Friday, February 29, 2008

semalam di bontang


tanpa direncana akhirnya saya "nyasar" ke bontang (kaltim) dan ketemu imas. perjalanan saya ke bontang memang mendadak. dari jogja, niatnya cuma ke balikpapan dan samarinda. setelah gaweyan di dua kota itu kelar, relasi saya menginformasikan bahwa ada pekerjaan yang bisa diberesi di bontang. mumpung udah sampe samarinda, kenapa nggak sekalian melanjutkan perjalanan? toh samarinda - bontang cuma 2 jam jalan darat.

begitu check-in di hotel bintang sintuk bontang, yang letaknya di kompleks lapangan golf pt pupuk kaltim, barulah saya berniat menghubungi mas puguh, pengin nanyain nomor hp-nya imas. lha dalah, baru mau pencet key-pad udah ada sms masuk...dari imas..!!! yaa..keduluan deh....

dan jadilah kami kopdaran di sore hari setelah urusan gaweyan beres. diajaknya saya ke kampung nelayan di daerah bontang - kuala yang cantik. perkampungan nelayan ini dibangun di atas laut dengan jalan terbuat dari kayu ulin yang hanya bisa dilintasi sepeda motor. lalu nun di ujung sana, mungkin sekitar 500 meter dari jalan raya, warung-warung ikan berjejer.sementara di bawahnya, perahu kecil nelayan berseliweran.

ketika matahari mulai terbenanm dan senja tiba, warung-warung itu menyalakan lampu aneka warna. cantik sekali. bikin saya diam-diam berharap bisa kembali menyinggahi tempat ini. mata saya sempat menangkap ada losmen kecil berdinding kayu di bontang kuala. kalau nggak salah namanya hotel shanty. sepertinya, losmen ini jauh lebih asyik ketimbang hotel di tengah lapangan golf yang saya tinggali selama di bontang: jauh dari "peradaban"!

hotel yang menurut saya jauh dari "peradaban" itu adalah hotel terbagus di bontang. tarifnya terlalu mahal untuk orang yang sudah biasa hidup di jogja dengan fasilitas di dalamnya tergolong standard. tapi view-nya cukup cantik karena berada persis di kawasan lapangan golf milik pt pupuk kaltim. dari jendela kaca coffee-shop, terbentang hamparan rumput hijau yang tiap pagi rajin "dicukur". (pagi hari saya nyempetin jalan menyusuri lapangan golf itu. seumur2 juga baru kali ini bisa nyasar sampe lapangan golf). juga banyak pepohonan tinggi yang berjejer melatari pabrik pupuk dan laut. selain lapangan golf, tersedia pula kolam renang dan lapangan tennis. fasilitas ini bukan disediakan khusus untuk tamu hotel loh, tapi merupakan sarana olahraga yang disediakan pt pupuk kaltim untuk karyawannya.

kalau menuruti kata hati, saya merasa nggak nyaman menginap di situ, karena jauh dari akses jalan raya dan itu berarti jauh dari angkot. padahal, kalau lagi "berdinas" begini, saya paling demen menyusuri kota dengan naik angkot. tapi dari bintang sintuk ini, untuk mencari angkot saya musti berjalan ratusan meter keluar dari kawasan hijau dan asri itu. olala...untung ada imas yang nyamperin saya pake motor buat jalan-jalan sore. hehe..thanks ya jeng...! (dan sori, paginya nggak sempet nemuin padahal saya ke kantor imas dan menemui salah satu direkturnya. hihiii...!)

Wednesday, February 27, 2008

on the road to bontang

samarinda - bontang berjarak sekitar 120km atau 2 jam-an lah..yg bikin seru..jalannya berkelok dan naik turun!

---- 
Sent using a Sony Ericsson mobile phone

Tuesday, February 26, 2008

i'm mobile...

dari kamar 405 grand victoria hotel, samarinda..

---- 
Sent using a Sony Ericsson mobile phone

Monday, February 25, 2008

apapun makanannya..

idenya teh botol keren juga ya..membranding warung kaki lima dgn taplak meja dgn "aneka menu makanan" termasuk makan teman, makan gaji buta, makan waktu, makan korban,dll...hehe..malam ini saya makan sepotong ayam goreng..-dilaporkan langsung dari sebuah warung di emper lippobank belakang tk ace-hardware, balikpapan-


---- 
Sent using a Sony Ericsson mobile phone

Sunday, February 24, 2008

kalender, dari ndayak hingga mbatak

Salah satu produk budaya yang sangat saya kagumi adalah kalender atau penanggalan tradisional. Lewat kalender, kita dapat mengenal sistem pengetahuan lokal tentang gejala alam dan kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya.

Saya beruntung pernah bertemu keluarga perumus kalender Bali, Bangbang Gde Bayu, cucu Bangbang Gde Rawi yang pertama kali merumuskan kelender Bali dan mencetaknya pada tahun '50-an. Berkat jasanya, rumusan kalender yang sebelumnya ditulis dalam daun lontar ini pun bisa diperbanyak dan dijual dengan harga terjangkau, sekitar Rp 5.000 per kalender. Mendapat kesempatan ngobrol dengan Gde Bayu membuat saya makin takjub dengan ilmu kalender.

Saya juga beruntung pernah tinggal 40 hari di pedalaman Borneo bersama masyarakat Dayak Benuaq dan berkenalan dengan Darmasius Madrah. Pak Madrah, demikian kami memanggilnya, adalah informan seorang antropolog dari Australia yang tengah melakukan riset untuk disertasinya. Michael, nama antropolog itu, kebetulan juga tinggal dalam satu lamin (rumah panjang) yang kami tempati. Sebagai antropolog yang masih yunior kala itu (1994), kami suka "mencuri" informasi dari Michael maupun Pak Madrah. Termasuk tentang bagaimana orang Dayak Benuaq punya "itung-itungan" tersendiri untuk menentukan kapan harus melakukan tindakan magis tertentu.

Ketika itu saya tak terlalu menaruh perhatian. Mungkin juga karena topik penelitian yang saya lakukan bukan tentang ilmu magis orang Dayak. Dan ternyata, tanpa perlu repot mencatat, hampir semua data itu diterbitkan dalam 2 buku oleh Pak Madrah, yang diberi judul LEMU: Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq & Tunjung dan TEMPUUTN: Mitos dayak Benuaq & Tunjung. Kedua buku itu terbit 3 tahun setelah kami ke Pepas Eheng, Kaltim, desa tempat tinggal Pak Madrah. Saya langsung membelinya ketika menemukan buku itu di Gramedia.

Buku itu menjadi sangat berarti ketika beberapa bulan lalu adik ipar saya yang kini tinggal di Balikpapan memberi buah tangan berupa Kalender Dayak. Dia menemukannya di sebuah kios yang menjual benda-benda etnografi Dayak di pasar Kebun Sayur Balikpapan. Meskipun sudah banyak suvenir kalender Dayak yang dijual di kios-kios suvenir, tapi yang dibeli adek saya ini tampaknya "aseli" alias pernah digunakan masyarakat Dayak. Dia membelinya dengan harga Rp 200.000 itupun setelah melalui negosiasi. Jauh lebih mahal dari kalender suvenir yang dijual hanya sekitar Rp 30.000.

Saya juga percaya bahwa kalender itu orisinil. Salah satu buktinya karena terbuat dari papan kayu ulin. Gambar dan tanda-tanda yang terdapat dalam papan ulin tersebut juga mirip yang ada dalam buku Pak Madrah. Menurut Pak Madrah, kalender ini disebut Papaatn Ketika. Orang Benuaq dan Tunjung menggunakannya untuk menentukan kapan hari baik untuk berperang sehingga pasukannya terhindar dari serangan musuh. Setelah perang antar suku di Dayak sudah tidak lagi terjadi, orang Dayak masih menggunakan Papaatn Ketika untuk menentukan hari baik berburu binatang, membuka ladang, mencari jodoh, maupun mencari peluang bisnis.

Hanya saja, yang membuat saya heran dari Papaatn Ketika pemberian adek saya ini, kenapa ada tulisan Arab (Allah) di atas gambar orang. Bukankah orang Benuaq dan Tunjung kebanyakan beragama Nasrani? Kata penjualnya sih, kemungkin ini kalender suku Dayak Pasir yang sudah terpengaruh Islam. Entahlah...

Selain kalender Dayak, saya juga memiliki benda etnografi dari Batak berupa kalender. Yang ini oleh-oleh dari teman kuliah ketika ia melakukan riset ke Sumut beberapa tahun lalu. Tentang keasliannya (baca: pernah digunakan) saya kurang begitu tahu. Dari literatur yang saya temukan di internet pun disebutkan bahwa saat ini Porhalaan atau kalender Batak banyak dijual sebagai suvenir. Meskipun "hanya" sebuah suvenir, tetapi orang Batak membuatnya menyerupai barang aslinya. Mereka menggunakan tulang babi sebagai media untuk mengukir tanda-tanda yang digunakan untuk menghitung dan menentukan hari baik.

Nah, kalau kalender tradisional versi cetak yang hampir tiap tahun saya beli adalah Kalender Bali dan Kalender Cina. Kalender Bali jelas nemunya di Bali, dan jika memang berkesempatan ke Bali. Tapi Kalender Cina ini bukan saya temukan di Negeri Tiongkok loh, tapi cukup di Mangga Dua Jakarta saja. Saya membelinya di kios milik Koh Bak Siang (yang punya nama Indonesia: Susanto).

Setiap awal tahun, Koh Bak Siang mendapat titipan kalender dari suppliernya. Bentuknya aneka ragam. Dari yang digulung dalam kemasan bulat seperti tabung, hingga yang dikemas dengan dos persegi ukuran 50 x 50 cm. Grafisnya beragam, gambar-gambar binatang atau pepohonan. "Yang ini bacaannya apa, Koh?" Tanya saya penasaran. Lalu Koh Bak Siang mengatakan sesuatu dalam bahasa Tionghoa (entah dalam dialek dari daerah mana). Lalu saya ambil jenis yang lain dan saya tanyakan lagi padanya. "Jadi yang cocok buat saya yang mana nih?" Hahahaa...makin aneh pertanyaannya. "Orang Chinese itu nggak pernah bikin tulisan yang maknanya nggak bagus. Semuanya bagus," katanya. Ah, dasar bakul, batin saya. Toh, saya membeli beberapa biji juga akhirnya, meski tak tahu maknanya.

Tuesday, February 19, 2008

laptop, piranti narsis



Salah satu pose narsis yang saya sukai adalah membuka laptop di tempat-tempat umum atau di perjalanan. Lihatlah aksi saya di antara londo-londo enggres ini. Kedua londo ini bener-bener tengah sibuk dengan laptopnya sembari menanti boarding-time di Endiburgh Airport. Sedangkan saya hanya numpang beraksi saja. Membuka laptop dan mencoba akses Wi-Fi yang tersedia. Aksi serupa juga saya lakukan saat transit di Dubai Airport.


Yang lebih parah lagi adalah aksi di depan toko Guess di Orchard Road – Singapore saya sama sekali tidak menyalakan laptop. Cuma membukanya, berpura-pura sibuk mengetik, dan kemudian minta difoto. atau di saat melaju di dengan Virgin Train dari London ke Manchester. Di gerbong First Class ini sebenarnya tersedia fasilitas hotspot, tapi tidak gratis.

Saya sendiri tak tahu ide apa yang ada di balik berbagai aksi narsis saya bersama laptop. Padahal, pada dasarnya, meskipun cukup mobile dan setiap bepergian selalu sangu laptop, tapi saya termasuk orang yang malas berlaptop di tempat umum, kecuali jika ada pekerjaan yang harus saya selesaikan segera. Bahkan, ketika harus beberapa jam tertahan di bandara karena pesawat delay, saya juga lebih suka membaca majalah atau sekedar mondar-mandir di ruang tunggu sambil mengamati lalulalang orang. Kalau untuk sekedar mengecek e-mail, ponsel saya sudah cukup memadai untuk mengaksesnya.

Saya juga kurang begitu suka membawa laptop ke cafe, apalagi ke mall, meskipun hampir setiap tempat itu kini sudah menyediakan fasilitas free hotspot. Saya malah sempet merasa geli ketika menyaksikan seorang suami yang sibuk berlaptop di food-court Ambarrukmo Plaza, sementara sang istri dan seorang anaknya yang kira-kira berusia 5 tahun duduk gelisah –karena gelas es minumannya sudah habis- sementara sang suami belum juga menutup laptopnya. Demi memanfaatkan akses internet gratisan, si bapak rela mengabaikan liburan di hari Minggu bersama keluarga.

Saya juga pernah merasa terasing di Cafe Coklat di Jogja hanya karena saya tidak membawa laptop. Malam itu saya janjian ketemu dengan teman-teman. Celakanya, saya datang setengah jam lebih awal dari waktu yang kami sepakati. Sebenarnya nggak masalah buat saya, tetapi ketika hampir semua tamu kafe sibuk menatapi layar laptop yang terbuka di tiap2 meja, mendandak saya jadi merasa seperti bocah linglung: duduk sendiri dan membaca majalah!

Thursday, February 14, 2008

baronang yg malang..

dan..dalam sekejap, baronang bakar itupun terkapar, hanya duri dan kulit yg tersisa. lihat, betapa matanya menatap penuh welas..hehe..

---- 
Sent using a Sony Ericsson mobile phone

makang ikang di makassar

makan siang hari ini cukup mewah..ikan bakar di rumah makan lae-lae, makasar. Krn nggak jauh dr hotel tmp saya nginep di tepi pantai losari..siang ini stl check-in dan sbl ngurusi gaweyan..ada baiknya memperbaiki gizi dgn makan ikan baronang dan sambal mangga..

---- 
Sent using a Sony Ericsson mobile phone

Wednesday, February 13, 2008

Bersiap Nonton F1 di Singapura?


Tahun 2005 lalu, saya "terpaksa" nonton F1 di Sepang - Malaysia. Saya katakan "terpaksa" karena memang pada dasarnya saya kurang tertarik dengan balap jet darat ini. Tapi saya tidak bisa menolak tawaran gratis dari rekan kerja. Bodoh banget kalau saya menolak undangan jalan-jalan gratis ke Malaysia.

Jadilah saya piknik ke Malaysia tanpa dibekali wawasan tentang F1. Saya sudah berusaha membeli majalah F1 supaya "menguasai medan". Tapi nyatanya, dalam satu rombongan F1 Mania tersebut, barangkali saya adalah satu-satunya yang nggak ngerti seluk beluk balapan ini. Ah, jangankan pertandingannya, nama-nama para pembalapnya saja saya tak hapal. Hanya beberapa nama yang memang sangat populer saja yang saya ketahui.

Tapi saya berusaha menikmati perjalanan dan mengamati dari sisi lain. Saya berusaha tidak mengeluh ketika harus berjalan kaki dalam panas terik yang menyengat, dari lapangan parkir ke Sirkuit Sepang untuk menonton kualifikasi sehari sebelum hari tanding. Jarak antara parkiran dan pintu masuk arena lumayan jauh lho.

Saat di arena, saya memilih menonton pameran dan mengamati pernak-pernik merchandise yang tak terbeli. Muahaaallnnyaaa....! Saya juga terhibur dengan ikut games atau mengisi kuesioner kecil dan mendapat hadiah merchandise topi. Selebihnya saya banyak mengamati orang yang lalu-lalang dari berbagai negara dengan aneka atribut untuk memperlihatkan dukungan mereka.

Tapi saya tak berminat mengulang hal ini untuk kedua kalinya. Sehingga, pada hari tanding keesokan harinya, saya memilih "melarikan" diri dari rombongan dan jalan-jalan sendiri menikmati kota Kualalumpur. "Ntar aku nyusul naik kereta, udah ngerti jalurnya kok," kilah saya. Meskipun pada akhirnya saya tidak nyusul beneran. Malah menontonnya di televisi dari kamar hotel ketika rehat sejenak dari mengukur jalan. Hehe....!

Hari ini, ketika saya sedang browsing, tanpa sengaja menemukan jadwal musim f1 2008. Ternyata, putaran seri ke-15 tanggal 28 September 2008 nanti akan berlangsung di Singapura! Arenanya akan digelar pada malam hari dengan penerangan lampu buatan dan menggunakan jalan raya sebagai sirkuit. Mirip dengan balap F1 di Monaco. F1 Singapore ini bakal menjadi the first street race di Asia. Wow..!

Dan begitu melihat peta sirkuitnya, saya jadi tergoda pengin menonton...heheheee...


Monday, February 11, 2008

Sensasi di Atas Angkot

Naik angkot di pedalaman adalah kenikmatan tersendiri bagiku. Inilah saat dimana aku bisa menikmati aroma tubuh penduduk lokal yang bercampur dengan aneka hasil bumi dan hewan peliharaan...hihihiii..

Angkot juga dapat menguji kesabaran kita karena si sopir baru mau menyalakan mesin kendaraan ketika semua kursi sudah terisi. Di Wamena, Papua, angkot yang menggunakan mobil jenis Kijang, jumlah penumpang minimal 12 orang (tidak termasuk sopir dan kernet). Bisa lebih dari itu, apalagi kalo si Ibu juga membawa anaknya. Angkot jenis L300 umumnya diisi 21 orang. Sementara barang bawaan diletakkan di atas kendaraan dengan jumlah tak terbatas.

Butuh waktu 2 jam untuk mengisi angkot ini penuh penumpang. Setidaknya, pengalaman 3 kali naek angkot dari terminal dekat pasar Jibama (pasar baru) di Wamena, ketiganya memaksa saya bersabar sekitar 2 jam hingga penumpang memenuhi masing-masing kursi.

Ongkos angkot di Wamena relatif mahal karena harga bensin dan solar di sana gila-gilaan, Rp 20.000/liter!!! Mahalnya harga BBM ini juga membuat si sopir sering berulah, memanfaatkan kesempatan. Mereka sering minta tambahan lebih hanya untuk mengantar penumpang ke depan rumahnya yang berjarak tak sampai 200 meter dari terminal pemberhentian. Apalagi jika si penumpang punya barang bawaan banyak. "Tambah 5000 ya, bensin mahal nih...!"

Sopir-sopir di Wamena umumnya pendatang dari Jawa dan Sulawesi. sementara yang jadi kernet biasanya bocah usia 12-an tahun, anak-anak Papua. Angkot yang saya naiki ini disopiri laki-laki dari Jawa Timur. bukan angkot milik pribadi, tapi milik sang juragan yang merupakan salah satu pejabat di kabupaten. hhmm...pantas lah. Sejak tadi saya amat2i angkot ini tak berplat nomor..., tapi operasi jalan teruss...!!!

Friday, February 8, 2008

Luh Sari, bukan nama Bali?


Karena Luh Sari adalah singkatan dari nama lengkap saya, Suluh Pratitasari. Ide ini berasal dari Bapak. Saya masih ingat betul bagaimana Bapak mengusulkan nama samaran itu pada tahun 1986. Waktu itu saya masih SMP dan bersiap berangkat ke Jambore Nasional di Cibubur. Karena di Jamnas nanti bakal ketemu penggalang Pramuka dari seluruh Tanah Air, termasuk Pramuka dari Bali, Bapak lantas menyarankan kalau saya berkenalan dengan rekan-rekan penggalang dari Bali untuk menggunakan nama Luh Sari, supaya dikira orang Bali. “Ah, emoh,” jawab saya spontan karena saya biasa memperkenalkan diri dengan nama Pratita, meskipun sewaku SMP sebagian besar teman sekolah memanggil dengan nama Luh.

Luh, memang bukan sebutan asing buat saya. Almarhum Eyang Kakung (bapaknya Bapak), memanggil saya dengan Luh atau Suluh. Bapak sendiri memanggil Mama, ibu saya, dengan Luh, yang berarti ibunya Suluh. Tradisi ini warisan dari Eyang Kakung, yang biasa memanggil Eyang Putri, istrinya, dengan menggunakan nama anak pertama.Tradisi ini kemudian diikuti oleh putra-putranya Eyang, termasuk Bapak, putra keempatnya. Pakdhe-pakdhe saya juga punya kebiasaan memanggil istrinya dengan nama anak pertama. Tapi Om saya, adik-adiknya Bapak sudah tidak melakukannya lagi.

Tentang nama Luh yang kebali-balian itu, sepertinya memang punya makna khusus bagi orang tua saya. Semasa pacaran, Bapak dan Mama sering berkunjung ke Bali karena kebetulan Eyang (orang tuanya Mama) pernah bertugas di Bali, persisnya di Singaraja, selama 10 tahun. Kalau nggak salah antara tahun 64 – 74, saya kurang tahu persisnya.

Ketika itu Bapak masih tercatat sebagai mahasiswa UGM yang mondok alias ngekos di rumah Eyang di Jogja. Karena kepincut dengan salah satu putri ibu kostnya, yaitu ibu saya, jadilah beberapa tahun menjelang pernikahan (1969), Bapak dan Mama sering bolak-balik ke Bali. Sebenarnya nggak cuma mereka berdua, tapi juga mahasiswa pemondok lainnya. Maklumlah, jaman dulu hubungan antara pemondok dengan induk semangnya masih seperti keluarga sendiri, jadi mereka juga sesekali diajak Eyang ke Bali.

Di Bali, Bapak dan Mama mempunyai sahabat yang sering mereka panggil dengan Mbak Luh. Sejak kecil saya sudah sering mendengar kedua orang tua saya menyebut-nyebut nama Mbak Luh, tanpa tahu nama lengkapnya. Bahkan sewaktu saya dan Mama liburan ke Bali (waktu itu saya masih kelas 1 SMA), Mama juga mampir ke rumah Mbak Luh yang kini tinggal di Denpasar.

Nah, jika kemudian Bapak punya ide membuatkan “username” Luh Sari untuk anaknya, saya jadi mahfum. Pengalaman romantis semasa pacaran di Bali, ingin diabadikan pada saya, yang setelah dewasa ternyata juga kepincut sama Bali (baca: Ubud). Saya sendiri, diam-diam, juga suka menggunakan Luh Sari sebagai usernama untuk login di internet. Hehe...

Wednesday, February 6, 2008

meneropong merapi dari keteb

Sebagai salah satu gunung berapi teraktif di dunia, Merapi memiliki pesona tersendiri. Warga di sekitar Merapi menjuluki gunung ini sebagai Si Putri Malu karena puncaknya sering diselimuti awan putih. Ketika gumpalan awan putih ini bergerak menjauh, terkuaklah keindahan puncaknya.

Keindahan merapi secara utuh dapat dinikmati dari Keteb Pass, yaitu volcano centre yang terletak di Desa Keteb, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Kawasan Keteb Pass ini berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut dengan luas sekitar 8.000 m2. Dari Kota Magelang, lokasi ini berjarak kurang lebih 30 km. Dari kota Salatiga berjarak sekitar 32 km yang ditempuh dengan menyusuri daerah wisata Kopeng dan Kaponan.

Kemegahan Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing yang berdiri di antara hamparan pepohonan hijau dan pemukiman penduduk di kakinya dapat dinikmati dari gardu pandang yang terdapat di Keteb Pass. Jika cuaca cerah, puncak Merapi yang berselimut awan menjadi suguhan yang sangat menarik. Keindahan Merapi ini juga dapat dinikmati dari restoran yang terdapat di lantai atas bangunan Keteb Pass. Memanjakan mata dengan hamparan hijau sembari menikmati segelas air es yang menyejukkan.

Kawasan ini makin dipadati pengunjung sejak Merapi berstatus awas dan mulai memuntahkan isi perutnya. Menjelang sore hingga malam hari banyak pengunjung yang sengaja datang ke Keteb Pass untuk menyaksikan puncak Merapi yang kemerahan karena menyemburkan awan panas.

Selain keindahan alam yang dapat dinikmati di gardu pandang, kita juga dapat menikmati pemutaran film tentang aktivitas Gunung Merapi, mulai dari letusan hingga evakuasi penduduk di sekitarnya. Tayangan berdurasi kurang lebih 20 menit ini mampu menyedot perhatian dan emosi pemirsa. Bayangkan, semburan awan panas dari kubah Merapi yang populer dengan istilah wedhus gembel yang ditayangkan di layar lebar itu seolah nyata di depan mata.

Fasilitas yang tak kalah menarik dapat dinikmati di Vulcano Centre yang berisi berbagai foto maupun peta dalam format besar. Di sini kita diajak secara langsung mengoperasikan peralatan pemantauan dan pendeteksi gejala dan kegiatan vulkanik. Keteb Pass tak hanya menjadi obyek wisata alam yang menarik, tetapi juga sebagai tempat belajar tentang kekgunungapian termasuk bagaimana mengendalikan diri saat Si Putri Malu menggeliat dan memuntahkan lahar.

amanjiwo resort, central java


tampak-depan
Originally uploaded by suluhpratita

ah, mana mampu saya menginap di amanjiwo. bahkan mencicipi minumannya saja sudah cukup menguras kantong saya...

tapi, beberapa waktu lalu kami sengaja singgah ke sana...melintasi bukit menoreh dan menikmati borobudur sembari menyeruput segelas teh di resto amanjiwo...kebetulan langit cerah dan berwarna biru indah...

lalu, waitress menawari kami untuk jalan-jalan dan melihat kamar...melongok presiden suite room seharga US$ 2.600 per malam...dengan kolam renang di tengah sawah-nya...oohh..mana tahan..!! dan kamar termurah tanpa kolam renang bertarif US$ 650...hhhmmmmm...sayang bagian dalam kamar nggak boleh difoto...yang jelas..jangan berharap nonton tv di kamar ya..karena memang tidak disediakan...

panah orang lani, wamena - papua


naksir-panahnya
Originally uploaded by suluhpratita

saya naksir panahnya. "boleh dibeli nggak, pak?" tanya saya. tapi dia bilang tidak, karena dia hanya punya satu panah itu dan warisan dari orang tuanya. sekarang, katanya, sulit membuat panah sepanjang ini lagi. yaa..apa boleh buat..:D

Tuesday, February 5, 2008

balinese women in kebaya


look, how beautiful they are. wearing kebaya is look more feminine and elegant.

bukan jajan pasar


bocah mana yang tidak tergoda melihat snack berbungkus plastik aneka warna yang menggoda mata ini? bahkan saya pun tergoda untuk membelinya. saya paling suka oreo. makanan ini serasa gula-gula karena manis dan tentu saja bisa untuk mengganjal perut yang lapar. selain oreo, saya suka beng-beng. fungsinya sama, untuk mereduksi lapar selagi jalan-jalan.

(difoto setahun lalu, di sebuah warung kecil depan lapangan bola jl monkey forest, ubud - bali)

Monday, February 4, 2008

benetton



Sewaktu remaja, sekitar tahun 1987, saya begitu tersihir oleh iklan produk fashion Benetton yang memajang models dari aneka ras. Warna kulit mereka yang kontras dan berdampingan, terasa begitu harmonis di mata saya. Membuat saya takjub sembari membayangkan betapa indahnya dunia yang multietnik dan multikultur ini. (Gara-gara sihir iklan ini, saya bermimpi bisa membeli salah satu produk Benetton yang ketika itu rasanya tak terjangkau oleh uang saku saya. Produk Benetton baru berhasil saya beli sekitar 3 atau 4 tahun kemudian. Sampe sekarang, saya masih ngefans dengan Benettong. Hehe...)

Bagi saya, yang menarik dari Benetton adalah iklannya. Dan dengan sadar saya mengakui bahwa saya termasuk korban iklan Benetton. Sialan...! Kampanye iklan rancangan Oliviero Toscani ini memang mengusung isu kesetaraan ras. Kampanye ini banyak mendapat pujian, tetapi juga menimbulkan kontroversi. Misalnya dalam iklan “Breastfeeding” (1989). Iklan ini telah mendapatkan sejumlah penghargaan di Eropa, namun dikecam keras oleh warga Amerika. Barangkali orang Amerika merasa tidak rela jika si bayi yang berkulit putih menyusu pada seorang ibu berkulit hitam yang secara historis merupakan warga kelas embek di Amerika.

Begitu juga iklan yang berjudul “Tongue” (1991) yang menampilkan 3 bocah dengan warna kulit yang berbeda (negro, bule, dan asia) menjulurkan lidah. Pesan yang ingin disampaikan Toscani melalui kampanye ini adalah meskipun bocah-bocah itu memiliki warna kulit yang berbeda, tetapi warna lidah mereka tetap sama. Iklan ini memenangkan awards di Inggris dan Jerman, namun lagi-lagi mendapat kecaman. Kali ini oleh warga Arab karena dianggap berkonotasi pada pornografi.



Friday, February 1, 2008

sabine the jungle child: raganya bule, jiwanya papua


Saat menyinggahi Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, bulan Juni 2007 lalu, saya dibuat terkesan pada rumah-rumah kayu berhalaman luas di lereng pegunungan Cyclops. Hingga saya rela bolak-balik pakai angkot mengitari kawasan ini. Apalagi pemandangan di sana sangat indah, puncak pegunungan Cyclops yang berkabut di atasnya, serta hamparan Danau Sentani di bawah yang membentang. Tetapi yang paling menyedot perhatian tetaplah rumah kayu yang dihuni para misionaris yang berhalaman luas dan hijau oleh rerumputan tempat para kanak-kanak bule berlarian riang. (Link ini mungkin bisa membantu memberi gambaran seperti apa rumah para misionaris di lereng Cyclops itu). Betapa nyamannya jika saya bisa tinggal di sana, batin saya ngiri.

"Mereka itu nggak cuma bisa bahasa Indonesia, tetapi juga fasih berbahasa Papua pedalaman," ujar sopir angkot -yang ternyata berasal dari Banyuwangi Jawa Timur- pada saya, penumpang yang duduk di bangku depan. Pak sopir bisa menebak wajah Jawa saya, sehingga ia pun yakin bahwa saya baru kali ini menginjak Sentani.More...

"Nah, yang di atas sana itu HIS," katanya lagi sambil menunjuk bangunan di atas bukit. Hhm yah, saya hanya mengangguk karena sehari sebelumnya kolega saya di Jayapura sempat mengajak menyinggahi Hillcrest International School ini saat akan mengantar saya ke Tugu Mac Arthur, tempat mendaratnya Mac Arthur pada Perang Dunia II, di Gunung Ifar, juga lereng Cyclops.

Di sekolah itulah anak-anak bule yang orang tuanya bertugas sebagai misionaris di Papua, menuntut ilmu. Dan salah seorang bekas muridnya, Sabine Kuegler, (situs Sabine dalam Bahasa Jerman ada di link ini) menuliskan memoarnya sebagai anak seorang antropolog dan linguis asal Hamburg - yang tinggal bersama Suku Fayu di pedalaman Papua. Memoar itu berjudul Jungle Child (2005) ditulis dalam bahasa Jerman dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (2007). Terbitan dalam edisi Bahasa Indonesia saya beli awal November 2007.

Dan persepsi saya tentang kehidupan nyaman para misionaris yang tinggal di rumah kayu berhalaman luas di lereng Cyclops, luruh sudah setelah membaca Jungle Child. Rumah yang ditinggali Sabine hanyalah rumah kayu di pinggiran sungai di pedalaman Papua yang setiap malam selalu didatangi aneka binatang, bukan di lereng Cyclops yang asri dan nyaman itu.

Sabine masih berusia 7 tahun ketika ia beserta Judith (kakaknya) dan Christian (adiknya) harus tinggal di antara Suku Fayu, tempat kedua orang tuanya mempelajari bahasa dan budaya masyarakat setempat. Klaus & Doris Kuegler, orang tua Sabine, adalah seorang misionaris yang dikirim ke daerah-daerah tertinggal. Sebelum dikirim ke Papua, mereka telah tinggal beberapa tahun di Nepal. Di sana pula Sabine dilahirkan hingga usia sekitar 3 tahun.

Selama 10 tahun tinggal di antara orang Fayu, Sabine pun tumbuh menjadi layaknya anak-anak Papua yang menyatu dengan alam. Berburu dengan busur dan anak panah, memakan segala macam binatang yang bisa dimakan: babi, ikan, daging buaya, sayap kelelawar, hingga cacing panggang. Dan beradaptasi dengan budaya setempat. Nilai-nilai yang tertanam dalam diri Sabine adalah nilai-nilai budaya Fayu, bukan budaya Eropa meski ia warga negara Jerman.

Gegar budaya pun menjadi penderitaan batin yang hebat bagi Sabine, ketika orang tuanya mengirim Sabine ke Swiss, melanjutkan sekolah dan tinggal di asrama Montreux, Zurich.

"Awal Oktober 1989. Usiaku tujuh belas tahun. Pakaian yang kukenakan adalah pemberian orang, celana kedodoran berwarna gelap, baju hangat bergaris, dan sepatu berleher tinggi yang menjepit kaki. Aku hampir tidak pernah mengenakan sepatu sebelumnya, jadi rasa sakit ini asing bagiku...." (hal. 13) demikian Sabine mengawali memoarnya saat menginjak stasiun kereta api Hamburg yang asing baginya. "Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhadap-hadapan dengan kereta api sungguhan....Apa yang harus kulakukan, dorong atau tarik?..." tulisnya.

Hari pertamanya menginjak Eropa diwarnai dengan ketakutan pada dunia Barat yang membuatnya ngeri, yang begitu berbeda dengan kehidupan di hutan. Semua kisah mengerikan tentang bahaya di dunia modern yang pernah didengarnya, tiba-tiba dirasakannya begitu nyata. "Bagaimana aku harus melindungi diri? Aku tak membawa busur dan anak panah, atau bahkan sebilah pisau." (hal 17).

Begitulah, Sabine yang sejak kecil tumbuh bersama alam di lebatnya hutan Papua, harus beradaptasi lagi sebagai orang Eropa, tanah para leluhurnya. Bukan sesuatu yang mudah bagi Sabine, karena ia merasa hutanlah kampung halamannya dan tempat di mana jiwanya merasa nyaman. Ia bahkan pernah berusaha bunuh diri, melukai tubuhnya berulang-ulang dengan silet (hal. 362) demi mengalihkan kepedihan emosinya. Sabine merasa seakan hidup di dua dunia. Dan ia selalu ingin kembali ke hutan, ke Papua.

Dengan menuliskan kisahnya dalam Jungle Child, Sabine berusaha mengobati kerinduannya pada "kampung halaman"-nya, Papua.

-----

Dengerin wawancara BBC Londong dengan Sabine Kugler yuks...

BBC interviewed Sabine in Sept 2005

BBC interviewed Sabine in Dec 2005