Friday, August 27, 2010

EUROTRIP paket komplit


Persis setahun setelah buku travelogue TALES from the ROAD (Juni, 2009) terbit, saya berhasil menyelesaikan naskah EUROTRIP Safe & Fun. Anggaplah sebagai anniversary atas buku pertama dengan menerbitkan buku traveling ke-2.

EUROTRIP mulai saya tulis sepulang dari perjalanan dua minggu ke Eropa (4 - 19 Mei 2010). Sambil menikmati jetlag yang membuat saya justru melek di malam hari (karena biasa di Eropa masih siang atau 6 jam lebih lambat), saya ngebut menyelesaikan tulisan. Selain karena penerbit memberi deadline (yang longgar) sekitar sebulan, saya sendiri saat itu juga lagi semangat menulis.

Semangat menulis buku ke-2 itu muncul sepertinya bukan karena ingatan saya akan perjalanan ke Eropa masih fresh. Sebab saya sebenarnya lebih suka mengendapkan beberapa saat (bisa berbulan) dan kemudian menuliskannya dengan lebih reflektif.

Jadi karena apa dong, saya bisa begitu cepat menyelesaikan buku setebal 228 halaman ini? Sebabnya karena selain menulis, penerbit juga memberi keleluasaan pada saya untuk mendesai cover dan melay-out isi buku. Hooorreee..., bikin buku paket komplit!

Kesempatan emas ini tak saya sia-siakan. Timkreatif di kantor segera dikerahkan. Putri saya serahin mendesain covernya dan Dewi berurusan dengan melay-out isi buku. Sambil menulis, saya juga mensupervisi desain mereka. Milih-milih foto, font, warna, dll. Kerja visual ini kadang membuat saya absen mengetik karena saking bersemangatnya. Alhasil, desain cover malah sudah jadi duluan sebelum tulisan saya kelar. Hahaha...!

Ada beberapa alternatif rancangan cover yang saya kirimkan ke penerbit untuk dipilih salah satu. Saat itu saya agak maksa karena udah kepengin mem-publish desain cover ke FB. Maksudnya buat promosi gitu, meskipun bukunya belum selesai ditulis. Hehehe...! Untung penerbit berbaik hati dan setelah beberapa kali revisi akhirnya terpilihlah final design untuk cover EUROTRIP. Teteuupp...ngandalain sepatu Teva saya dong..!

Sejak Juli 2010, cover EUROTRIP sudah resmi dipublikasi. Lewat FB jelas dong, juga sempat dicetak dan dibagi-bagi saat bikin event Travel Writing & Sharing Info backpacking Eropah di Momento Cafe.

Yang agak makan waktu adalah proses proof-reading dan lay out isi buku. Setelah semua naskah saya setor ke penerbit, dua minggu kemudian saya baru menerima proof - reading pertama naskah tersebut. Editan tersebut saya baca ulang, sambil menambahkan beberapa yang menjadi catatan editor. Selesai saya baca, naskah saya setor pada Dewi yang akan melay-out dengan program Adope InDesign. Sekitar seminggu kami menyelesaikan proses lay out ini. Hasil lay out tersebut kemudian di print dan dibaca ulang oleh editor dan tim proof-reader untuk mengecek apakah masih ada keslahan cetak atau pemenggalan kata.

Proof-reading tahap kedua itu kemudian dikembali ke saya lagi untuk dibenahin lay-outnya sesuai coretan2 yang ada dalam print out. Nggak banyak yang direvisi kok, palingan cuma kesalahan pemenggalan kata dan pencantuman halaman. Pada tahap ini, sebagai penulis saya sudah tidak boleh lagi menambahkan atau mengurangi naskah. Makanya, ketika menerima materi proof-reading kedua, saya nggak mau lagi membacanya. Takut tiba-tiba muncul ide untuk menambahkan sesuatu. Bisa bikin proses makin lama lagi entar.

Materi proof-reading kedua saya serahin ke Dewi untuk dibenahin, sambil saya ikutan mendampingi.

Karena proses ini cukup makan waktu, baru pada minggu pertama Agustus, naskah EUROTRIP yang siap cetak itu saya serahkan kepada penerbit. Target terbit Agustus itu jadi bergeser dikarenakan ada libur lebaran. Buku EUROTRIP baru dijadwalkan nongol di toko-toko buku pada akhir September 2010.

(Sstt..bocoran dari Penerbit. Buku EUROTRIP udah kelar cetak tanggal 3 Sept 2010. Malah udah nongol di katalog bukunya Mizan Publishing segala. Yuuhhuuiii...!!!)


----

preview EUROTRIP silakan intip di sini ya...
kalo pengin dapet buku EUROTRIP gratisan..ikuti kompetisi ini...

Tuesday, August 24, 2010

baby on board


pengalaman terbang pertama buat baby bindi, ternyata berlangsung sukses (jogja - denpasar). nah, saat pulangnya (denpasar - jogja) juga demikian. nggak nangis sama sekali, nggak ngrepotin, malah cengengesan terus loh...

padahal saat itu bindi menempuh perjalanan yang lumayan jauh..kami berangkat dari ubud sekitar jam 15.00 wita..entah kenapa jalanan di ubud macet banget, kami baru nyampe sukawati menjelang jam 16.00. sempet berhenti sebentar karena bindi pub (bagus nak..daripada pub di pesawat kan?)

menjelang jam 17.00 kami baru tiba di ngurah rai. setelah serah terima mobil sewaan dengan pegawai rental, kami baru masuk ke dalam buat check in sekitar pukul 17.30. pesawat boarding pukul 18.50 jadi masih bisa istirahat beberapa saat di lounge. oh ya, sekalian nyuapin bindi.

perjalanan jauh dari ubud sampe ngurah rai..ternyata gak membuat bindi protes tuh. di pesawat tetap ceria. hhmm..berarti bindi udah siap diajak terbang dengan jarak tempuh yang lebih lama dong...*siap2 hunting tiket promo AA nih* hehehe...

Sunday, August 22, 2010

mandi bebek...


inflatable bath up ini jadi barang yang wajib dibawa kalo baby bindi traveling. selain praktis dan ringkas, suasana mandi juga tetep menyenangkan buat bindi.

repotnya, kalo nginep di hotel, terkadang kami nggak tahu kira-kira kamar mandi di kamar hotel nanti seperti apa dan segeda apa. seperti waktu kami menginap di tune hotels legian. kamar mandinya imut, tanpa bath up alias hanya shower belaka. ditambah sedikit ruang untuk closet dan washtafel..

sempet bikin repot menempatkan si bebek kuning ini. setelah dijejalkan, akhirnya muat juga dimasukkin ke ruang shower (dgn pintu kaca), meski posisinya harus diagonal. hehe..

kalo foto2 di bawah ini sih diambil di kamar mandi jati homestay di ubud. asyik banget, kamar mandinya lluuaaasss, bersiiihh, dan bath up-nya juga guedee..

nina bobok tepi sawah


apa yang dicari para turis di bali? sawah dan suasanya yang masih terasa bali banget...

begitu nemu jati homestay rasanya udah males ke mana-mana. habis gimana? persis di depan kamar kami, membentang sawah yang ijo royo-royo...juga ada gemericik air sungai yang bagaikan alunan musik instrumental alami...trus, di seberang sungai kecil yang tertutup semak-semak itu, terlihat kolam renang milik komaneka resort . kalo sore..banyak bule2 berenang...dan saya cukup ngintip dari teras ajah..hahaaha...

nah, kalo malam hari...aneka binatang swah seakan berlomba paduan suara. kodok, jengkerik, saling bersahut-sahutan menyanyikan lagu kedamaian alam..

ditambah remang cahaya dari lampu-lampu yang ditata cantik di kolam renang komaneka..menghabiskan malam di teras jati homestay ini udah serasa nginep di hotel berbintang deh...! nggak cuma bintang lima..tapi bertabur banyak bintang. karena begitu kita mendongakkan kepala, melihat langit di atas..berkerlip bintang indah sekali. kebetulan pula, malam itu sedang bulan sabit. lengkap sudah keindahan ubud yang kami reguk.

Saturday, August 21, 2010

bocah penggali sumur pantai


kebetulan hotel tempat kami menginap hanya sekitar 5 menit jalan kaki dari pantai legian (berbatasan dengan seminyak). pagi-pagi stl bangun tidur, kami ajakin bindi jalan-jalan ke pantai yang masih lengang, hanya ada beberapa bule yang jogging...

iseng-iseng kami turunin bindi ke pasir yang basah. lha dalah, bocahe langsung sibuk serasa nemu mainan baru. haduh...padahal kami gak berencana berbasah-basah pagi itu. jadi gak persiapan bawa handuk segala macem. yo wis, sak karepmu nduk..nikmati saja legian yang segar di pagi hari...(parangtritis kotor je..mending di sini ajah...hahaaha)


begini aksi bocah penggali sumur pantai


motret bindi pake ponsel cybershot

Thursday, August 19, 2010

bali bikini session


kalo bukan karena pengin ngajakin baby bindi main air laut...males banget ke kuta. pertama, sebenarnya saya kurang tertarik dengan pantai. kedua, buat saya pribadi bali adalah ubud, jadi kuta nyaris nggak pernah masuk itungan. walopun udah berpuluh kali ke bali, kayaknya saya sengaja ke kuta baru 2 atau 3 kali, waktu masih smp dan sekitar th 97.

tapi demi baby bindi..sore itu kami sengaja ke kuta. ternyata bindi nggak takut sama pasir dan air laut. begitu diturunin dari gendongan, dia udah sibuk sendiri meremas-remas pasir pantai kuta. begitu ada ombak datang, pertamanya dia cemberut karena kedinginan. habis itu, ombak-ombak berikutnya bindi sante aja tuh menyambutnya. sampe kemudian tiba-tiba ada ombak gede yang menerjangnya, bindi pun tersungkur jatuh keterpa ombak. saya langsung menyambarnya..hiks, ternyata saya juga sempet terjatuh. jadilah basah kuyup..2 ponsel yg ada di tas pinggang pun terendam air laut..huks..huks..sampe hari ini masih mlempem gak bisa nyala...! hhooaaaa.....belikan aku iPhone..!!!!!! wakakaka...

(more pics just click here)

Wednesday, August 18, 2010

TALES yg penuh kerendahan hati

review buku TALES from the ROAD dari mbak Rinurbad...

Etnografi [berasal dari bahasa Yunani ethnos dan graphein] merupakan metode penelitian kualitatif yang diterapkan dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi. Studi ini menelaah budaya, universalitas dan keragamannya berdasarkan penelitian lapangan.

Nuansa etnografislah yang membedakan karya Matatita dengan buku-buku bergenre serupa di peta perbukuan kita. Penulis menggunakan nama pena tersebut dengan pemikiran bahwa kisah-kisah yang diuraikan dalam buku [dan blognya] adalah hasil rekam mata seorang penjelajah dan mata kamera yang tidak pernah alpa ditentengnya.

Kemenarikan sudut pandang ini ditambah oleh ciri setiap perjalanan Matatita sendiri yang tidak semata-mata berlibur, melainkan terkait kepentingan pekerjaan [business trip]. Dalam salah satu tulisannya, ia mengemukakan bahwa waktu luang bagi masyarakat Indonesia bukanlah sesuatu yang mewah sehingga berlibur perlu menjadi rutinitas seperti di luar negeri. Sebabnya, orang kantoran di negeri kita masih bisa mencuri waktu dan berleha-leha pada jam kerja. Dengan demikian, cuti 12 hari per tahun sudah memadai, selain libur bersama yang cenderung kontraproduktif. Penulis mengantungi ‘kelegaan’ ekstra selaku pengusaha, sehingga sambil menyelam, bisa minum air. Ia acap kali sengaja memilih proyek yang mengharuskan bepergian ke daerah-daerah.

Pesona lain Tales from the Road terletak pada porsi cerita perjalanan di dalam negeri yang lebih besar. Jejak Matatita di mancanegara cukup spesifik, antara lain Nepal, Thailand, dan Edinburgh [yang ternyata dibaca Edinbra]. Bali sudah tentu menjadi salah satu titik pijak, kendati ironisnya, Yogyakarta yang begitu ternama merupakan tempat ‘asing’ di telinga warga negeri jiran sekalipun.

Kejelian penulis tampak pada pengamatannya akan pelayanan sopir Tuk-tuk yang berkomitmen mengantar turis seharian dengan biaya flat, sistem komisi dalam kerjasama penarik becak di Malioboro dengan produsen Dagadu palsu, warga lokal Indonesia yang mengusung prinsip komersil sehingga untuk sekali jepret dalam busana daerah pun dikenai bayaran, ponsel kamera lebih mencegah kerikuhan orang daripada membidik dengan kamera berlensa tele, sampai TKW perantau di Taiwan yang diperlakukan amat ‘setara’ oleh pasangan majikannya dan melupakan unggah-ungguh di tempat asal kala bertandang ke rumah sesama orang Jawa. Manfaat Tales from the Road dapat pula diraup dari tips yang disematkan pada pamungkas tiap cerita, selain foto-foto yang mengukuhkan karakteristik Matatita sebagai photo blogger dan sudah tercermin dari sampul bukunya yang eksotis.

Berhubung penulis adalah warga Yogya yang berdekatan dengan keraton pula, cukup lumrah bila ia kerap mengantar-antar atau menjadi host wisatawan luar negeri yang ingin berkeliling kota gudeg. Sebagaimana umumnya backpacker, penulis bergabung dengan komunitas hobiis jalan-jalan baik domestik maupun internasional. Dikemukakannya bahwa menolak menjadi host tidak masalah sebab sesama anggota terbiasa saling mengerti dan masing-masing mempunyai ketentuan spesifik akan tamu yang diperkenankan menginap demi kenyamanan bersama. Pun saat dikunjungi, ternyata tamu dari seberang lautan itu berpindah-pindah tempat menginap sehingga kerepotan yang dikhawatirkan tidak perlu terjadi. Penulis sendiri memiliki kebiasaan beradaptasi di tempat baru [yang didatanginya] dengan menginap di hotel atau hostel, tidak langsung ‘nyangkut’ di rumah kenalan yang bersedia memberikan tumpangan.

Keseluruhan buku ini nikmat dibaca, utamanya, karena kerendahan hati penulis.

Tuesday, August 3, 2010

taste the real italiano pizza


Satu lagi keuntungan menginap di jaringan silaturahmi sesama backpacker, selain mendapatkan tumpangan yang nyaman, saya punya kesempatan untuk menikmati citarasa kuliner asli Italia, the real Italiano pizza.


Sejak saya datang, Laura (host saya di Verona City, Italy) sudah wanti-wanti agar saya menyisakan waktu untuk makan bareng. Waktu yang kami sepakati adalah malam hari, selepas dia pulang kantor, sebelum kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kami janjian ketemu di Arena pukul 19.00 lalu bersama-sama menuju Ristorante Pizzeria Redentore, restoran pizza yang menempati bekas bangunan kuno, di pinggir sungai Adige tak jauh dari Roman Theater.


Siang itu, ketika naik ke bukit San Pietro, saya sempat melihat bangunan restoran itu dari atas. Sebuah bangunan kuno yang bagian halamannya diisi meja kursi berpayung. Tempat yang nggak mungkin saya singgahi jika jalan sendiri karena harganya pasti tak terjangkau. Siapa sangka, Laura malah mengajak saya makan pizza di restoran itu.


Ketika membuka buku menu yang disodorkan waitress, saya tersentak. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena semua menu pizza ditulis dalam bahasa Italia. Mencoba minta buku menu in English ke waitress, tapi setelah menunggu cukup lama nggak diantar juga. Akhirnya, Laura dan Micola –temannya yang ikut menemani- membantu saya menerjemahkan beberapa menu yang saya tunjuk. Ternyata, mereka pun kesulitan mencari beberapa padan katanya dalam bahasa Inggris, terutama untuk ingredient tertentu.


Akhirnya, saya pun menyerahkan pilihan pada Laura dan Micola. “So, what kind of topping do you want? Meet, bacon, or fish?” Saya segera memilih fish sambil membayangkan ikan salmon. Sialnya, nggak tersedia topping ikan. Yang tersedia hanyalah topping kerang dan udang laut. Ya wis gak apa, saya juga suka kerang dan udang kok.


Ketika pesanan sudah datang, mata saya terbelalak lebar. “Wooowwww…!” Saya sama sekali nggak ngebayangin bahwa kulit kerangnya tidak dikupas dan diletakkan di atas sepiring pizza ukuran jumbo. Akankah saya sanggup menghabiskan pizza dengan topping seafood ini? “This isn’t Indonesian portion. But I’ll try…,” kata saya sambil melahap “seafood pizza” itu dengan semangat. Mumpung dibayarin, hehe….!



-temukan kisah tentang Italia lainnya di buku saya "EUROTRIP: safe & fun"-

backpacker adalah...


Saya sering kesulitan jika disuruh mendefinisikan arti kata backpacker/backpacking. Beberapa tahun belakangan ini, kata serapan dari bahasa asing itu makin sering kita dengar seiring dengan makin banyaknya jumlah komunitas dan penulis backpacker Indonesia.

Di Indonesia, dalam hemat saya, backpacker sering diasosiasikan dengan pecinta alam atau pendaki gunung. Mungkin karena mereka nggendong ransel. (Lagian gak mungkin naik gunung sambil narik koper trolley..heheheh). Padahal, backpacker punya arti yang lebih luas dari sekedar naik gunung.

Menurut saya backpacker itu merupakan salah satu style atau pilihan cara melakukan perjalanan. Style ini dimungkinkan jika kita melakukan perjalanan secara independent, bukan dikelola oleh travel agent. Mulai dari ngurus tiket, mencari tempat menginap, hingga itinerary semua dilakukan sendiri oleh si pejalan. Oh ya, para pejalan yang mengelola sendiri perjalanannya biasanya sangat mencermati budget. Semakin ngirit biaya yang dikeluarkan, semakin menyenangkan perjalanan yang bakal dilakukan. Perjalanan ngirit (on shoestring) dengan berbagai keterbatasan akan memberikan pengalaman dan petualangan yang sangat mengesan. Itu sebabnya kenapa para backpacker punya semboyan “it’s not the destination, but the journey”.

Para pejalan yang menggunakan style ini biasanya memiliki simbol-simbol tertentu yang melekat pada dirinya, yang paling menonjol adalah ransel di gendongan. Ransel memang memungkinkan si pejalan menjadi lebih mobile, mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di Eropa, banyak kok independent traveler yang menggunakan trolley, karena lokasinya memang memungkinkan untuk diakses dengan koper trolley.

Soal destinasi, seperti yang saya sebutkan di atas bahwa backpacker tidak harus naik gunung. Destinasi backpacking bisa ke mana aja, sesuai interest. Ada yg suka naik gunung dan trekking, ada yg suka heritage, ada yang suka going tribe (indigenous people), bahkan yang suka arsitektur backpackingnya malah jalan-jalan di kota-kota.

Buat saya pribadi, backpacking/flashpacking/traveling atau apapun namanya, adalah perjalanan tetirah atau "laku". Dalam terminologi Jawa, tetirah biasa dipahami sebagai upaya seseorang untuk mengambil jeda, keluar dari rutinitas harian, menepi sesaat untuk menemukan sesuatu yang dapat memperkaya jiwa bathinnya.

--sekedar kutipan wawancara tertulis dengan majalah infobackpacker--

Monday, August 2, 2010

heboh h-14


long weekend agustusan nanti, kami berencana ngajakin baby bindi traveling ke bali. target utamanya sih ngenalin alat transportasi yang bernama pesawat. bindi mau belajar terbang...hehehe...! target kedua, mulai mengenalkan bindi pada nature & culture yang berbeda alias ngajakin backpacking.

ternyata, ngajakin bocah umur 9 bulan buat backpacking, persiapannya bikin heboh. sejak awal agustus, dua minggu sebelum keberangkatan, kami udah memastikan bahwa tiket pesawat dan hotel sudah confirmed. lalu saya menghubungi rental mobil langganan karena kami pengin ngajakin bindi ke ubud. lebih irit nyewa mobil yang disopirin sendiri daripada naik taksi atau nyewa mobil lus sopir.

karena nyopirin sendiri dan bakal menempuh perjalanan ratusan kilometer, kayaknya bindi bakal nyaman kalo duduk di car seat-nya.selain bocahnya nyaman, emak dan bapaknya juga bisa gantian nyopir kalo kecapean. sialnya, sampe hari ini saya belum nemu rental baby car seat di bali (ada yang bisa kasih info kah?).

sebenarnya ada rental baby equipment di bali yaitu bali baby..tapi tarifnya AUS$. sempet juga reservasi ke sana untuk nyewa car seat 2 hari aja (per hari AUS$ 10), tapi mendapat informasi via email bawah minimal peminjaman adalah 5 hari yang berarti saya tetep harus bayar AUS$ 50 atau seminggu sekalian AUS$ 56. lha kalo sedolar ostrali itu sekitaran 8ribu rupiah, berarti saya musti bayar sekitar Rp 400.000,- dong! hiks..mendingan bawa car seat dari rumah!

sambil masih mencari-cari car seat rental di bali, saya dan edo mulai ngelis travel gear-nya baby bindi: ransel gendongan, stroller, feeding set (botol susu dan alat makan), inflatable bath up (bisa ditiup..dan berarti musti bawa pompanya hiks..), dll..dll...

"jadi kira-kira bagasi kita nanti berapa kilo ya?" tanya edo. saya tertawa, menertawakan diri sendiri yang terbiasa "backpacking lite". kali ini must forget the size and weight deh kayaknya..