang mendalam tentang Jogja.

Ide inilah yang kemudian dilakukan saya lakukan bersama TIMKREATIFREGOL dengan menerbitkan buletin berkala (baca: kala-kala terbit) REGOLjogja. Di buletin yang dapat diperoleh secara cuma-cuma ini (atau didonlot versi PDF-nya di www.regoljogja.com) REGOL berupaya mengangkat hal-hal yang sepertinya remeh-temeh, yang sering luput dari perhatian karena sudah menjadi kebiasaan. Contohnya tentang becak. Alat transportasi tradisional ini jumlahnya cukup banyak di Jogja. Bahkan Jogja adalah kota dengan jumlah becak terbanyak di Asia Tenggara. (Tapi kenapa Jogja lebih dikenal sebagai kota sepeda ketimbang kota becak ya?).

Setiap hari kita berinteraksi dengan tukang becak. Para wisatawan banyak yang memanfaatkan becak untuk mondar-mondar mencari oleh-oleh selagi di Jogja. Tapi tak banyak tulisan tentang becak dan penggenjotnya, selain yang sifatnya kajian dan berita, yang bisa dinikmati wisatawan sembari leyeh-leyeh di kamar hotel, misalnya. Padahal, becak Jogja memiliki banyak hal menarik yang bisa dikupas, misalnya slebor becak yang berlukis pemandangan alam atau ungkapan-ungkapan ekspresif pemiliknya. Atau tentang bentuknya yang unik karena setiap daerah memiliki kekhasannya sendiri.

Dengan mengangkat hal-hal keseharian menjadi tema tulisan yang dikemas dalam tampilan visual yang atraktif, wisatawan pun akan semakin mengenali Jogja, makin mencintai Jogja, dan makin tumbuh sense of belonging-nya pada kota kita ini. Dan akhirnya mereka pun setuju bahwa Jogja is My Life.

Saturday, June 14, 2008

lonely planet: beli yang palsu menguntungkan (?)


Tony Wheeler pasti sudah tahu bahwa di Thailand dan Kamboja beredar bajakan buku-buku terbitannya, Lonely Planet. Penjualannya pun dilakukan secara blak-blakan, di pinggir jalan kawasan turis dan di kios-kios cinderamata. Tetapi, barangkali, Wheeler juga memberi permakluman pada negara miskin seperti Kamboja, sehingga ia tak perlu geram. Barangkali loh...

Saya sendiri semula sungguh takjub melihat banyaknya buku travel-guide semacam Lonely Planet (LP) yang dijual di pinggir-pinggir jalan di Khaosan Road, Bangkok dan di Siem Reap (Kamboja). Di hostel tempat kami menginap pun tersedia LP berbagai negara. Komplit banget. Bikin saya makin iri pada negara lain. Di Bali yang merupakan tourist destination favorit saja, masih susah mendapatkan Lonely Planet sekalipun yang bekas. Apalagi menemukannya sebagai fasilitas di hostel backpacker.

Di Bali, saya biasa berburu Lonely Planet bekas di Ganesha Bookshop - Ubud. Ada juga beberapa kios buku used-book yang menjual LP di Ubud, Kuta, Legian, dan Sanur. Tapi itupun nggak seberapa banyak tersedia. Tergantung pada turis-turis yang meloakkan buku travel-nya. Berbeda dengan di Khaosan Road yang menjadi kawasan backpacker di Bangkok. Buku-buku Lonely Planet dijual oleh pedagang kaki lima. Mereka juga memasang poster ala kadarnya bertuliskan "We Buy" yang berarti bersedia membeli buku-buku loakan dari para pelancong.

Rasa ketakjuban itu terjawab ketika secara iseng saya menanyakan berapa harga LP "Cambodia" pada penjual suvenir yang memajang beberapa buku travel dan buku tentang Khmer. "4 dollar," jawab si penjual yang membuat saya terbelalak. Masak nggak nyampe empat puleh ribu sih? Yang bener aja! Bukannya LP Cambodia ini harganya sekitar 250ribu di Indonesia. Saya aja bela-belain beli LP yang kompilasi alias multi-country guides, yaitu "Vietnam - Cambodia - Laos & the Greater Mekong" seharga 275 ribu yang menurut saya lebih murah ketimbang beli tiap-tiap seri.

Dalam keheranan saya buka plastiknya. Saya perhatikan baik-baik isinya, lembar demi lembar. Dan barulah saya ngeh, bahwa LP itu kopian. Tapi kualitas cetaknya lumayan bagus, termasuk cetakan pada halaman berwarna. Hanya saja kertasnya tak setipis LP asli sehingga menjadi sedikit lebih tebal. Di samping itu kualitas jilid atau bending-nya juga standard buku terbitan lokal. Padahal salah satu syarat utama buku travel-guide adalah kualitas jilidnya seperti woro-woro yang tertera di cover LP asli: SPINE STITCHED FOR EXTRA STRENGTH. Jelas dong, wong buku travel-guide itu bagaikan bibble buat para backpacker yang akan selalu digembol dan dibolak-balik sampai kucel.

Hhhmm...pantes saja saya lihat beberapa LP yang ada di hostel pada brodol. Waktu itu saya hanya membatin, barangkali karena saking banyaknya penginap yang membaca ya. Rupanya, memang ada sebagian LP bajakan yang dipajang. Ah, tapi bagi traveller yang penting kan informasinya. Nggak peduli asli atau aspal. Dan saya pun segera membeli beberapa buku LP yang menjadi target jalan-jalan saya di tahun depan. Hehe....!

Monday, June 9, 2008

sulitnya menghapal jalan di phnom penh



Ketika berkunjung ke Pnomh Penh, saya sengaja memilih hotel di kawasan yang tidak padat turis, supaya bisa lebih menikmati aura negerinya Sihanouk. Hotel (lihat yang saya lingkari di peta itu) yang saya pilih jauh dari Riverside, kawasan turis-nya Phnom Penh. Boddhi Tree Del Gusto, hotel kami, terletak di kawasan pemukiman di tengah kota Phnom Penh. Meski di tengah kota, ternyata malah jauh lebih sepi ketimbang suasana di pinggir kali Tonle Sap.

Sebenarnya bukan soal rame dan tidaknya kawasan itu. Tapi, karena ketidakmampuan saya mengingat nama-nama jalan di Phnom Penh. Tepatnya, mengingat angka-angka jalan, bukan angka nomor rumah! Yap, nama-nama jalan di Phnom Penh adalah deretan angka. Dan mengingat angka jauh lebih sulit ketimbang mengingat kata-kata.

Di Phnom Penh, jalan-jalan itu ditulis seperti ini: street 95, street 271, street 484, dll. Kalau mau menulis alamat lengkap berikut nomor rumah, begini tulisannya: 45 Street 95. Itu berarti rumah di Jl. 95 No. 45. Nah lho, bingung nggak?

Celakanya, kadang jalan yang bersebelahan tidak selalu angkanya juga beruturan. Misalnya jalan 95 tempat hotel saya beralamat, yang ternyata diapit oleh dua jalan lain yaitu jalan 93 dan jalan 99. Tapi entah di mana jalan 94, 96, 97, dan 98 berada. Saya cari-cari di seputaran jalan itu kok nggak ketemu ya.

Hanya ada beberapa jalan yang memiliki nama, misalnya Sihanouk Boulevard yang semula street 274, Mao Tse Toung Blvd mulanya Street 245, Nehru Blvd (215), atau Monireth Blvd (271).

Konon, nama-nama maupun angka-angka jalan itu juga ikut berubah mengikuti suhu politik di negeri itu. Duh...

---

click image to enlarge

Sunday, June 8, 2008

6 bulan keliling Eropa dengan US$ 1000

Mana mungkin? Tapi itulah yang dilakukan Marina Silvia, ber-back"europe"pack selama 6 bulan hanya menghabiskan sekitar 9,3 juta. Modal itu belum termasuk ongkos pesawat return dari/ke Indonesia berikut Visa dan Fiskal yang menurutnya hanya butuh sekitar US$ 900. Anggaplah totalnya kurang lebih butuh US$ 2000.

Masih merasa nggak masuk akal? Cobalah simak baik-baik 2 bab awal dalam bukunya, yaitu tentang 13 Alasan Pergi dan 13 Langkah Pergi. Salah satu yang memungkinkan seseorang bisa traveling dengan biaya irit adalah network yang sudah terbangun lewat internet. Marina termasuk member yang aktif dalam di situs www.hospitalityclub.org dan www.couchsurfing.com. Situs ini merupakan network bagi siapapun di seluruh dunia yang bersedia memberi tumpangan gratis (free accomodation) bagi sesama member saat mengunjungi negaranya. Menurut Marina, network ini cukup aman dan para membernya juga layak dipercaya dan kita juga bisa memilih host yang sesuai dengan ketertarikan kita (dapat dilihat dari biodatanya).

Di bukunya, Marina tak hanya mengurai berbagai tips backpacking, tetapi juga menuliskan hasil kontemplasinya saat berada di 13 negara yang disinggahinya selama 6 bulan di Eropa. Marina menuliskan hasil renungannnya dalam artikel pendek yang kaya dengan dialog antara dirinya dengan rekan-rekan baru yang ditemuinya di sana. Ketertarikannya pada masalah politik, agama dan keberagaman, membuat hampir sebagian kontemplasi yang ditulisnya bermuara ke sana: agama, politik, globalisasi, keberagaman keyakinan. Pada tulisan akhir, di jurnal yang diberi judul "Katedral" (hal. 261 - 262), menjelang kepulangannya ke Indonesia, merupakan puncak perenungan Marina sebagai umat beragama.

Terlepas dari kemampuan Marina merefleksi diri yang cukup apik, jurnal-jurnalnya jadi terasa monoton. Dari satu kota ke kota yang lain, obrolannya tak lepas dari persoalan agama dan keberagaman. Padahal, pembaca yang semula tergoda oleh judul bukunya Back"Europe"Pack: Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dollar mungkin juga merindukan tulisan mendalam lainnya tentang keindahan arsitektur bangunan-bangunan di Eropa, terawatnya museum-museum yang menyimpan catatan peradaban manusia, tradisi dan budaya masyarakat setempat, festival tradisional, atau sekedar mencicipi makanan lokal. Setidaknya, itu yang saya rasakan.

Membaca bukunya, belum mampu mengobati dahaga saya akan negeri Eropa. Tapi mungkin barangkali Marina menuntun saya mencarinya sendiri, bukankah dia sudah menunjukkan bagaimana cara murah mengeksplorasi Eropa? Thanks Marina, semoga saya bisa mengikuti jalurmu dan berkontemplasi di negeri-negeri yang indah itu.

Judul : Back"Europe"PAck, Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1.000 Dollar
Penulis : Marina Silvia K
Penerbit : Gramedia, 2008
Tebal : 267 halaman

Thursday, June 5, 2008

singapore travel brochures


Satu hal yang membuat saya selalu kangen Singapura adalah brosur-brosurnya. Negeri imut ini sangat royal membagi-bagikan brosur wisata. Di tempat-tempat umum, kita bisa dengan mudah menemukan rak berwarna mencolok yang berisi penuh brosur wisata dalam berbagai bahasa (Inggris, China, Thai, bahkan Bahasa Indonesia).

Sebagai penggemar brosur, saya tak pernah merasa sungkan mengambilnya banyak-banyak untuk nambah koleksi di rumah. Nggak rugi nyimpen brosur yang dicetak di atas kertas apik dengan kualitas printing yang keren. Apalagi foto-foto yang menghiasi tiap halaman ini juga cantik. Di rumah, sering saya membolak-balik isinya sambil membayangkan kapan kira-kira saya mampu menerbitkan brosur atau katalog wisata sekeren ini. (Aha, bahkan buletin REGOL pun tertunda penerbitannya karena nggak punya dana. Hehe...)

Ngomong-ngomong soal dana, kira-kira berapa juta dolar yang dialokasikan dinas pariwisata Singapura untuk menerbitkan brosur-brosur ini ya? Jangan-jangan, dana itu jauh lebih besar ketimbang dana yang disiapkan Indonesia dalam rangka Visit Indonesia Year 2008 yang "cuma" berkisar US$ 15 - 20 juta itu?

no access



Due to be renovated, the top area of Angkor Wat is close for visitors for a while. But, hey look at that couple. They didn't care about the "No Access" sign. They had crossed the border and climbed the temple.

I captured this moment when visited Angkor on Monday morning, May 26, 2008.

Wednesday, June 4, 2008

fried cricket, cambodian street food


In 1978s, people of my Grandpa's village at Central Java love eating fried insects, such as crickets and flying white ant. They like caterpillar too, especially that live in teak wood (Pohon Jati). As a kid, I enjoyed eating them. Fried flying white ant was my favourite. It's taste so delicious. But eating fried crickets was more fascinating. Because we fried crickets that I catched by myself. Yup, I loved hunting crickets in the field when I was kid.

Cricket fighting was my hobby. I hunted them in the night when they slept under the trunk of banana plants. The red-crickets was my champion. He usually won the fight. But if we didn't find him, and only found small crickets, we catched and fried them.

It was 30 year ago. It was just a children naughtiness. I never eat fried crickets anymore. I think people in my Grandpa's village don't eat fried insects anymore. And I was shocking when I met many fried crickets seller at Cambodia market. Oh my gosh...they still eating insects!

See more photos of Cambodian street food here

Monday, June 2, 2008

boddhi tree del gusto | phnom penh


thank to my-self :p for a cozy, charm, and nice boutique hotel where we stayed in phnom penh, cambodia. boddhi tree del gusto is a hotel with a great colonial architecture built in 1930's. it has only 6 rooms. i was very lucky, the room was available when i booked by online.

in phnom penh, del gusto known as a charming cafe. it's located at 43 street 95. here the place where many expat in cambodia spend their saturday night for dinner with their family or colleague. the food is so delicious.

let's see our more photos of del gusto. just click my another travel blog here.