Monday, November 29, 2010

belajar multikultur sejak dini


buat saya, traveling itu bukan sekedar dolan tapi yang lebih penting adalah experience different culture. pada saat kita melakukan perjalanan, tinggal di suatu daerah yang memiliki kultur yang berbeda dengan kita, pasti mau tak mau harus beradaptasi dengan kultur lokal. meski cuma untuk beberapa hari saja.

saya dan baby bindi beruntung bisa tinggal di jogja, di kota yang multikultur. mau ketemu orang dari beragam etnis yang ada di indonesia, bisa dilakukan di jogja karena banyak putra daerah yang melanjutkan studi di kota pelajar jogja. selain itu, di jogja juga terdapat asrama-asrama mahasiswa dari semua propinsi. jadi bisa dibilang jogja adalah miniatur indonesia.

untungnya lagi, saya tinggal di dekat kraton, dekat tamansari di mana banyak turis-turis asing lewat depan rumah. ada turis rombongan pake bus-bus besar, ada pula turis bergaya backpacker yang menggendong ransel dan menenteng buku lonely planet.

sore-sore, saat lagi di luar rumah sama baby bindi, kadang ketemu turis-turis itu lewat. beberapa menyapa dan say hello sama baby bindi. saya lantas mengajari baby bindi untuk membalas sapaan mereka. buat saya, ini adalah salah satu pelajaran multikultur yang bagus dikenalkan pada si kecil. dengan sering bertemu orang dari beragam etnis, niscaya kelak ia akan menjadi anak yang nggak etnosentris dan mendukung keberagaman. amiinn...!

oh ya, selain di jogja, tempat belajar mengenalkan multikultur pada anak adalah di bali, terutama ubud. hingga umur setahun saya sudah dua kali mengajak baby bindi berlibur ke bali. kami tinggal di bungalow murah dan nyaman, di mana hampir semua yang menginap adalah bule-bule. biasanya mereka juga mengajak keluarga dan anak yang masih kecil. nah, baby bindi bisa main-main sama mereka.

foto di atas adalah salah satu dari aktivitas baby bindi saat berlibur di ubud. kolam renang yg tersedia di depan bungalow kami, ternyata jadi salah satu tempat untuk berkenalan dengan kultur lain. begitu nyebur di kolam, bindi dan anak bule perancis itu langsung akrab meski tidak saling berkata-kata.

lihatlah bahasa tubuh mereka. biar kulit dan rambut berbeda warna, tapi mereka bahagia bisa saling mendekat.

Monday, November 15, 2010

how to travel book & travelogue book...


Saya mulai diserang pertanyaan, "Kapan UKTRIP-nya terbit?" dari para pembaca. Sementara dari penerbit, "jangan lama-lama ya!". Padahal, disain kaver buku ini sudah di-approved bulan Oktober lalu. Juga sudah saya pajang di sidebar blog saya dengan penuh rasa percaya diri.

Saya memang bukan orang yang taat deadline. Dalam menulis, sekalipun saat ini saya punya waktu yang lumayan longgar, saya tergolong penulis moody alias mengandalkan mood. Celakanya, kadang-kadang saya lebih bergairah ngurusin hal-hal yang berhubung dengan visual ketimbang teks. Itu sebabnya, disain kaver udah beres duluan sedangkan naskahnya masih sebagian.

Alasan yang kedua, saya lagi bergairah dengan respon para pembaca EUROTRIP. Respon mereka membuat saya bahagia dan makin semangat untuk lebih sering berkoar tentang kisah perjalanan saya ke Eropa. Dan yang tak terduga, ternyata banyak pembaca yang kemudian mencari buku pertama saya TALES from the ROAD. Sungguh-sungguh mengharukan. Buku pertama saya yang sudah sulit ditemukan di toko buku (karena dianggap sebagai buku yang gak laku) itu, kembali dicari-cari.

Belum tuntas rasa haru saya, tiba-tiba saya mendapat informasi bahwa TALES from the ROAD masuk nominasi dalam Festival Pembaca Indonesia 2010. Gubrak..! Seisi meja saya langsung terpental ke mana-mana begitu saya mendapati judul TALES from the ROAD masuk dalam nominasi sebagai karya Non Fiksi Favorit 2010 dan juga nominasi Disain Sampul Non fiksi Favorit. Rasanya nyaris nggak percaya. Bagaimana mungkin buku yang nggak laku, nggak banyak dibaca orang, bisa masuk dalam nominasi.

Jadilah sejak pengumuman itu saya pun gencar woro-woro tentang TALES from the ROAD lagi. Ah, bahkan kali ini lebih gencar ketimbang saat buku ini terbit Juni 2009 lalu. Sebenarnya woro-woro itu -jujur nih- bukan untuk memenangkan polling, karena saya kok pesimis bakal menang ya. Ada karya yang lebih pouler dan banyak diminati pembaca Indonesia kok. Tapi lebih pada membangkitkan rasa percaya diri, bahwa ternyata karya saya ada yang menghargai. Juga membuat saya pengin nulis TALES lagi dengan lebih 'mendalam'. TALES adalah cara saya melihat dunia, melihat apapun yang tertangkap oleh mata selagi saya jalan. TALES adalah tulisan yang keluar dari jiwa saya.

Jadiiiiii....lagi-lagi UKTRIP terhalang oleh hasrat yang begitu kuat untuk menulis kisah-kisah perjalanan sebagaimana saya mengungkapkannya lewat TALES from the ROAD. Padahal, buku traveling seri Trip (Matatita Trip Series) ini jelas-jelas punya gaya (style) penulisan yang berbeda dengan TALES. Trip Series lebih berasa informatif, panduan perjalanan, dan masuk kategori how to book. Sementara TALES merupakan travelogue, kisah perjalanan yang nggak sekedar "I've been here" tapi lebih pada "travel for what" (and for me, travel is experience different culture).

Nah lo..!

Mungkin memang salah saya juga kali ya, kenapa mengeluarkan buku traveling dengan dua style penulisan yang berbeda. Kedua segmen pembaca pun jadi menuntut untuk minta lagi dalam waktu bersamaan.! Oh...!!!

Friday, November 12, 2010

travel organizer andalan saya


Barangkali inilah satu-satunya piranti jalan milik saya yang lebih sering disembunyikan, meskipun sebenarnya cukup keren untuk dipamerkan. Dialah Victorinox Travel Organizer yang bertugas menyimpan segala rupa dokumen perjalanan. Barang berharga saya ini lebih sering ngumpet di dalam ransel, itu pun di tempat yang tersembunyi di bagian dalam ransel. Dia baru nongol keluar dari ransel saat saya membutuhkan dokumen tertentu, misalnya tiket pesawat untk check in di bandara. Kadang-kadang, biar kelihatan gaya, saya sengaja menenteng travel organizer itu hingga masuk ke pesawat.

Kasihan kan, masak dia ngumpet terus di dalam ransel. Padahal dia punya tugas mulia, menyelamatkan dokumen perjalanan, kartu kredit, passport, juga beberapa lembar dollar. Padahal lagi, travel organizer ini saya beli dengan penuh perjuangan. Saya musti menahan diri cukup lama, sejak pertama kali melihatnya di sebuah toko tas di bandara Changi Singapura, hingga akhirnya berhasil membelinya ketika kembali ke Singapura lagi.

Sebelumnya saya menggunakan travel wallet dari Adidas. Ukurannya lebih kecil sehingga bentuknya menggembung jika kebanyakan isi. Padahal, saya juga suka menyelipkan segala macam tiket dan karcis maupun nota-nota yang saya beli selama di perjalanan. Pokoknya, segala rupa kertas yang terkait sama perjalanan saya, pasti tersumpal di travel organizer ini. Begitu kembali ke tanah air (kalo travelingnya ke luar negeri, atau kembali ke rumah kalo traveling di tanah air) saya tak langsung mengeluarkan isinya. Sengaja saya membiarkan semua kertas-kertas itu ada di dalam travel organizer ini hingga dia saya ajak jalan-jalan lagi. Hehe...!!!



Tuesday, November 9, 2010

traveler aji mumpung


Setelah menerbitkan dua buku traveling, dan tengah menulis buku traveling lainnya, saya semakin merasa bahwa sebenarnya saya bukanlah seorang traveler. Bukan pula seorang backpacker atau flashpacker atau apalah istilahnya. Apalagi jika menilik travel-time saya yang ternyata nggak sehebat temen-temen backpacker lain yang saya kenal meskipun mereka belum menerbitkan buku.

Saya hanyalah pejalan aji mumpung. Mumpung dapat tugas ke Paris, ya wis sekalian jalan-jalan ke beberapa negara lain di Eropa. Mumpung tiket Air Asia lagi promo nol rupiah, ya wis di-booking aja buat jalan-jalan ke negara tetangga. Mumpung dapat proyek ngerjain media, ya wis sembari memburu nara sumber sekalian traveling ke penjuru tanah air.

Nah, ketika keberuntungan itu lagi menjauh, saya lebih suka menghabiskan waktu di Jogja saja. Aha..ini juga sebuah keberuntungan ya, bisa lahir dan tinggal di Jogja. Di kota wisata nomor dua di Indonesia setelah bali. Itu berarti setiap hari saya bisa traveling dong. Apalagi saya tinggal di deket Kraton, Tamansari, Alun-alun, gudeg Wijilan..wis lengkap sudah! Orang lain harus menyisihkan waktu dan uang untuk bisa menikmati Jogja, tapi setiap hari saya malah melewati rute wisata itu.

Memang sih, kadang-kadang saya juga off dari gaweyan untuk sekedar leyeh-leyeh di Ubud. Ubud lagi, Ubud lagi. Habis gimana ya, Ubud is my mood sih. Ubud itu mencerahkan jiwa dan bathin saya. Segala yang nyebelin tiba-tiba bisa langsung amblas begitu saya mencium aroma bunga kamboja yang terselip di telinga patung-patung Bali. Itu yang bikin saya sering nggak punya alternatif lain yang bisa dijadikan pilihan tempat buat berlibur. Itu pula yang kemudian membuat saya akhirnya sadar, bahwa ternyata banyak tempat-tempat wisata di Jawa yang jadi terlewat nggak pernah saya kunjungi. Coba, menurutmu ironis nggak, saya sudah lebih dari 20 kali dolan ke Ubud tapi belum pernah sekalipun ke Pantai Pangandaran!

Jadi, saya memang tidak pantas menyebut diri sebagai traveler, meskipun pengin dan punya akun email lost_traveler@matatita.com. Ternyata saya belum menyinggahi tempat-tempat wisata populer yang nggak begitu jauh dari kota saya.

Saya memang suka dan menikmati setiap perjalanan, tetapi bukan orang yang suka menambah destinasi wisata. Buat saya tempat yang pernah dikunjungi bukan berarti jadi tidak menarik jika dikunjungi lagi. Bahkan saya sering menemukan hal-hal baru pada tiap-tiap kunjungan, meski itu berkali-kali dilakukan.

Jadi, jika kemudian saya bisa menuliskan kisah perjalanan dan diterbitkan, tentu bukan karena saya sudah jalan ke puluhan negara, ratusan kota, dan ratusan desa. Bukan kok. Saya rasa mungkin hanya karena saya bisa menuliskannya dan punya perspektif yang sedikit berbeda dengan traveler lain, sehingga ada penerbit yang menganggap tulisan saya layak dibaca publik. Itu saja.

Jadi, sekali lagi, saya hanyalah traveler aji mumpung. Dan semoga dewi keberuntungan nggak mau jauh-jauh dari saya.

Thursday, November 4, 2010

terima kasih sudah menominasikan travelogue saya


Saya layak bersorak dong, ketika TALES from the ROAD masuk nominasi dalam Festival Pembaca Indonesia 2010. Bagaimana nggak girang coba, buku travelogue saya itu kan masuk kategori buku nggak laku versi penerbit. Apalagi jika dibanding dengan buku-buku traveling lain yang sama-sama diterbitkan oleh penerbit buku saya. Juga ketika dibanding dengan buku EUROTRIP yang baru dua bulan lalu beredar dan menurut bocoran penerbit angka penjualannya lumayan. Rasanya TALES jadi sebuah karya yang nggak ada artinya. Bukunya susah didapat karena gak add stock di toko buku dan nggak pernah dipromoin pula. Huks...!

Tetapi sebagai penulis yang menulis dua buku traveling dengan dua style yang berbeda, yaitu travelogue(TALES) dan buku panduan (EUROTRIP) sejujurnya saya merasa lebih puas saat menulis TALES. Bagi saya TALES itu gue banget.

Karena itu saya pengin mengucapkan banyak terima kasih untuk penyelenggara Festival Pembaca Indonesia yang sudah memilih TALES from the ROAD sebagai nominasi Buku Non Fiksi Favorit. Saya yakin, panitia jujur memilih buku yang bergizi yang layak dinominasikan untuk diberi penghargaan. Saya juga salut jika panitia memilih nominator bukan semata karena popularitas penulis karena oplah penjualan buku yang hingga cetak ulang beberapa kali. Buku TALES baru dicetak sekali dan sepertinya tidak bakal dicetak ulang karena penjualannya tidak memenuhi target.

Mengingat tidak banyak pembeli TALES dan tentu saja itu berarti juga tidak banyak yang membacanya, saya tidak berharap banyak pada hasil polling. Dengan kata lain, tidak berharap menjadi penulis yang mengumpulkan polling terbanyak. Buat saya, sudah dinominasikan saja sudah merupakan penghargaan yang tak terkira.

Oh ya, saya juga bangga, ternyata sampul buku TALES juga dinominasikan dalam kategri Sampul buku Non Fiksi.

Ide cover TALES bermula dari kegemaran saya memotret jejak kaki di atas manhole saat traveling. Kebetulan, ketika ke Nepal ada satu manhole yang keren banget, ditulis dengan huruf Nepal. Bahkan saya pun tak bisa membacanya. Entah itu manhole saluran air ataukan manhole untuk jaringan kabel telekomunikasi. Atas bantuan Putri (Timkreatif Regol) foto narsis jejak kaki itu pun terwujud menjadi desain samul buku yang cantik. Lalu ditambahlah beberapa koleksi foto eksotis dari Papua, Bali, Nepal, dan Jogja. Kenapa foto etnis, bukan pemandangan alam? Ya karena memang itulah yang memikat hati saya untuk menjelajah dunia, to experience difference culture.

Kalaupun ada yang sedikit saya sayangkan dari disain cover TALES ini adalah adanya tambahan pointer dari penerbit berupa tips berburu tiket murah, mencari akomodasi irit, dan mengatasi masalah selama di perjalanan yang dijejalkan di bawah judul. Tapi saya tidak bisa protes dong, bagaimanapun penerbitan buku adalah industri, yang sudah pasti berharap untung. Pointer tadi dimaksudkan untuk menggaet pembaca (traveler) Indonesia yang harus diakui memang masih dalam taraf 'how to travel' bukan 'travel for what'.

Oke, silakan buat yang ingin mem-vote TALES from the ROAD, klik link di sini ya... Biar nggak penasaran, inilah daftarnya:

Kategori Non-fiksi:
1. The Naked Traveler 2, karya Trinity, 2010
2. The O Project, karya Firliana Purwanti, 2010
3. Wirausaha Mandiri, karya Rhenald Kasali, 2010
4. Dilarang Gondrong, karya Aria Wiratma, 2010
5. Membongkar Gurita Cikeas, karya George Junus Aditjondro, 2009
6. Sintong Panjaitan, karya Hendro Subroto, 2009
7. Long Distance Love, karya Imazahra, 2009
8. 30 Hari Jadi Murid Anakku, karya Mel, 2009
9. Tales from The Road, karya Matatita, 2009
10. I Can(not) Hear, karya Feby Indirani, 2009

Sampul Buku Non-Fiksi

1. The Naked Traveler 2
2. The O Project
3. Wirausaha Mandiri
4. Dilarang Gondrong
5. Membongkar Gurita Cikeas
6. Sintong Panjaitan
7. Long Distance Love
8. 30 Hari Jadi Murid Anakku
9. Tales from The Road
10. I Can(not) Hear

Selamat mem-voting dengan jujur.