Wednesday, June 30, 2010

St Peter's Square, antara Bernini dan Dan Brown


Ada dua hal yang membuat saya takjub begitu tiba di St Peter’s Square (Piazza San Pietro) atau lapangan Santo Petrus. Pertama, kekaguman saya pada arsitektur Gian Lorenzo Bernini yang mendesain ruang terbuka di depan gereja Basilica (St Peter’s Basilica) ini. Bernini merancang area ini agar dapat menampung orang sebanyak mungkin, sehingga Paus dapat memberkati semua umatnya baik dari tengah façade gereja maupun dari jendela istana Vatikan.


Bernini mengerjakan lapangan Santo Petrus dalam waktu setahun, yaitu pada tahun 1656 hingga 1657 di bawah pengawasan ketat Paus Alexander VII. Renovasi yang dilakukan Bernini adalah menambahkan pilar-pilar yang disusun membentuk setengah lingkaran pada sisi Utara dan Selatan lapangan. Selain itu Bernini juga membangun air mancur (fountain), menggantikan fountain lama, dan meletakkannya segaris dengan tugu obelisk dan pilar. Fountain ini konon adalah fountain terindah di Eropa pada abad ke 17 dan jika kita meminum airnya bisa bikin awet muda.


Rancangan Bernini memberikan karakter yang kuat pada lapangan Santo Petrus. Jika dilihat dari atap dome gereja Basilica, lapangan Santo Petrus terlihat seperti sebuah anak kunci dengan bagian ujungnya yang nyaris menyentuh sungai Tiber. Indah sekali!


Ketakjuban yang kedua adalah pada antrian panjang untuk memasuki gereja Basilika. Dalam rintik hujan, orang-orang setia mengantri sambil memegang payung atau raincoat untuk melindungi diri. Sesaat saya ragu. Hujan-hujan begini, harus ngantri entah berapa jam. Males banget rasanya.


Lalu saya melangkahkan kaki mengelilingi lapangan, menikmati keindahan arsitektur abad 17 karya Bernini dari segala sisi. Tiba-tiba saya teringat Angels & Demons, novel karya Dan Brown. Lapangan Santo Petrus ini termasuk salah satu setting dalam novel best seller tersebut. Hhmm..saya jadi pengin mencari sebuah tanda di lantai lapangan Santo Petrus yang terukir pada balok pualam: West – Ponente.


Imaginasi saya mengembara, membayangkan Langdon dan Vittoria berada di lapangan Santo Perus ini. Mereka menunduk, mengamati batu pualam berbentuk elips yang terpasang diantara batu-batu granit lantai piazza itu. West Ponente atau Angin Barat adalah seraut wajah malaikat yang tengah mendesahkan napas dengan keras. Di batu pualam itu terlihat lima garis hembusan angina yang keluar dari mulut sang malaikat. Kemudian Langdon dan Vittoria terhenyak menyadari petunjuk kedua menuju jalan pencerahan yang dilihatnya pada relief batu pualam itu, yaitu Udara. Langdon akhirnya menemukan sebuah karya Bernini yang berhubungan dengan Udara.


Tapi benarkah batu pualam berelief mata angina itu juga rancangan Bernini? Bernini memang mendapat tugas merancang bangunan piazza atau lapangan Santo Petrus. Tapi ternyata, menurut informasi yang saya temukan di website www.saintpetersbasilica.org dikatakan bahwa batu pualam berelief itu baru ditanam pada tahun 1852 pada masa Paus Pius IX. Itu berarti lebih dari 170 tahun setelah kematian Bernini. Jumlah batu pualam yang tertanam di piazza itu pun tidak hanya satu West Ponente, tapi ada 16 yang ditanam mengelilingi obelisk. Jiiaahh…, ketahuan Dan Brown ngawur. Tapi namanya juga novel, antara fakta dan fiksi boleh dikacaukan.


Di antara batu pualam berelief mata angina (Wind Rose) itu terdapat marmer bertuliskan “Centro del Colonnato” yang merupakan titik tengah antara tugu, fountain, dan pilar. Segera saya injakkan kedua kaki saya di atasnya, lalu saya sapukan pandangan ke depan, ke kiri, dan ke kanan. Jajaran pilar di depan saya tampak simetris karena saya melihatnya dari titik tengah. Cantik sekali!


Dari Centro del Colonnato itu pula, mata saya menangkap antrian yang kian panjang untuk memasuki gereja Basilika. Hujan ternyata tidak menghalangi hasrat mereka untuk melongok bagian dalam gereja yang juga tempat para Paus dimakamkan. Hujan tidak mengurangi kesabaran mereka, tetap rapi dalam antrean. Kenapa saya tidak meniru mereka? Bukankah saya ke Vatikan untuk melihat makam Paus? Saya tersadar dan tergerak melangkah.


(sekedar kutipan dari travelogue "eurotrip" yg sedang saya susun)

Cerita Tita, Menjahit Perca Budaya

Oleh : Wahyu Ari Wicaksono
KabarIndonesia

Mengapa perempuan-perempuan Papua, Bali dan lelaki Nepal biasa memikul beban di atas kepala sedangkan lelaki Jawa lebih memilih menggunakan bahunya?

Pertanyaan ini tentu saja tak bisa kita jawab dengan permainan logika semata. Ada detail-detail budaya yang tentunya melatarbelakangi kebiasaan-kebiasaan yang berbeda tersebut. Kenapa lelaki Jawa memilih memberdayakan bahunya dibandingkan kepala? Konon hal ini dikarenakan kultur budaya Jawa yang menempatkan dan menganggap kepala sebagai bagian tubuh paling terhormat yang tak bisa diperlakukan sembarangan. Tentu saja bukti kultur ini bisa kita temukan pada detail-detail aktivitas-aktivitas harian yang dijalani orang Jawa terutama di kawasan rural, yang bisa kita temukan jika kita benar-benar membaur dengan mereka.

Keunikan detail-detail budaya lokal yang mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan masyarakat tersebut memang ibarat kain-kain perca. Gampang kita temukan tapi tak gampang untuk kita manfaatkan. Dibutuhkan kejelian, ketelitian, kemauan, dan tentu saja kepedulian yang cukup agar nantinya perca-perca tersebut bisa kita susun sebagai mozaik yang bisa membongkar tabir keunikan sebuah budaya tertentu.

Keahlian menjahit perca menjadi sesuatu yang lebih bisa kita nikmati itulah yang berhasil dilakukan Matatita melalui buku cerita petualangannya yang berlabel,"Tales from the Road". Kehadiran buku ini benar-benar memberi sesuatu yang berbeda (out of the box) dari paritas buku-buku kisah petualangan/perjalanan yang telah ada, khususnya di Indonesia.

Memang akhir-akhir ini cukup banyak buku-buku kisah perjalanan (avonturir) yang terbit di Indonesia. Sayangnya kepedulian, kejelian, dan kemauan penulis untuk masuk secara partisipatoris dalam objek tulisannya belum begitu terasa. Kajian budaya yang notabene mampu memberi nyawa dari sebuah keindahan fisik suatu lokasi kerap tercecer. Untungnya dengan terbitnya buku ini, Matatita sudah memulainya dengan mengagumkan.

Tulisan kisah perjalanan Matatita itu tak hanya mampu berbagi sejumlah tip seru berburu tiket murah atau akomodasi super ngirit semata, tetapi mampu membuat kita pembacanya, mengenal ruh-ruh budaya yang menjadikan tempat-tempat petualangan menjadi spesial. Tak bisa dipungkiri, totalitas, kegigihan dan kerja keras sang penulislah yang membuatnya bisa mendapatkan pengalaman langka semisal diangkat anak secara tradisional oleh keluarga Dayak atau tinggal di rumah asli Suku Newari, Nepal. Kegigihan dan kepedulian jugalah yang berhasil menjadikan penulis mampu memperhatikan hal-hal yang kecil seperti budaya dan keseharian masyarakat di tempat tersebut sekaligus berusaha dekat dan melebur dengan penduduk setempat dengan cara menghormati budaya mereka.

Boleh jadi kepiawaian ini memang didukung oleh latar belakang akademis sang penulis yang notabene merupakan jebolan Anthropology UGM. Dengan bekal akademis itulah maka Matatita mampu membuat komparasi akurat mengenai nuansa kesamaan yang kuat antara gerbang kota tua Bhaktapur di Nepal dengan kawasan Jeron Beteng Keraton di Yogyakarta. Mungkin bekal akademis itu pulalah yang membuat penulis mampu menganalisa potensi prosesi Dhaeng (barisan pasukan keraton yogyakarta) dalam upacara Gerebeg untuk bisa ‘go-internasional’ seperti halnya prosesi pergantian pengawal kerajaan Inggris di Buckingham Palace.

Namun asumsi di atas tidaklah sepenuhnya benar. Bekal akademis hanyalah salah satu faktor semata. Ada banyak faktor lainnya yang turut berpengaruh. Yang terpenting adalah kemauan dan kepedulian yang ada. Asalkan mau berdarah-darah untuk mencoba berpatisipatoris pada masyarakat tempat tujuan kita beravonturir serta mau mengasah kejelian dalam melihat detail unsur-unsur budaya yang berpengaruh di sana, maka semua orang seharusnya bisa menulis cerita seperti Matatita. Setidaknya Matatita telah memulai menyebarkan virusnya. Mudah-mudahan saja virus Matatita lewat buku "Tales from the Road" ini bisa segera mewabah sehingga dunia perbukuan cerita perjalanan penulis Indonesia semakin berwarna dan membanggakan. Selamat beravonturir.

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik):
redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://kabarindonesia.com//

Tuesday, June 29, 2010

amsterdam: sex in the city


Begitu memasuki toko-toko souvenir yang berjejer di Damrak, depan stasiun Centraal, saya langsung bisa merasakan aura kota Amsterdam sebagai negeri yang menjunjung tinggi kebebasan gaya hidup. Manekin-manekin berbentuk perempuan telanjang atau mengenakan bra dan g-string warna seronok berjejer-jejer di rak souvenir. Juga manekin pria macho yang memamerkan tubuh bugil berotot, gaya khas kaum gay. Tak ketinggalan beragam kartu remi bergambar porno.


Itulah Amsterdam, kota terbebas di dunia. Julukan ini saya kutip dari liputan Kompas, 3 Mei 2010 yang saya baca sehari sebelum berangkat ke Eropa. Artikel berjudul “Amsterdam Kota Terbebas di Dunia” itu membuat saya sedikiti punya gambaran tentang bagaimana sejarah kebebasan di Amsterdam yang diwarnai dengan mesiu dan gas air mata. Pada tahun 60-an misalnya, pecah gerakan Dolle Mina yang menuntut pil KB sebagai salah satu paket asuransi kesehatan. Kemudian pada tahun 2001, Amsterdam menjadi saksi pernikahan kaum homo pertama di dunia.


Kebebasan itu rupanya juga menjadi atraksi wisata favorit di Amsterdam. Tontonan sekaligus santapan yang legal.


Red Light District (RDL)

Semakin larut malam mengunjungi kawasan ini, justru semakin banyak orang yang lalu lalang. Dan semakin gelap, semakin gemerlap pula jendela-jendela kaca memancarkan sinar lampu kemerahan. Di balik jendela kaca itu, tampak sesosok tubuh molek yang melenggok, mengundang mereka yang lewat untuk singgah, “mampir, maaasss..!”


Red Light District menjadi primadona wisata malam Amsterdam. Konon, pajak yang disumbangkan dari transaksi di kawasan lampu merah ini cukup tinggi. Hitung saja, ada 878 jendela kaca di RDL yang menyala setiap malam. Padahal di balik jendela itu ada sejumlah tubuh-tubuh molek berbagai tipe dan ras yang siap memberikan service sesuai waktu :15 menit, 30 menit, 60 menit, atau lebih. Jika setiap 15 menit tarifnya € 50, hitung sendiri antara kurun waktu dari jam 22.00 – 03.00 berapa euro perputaran uang di sana. Dan sekian persennya adalah tax!


Pasti penasaran pengin mengintip kawasan RLD. Letaknya tak jauh dari kawasan Damrak, sekitar 15 menit jalan kaki dari stasiun Centraal. Berjalanlah menuju gereja Oude Kerk. Kawasan RLD hanya beberapa blok di sekitar gereja tersebut, persisnya di sepanjang kanal Oudezijds Achterburgwal. Jika masih bingung, nggak perlu malu-malu bertanya pada resepsionis hostel untuk menunjukkan arah. RLD bukan barang tabu di negeri Belanda kok.


NOTES

Oh ya, female solo traveler yang pengin mengintip RLD sebaiknya mencari teman barengan, untuk menghindari keisengan dari para pengunjung RLD. Kalau nggak nemu teman barengan, bisa ikutan paket walking tour seharga € 10 selama kurang lebih 2 jam. Paket termasuk kunjungan ke Prostitution Information Centre, Casa Rosso sex theater, sex shops, dll. Tapi kalau pengin jalan sendiri dan tetep aman, ikuti cara saya, menyusur RLD ketika langit masih terang benderang. Haha..!


Sex Museum

Jika di RLD kita bisa menonton tubuh-tubuh molek yang nyaris bugil, maka di Sex Museum kita bisa melihat patung-patung dan lukisan erotik sejak jaman Cleopatra hingga Marilyn Monroe. Isi museum ini berbeda sekali dengan Erotic Museum yang ada di kawasan RLD yang menyajikan erotisme untuk menggugah selera.


Sex Museum bukan museum mesum kok. Menurut saya, meski di museum ini menampilkan beberapa gambar dan patung telanjang, tetapi saya tidak menganggapnya sebagai pornografi. Justru pelajaran tentang sejarah sex dari masa ke masa dijabarkan melalui deskripsi singkat dan koleksi patung dari jaman yang mewakili.


Museum sex pertama di dunia ini mulai dibuka untuk umum pada tahun 1985. Hanya mereka yang berusia di atas 16 tahun yang diijinkan masuk. Buat female solo traveler, museum ini aman dan tidak akan membuat kita merasa risih sendiri. Lokasinya di Damrak 18, tak jauh dari stasiun Centraal. Harga tiket € 4 per orang.


Homomonument

Amsterdam adalah ibu kota bagi kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Perjuangan kaum LGBT memperoleh hak asasi atas perbedaan orientasi seks mereka dilalui dengan rentang waktu yang panjang dan berdarah. Kaum homoseks di negeri Belanda mengalami decriminalized pada tahun 1811 yang diikuti dengan berdirinya bar khusus kaum gay pertama tahun 1927.


Pada masa Perang Dunia II kaum homoseks mengalami siksaan yang berat. Sedikitnya 100.000 homoseks di German dan Belanda ditangkap dan 50.000 lainnya dipenjarakan pada rezim Nazi. Oleh rezim Nazi, kaum homoseks dianggap membahayakan kondisi sosial.


Sebagai wujud solidaritas atas gugurnya para gay dan lesbian pada masa Perang Dunia II, dibangunlah Homomonument di pinggir kanal Keizersgracht pada tahun 1985, setelah melalui diskusi dan perdebatan sejak tahun 1979. Setelah beberapa tahun aktif melakukan kegiatan penggalangan dana, Homomunument akhirnya dapat dibangun. Pemerintah Belanda sendiri menyumbangkan dana sebesar € 50.000.


(sekedar kutipan dari travelogue "eurotrip" yg sedang saya susun)


Monday, June 28, 2010

belgian food

Frites alias French Fries. Kentang goreng Belgia ini tersaji dengan aneka pilihan saus. Yang familiar di lidah saya adalah mayonnaise dan saus tomat. Padahal ada banyak jenis saus lainnya antara lain saus Pili-pili, Andalouse, Coctail, dan Tartare. Tiap kedai Frites kadangkala juga menyajikan saus racikannya sendiri. Entah seperti apa rasa saus itu. Tapi yang jelas, kentang goreng Belgia ini renyah dan mengenyangkan! Kentangnya gede-gede, seporsi kentang ukuran cone sudah terasa menyesakkan perut. Belgian Frites dapat dibeli di kedai-kedai di sekitar Grand Place. Harganya murah, sekitar € 1.50. Kalau dirupiahkan, terasa jauh lebih murah disbanding French fries yang dijual beberapa fast food di Indonesia.

Chocolate. Konon coklat Belgia adalah coklat yang paling enak sedunia, satu peringkat di atas coklat Switzerland. Sejarah coklat Belgia dimulai sejak ribuan tahun lalu, tepatnya pada abad ke 17 ketika Belgia berada dalam jajahan Spanyol. Orang-orang Spanyol konon diyakini sebagai pembawa coklat (cacao) dari habitat asalanya, yaitu di hutan tropis Amerika Selatan. Kenikmatan coklat Belgia dirasakan pertama kali sekitar tahun 1697 ketika ada jamuan makan di Grand Place. Henri Escher Walikota Zurich (Switzerland) sangat terkesan dengan kelezatan secangkir coklat panas yang dihidangkan. Ia pun membawa pulang biji coklat dari Belgia untuk kemudian dikembangkan di Switzerland. Dua negeri ini kemudian dikenal sebagai produsen coklat yang rasanya super nikmat. Di manakah bisa mendapatkan the real Belgian Chocolate di Brussel? Kunjungi beberapa toko dan dapur coklat berikut ini: Chocopolis, Café-Tasse, Chocolaterie-Duval, Leonidas, Neuhaus Chocolate, dan Planete Chocolat.


Waffle. Banyak yang bilang bahwa Belgian Waffle adalah salah satu makanan yang tidak boleh dilewatkan jika mengunjungi Brussel. Waffle sebenarnya bukanlah masakan khas Belgia. Makanan pencuci mulut yang membentuk pola garis-garis persegi ini konon ditemui di sejumlah negara Eropa sejak abad 14, seperti di Inggris, Jerman, Belanda, Belgia, juga Perancis. Hanya saja masing-masing negara memiliki kekhasan. Belgian Waffle biasanya lebih renyah. Ditambah dengan topping saus dan coklat, rasanya jadi khas berbeda dengan waffle dari negara lain. Kedai penjual waffle banyak dijumpai di kota Brussel. Beberapa di antaranya menyatu dengan kedai es krim. Harganya terjangkau dan mengenyangkan, sekitar € 1.80



--sekedar kutipan dari travelogue eurotrip yg sedang saya susun--


Friday, June 11, 2010

venice: napak tilas marco polo


Ada dua petualang asal Venice (Venezia dalam bahasa Italy) yang saya kagumi. Yang pertama Marco Polo, pedagang abad ke 13 yang menjelajah jalur sutra dari Venesia hingga Xanadu, Cina. Kala itu Marco Polo baru 17 tahun ketika mendampingi ayahnya berdagang dan menjalin kerjasama dengan Kublai Khan. Keberanian remaja Marco membuat Khan terpesona dan kemudian mengangkat Marco sebagai pegawai diplomatik kekaisaran. Tugasnya antara lain mengawal putri istana yang akan menikah dengan pangeran Persia. Marco pun kian banyak menjelajahi Asia, melintas gurun dan menyeberangi teluk.


Setelah kurang lebih 24 tahun menjelajah Asia, Marco kembali ke Venesia pada usia 41 tahun. Tiga tahun kemudian, terjadi perang antara Venesia dan Genoa. Marco yang semula menjadi salah satu nahkoda dalam pertempuran itu akhirnya tertangkap dan dipenjarakan. Di penjara ia bertemu dengan Rustichello da Pisa yang menuliskan semua kisah perjalanannya menjelajah Eropa hingga Asia.


Kumpulan tulisan yang kemudian dibukukan dengan judul ll Millione (The Travels of Marco Polo), membuat banyak orang penasaran. Tak sedikit yang mengiranya pembual besar karena kisahnya tentang negeri-negeri aneh yang dikunjunginya. Sementara itu banyak pula penjelajah yang tergoda menyusur jejak Marco Polo.


National Geographic juga secara khusus melakukan penjelajahan ini dengan melibatkan sejumlah penulis dan fotografer andal National Geographic, antara lain Michael Yamashita. Perjalanana napak tilas Mike dari Venice hingga Cina ini diterbitkan dalam buku fotografi berjudul Marco Polo: a Photographer’s Journey. Selain itu National Geographic Channel juga pernah memutar serial “the 24 year odyssey of Marco Polo” yang saya tonton lewat televisi berlangganan.


Penjelajah asal Venesia ke dua yang saya kagumi setelah Marco Polo adalah Francesco da Mosto. Barangkali tidak banyak yang mengenalnya. Saya sendiri baru beberapa tahun ini mengikuti petualangannya di BBC Knowledge Channel. Francesco adalah arsitek, sejarawan, penulis, film maker, dan presenter TV. Sejumlah acara petualangan yang ditayangkan di travel channel yang popular adalah "Francesco’s Mediterranean Voyage, a cultural journey through Mediterranean from Venice to Istanbul". Sebagai seorang arsitek dan sejarawan, Francesco bisa mendeskripsikan setiap tempat yang disinggahinya dengan sangat menarik, lengkap dengan detil seni dan budaya yang tersirat di dalamnya. Saya pun jatuh cinta dengan host berambut putih itu.


Dua petualang itulah yang menginspirasi saya untuk mampir ke Venice, termasuk mencari rumah Maraco Polo.


Ternyata, tidak mudah menemukan rumah sang petualang legendaries ini karena ternyata setiap orang memberi informasi yang berbeda tentang letak rumah Marco Polo. Saya jadi teringat tayangan salah satu episode napak tilas jejak Marco Polo di National Geographic channel. Dalam episode itu, fotografer Mike Yamashita berdiri di depan rumah yang konon dipercaya sebagai rumah Marco Polo. Lalu ia bertanya pada setiap orang yang lewat, “Di mana rumah Marco Polo?”. Ternyata setiap orang memberi jawaban yang berbeda arah. Bahkan ada yang menggeleng tanda tak tahu.


Jadi di mana sebenarnya rumah penjelajah Jalur Sutra ini? Ada yang bilang tak jauh dar Rialto Bridge dan Grand Canal. Di jalan arah Maliban Theatre kita akan ketemu sebuah restoran pizza yang konon adalah rumah Marco Polo. Bangunan lain yang diyakini sebagai rumah keluarga Marco Polo adalah di Corte del Milion. Namun tak jauh dari dari situ ada opera-house yang juga diyakini sebagai tempat tinggal Marco Polo.


Jangan-jangan memang Marco Polo punya banyak rumah ya, kan dia pedagang? saya bertanya-tanya dalam hati. Tapi bisa juga Marco Polo memang pernah tinggal di beberapa rumah, yaitu saat bersama keluarganya sebelum melakukan perjalanan ke Asia, kemudian saat ia kembali ke Venice 24 tahun kemudian, dan setelah keluar dari penjara mungkin juga menempati rumah yang lain. Barangkali.



image: narsis ala self-timer mode on di depan stasiun santa lucia, venice...siap2 napak tilas..hehehe


(sekedar kutipan dari travelogue "eurotrip" yg sedang saya susun)

Sunday, June 6, 2010

milan, benetton, dan saya


Pusat mode dunia, demikian kota ini dijuluki. Sejak abad ke 16 Milan telah berkembang menjadi kota perdagangan barang mewah seperti pakaian, perhiasan, dan barang-barang dari kulit yang wah. Empat abad kemudian, industri tekstil dan fashion mulai berkembang di Milan. Kota ini mencapai keglamorannya sejak tahun 1970. Sejumlah fashion brand kenamaan asal Italia, seperti Gucci, Dolce & Gabanna, Versace, Prada, Armani, dan Valentino hingga kini berkantor pusat di Milan. Sementara itu, hampir semua fashion label internasional membuka toko atau outletnya di Milan.


Tak ayal, kota yang terletak di Italia bagian Utara ini pun menjadi destinasi favorit para model dan perancang busana dari berbagai penjuru dunia. Milan menjadi tempat berburu produk fashion branded favorit mereka. Bagi mereka, ke Italia berarti ke Milan. Berkunjung ke Milan akan menaikkan gengsinya sebagai fashionista.


Saya sendiri punya ketertarikan pada industri fashion Italy, terutama Milan, berawal dari karya foto iklan Oliviero Toscani. Fotografer Italy kelahiran Milan (1942) ini berhasil mendongkrak popularitas produk fashion United Colors of Benetton lewat foto-foto kontroversialnya yang digunakan untuk kampanye iklan pada medio 1980an.


Iklan produk fashion yang mengandalkan unsur warna dalam rancangannya ini cukup unik. Konsep “united colors” ditampilkan melalui model dari berbagai ras: negro berkulit gelap dengan rambut keriting dan bibir tebal, bule berambut blonde, juga wajah asia dengan mata sipit. Issue toleransi, perdamaian, dan respek atas keberagaman dipilih Benetton untuk mengkampanyekan brand-nya.


Pada tahun 1988, iklan multi etnik itu mulai menghiasi majalah-majalah remaja di Indonesia. Kala itu, saya yang mulai menginjak remaja dan lagi belajar centil, akhirnya menjadi salah satu korban iklan Benetton. Setiap hari saya menyisihkan uang saku demi membeli selembar kaos warna ngejreng bertuliskan United Colors of Benetton. Kaos impian itu baru berhasil saya beli tiga tahun kemudian, setelah kuliah dan mulai bisa mencari uang saku tambahan dengan menulis cerpen.


Hingga kini saya masih mengagumi Benetton. Lebih tepatnya mengagumi foto-foto iklannya yang lahir dari ide gila Oliviero Toscani. Kampanye iklan Benetton itu telah banyak mendapat pujian, tetapi di sisi lain juga menimbulkan kontroversi. Kampanye kesetaraan ras yang mengkontraskan kulit hitam dan kulit putih dalam iklan “Breastfeeding” (1989), misalnya, mendapatkan sejumlah penghargaan di Eropa, namun dikecam keras oleh warga Amerika. Barangkali orang Amerika merasa tidak rela jika si bayi yang berkulit putih menyusu pada seorang ibu berkulit hitam yang secara historis merupakan warga kelas embek di Amerika.


Begitu juga iklan yang berjudul “Tongue” (1991) yang menampilkan 3 bocah dengan warna kulit yang berbeda (negro, bule, dan asia) tengah menjulurkan lidah. Pesan yang ingin disampaikan Toscani melalui kampanye ini adalah meskipun bocah-bocah itu memiliki warna kulit yang berbeda, tetapi warna lidah mereka tetap sama. Berbeda-beda tetapi sama saja, begitu kira-kira maksudnya. Iklan ini memenangkan awards di Inggris dan Jerman, namun lagi-lagi mendapat kecaman. Kali ini oleh warga Arab karena dianggap berkonotasi pada pornografi.


Kampanye iklan fashion rancangan dinasti Luciano Benetton yang sarat makna itu memberi kesan yang begitu mendalam dalam ingatan saya. Maka, saya tak ingin melewatkan Milan, kota kelahiran seorang fotografer hebat, Oliviero Toscani. Sekalian mengintip, semodis apakah kota yang dijuluki pusat mode dunia ini?



note:

find more benetton campaign history and ads