Thursday, July 30, 2009

sensasi di atas angkot


kalo naik angkot, saya berusaha mencari tempat duduk di depan.
supaya bisa bernarsis ria lewat kaca spion..sekalipun kacanya udah burem.
hehehe....


Angkot di terminal pasar Jibama (Papua).



kijang tanpa plat nomor yang beroperasi sebagai angkot.
prejengannya sedikit lebih mendingan dari angkot jenis L-300.


padat muatan. bagian atas buat hasil ladang dan belanjaan, sementara penumpang
yang di dalam berjubal hingga 21 orang. huukkss...sesak napas dah..!

hi sweet..ikut mama ke pasar ya...


duh, dedeknya bobok di kursi angkot yang udah jebol-jebol

dibeliin kacang sama mama..


di tengah jalan, ada motor yang ban-nya bocor..
karena nggak ada tambal ban, jadilah si motor diangkut angkot menuju pasar,
pusat keramaian yang ada bengkel dan tambal ban

ngik..ngok...si babi gendut ini baru diturunin dari angkot
"mau dijual berapa, pak?" tanya saya.
"dua puluh juta," jawabnya membuat saya tebelalak.
"buat ongkos anak kuliah di jawa," tambahnya lagi.
ooooo....


(sensasi serunya di atas angkot, bisa dibaca di TALES from the ROAD hal. 198)

Wednesday, July 15, 2009

sepotong tak kan pernah cukup

review by tride sembiring

jika kalian berharap buku tentang travel ini akan mengulas 'what to see' atau 'where to go' seperti yg biasanya dijadikan 'jualan' buku2 travel, maka saya nyatakan Anda sedang 'kecele'. Tales from the Road memang tidak menyajikan itu, tapi justru disini kekuatan angle buku ini. Membaca Tales from The Road buat saya membawa saya larut dalam tiap fragmen peristiwa yang tertulis di situ. Tidak seperti layaknya buku-buku travel yang menempatkan pembaca pada orbit luar (menjadi the outsider), TFTR membawa kita seolah2 menjadi subyek dari ceritanya. Nah loh, jarang bukan ada sebuah buku tentang travel yang melibatkan pembaca sbg pemeran di dalamnya?

Liputan penulisnya tentang peristiwa Ngaben, dan gambar2 yg mendukung untuk memperkuat cerita membuat saya serasa berada diantara pelaku upacara2 ngaben dalam jurnal tsb. Belum lagi gambaran tentang Nepal, Bhaktapur yang membuat saya bisa membayangkan nuansa Bhaktapur meski saya belum pernah sampai kesana. Uraian yang natural tentang local people, culture dan alam Nepal membuat saya merasa sedikit mengenal negara kecil itu, jadi seolah2 saya sedang belajar tentang ilmu antropologi. Asik.

Bahkan ketika penulis bercerita tentang TKI yang menginap di rumahnya bersama majikannya dan bergaya lebih bule dari bule, bagi saya itu adalah fenomena tidak lazim yang diceritakan dg gaya kocak yg membuat saya tidak berhenti tertawa. Sama sekali tidak terkesan ini bagian dari sebuah buku traveler....

Banyak informasi tentang hal-hal kecil yang luput diulas di beberapa buku travel, didetailkan di sini. Misalnya fenomena tentang Scam yang ternyata tidak cuma ada di Jogja, juga pengetahuan kita tentang modus-modus scam yg membuat kita bisa lebih aware jika bepergian sendiri. Info tentang tarif yg harus kita bayar kepada penduduk lokal untuk sebuah shoot dan paparan yg menjelaskan mengapa kita dalam tanda petik "harus rela" membayar cukup mahal untuk HTM di beberapa tempat wisata, menurut saya akhirnya melegakan. Karena ada alasan cukup kuat yg membuat kita mahfum dg harga2 yg kita pikir mahal untuk ukuran IDR. Saya berkesimpulan, penulisnya cukup jeli membidik sisi lain pemahaman pentingnya memelihara heritage place, daripada sekedar menjadi provokator atas mahalnya sebuah HTM. ooohhhhh...so wise.

Tips-tips tentang travel yang dikutip di TFTR juga bukan tips-tips yang 'pada umumnya'. Sekali lagi karena kita lebih sering fokus pada hal-hal besar saja, sementara hal-hal kecil yg menyangkut kenyamanan travelling spt: pastikan hape dalam keadaan tercharger penuh, kadang2 kita lupakan.

Masukan saya untuk TFTR hanya satu: mbok ya foto-fotonya dibuat colourful spy lebih menggugah pembaca untuk mengikuti jejak perjalanannya.....


(review ini di-copy dari facebook.com/matatita)

Thursday, July 9, 2009

rak buku budaya - gramedia


Saya pribadi, memang menganggap travelogue TALES from the ROAD sebagai Etnografi Jalan-jalan. Layaknya seorang antropolog yang melakukan riset di suatu daerah dan kemudian menghasilkan etnografi atau laporan penelitian yang menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat yang ditelitinya, saya pun berharap kegiatan travelling alias jalan-jalan yang saya lakukan juga bisa mendeskripsikan kehidupan sosial budaya daerah yang pernah saya kunjungi. "Buku ini bukan hanya soal travelling," tulis Riyanni Djangkaru, "tetapi juga bisa menambah pengalaman baru bagi pembacanya," tambahnya lagi.

Pengalaman baru yang dimaksud Riyanni -dan tentu saja yang ingin saya sampaikan- antara lain tentang bagaimana saya "megalami" keberagaman budaya itu. Karena ingin "mengalami", setiap kali melakukan perjalanan (baik sambil dinas atau memang karena niat traveling), saya berupaya membangun kedekatan dengan native alias penduduk setempat, mencoba untuk tidak berjarak. Hal ini saya lakukan antara lain dengan memilih alat transportasi umum (angkot, ojek, becak), ke pasar tradisional, dan sokur-sokur bisa mendapat akomodasi yang menyatu dengan rumah tinggal. Karenanya, saya lebih suka menyebut diri saya sebagai the Going Native Traveller.

Meski begitu buku ini belum bisa sepenuhnya dianggap sebagai Etnografi, mengingat kehadiran saya di sana tetaplah sebagai seorang turis, bukan peneliti. Tapi, juga tidak bisa sekedar dianggap sebagai buku traveling biasa -seperti yang dikatakan Riyanni Djangkaru-, karena buku ini tidak semata-mata memberikan informasi tentang destinasi wisata. Seorang rekan saya bilang begini, Matatita itu adalah ambiguitas antara Mata Turis dan Mata Antropolog.

Bagaimana menurut Anda?

(Foto diambil dari Rak Buku Budaya - Gramedia, Sudirman - Yogyakarta)

Tuesday, July 7, 2009

buku luar biasa yg ditulis dgn cara biasa

review by Agus Nur Prabowo

Saya kira saya memang bukan pembaca yang baik seandainya ukurannya adalah kecepatan. Sempat saya cemas berpikir apa ini karena kecerdasan saya yang makin turun ya. Setelah dipikir-pikir teryata ‘gangguan’ terbesar dalam berkonsentrasi adalah godaan yang sangat besar untuk menanggapi sebuah tulisan yang belum selesai terbaca dengan imajinasi-imajinasi, khayalan-khayalan, spekulasi-spekulasi, teori-teori, atau bahkan pengalaman diri. Begitulah yang selalu terjadi. Selalu kegiatan membaca saya terhenti, melamun, atau muncul ide yang seringkali konyol atau lucu. Jadi tak jarang saya ketawa terpingkal-pingkal sendirian pada saat membaca buku. Atau sekedar senyum. Tergantung tingkat kelucuan yang saya ciptakan sendiri atau memang ada dalam teks.

Begitupun sikap saya ketika membaca buku luar biasa yang ditulis dengan cara biasa, andap asor, atau di beberapa bagian sedikit malu-malu Tales From The Road (bukan tales dari Bogor, lho) oleh Matatita ini. Masih ada banyak sub judul lain tapi saya baru sampai di "Edinburg", yang bacanya Edinbra, kata Tita. Tapi kebetulan juga pas saya sampai di sub judul ini, mobil tua saya selesai dibetulin pintunya. Ya, di bengkel saya membaca buku ini. Nanti saya lanjutkan di tempat lain.

Membaca buku ringan yang kadang menyelipkan informasi, pandangan dan teori serius ini sangat mengasyikkan. Di beberapa bagian rasanya saya seperti melakukan apa yang diceritakan Tita dalam buku ini. Mungkin memang karena saya pernah tinggal di Papua contohnya, atau saya pernah dekat dengan orang-orang yang berasal dari tempat-tempat yang diceritakan, atau dekat dengan mereka yang punya kebiasaan menenteng “kitab suci” Lonely Planet, dan buku-buku informasi perjalanan lain yang banyak diceritakan dalam buku ini.

Buku ini secara keseluruhan berisi berbagai kisah perjalanan (tapi tidak terjebak cerita kronologis lho ya), informasi-informasi penting mengenai tempat maupun sikap yang perlu diantsipasi, baik yang berhubungan dengan kemungkinan menjadi korban penipuan (persenkongkolan tukang Tuk-Tuk dan Art shop, hal 35) maupun hal-hal yang bisa membahayakan diri (berhadapan dengan intel gadungan, hal 19, atau terjebak dalam kerusuhan massal yang melibatkan lempar tombak dan panah (pada bagian cerita tentang Timika)

Dicermati lagi, ternyata hampir tiap cerita dalam buku ini diakhiri dengan kalimat-kalimat yang sangat merangsang logika maupun rasa maupun ajakan berpikir atau membandingkan pengalaman. Ketika Tita bercerita ritual menjadi anak angkat orang Dayak, misalnya, sampai Jogja dia patuh membawa pelengkap ritual berupa tepung yang harus dicorengkan di muka orang tuanya. Ya, mungkin tidak dilakukan pun tidak akan terjadi apa-apa, tapi dia menulis “iyalah daripada ntar kenapa-kenapa, kan’ …hehe .(hal 85). Meski takut-takut sedikit percaya tahyul, tapi di bagian makan daging babi tetap tidak dilakukannya, hehe. Di bagan lain diceritakan tentang sikap si Ani (seorang TKI asal Jawa) yang menurutnya 'tranyakan' karena berani mengetuk pintu kamar mandi majikan, dan ngesun pipi kiri kanan bapaknya (Tita) waktu berpisah! Hadyuh Byuh tobatttt! Wong Jowo ilang Jawane, tulisnya bercetak miring (hal 63).

Menurut saya melalukan perjalanan di tanah orang mau gak mau ada keinginan untuk menyamakan sekaligus membedakan dengan apa yang kita ketahui, artinya selalu ada yang kita bandingkan, dan untuk membandingkan itu sangat tergantung dengan cadangan pengetahuan kita. Tita menyebut ‘pendopo’ untuk sebuah bangunan berhalaman luas di depan Kasultanan Ternate, tapi buru-buru dalam kurung dia menuliskan “eh kok pendopo sih…. (hal 40). Sisipan-sisipan spontan seperti ini juga membuat buku ini menyenangkan untuk dibaca. Sengaja atau tidak tulisan dibuat dengan gaya begini, dan kenyataanya saya merasakan kenyaman dengan itu, saya pikir ini berhubungan dengan penulisnya yang punya latar belakang menulis dalam waktu yang cukup lama, sejak SMP, bahkan dia mengaku salah satu tripnya ke Kalimanatan menghasilkan dua buah cerpen dan dua artikel. Bahkan lagi, karena kemampuan menulis lah dia bisa jalan-jalan kemana-mana. Travelling = Dapat Uang, tulisnya di halaman 53.

Keasikan melakukan perjalanan, menurut Tita, dimulai jauh sebelum perjalanannya sendiri dilakukan, yaitu ketika mencari-cari informasi tentang tempat yang akan dituju, melalu internet dan buku-buku, dan menurut saya juga dari cerita-certia teman lain. Informasi-informasi ini sering menerbangkan angan dan imajinasi kita mengenai tempat-tempat tujuan. Imajinasi kita bahkan sering lebih heboh daripada kenyataannya, meskipun tak jarang bener juga. Atau ada hal lain yang tidak kita perhitungkan sebelumnya. Cerita Tita tentang suku Asmat misalnya (hal 100), ia sudah membayangkan akan dengan mudah menemukan patung-patung untuk souvenir, ternyata sampai di sana patung dan ukiran hanya dibuat setiap november menjelang Festival Asmat. Juga cerita dia tentang papan kayu dimana-mana mungkin diinterpretasi dengan cara bebeda oleh sebagian pembacanya karena Tita tidak menuliskan bahwa kayu yang dipakai untuk papan jalan adalah kayu besi besi yang tebal dan kuat sekali. Kata 'hutan' juga tidak akan sesuai dengan gambaran kita tentang hutan-hutan di Jawa karena kutan di Papua itu sangat lebat sulit ditembus orang. Dengan demikian meski sudah membaca informasi mengenai tempat tujuan kejutan-kejutan selalu menjadi keasikan tersendiri seperti cerita tentang bunyi angin dan hujan mengerikan karena tercurah di atap-atap seng (hal 98).

Meski segala hal sudah dipersiapkan, perjalanan jauh selalu diwarnai pengalaman-pengalaman bodoh yang tak perlu terjadi, tapi justru di sana letak keasikannya. Jadwal tiket misalnya, gara-gara sembrono tidak dipastikan dulu Tita terpaksa ketinggalan kereta, padahal dia melihat kereta itu belum berangkat sewaktu dia tiba di stasiun waktu dia turun dari kereta sebelumnya. Gara-gara keteledorannya ini dia terpaksa mengeluarkan duit sekian juta untuk perjalanan ke Edinburg yang tidak menawarkan potongan harga untuk trip mendadak, kecuali pesan jauh hari. Juga kisah lucu berbau kriminal karena salah ambil mobil sewaan yang warna dan betuknya mirip di Bali. Meski harus berurusan dengan polisi tapi untungnya polisi di Bali tidak terlalu curiga mengingat kasus pencurian mobil di Bali sangat jarang terjadi. Tapi tetep aja Tita dan Edo suaminya harus membuat pembatalan BAP yan pasti makan waktu juga.


Belum selesai saya baca buku ini, tapi saya sudah pingin jalan-jalan, atau mengingat–ingat kisah perjalanan saya, yang tentunya belum sebanding dengan Tita (yang ternyata juga merasa masih jauh dibandingkan Riyyani Djangkaru misalnya), dan tentu saja belajar menulis… hehe..

Agus Nur Prawobo is a visual anthropologist working for Etnoreflika.
(this review is copied from here)

matatita di geronimo fm - jogja


beginilah suasana obrolan santai di Kedai 24 Geronimo 106.1 FM, kamis 2 juli 2009, jam 22.00 - 23.00 wib.

dikerjain host-nya geronimo..santi, dkk


berlagak tersipu



geronimo gitu loh...

juru foto : Edography.net

mendaki swayambunath, menemui mata ketiga

Sementara itu, 350 anak tangga menuju puncak tempat stupa bergambar Buddha Eye di Swayambunath dijejali para Buddhis yang hendak melakukan ritual menjelang Tahun Baru Nepal. Di kanan kiri tangga, di lereng-lereng berumput, puluhan ribu orang duduk mengobrol, memakan bekal, bersemedi, melantunkan mantra, atau bahkan meramal nasib.... Sambil tertatih meniti tangga di antara desakan ribuan orang, saya mengagumi eksotisme negeri ini...(TALES from the ROAD hal. 131)
melihat ke atas...uh, masih jauuhhh...


melihat ke bawah...wah, masih beribu orang yang mendaki

melihat ke kanan..ada yang praying together



melihat ke kiri...ada menyantap bekal yang dibawa dari rumah

akhirnya...melihat kota kathmandu dari bukit swayambunath..
the breathaking view of kathmandu

Friday, July 3, 2009

ritual pagi perempuan nepal


Di luar waktu festival, ritual harian warga Nepal yang sebagian besar beragama Hindu dan Buddha ini juga bisa kita nikmati. Tiap pagi, sebelum memulai aktivitas, para perempuan berkain sari (kebanyakan berwarna merah!) melakukan puja (doa) pagi. Mereka berderet membawa piring almunium berisi makanan sesaji untuk dipersembahkan pada dewa di kuil.


Saya amati isi sesaji yang ada di atas piring itu: bunga, telor, snack, nasi, dan aneka makanan lainnya. Tiap-tiap orang memiliki isi piring yang berbeda, sesuai jenis makanan yang dimilikinya di rumah. Seketika saya teringat suasana pagi di Ubud, Bali....(dikutip dari TALES from the ROAD hal. 131)

(lokasi: Bhaktapur, Nepal)

Thursday, July 2, 2009

bisket jatra festival - in bhaktapur NEPAL

Saat saya travelling ke Nepal, saya beruntung bisa berada di antara ribuan atau bahkan ratusan ribu orang yang tengah mengadakan rangkain festival menjelang Nepali New Year. Di Bhaktapur, 13 km dari Kathmandu, rangkaian Nepali New Year dibuka dengan Bisket Jatra Festival yang bertempat di pelataran depan Nyatapola Temple. Festival ini merupakan kompetisi antar dua warga kota Bhaktapur, yaitu kota bagian atas yang terletak di sisi utara Nyatapola Temple dan kota bagian bawah yang terletak di sisi Selatan.

Kompetisi adu kekuatan ini dilakukan dengan menarik chariot atau kereta kayu ukuran raksasa yang beratnya entah berapa ton. Chariot yang diletakkan di pelataran Nyatapla Temple itu kedua sisinya diikat tali tambang untuk menariknya. Semula saya kira kayak lomba tarik tambang, asal udah bergeser dari garis batas berarti udah bisa ditentukan pemenangnya. Ternyata, di festival Bisket Jatra tidak demikian. Kereta kayu itu harus benar-benar berhasil ditarik menuju salah satu kuil di masing-masing wilayah. Jaraknya memang hanya sekitar 200 – 300 meter dari titik start di Nyatapola Temple. Tapi karena yang ditarik kereta yang beratnya berton-ton, sudah begitu di atasnya juga dipenuhi orang, tarik tambang ala Nepal ini pun jadi seru dan berlangsung hingga malam (mulai jam 5 sore sampai lebih dari jam 9 malam).

Puncak dari festival itu, pada malam hari, pihak yang kalah akan marah dan saling melempar batu kerikil. Aksi lempar-lemparan itu berlangsung hingga di lorong-lorong jalan, bikin heboh semua warga kota Bhaktapur. Untung rumah-rumah di Bhaktapur nggak ada yang berjendela kaca. (dikutip dari "Negeri Eksotis" salah satu artikel di buku saya TALES from the ROAD; hal. 130 )




(foto diambil dari lantai paling atas Bhadgaun Restaurant)