Saturday, February 28, 2009

sendiri lebih seru

Saya adalah anak tunggal yang sejak kecil dikader untuk menjadi perempuan mandiri oleh orang tua saya. Menyadari bahwa saya nggak punya kakak yang bisa direngeki dan dimintai tolong, saya dibesarkan dengan didikan untuk belajar survive dengan usaha sendiri. Salah satu caranya, adalah melatih saya “berpisah” dengan keluarga pada saat liburan sekolah. Sejak kelas 2 SD, setiap liburan sekolah tiba, saya pasti sudah diungsikan ke rumah Pakde, Bude, Oom, Tante atau kerabat lain yang bisa dititipi. Ya ke Bandung, Jakarta, Surabaya, atau ke Semarang dan kota lainnya. Orang tua baru menjemput saya menjelang liburan berakhir.

Saat dititipkan itu, biasanya Bapak juga memberi saya uang saku. Kalau liburnya cuma seminggu, uang sakunya lebih sedikit ketimbang pada saat libur sebulan pada akhir tahun ajaran. Uang itu harus saya manfaatkan sebaik-baiknya, buat jajan maupun buat beli sesuatu yang bermanfaat. Maksudnya, saya nggak boleh ngrepotin kerabat yang dititipin. Apalagi merengek-rengek minta dibelikan sesuatu saat lagi diajak jalan-jalan.

Karena punya uang saku sendiri ditambah punya nyali cukup untuk jalan, kalau lagi liburan di rumah kerabat saya juga suka curi-curi kesempatan buat keluar sendiri, naik angkot. Supaya bisa menikmati kemerdekaan jalan sendiri itu, kadang-kadang saya harus berbohong supaya nggak menimbulkan kekawatiran yang berbuntut pada larangan. Biasanya saya akan pamit mau beli es krim atau apalah ke toko anu di sebrang jalan. Karena tokonya nggak terlalu jauh dan bisa jalan kaki, ijin pun dikeluarkan. Horee..saya bisa nyetop angkot yang lewat depan toko itu lalu jalan-jalan sendiri.

Saya sering nggak puas mengunjungi suatu tempat secara barengan. Karenanya, begitu tahu jalan, besoknya pasti saya mencari peluang untuk mengunjunginya sendiri. Dan ini dia prestasi saya. Di Bandung, umur 9 tahun saya sudah berani naik angkot dari Buah Batu ke Alun-alun. Di Semarang, dari rumah Bude di Kaligawe naik angkot ke Pasar Johar. Di Surabaya, beredar sendiri ke Pasar Turi. Di Jakarta, naik bemo dari Rawasari ke Pasar Paseban. (Setelah gede, sampai setua ini, kalau lagi mengunjungi daerah tertentu, saya kan paling suka naik angkot dan pergi ke pasar! Rupanya memang karena dibentuk pengalaman masa kecil ini).

Kemandirian yang dibentuk orang tua lewat liburan sendiri itu mulai saya rasakan manfaatnya setelah beranjak dewasa. Saya nggak takut pergi ke mana-mana sendiri, termasuk ke daerah yang belum pernah saya kunjungi sekalipun. Orang tua juga merasa tenang jika saya pamiti akan pergi ke suatu daerah, karena mereka sudah mempersiapkan semua itu sejak saya masih bocah. Toh selama ini saya selalu kembali dalam keadaan utuh kan? Kalaupun ada hal-hal yang sedikit mengkawatirkannya, biasanya halangan seperti bencana alam, kerusuhan di wilayah Indonesia Timur, atau kecelakaan pesawat yang sering terjadi di negeri kita.

Kendala yang umum ditakuti perempuan yang bepergian sendirian adalah godaan usil dari para lelaki dan tindak kejahatan di jalan. Saya bersyukur termasuk perempuan yang ditakdirkan tidak memiliki daya tarik fisikal, sehingga lenggangan kaki saya tidak pernah menarik perhatian siapapun, apalagi oleh laki-laki iseng. Dan karena saya biasa pergi sendiri, aura yang terpancar dan tertangkap oleh orang lain adalah perempuan PD, nggak linglung meskipun sebenarnya lagi bingung mencari sesuatu. Dan karena kelihatan PD, penjahat pun males berbuat jahat pada saya.

Saya juga bersyukur punya suami yang nggak reseh meskipun istrinya sering pergi-pergi. Banyak loh perempuan yang semasa lajang gemar travelling dan setelah menikah terpenjara dengan rutinitas rumah tangga. Dan nggak sedikit perempuan yang menunda-nunda keinginan menikah hanya takut nggak bisa leluasa travelling lagi karena harus ngurusin anak dan suami. Yang sering terjadi adalah mencari pasangan yang sama-sama gemar menjelajah, sehingga bisa memahami hasrat petualangan pasangan, dan bisa travelling berdua dengan seru.

Saya enggak gitu tuh. Saya dan bojo adalah dua makhluk yang berbeda. Dia adalah makhluk fungsional yang nggak tergoda dengan hal-hal lain di luar yang tengah dipikirkannya. Sementara saya termasuk orang yang menemukan banyak ide justru ketika berada di tempat lain. “Tapi kamu kan orang Jawa, kok bisa suamimu mengijinkan pergi sendiri?” tanya seorang bule, penghuni kamar sebelah di sebuah losmen di Papua, dengan nada heran. Bule itu pernah 3 tahun tinggal di Jogja sebagai pengajar bahasa Inggris dan merasa cukup mengenali kebudayaan Jawa yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking.

Lagi-lagi saya bersyukur karena punya suami yang mengerti bahwa “going somewhere” adalah bagian dari kehidupan saya. Saya masih ingat saat kami jadian dulu, sekitar akhir ’91 atau awal ’92. Sehari setelah kami jadian, besok paginya saya berangkat ke Pacitan (Jawa Timur) selama 2 minggu, tinggal di sebuah desa di pinggir pantai yang tandus. Jaman itu kan belum ada ponsel dan kantor pos pun jauh banget dari lokasi penelitian yang tengah saya kerjakan. Akhirnya cuma bisa ngempet kangen karena belum sempet in-reyen. Hehe…

Meskipun saya sering meninggalkan suami karena urusan pekerjaan atau business trip, tapi kami juga sering travelling berdua kok. Kalau lagi merencanakan liburan, saya dan Bojo punya job-desk yang berbeda. Biasanya, saya yang menentukan kapan dan di mana kami akan berlibur. Maklum, jadwal kerja saya lebih kacau ketimbang jadwal kantorannya dia. Jadi dia memilih menyusuaikan waktunya dengan hari cuti saya. Saya sendiri biasanya memilih waktu cuti tahunan selepas Maret, setelah urusan laporan tahunan perusahaan kelar dibikin.

Selain menentukan waktu dan daerah tujuan, urusan booking tiket pesawat dan hotel juga menjadi tugas saya. Untuk perjalanan domestic, booking tiket dan hotel sih bisa by phone dan nggak menguras energi. Tapi kalau mau travelling abroad, dibutuhkan kejelian dan kesabaran dalam urusan booking-bookingan ini. Jeli dalam hal mencari flight fare termurah, sabar dan tekun googling dan browising internet tiap hari untuk membaca review traveller lain, dan siap-siap berteriak kesel ketika fun fare rate yang keduluan diambil orang pada saat proses booking.

Setelah urusan online booking ini beres, barulah Bojo saya serahi tugas membaca travel guide book atau referensi lain tentang daerah yang akan kami kunjungi. Termasuk mencari tahu di sana sedang musim apa, berapa suhu derajat udaranya, colokan listriknya kaki dua seperti di Indonesia atau kaki tiga gepeng, oh ya juga mencari info cultural event atau berbagai festival yang mungkin berlangsung pada saat kami di sana.

Tiba di daerah tujuan, nggak selalu kami jalan berdua beriringan kayak pasangan bulan madu loh. Seringnya malah jalan sendiri-sendiri. Saya dan Bojo pernah kayak orang main petak umpet, cari-carian, di Bayon Temple, kompleks Angkor Wat. Di Bali, saat nonton upacara Ngaben yang dipadati ribuan orang, kami jalan sendiri-sendiri sejak pukul 6 pagi dan baru ketemu lagi setelah pembakaran jam 8 malam. Sambil makan malam di warung, dia memperlihatkan foto-foto saya yang di-candid-nya. “Nih, tadi aku liat kamu.

Wednesday, February 25, 2009

banyak jalan untuk jalan-jalan



Kenapa sih punya hobi traveling sering dianggap hobinya orang kaya? Atau cuma buang-buang uang alias pemborosan? Saya sering mendapat tuduhan seperti itu. Tentu saja buru-buru saya tepis, “Lho, aku tuh travelling karena cari uang, je. Bukan buang uang!”

Di negera berkembang seperti Indonesia, di mana waktu adalah kerja untuk mencari uang, dan kerja itu sering diasosiasikan dengan aktifitas fisik yang memeras keringat, kegiatan dolan-dolan dianggap sebagai kegiatan rekreatif yang nggak produktif. Hanya sebagian dari masyarakat kelas menengah ke atas yang bisa menikmati waktu luang dengan kegiatan rekreatif. Masyarakat kebanyakan yang sudah bekerja sehari lebih dari 12 jam tanpa henti tapi hasilnya nggak cukup untuk makan, seakan nggak memiliki ruang untuk menikmati waktu luang apalagi plesiran.

Kalau dirunut dari sejarah tentang waktu luang yang pernah saya baca, perkembangan industri pariwisata dan tradisi travelling ini terkait dengan berkembangnya revolusi industri pada akhir abad ke-18. Revolusi industri yang ditandai dengan beralihnya penggunaan tenaga hewan dan manusia menjadi tenaga mesin memberi peluang besar pada terciptanya pola pembagian kerja manusia berdasarkan skill. Orang nggak lagi bekerja karena kekuatan fisiknya, tetapi karena keahlian yang dimilikinya.

Mekanisme kerjanya diatur dengan jam kerja, sehingga dikenallah istilah work and play, yaitu saat dimana orang harus bekerja kantoran dan saat di mana mereka bisa off alias beristirahat. Orang Barat yang terjerat dengan jam kerja memang butuh ruang untuk melepaskan kepenatannya dan memulihkan energi. Saat-saat menjelang off ini seringkali dirayakan dengan keriangan, seperti yang tersirat dalam slogan “Thank God it’s Friday” (TGF). Kita sering menyebutnya dengan Jumat Gaul. Jumat malam menjadi hari dugem sedunia buat orang kantoran.

Aturan kerja kantoran juga mewajibkan pemberian cuti kerja pada karyawan. Karena jam kerja orang Barat yang gila-gilaan, nggak ada libur bersama di Harpitnas (hari kejepit nasional) mereka bisa mendapat cuti hingga 30 hari per tahun. Cuti sebulan penuh itu biasanya digunakan untuk menjelajahi negara-negara lain. Dan lahirlah tradisi traveling dan backpacking.

Masyarakat agraris di Indonesia tentu saja nggak peduli dengan TGF apalagi backpacking. Everyday is work day. Pagi-pagi berangkat ke sawah, istirahat sebentar di gubuk mereka, lalu kembali ke rumah menjelang matahari terbenam. Begitu setiap hari. Kalaupun ada saatnya menikmati plesiran, adalah ziarah (pilgrimage) ke makam-makam sesepuh yang dianggap memiliki wibawa dan bisa memberikan berkah. Seperti ke makan para wali, makan raja-raja Mataram, makam tokoh-tokoh yang lekat dengan mitos masa lalu. Atau menghadiri hajatan keluarga jauh di luar kota.

Meskipun saat ini wilayah perkotaan di Indonesia sudah semakin luas dan banyak orang yang kerja di kantoran, tapi etos kerjanya masih belum optimal. Di sela-sela jam kerja orang masih bisa leyeh-leyeh santai, para pegawai negri sudah bisa mampir ke mall jam 2 siang, karyawan swasta keliatannya serius di depan komputer tapi ternyata lagi seru YM-an atau Facebook-an. Sudah begitu banyak libur bersama yang menurut saya malah kontraproduktif, membuat kita dituduh sebagai bangsa yang pemalas.

Dengan kata lain, bagi masyarakat Indonesia waktu luang bukan sesuatu yang mahal dan membutuhkan perjuangan untuk memperolehnya. Jadi kalau banyak waktu luang yang bisa dinikmati untuk menghibur diri, kenapa harus travelling jauh-jauh yang menguras tabungan? Itulah sebabnya kenapa orang Indonesia masih menganggap travelling sebagai hobinya orang berduit.

Saya sendiri juga termasuk orang yang masih eman-eman mengalokasikan uang semata-mata untuk travelling. Karena itu kalau pengin liburan, saya memilih waktu di saat orang lain nggak berlibur, yaitu bukan pada libur lebaran, libur seokalah, atau libur akhir tahun. Pada hari-hari peak-seasson, saat di mana semua orang berlibur, harga tiket pasti sangat mahal. Hotel pun juga fully-booked. Liburan jadi nggak nyaman karena banyak orang yang mengunjungi obyek wisata tertentu.

Makanya saya pilih cuti kerja supaya bisa berlibur dengan leluasa. Tiket juga murah karena banyak airline yang memberikan diskon supaya kursi penumpang penuh. Hotel juga begitu, ngobral kamar. Dengan pinter-pinter memilih waktu buat travelling, saya bisa memangkas uang jalan-jalan lebih banyak. Tau nggak, saya pernah dapat tiket Jakarta – Kuala Lumpur cuma Rp 180.000 berdua!

Selain travelling di luar waktu peak-season, saya juga sering travelling bukan dalam rangka semata-mata travelling, tapi dalam rangka kerja. Istilah kerennya business trip. Kebetulan pekerjaan saya memungkinkan untuk mengunjungi daerah-daerah lain di kota lain. Tapi pekerjaan itu tidak saya peroleh dengan kebetulan loh. Saya harus melewati pitching dan tender agar bisa mendapatkan proyek itu. Setelah tender dan kontrak ditandatangani, saya juga harus berjuang mempertahankan agar proyek itu bisa saya dapat di tahun berikutnya dengan memperlihatkan hasil kerja yang optimal. Nggak jarang kontrak tidak diperpanjang bukan karena kerjaan saya yang nggak bagus, tapi karena pengurangan budget perusahaan klien saya. Yang lebih celaka karena ganti managemen dan sang manager sudah punya vendor kesayangan yang menyogoknya dengan segala entertain!

Hobi travelling membuat saya berusaha mencari proyek-proyek lain yang memungkinkan saya bisa beredar, nggak kerja di kantoran terus. Nggak harus proyek yang jauh-jauh kok, proyek kota-kota di Jawa pun juga seru untuk dinikmati sambil jalan. Buat saya perjalanan dinas ke luar kota –bahkan ke pedalaman- bukan merupakan beban, meskipun kadang-kadang melelahkan secara fisik. Tetapi sebaliknya justru menjadi kegairahan tersendiri, yang pikiran saya jadi lebih segar. Kalau kita bisa kerja dengan penuh gairah, hasilnya pun pasti memuaskan.

Nah, kalau saya nggak banyak pergi-pergi berarti saya malah lagi nggak punya duit karena nggak ada proyek yang dikerjain. Jadi, travelling itu nggak selalu buang uang kan? Saya malah dapat duit sambil jalan-jalan. Pulang dari jalan-jalan pun saya bisa nulis untuk jadi duit lagi. Nah, ayo jalan!


TIP nyari kerjaan yang banyak jalan-jalannya
• Jadi wartawan, itu pasti.
• Jadi Humas atau Public Relation Officer yang akan mewakili perusahaan untuk berinteraksi dengan media, public, maupun relasi lain. Kalau relasinya di luar kota atau luar negeri kan seru banget tuh.
• Kerja di NGO atau jadi peneliti. Cocok buat yang suka menjelajah ke pedalaman.
• Jadi pengusaha, seperti saya. Dengan menjadi entrepreneur kita bisa menentukan sendiri proyek-proyek atau unit bisnis yang akan kita terjuni. Karena saya suka travelling, saya lebih suka mencari klien di luar kota Jogja, biar punya alasan jalan. Tapi saya nggak berminat buka bisnis travel-agent, karena saya nggak suka wisata rombongan. Saya lebih suka independent traveller. Jadi membuka bisnis travel agent itu bertentangan dengan semangat backpacking dalam diri saya. Hehe…!

Tuesday, February 24, 2009

nonton prajurit kraton jogja dan prajurit istana buckingham


Saya beruntung tinggal di lingkungan jeron beteng, di kawasan yang masih berada di dalam benteng kraton Yogyakarta. Kebetulan lagi, rumah kami hanya sekitar 50 meter meter dari Regol Kemagangan, bagian tengah Kraton. Persis di seberang rumah kami ada nDalem Prabeyo, tempat yang bersejarah dalam peristiwa Janur Kuning di mana Sultan HB IX mengadakan pertemuan empat mata dengan Letkol Soeharto. Di belakang nDalem Prabeyo itu terdapat regol atau pintu gerbang yang menghubungkan dengan Kraton Kilen, kediaman Sultan HB X.

Jalan di depan rumah kami, Jl. Magangan Kulon, adalah jalan buntu yang tidak dilalui lalulintas umum selain penghuni di kawasan ini. Atau sesekali orang yang nyasar. Jalan itu menghubungkan Regol Kemagangan yang merupakan pintu keluar bagi Sultan dan istri-istrinya yang mangkat atau meninggal dunia. Ketika HB IX meninggal, jenasahnya dilewatkan Regol Kemagangan dengan kereta kencana menuju Imogiri, kompleks makam Raja-raja Mataram yang jaraknya sekitar 20 km dari Yogyakarta.

Pada hari-hari tertentu, seperti saat prosesi Garebeg, jalan depan rumah juga menjadi jalan yang dilewati barisan prajurit kraton yang beriringan menujua Regol Kemagangan. Ada 10 kesatuan prajurit kraton dengan kostum dan senjata aneka rupa, yaitu Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro, Prajurit Surokarso dan Prajurit Bugis. Diiringi terompet dan genderang yang khas, sebelum upacara Garebeg dimulai, kesatuan prajurit kraton ini akan keluar dari markasnya di Pracimosona Alun-alun Utara kemudian berjalan ke Selatan melewati pasar Ngasem, lalu ke Timur menuju Regol Kemagangan, kemudian masuk ke kraton dan keluar lagi membawa gunungan menuju Masjid Gedhe di sebelah Barat Alun-alun Utara.

Iring-iringan prajurit kraton ini merupakan tontonan yang nggak pernah bosan kami tonton sejak kesatuan prajurit ini dihidupkan kembali pada tahun 1970. Artinya sejak saya lahir telinga saya sudah terbiasa dengan musik khas dan derap kaki para prajurit yang lewat depan rumah setidaknya 3 kali setahun (Garebeg Maulud, Besar, dan Syawal).Ternyata meski sudah lebih dari seratus kali mendengar, saya dan orang-orang kampung di sekitar masih saja menyerbu jalan untuk menonton barisan prajurit itu. Padahal dari tahun ke tahun nggak ada perubahan dari kesatuan itu, kecuali usia mereka yang kian tua dengan kulit muka yang makin keriput. Dan justru menambah dramatis, menyiratkan pengabdian yang tulus pada junjungannya. Mungkin itulah yang selalu membuat saya nggak bosan menontonnya. Apalagi mengabadikannya dengan kamera.

Lain halnya dengan prajurit –prajuritnya Ratu Elizabeth. Mereka masih muda dan ganteng. Tapi cueknya setengah mati, nggak pernah sekalipun tersenyum. Biar sudah dijahilin seperti apapun, tetep aja diam seribu bahasa. Kecuekan para prajurit ini merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Banyak yang pengin foto bareng, termasuk saya.



Saya sengaja menyisihkan waktu untuk bisa motret prajurit cuek ini dari dekat. Kebetulan pula setiap hari diadakan prosesi pergantian prajurit berkuda di Whitehall Palace sebrangnya St. James Park (11.00) dan pergantian prajurit jaga di Buckingham Palace (11.30). Biarpun acara ini berlangsung setiap hari, tapi ternyata yang nonton berlimpah ruah. Mulai dari anak-anak sekolah yang dikawal guru, sampai turis-turis asing dari berbagai Negara, termasuk beberapa wajah Indonesia sempat saya lihat di sana.

Prosesi pergantian Horse Guard sih nggak terlalu padat pengunjung. Mungkin karena waktu prosesinya hampir berbarengan dengan yang di Istana Buckingham, banyak turis yang memprioritaskan nonton langsung di Buckingham. Kalau saya sih nggak mau rugi. Mumpung lagi di London, sebisa mungkin dua-duanya dapet dong.

Akibatnya saya harus berkejaran dengan waktu. Sehabis motretin prajurit berkuda yang kudanya jauh lebih tinggi dari tinggi badan saya itu, saya segera berlari melintasi St. James Park yang luuuaaasss banget untuk menuju Buckingham Palace. Kalau nggak lari, bisa ketinggalan momen, karena prosesi pergantian itu hanya berlangsung sekitar 30 menit. Lumayan ngos-ngosan juga sih. Sementara itu nyanyian genderang dan terompet yang dimainkan prajurit jaga di Buckingham Palace sayup-sayup terdengar menyusup lewat sela-sela pepohonan taman. Saya makin mempercepat langkah kaki. Takut udah bubaran.

Begitu berhasil keluar dari taman, saya langsung dihadang kerumunan orang yang berdiri di trotoar untuk menyaksikan prosesi pergantian prajurit. Ya ampuun, banyak banget. Padahal istana Buckingham masih di sebrang sana, tapi kerumunan itu memadati sepanjang trotoar. Kerumunan makin memadat di depan pagar besi istana sang ratu. Tubuh gendut saya juga kesulitan mendesak di antara kerumunan itu. Duh, masak udah nyampe sini nggak dapet gambarnya sihhh...!

Aha, mata saya menemukan sela-sela teralis yang bisa dimasukin lensa kamera. Segeralah saya menyeruak kerumunan. Baru beberapa kali jepretan, tiba-tiba ada mencolek-colek bahu saya. Ketika saya menoleh ke belakang, ups rupanya di belakang saya makin berjubal orang . Si bule yang berdiri persis di belakang saya, minta gentian pengin motret. Terpaksalah saya beringsut keluar dari kerumunan, memberi kesempatan pada turis lain untuk memotret dari sela-sela jeruji pagar besi.



Saya jadi ingat Garebeg Maulud di Jogja. Untuk memotret prajurit kraton yang mengusung gunungan, kita juga harus menyeruak ribuan orang yang berjubel di Alun-alun Utara.

balap, bola, dan beasiswa

Tahun 2005 lalu, saya "terpaksa" nonton F1 di Sepang - Malaysia. Saya katakan "terpaksa" karena memang pada dasarnya saya kurang tertarik dengan balap jet darat ini. Tapi saya nggak bisa menolak tawaran gratis dari partner bisnis saya. Bodoh banget kalau saya menolak undangan jalan-jalan gratis ke Malaysia.

Jadilah saya piknik ke Malaysia tanpa dibekali wawasan tentang F1. Saya sudah berusaha membeli majalah F1 supaya "menguasai medan". Tapi nyatanya, dalam satu rombongan F1 Mania tersebut, barangkali saya adalah satu-satunya yang nggak ngerti seluk beluk balapan ini. Ah, jangankan pertandingannya, nama-nama para pembalapnya saja saya nggak sanggup menghapal. Hanya beberapa nama yang memang sangat populer saja yang saya ketahui.

Meski begitu saya berusaha menikmati perjalanan dan mengamati dari sisi lain. Saya berusaha tidak mengeluh ketika harus berjalan kaki dalam panas terik yang menyengat, dari lapangan parkir menuju Sirkuit Sepang untuk menonton kualifikasi sehari sebelum hari tanding. Jarak antara parkiran dan pintu masuk arena lumayan jauh lho, sepertinya lebih dari 1 km. Mana nggak ada pepohonan buat berteduh.

Saat yang lain nonton kualifikasi, saya memilih menonton pameran dan mengamati pernak-pernik merchandise yang nggak terbeli. Muahaaallnnyaaa....! Saya juga merasa sedikit terhibur dengan ikut games atau mengisi kuesioner kecil dan mendapat hadiah merchandise topi. Selebihnya saya banyak mengamati orang yang lalu-lalang dari berbagai negara dengan aneka atribut supporter untuk memperlihatkan dukungan mereka. Malah, saya melihat bule berkursi roda yang sangat heboh mendukung jagoannya. Niat banget yak!

Buat saya, apa yang saya lihat dan rasakan selama nonton kualifikasi di sirkuit Sepang ini sudah cukup. Karena kalau diterusin akan menyiksa, karena saya nggak ngerti dan ngefans F1. Karena itu saya nggak berminat mengulang penderitaan batin saat berada di sirkuit itu untuk kedua kalinya. Esok paginya, pada hari tanding, di mana semua peserta harus berangkat pagi-pagi sebelum jam 6 dan sarapan dalam kardus, saya masih terlelap dalam tidur. Sejak kemarin saya sudah meninggalkan pesan untuk tidak dibangunkan. "Ntar saya nyusul naik kereta, udah ngerti jalurnya kok," kilah saya.

Pagi itu, sambil menyantap sarapan sendirian, saya justru menikmati kemerdekaan saya. Nggak ada yang ngoyak-oyak untuk segera masuk ke bus dan nggak ada obrolan jaka sembung tentang F1. Hari ini di saat semua peserta rombongan tengah berdesak-desakan masuk ke arena, saya tengah menyusun itinerary menysuri kota Kuala Lumpur sendiri saja. Jauh lebih menyenangkan daripada berpanas-panas di atas bukit gundul karena tiket yang kami kantongi adalah untuk kelas Hillstand.

Kali lain saya mendapat kesempatan travelling nonton bareng yang lagi-lagi nggak saya sukai: nonton bola di Manchester. “Sumpah, saya nggak ngerti bola. Tapi berhubung saya suka travelling, ya ayo aja!” kata saya pada relasi yang menawari saya untuk menggantikan posisi suaminya yang nggak bisa menemani perjalanan dinasnya.

Relasi saya itu ditunjuk perusahaannya untuk mendampingi 3 pemenang kuis Nonton Bareng pertandingan Manchester United dan Manchester City langsung di Old Trafford, Manchester Inggris. “Tapi jangan paksa saya nonton bola ya. Saya mau jalan-jalan sendiri,” pesan saya padanya. “Tapi masak kamu nggak pengin foto di depan Old Trafford yang sudah jadi ikon Manchester itu?” Tanyanya yang langsung saya jawab dengan gelengan kepala kuat-kuat.

Teman-teman saya yang penggila bola, apalagi yang ngefans berat sama ManU, langsung mencak-mencak sirik. Apalagi saat itu adalah pertandingan Manchester Derby, yaitu istilah yang digunakan untuk pertandingan antara Manchester United dan Manchester City. Pertandingan Derby ini biasanya seru banget. Orang-orang Manchester sendiri banyak yang bela-belain untuk menontonnya. Kalaupun nggak nonton langsung, mereka akan memadati café. Saya sempat melihat aksi gempita mereka mengerubuti sebuah café di City Centre.

Tapi saya nggak ingin membuang-buang waktu dengan sesuatu yang nggak saya pahami dan nggak membanggakan buat saya. Jadilah seharian itu, sambil nungguin relasi saya yang lagi dinas nonton tanding antara ManU dan ManCi, saya ketemuan sama teman-teman Indonesia yang sedang kuliah di Manchester dan kota-kota lain di sekitarnya. Ada Mas Yanuar yang kandidat doctor dan peneliti di Manchester Univ, Ima yang lagi kuliah di Leeds Univ, dan Abby yang menemani suaminya kuliah di Leicester Univ.

Mereka adalah kawan-kawan saya yang hebat dan tentu saja cerdas karena mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Inggris. Bikin saya ngiri dalam artian positif. Saya termasuk orang yang selalu bermimpi suatu ketika bisa mendapatkan beasiswa untuk studi di luar negeri. Negeri yang saya angankan untuk belajar adala Belanda, negeri yang cocok untuk belajar Antropologi, bidang yang saya minati sejak kecil.

Hasrat mencari beasiswa ke luar negeri sebenarnya lebih dikarenakan untuk memenuhi hasrat jalan-jalan ke luar negeri secara gratis. Indahnya!

Seorang teman yang pintar membaca garis tangan secara iseng pernah saya tanyai, “kira-kira aku bisa dapat beasiswa ke Belanda nggak ya?”. Lalu ia mencermati garis tangan saya dengan serius dan katanya, “Wah, ora je. Peluangmu kuliah ke luar negeri tipis,” jawabnya membuat saya mencak-mencak. “Ramalan nggak mutu, nggak berpihak pada klien!” Teriak saya. “Tapi kalau cuma jalan-jalan ke luar negeri, tanpa sekolah, peluangmu malah terus ada,” katanya menghibur. Dan saya terhibur juga karenanya. “Nah, kalo Hima ini malah ada kemungkinan dapat beasiswa,” ujarnya optimis setelah membaca telapak tangan Hima, adik kelas saya. Hima langsung bersorak. Siapa sangka, ramalan konyol-konyolan tahun 2001 itu ternyata ada benarnya. Hima akhirnya mendapat beasiswa kuliah master di Leiden University, Netherland. Dan saya, walapaun masih ngempet dapet beasiswa, tapi hasrat jalan-jalannya tetap kesampaian.

Eh, tiba-tiba saya merindukan kawan lama yang dulu kuliah di Fak. Filsafat itu. Pengin diramal lagi. Pengin nanya peluang beasiswa short course di luar negeri. Masak nggak juga berpeluang sih?

Monday, February 23, 2009

Serunya Nyetir di Bali

Buat saya, nyopir di Bali itu selalu menakjubkan. Bayangkan, sepanjang jalan disuguhi pemandangan indah, perpaduan antara nature and culture yang membuat mata tak terasa lelah. Belum lagi jalanan yang bebas gronjalan. Hampir semua jalanan di Bali beraspal halus, termasuk yang masuk ke perkampungan. Selain itu juga nggak macet, kecuali di kawasan Kuta. Jadi jarak ratusan kilometer pun ayo aja. Bukan sebuah beban untuk melewatinya.

Menyewa mobil di Bali juga murah dan nggak ribet. Jika di Jogja kita harus meninggalkan Kartu Keluarga C1, KTP, dan sepeda motor berikut STNK-nya sebagai jaminan, di Bali kita bisa menyewa mobil 24 jam tanpa sopir hanya dengan meninggalkan KTP atau menggesek kartu kredit yang di-open sebagai jaminan. Malah, kalau sudah langganan, nggak ninggalin apa-apa pun urusan sewa-menyewa ini tetap lancar.

Saya punya rental langganan yang sudah saya kenal sejak tahun 2001. Saya memutuskan menjadi pelanggan setianya karena semua mobil yang disewakan sudah diasuransikan. Sehingga kalau terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, sudah ada pihak asuransi yang akan membayar klaim. Selain itu jika ada kerusakan mobil di jalan, kita juga bisa minta ganti sewaktu-waktu karena perusahaan itu memiliki mobil yang cukup banyak.

Beberapa hari sebelum terbang ke Bali, biasanya saya sudah mengontak rental langganan untuk memesan mobil. Tentu saja mobil yang paling murah. Katana Rp 100.000 per 24 jam, Karimun Rp 125.000, kalau mau yang fleksibel dengan budget Rp 150.000 bisa milih macem-macem: Avanza, Xenia, Kijang kapsul, atau mobil lain jenis family van. Sehari sebelum keberangkatan, saya akan menginfokan nomor penerbangan dan jadwal mendarat di Bali. Setiba di Bali, di pintu keluar terminal kedatangan sudah ada petugas yang membawa secarik kertas bertuliskan nama saya. Kayak tamu agung aja!

Setelah itu kami akan berjalan ke parkiran, sama-sama mengecek kondisi mobil sebelum beralih tangan. Pihak rental juga akan menyerahkan selembar kertas yang kita tandatangani berisi data tentang mobil yang kita sewa, termasuk beberapa bagian mobil yang mungkin sudah tergores atau penyok. Data ini musti diperhatikan supaya nggak terjadi komplain pada saat kita mengembalikan mobil.

Prosedur mengembalikan mobil ini juga mudah. Segampang saat kita menyewanya. Sehari sebelum mengembalikan, pastikan untuk menelpon pihak rental menginformasikan kapan dan di mana mobil bisa diambil. Biar nggak boros taksi ke Bandara, saya biasa meminta pegawai rental mengambilnya di Bandara 2 jam sebelum keberangkatan pesawat.

Dari sekian kali bawa mobil saat ke Bali, perjalanan yang paling menegangkan adalah saat melintasi kawasan Taman Nasional Bali Barat menjelang tengah malam. Sendiri pula!

Sore itu di bulan Mei 2006 saya meluncur ke Banyuwedang, Bali Barat. Dari Gilimanuk jaraknya sekitar 30 Km arah ke Utara, melewati jalur Gilimanuk – Singaraja. Kalau dari Ngurah Rai mungkin jaraknya hampir 200 Km. Apalagi saya memilih jalur Selatan lewat Tabanan, bukan jalur Utara lewat Bedugul yang katanya lebih cepat. Selain karena nggak hapal jalan, rasanya ngeri aja lewat Bedugul malam-malam. Tahu sendiri kan, Bedugul kan berliku, naik turun gunung begitu.

Saya keluar dari Ngurah Rai dan kawasan Kuta sekitar pukul 17.00 WITA. Menurut perkiraan, Kuta – Banyuwedang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 3 jam. Itu berarti saya akan tiba di sana sekitar pukul 20.00. Nggak terlalu malam banget lah. Apalagi Bali Barat kan matahari sorenya lebih awet.

Gara-gara jalur macet di Kerobokan karena ada upacara adat, dua jam kemudian saya baru masuk Tabanan. Dan langit pun mulai gelap. Truk dan bus beriringan melaju lambat ke arah Gilimanuk, membuat laju mobil saya ikutan lambat. Nggak berani mendahului. Selain karena jalanan agak berkelok, terus terang saya agak deg-degan. Membayangkan ban kempes dadakan, radiator muncrat, atau lampu mati membuat saya nggak berani menghentikan kendaraan untuk sekedar beli makan dan numpang pipis. Perut saya mulai terasa keras karena menahan pipis.

Bekal peta Bali yang saya geletakkan di kursi sebelah juga nggak sempet kutengok. Pokoknya melaju aja mengikuti artus truk dan bus malam yang dapat dipastikan menuju ke arah penyeberangan Gilimanuk. Untuk mengenali daerah, saya mengandalkan signboard BRI, Bank Rakyat Indonesia, yang ada di tiap kecamatan. Untuk menghalau ketegangan, saya meminta Bojo sering-sering menelpon ke ponsel. Sekedar untuk memastikan bahwa saya baik-baik di jalan.

Sampai di pertigaan Cekik Gilimanuk, waktu sudah menunjuk sekitar pukul 22.00 WITA. Artinya sudah 5 jam saya melaju. Perjalanan yang harus saya tempuh masih sekitar 11,4 km ditambah 10 menit lagi. Menurut informasi Mas Bayu, dive master dan pengelalo The Bali Pearl yang besok pagi akan saya temui di Teluk Terima. Katanya, lokasi pearl farm yang dikelolanya berjarak kira-kira 11,4 km dari pertigaan Cekik. Sedangkan Mimpi Resort (hotel yang dipesan untuk saya) berjarak hanya sekitar 10 menit dari Teluk Terima. "Kalo lebih dari 10 menit, berarti udah lewat..," katanya.

Dan saya pun membelokkan mobil dari pertigaan Cekik ke arah Utara, menuju Mimpi Resort yang berlokasi di Banyuwedang. Baru beberapa meter melaju, saya sudah merinding. Jalanan begitu gelap gulita, sementara kanan dan kiri jalan hanya pepohonan. Oh my God, bukankah ini memang kawasan hutan lindung Taman Nasional Bali Barat? Yup, welcome to the jungle, Tita!!!!

Nggak ada satupun mobil yang mendahului atau berjalan di belakangku. Sepanjang jalan saya hanya berpapasan dengan truk-truk yang berjalan lambat karena keberatan muatan. Truk-truk dari arah Bali Utara itu akan menuju ke Gilimanuk dan menyeberang ke Jawa. Sebentar-sebentar saya melirik speedometer, menghitung jarak. Setelah berjarak 11 km saya mencoba menghitung waktu. Katanya, hanya berjarak 10 menit. Tapi, 10 menit itu ditempuh dengan kecepatan berapa ya? Sebagai orang yang awam dengan kawasan ini, saya hanya berani memacu mobil maksimal 60 km/jam.

Lewat dari 10 menit dan saya tak juga menemukan Mimpi Resort. Yang saya temukan hanya signboard Menjangan Resort yang berjarak kira-kira 5 km dari Teluk Terima. Setelah itu kosong, gelap, dan hanya rerimbunan daun di kanan-kiri jalan. Duh Gusti...paringana slamet....

Saya mencoba menelpon Mas Bayu. Apes, ponselnya mati. Sore tadi masih sempat telponan dan dia bilang baru akan meluncur ke Teluk Terima sekitar pukul 20.00 lewat Bedugul. Katanya, ia hanya butuh waktu sekitar 2 jam dari By Pass Simpang Siur, kantornya, menuju Teluk Terima. Mungkin karena sudah biasa dan apal jalan ya.

Lalu saya mencoba menelpon resepsionis Mimpi Resort, menanyakan lokasi. "Yaa, kira-kira dari Menjangan Resort 10 menit. Nanti di kiri jalan ada papan Gawana Novus dan Mimpi Menjangan Resort, lalu masuk kiri," kata petugas resepsionis.

10 menit lagi! Uh, kenapa sih menitan yang dijadikan acuan? Saya nggak ingin mempercayai kata-kata itu. Ini sih nggak beda jauh dengan orang di kampung, setiap ditanya jarak jawabnya begini ”dekat kok, cuman di seberang sana.” Tapi deketnya orang lokal dengan pendatang kan bisa dua tiga kali lipat!

Sempet dua kali saya memutar balik mobil, takut sudah terlewat karena jalanan sangat gelap dan semua papan nama tak berlampu. Alhamdullillah, akhirnya kutemukan juga papan Mimpi Menjangan Resort yang bentuknya sungguh ala kadarnya. Nggak seserius namanya yang berembel-embel Resort. Cuma terbuat dari papan kecil yang sama sekali nggak eye-catching.

Segera saya belokkan mobil ke jalanan yang sempit, gelap, dan berbatu. Repotnya begini nih, menginap di resor. Nggak ada resor yang lokasinya di pinggir jalan dan mudah diakses. Dalam hati saya menyesal menuruti hasrat menginap di resor dengan tarif spesial. (Berkat jasa Mas Bayu saya hanya membayar sekitar 300 ribu perak, dari publish rate US$ 95 untuk kamar termurahnya).

Setelah berjalan di atas jalan tak beraspal itu sepanajng 1 km, terdapat pertigaan kecil yang disepanjang jalan dihiasi cahaya lampu remang. Pasti ini lokasinya. Saya membelokkan mobil dengan lega dan disambut resepsionis yang memelas melihat wajah kuyu saya. Waktu sudah menunjuk pukul 22.55 WITA ketika resepsionis mengantarkan saya ke paviliun romantis yang saya tidurin sendiri tanpa mimpi.

Sunday, February 22, 2009

tragedi Mei 98, tragedi gagal jadi artis

Setiap negeri ini mengenang duka kerusuhan Mei 98, saya juga terkenang pada kegagalan saya menjadi salah satu bintang televisi. Duh, apolitis banget ya. Ketika semua orang berduka karena tewasnya sejumlah aktivis mahasiswa Trisakti (12 Mei 1998) yang merebak menjadi amuk massa yang menghanguskan kompleks pertokoan di Jakarta (13 – 15 Mei 1998), saya tengah bersiap menjadi bintang tamu dalam event memeriahkan Piala Dunia yang akan ditayangkan Indosiar!

Ketika itu saya masih menjabat sebagai GKR Humas (sahabat-sahabat saya menjulukinya seperti itu) alias public relations kaos oblong Dagadu Djokdja. Pekerjaan saya antara lain mengurusi kerjasama dengan berbagai pihak termasuk promosi. Karena Dagadu tengah merilis sejumlah disain baru bertema plesetan Piala Dunia ’98, saya mendapat undangan dari Indosiar yang kebetulan juga membuat tayangan untuk memeriahkan Piala Dunia.

Menurut skenario yang diberikan Indosiar, nanti akan ada petandingan bola “kecil-kecilan” antar klub yang ada di Jakarta. Salah satu kesebelasannya akan mengenakan kostum kaos plesetan Piala Dunia ala Dagadu Djokdja. Lalu saya akan diwawancarai Ricky Johanes tentang ide kreatif Dagadu melansir kaos plesetan tersebut. Waktu syuting disepakati tanggal 13 Mei 1998, sore hari di lapangan bola Senayan.

12 Mei 1998 saya berangkat ke Jakarta dengan kereta Dwipangga jam 22.00 WIB. Seharian itu sebenarnya saya cukup kalang kabut, karena 11 kaos untuk kostum yang harus saya bawa ke Jakarta belum selesai diproduksi. “Kalau malam ini nggak jadi, yaw is besok pagi berarti aku naik pesawat,” kata saya pada rekan di bagian produksi. Sekitar pukul 21.00 kaos edisi khusus mejeng di tivi itu akhirnya rampung juga. Saya nggak perlu menunda keberangkatan.

13 Mei, subuh, dari stasiun Gambir saya mbajaj ke Kramat Sentiong, ke sebuah rumah di gang sempit tempat saya pernah indekost di sana awal tahun 1997. Meski cuma 3 bulan menjadi anak kost di Jakarta karena waktu itu ngotot menjadi wartawan adalah karir saya, rumah di Kramat Sentiong kemudian menjadi singgahan favorit saya kalau di Jakarta. Perkampungan yang padat dan kumuh kan jarang-jarang saya temukan di Jogja. Jadi tinggal di rumah kost tersebut jauh lebih mengasyikkan ketimbang tinggal di kamar hotel.

Setelah leyeh-leyeh sambil bercengkerama dengan penghuni rumah yang sebagian besar orang Jogja, siang harinya saya meluncur ke Senayan dengan taksi. Ketika saya tiba di Senayan, sudah ada 2 kru kesebelasan yang siap berlaga. Juga kru Indosiar lengkap dengan perlatan syutingnya.

Tapi hingga jam 15.00 Ricky Jo, host acara ini tak kunjung datang. Ponselnya juga susah dihubungi. Kami menjadi gelisah. Apalagi bunyi sirine tedengar meraung-raung dan mobil-mobil tentara berseliweran melintas Senayan. Saat mengontak ke kantor Indosiar, kami mendapat kabar terjadi kerusuhan di seputar Daan Mogot. Ada aksi baker-bakaran dan jalanan tertutup karena di sejumlah perempatan jalan juga ada aksi bakar ban mobil. Dari mereka pula kami mendengar kabar bahwa akses dari bandara ke Jakarta sudah terblokir. Bnayak pesawat delay dan banyak penumpang terjebak karena nggak bisa kembali ke Jakarta. (Thank God, untung saya nggak jadi naik pesawat).

Berita lewat telepon itu membuat kami yang di lapangan kalut. Ketika hari mulau gelap, akhirnya kami diminta pulang dan menunggu kabar dari Indosiar kapan diadakan pengambilan gambarnya. “Moga-moga bisa kita lanjutkan besok sore,” kata salah satu kru yang mobilnya saya tumpangi hingga Plaza Senayan.

Maksud hati pengin menghibur diri denga masuk mall. Tapi begitu turun dari mobil dan mendapati pintu mall yang tertutup rapat dan gelap, saya jadi bingung. “Ada kerusuhan Mbak,” jelas Pak Satpam. Separah apa sih kerusuhannya sampai mall ini harus ditutup? Pak Satpam tak bisa mejelaskan. Dia hanya bisa menceritakan bahwa semua karyawan sudah dipulangkan sejak sore tadi. Pantesan sepi banget. Mana nggak ada taksi satu pun di parkiran. Terpaksalah saya berjalan kaki ke Sudirman, mencari halte untuk menunggu bus arah Thamrin. Lama menunggu, nggak ada yang lewat, membuat orang-orang yang di halte semakin gelisah. Sebagian dari mereka memutuskan untuk berjalan kaki.

Untung sebelum saya berniat ikutan jalan kaki, ada satu bus lewat. Segeralah saya meloncat dan turun di depan Sarinah, Thamrin. Dari Sarinah berganti bajaj, kembali ke Sentiong.

14 Mei 1998. Menjelang siang saya mengontak kru Indosiar, menanyakan rencana syuting sore ini. Saya berharap syuting dibatalkan sore ini. Ngeri banget sepanjang malam nonton berita TV dan mendengan siaran Radio Sonora yang tak henti-henti mewartakan kondisi kota Jakarta diselingi berita keluarga seperti pembatalan resepsi pernikahan maupun pengumuman dari sejumlah sekolah dan instansi yang diliburkan hingga pengumuman berikutnya.

Dari Jogja teman-teman menelpon mengkawatirkan keadaan saya. Mereka juga menginfokan bahwa ada salah satu teman kami yang lagi cuti dan kabarnya tinggal bersama sepupunya di dekat Jogja Dept. Store yang terbakar itu. Hadyuh! "Coba telponi ya, Ta. Dari tadi ditelpon nggak nyampbung-nyambung," pesan teman-teman. "takunya dia waktu itu lagi jalan-jalan di Jogja Dept. Store...."

Bapak dan Ibu saya tak henti-henti bergantian menelpon dan menyarankan saya untuk tidak keluar rumah, jangan pulang dulu ke Jogja sampai situasi tenang. "Bilang sama ibu kos, numpang ngekos lagi sebulan," katanya penuh kawatir. Saya ternganga. Masak iya saya nggak bakalan bisa keluar dari Jakarta untuk waktu sebegitu lamanya? Duh, seminggu di jakarta saja sudah bisa membuat saya eneg....

14 Mei sore, saya mulai kelaparan. Sejak kemarin malam belum terisi nasi, sementara persedian snack juga sudah habis. Dengan perasaan was-was saya keluar dari gang Sentiong, mencari warung di sekitar rel kereta. Lumayan, dapat makan lauk tempe goreng kesukaan saya. Habis makan, saya tergoda melongok jalan Kramat Raya. Seperti apa sih kerusuhannya? Di pertigaan dekat Hotel Acacia, banyak orang berdiri di sepanjang Jl. Kramat Raya. Padahal jalanan sepi tak ada kendaraan yang melaju. Dan..heeiii...ada beberapa orang yang membawa troli penuh barang! Pasti barang hasil jarahan di Supermarket.

14 Mei, malam hari, teman-teman di kos berdatangan dan mengeluh karena terpaksa jalan kaki dari kantor. "Aku jalan dari Kampung Melayu....." yang lain menyahut, "Masih mending. Aku jalan dari Semanggi!"

15 Mei. Nggak inget lagi apa yang saya lakukan di kos. Sepertinya cuma tiduran, nonton TV, dengerin Sonora, dan membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nanti. Kejenuhan mulai melanda. Mustinya hari ini saya sudah kembali ke Jogja. Tapi mana mungkin? Bahkan bajaj pun nggak banyak yang lewat di Sentiong.

16 Mei. Sama seperti hari kemarin. Oh ya, kabar dari Jogja katanya di Alun-alun dilangsungkan doa bersama Istiqosah.

17 Mei. Bagaimanapun, saya harus segera pulang! Saya nggak mau garing di belantara Jakarta. Bagaimanapun caranya, saya harus keluar dari kota ini. Minimal bisa sampai Bandung baru mencari kereta atau bus ke Jogja.

Habis mandi pagi saya coba melongok ke Kramat Raya. Sudah ada mikrolet lewat. Tapi ada beberapa tank yang terparkir. Wah, ngeri juga. Siangnya saya mengecek kondisi jalan lagi. Lumayan, sudah lebih ramai. Di Jl. Kramat Sentiong juga sudah ada beberapa bajaj dan bemo (dulu masih ada bemo) yang beroperasi. Berarti sore nanti saya bisa ke Gambir dong. Semoga.

18 Mei. Alhamdulillah saya tiba di Jogja dengan selamat. Dan langsung sibuk menyiapkan aksi damai rakyat Jogja mendukung reformasi 20 Mei 2008. Membikin spanduk untuk ramai-ramai jalan dari kampus mbulaksumur ke Alun-alun Lor.

Friday, February 20, 2009

tahun baru yang memalukan (2)

-lanjutan dari tulisan sebelumnya: "tahun baru yang memilukan"

Pergantian tahun 2003 - 2004 lalu saya nikmati di Bali bersama suami, sekalian 2nd wedding anniversary yang jatuh tanggal 5 Januari. Supaya masih bisa ngantor di akhir tahun, kami memilih terbang ke Bali dengan pesawat tanggl 31 Desember siang dan tiba di Ngurah Rai sebelum kemacetan malam pergantian tahun. Kami ingin menghindari kemacetan di kawasan Bali selatan supaya bisa tiba di Ubud sebelum matahari terbenam.

Pesawat mendarat on schedule di Ngurah Rai yang sore itu tampak cerah, secerah wajah kami yang selalu bergairah setiap kali mengunjungi Ubud. Ubud is my mood! Membayangkan bakal mengendari mobil sewaan dari Ngurah Rai ke Ubud lewat by pass sepanjang pantai timur Bali, membuat saya kian nggak sabar keluar dari bandara. Di depan pintu terminanl kedatangan pegawai rental mobil langganan saya pasti sudah menanti, untuk menyerahkan kunci dan STNK. Dalam sesaat mobil pun siap kami ambil alih.

Tapi antrian bagasi membuat kami harus sedikit menahan sabar. Rupanya banyak orang yang pengin menikmati akhir tahun di Bali, sehingga penumpang Garuda siang itu cukup padat. Saya menunggu di dekat pintu keluar, sembari memberi isyarat pada pegawai rental untuk menunggu karena Bojo masih mengantri bagasi. Setelah beberapa saat menunggu, Bojo nggak juga nongol, sementara satu persatu penumpang sudah mulai keluar dengan barang bawaannya. Lebih dari setengah jam kami menunggu travelbag kami yang berwarna hijau ngejreng takjuga menampakkan diri. "Kok nggak ada ya?" tanya Bojo keheranan ketika saya mendekatinya yang berdiri sendiri di dekat rel bagasi. Semua penumpang lain sudah mendapatkan bagasinya.

Haduh, masak bagasinya ketlingsut. Saya buru-buru menghampiri petugas di loket Lost & Found. "Pak, kok bagasi kami nggak ada ya?".

"Oh ya? Bisa saya lihat nomor bagasinya?" Bojo kemudian menyerahkan tiket yang sudah dilekati stiker nomor bagasi. Petugas itu terkejut. "Lho, ini stiker bagasi penerbangan ke Jakarta!"

Kami berdua ganti yang terkejut. Rupanya petugas check-in di Bandara Adisudcipto salah nempel stiker bagasi, yang seharusnya berkode DPS tapi yang tertempel di tiket saya adalah stiker CGK alias Cengkareng. Jadilah bagasi saya jalan-jalan dulu ke Jakarta. "Jadi gimana, Pak? Apakah bagasi kami bisa hari ini diterbangkan lagi ke Bali atau nunggu besok?" tanya saya sambil membayangkan harus belanja segala pakaian dalam dan perlengkapan mandi untuk sore ini dan besok pagi.

Petugas bandara itu kemudian menghubungi Cengkareng menanyakan apakah pesawat yang membawa bagasi kami sudah mendarat. Ternyata belum! "Begini saja, nanti malam hubungi kami di nomor ini," katanya seraya menuliskan nomor telpon bagian Lost & Found bandara Ngurah Rai. Menurut si Bapak, masih ada beberapa kali flight malam dari Jakarta ke Denpasar, sehingga sangat mungkin bagasi kami bisa dibawa sekalian.

Saya dan Bojo kemudian keluar dari bandara tanpa keceriaan seperti saat turun dari tangga pesawat tadi. Mana sudah begitu langit juga semakin jingga, menandakan sebentar lagi jalanan akan dipenuhi kendaraan. Karena nggak mau mengambil resiko tidak berganti pakaian dalam dan nggak gosok gigi, kami pun memutuskan belanja-belanji dulu. Pakaian dalam, handuk, alat mandi, dan sepotong kaos oblong besok pagi.

Kami juga belum berani meluncur ke Ubud sebelum mendapatkan kabar dari Bandara. Jadilah kami menjadi salah satu dari ribuan orang yang memadati jalanan di kawasan Kuta. Sesuatu yang nggak saya angankan sebelumnya. Mending kalau saya penyuka keramaian, mungkin malah beruntung. Tapi saya ke Bali kan untuk ke Ubud yang tenang dan tentrem.

Kemacetan Kuta sungguh luar biasa. Sementara itu kami nggak ingin beranjak jauh dari Kuta supaya akses balik ke Bandara lebih mudah. Apa boleh buat. Kami pun menjadi orang yang berduka di antara keriaan.

Sekitar jam 9 malam saya kembali menelpon Bandara. Horeee...bagasi itu sudah ada di loket Lost & Found. Kami segera memutar balik mobil dan meluncur dengan girang, meskipun harus menyeruak kemacetan Jl. Kartika Plaza, menuju Bandara. Dalam kondisi normal, dari Kartika Plaza ke Bandara itu cuma 5 menit. Tapi kali ini hampir satu jam mobil kami baru bisa keluar dari kemacetan malam tahun baru. Huh.

Karena sudah kelelahan, kami membatalkan niatan menghabiskan malam tahun baru di Ubud. Besok pagi barulah kami meluncur ke sana. Malam itu kami menikmati kelelahan di sebuah losmen kecil di Denpasar yang nggak terlalu berisik karena pusat kemeriahan berada di kawasan Bali Selatan: Kuta, Legian, Seminyak, Nusa Dua, dan Pantai Sanur.


Terlibat Aksi "Pencurian" Mobil

Tragedi bagasi yang melelahkan dan menghilangkan mood itu rupanya masih berlanjut dengan tragedi lain keesokan harinya setelah kami tiba di Ubud.

Malam itu kami bermaksud keluar makan malam, mencari makan yang nggak fungsional. "Ke Murni's aja ya," ajak membuka pintu mobil sewaan yang kami parkir di tepian jalan. Hari ini memang giliran saya yang nyopir karena kemarin Bojo sudah seharian dihadang macet sampai kaki kirinya pegel-pegel karena nginjak koping melulu. Murni's Warung merupakan resto di pinggir sungai Ayung, tak jauh museum Antonio Blanco. Tempatnya sangat indah, terutama di lantai paling bawah yang persis di bangun di tebing sungai. Suara gemericik air di antara rerimbunan pohon membuat makanan yang disajikan jadi terasa makin nikmat saja.

Belum jauh saya menyetir, tiba-tiba dihadang seorang Polisi yang berboncengan naik motor. Saya terkejut, tapi mencoba tetap tenang karena toh surat-surat saya lengkap. Tapi Pak Polisi itu tidak meminta saya mengeluarkan SIM dan STNK, "Maaf, dari mana Anda mendapat mobil ini?" Pertanyaannya aneh. "Dari rental lah, Pak." Dia masih bertanya, "Rental mobil mana?". Jawab saya, "rental mobil di Sanur, langganan saya."

Pak Polisi itu masih tidak percaya bahwa mobil Katana Putih yang saya pakai adalah mobil rental. "Mari ikut saya," katanya sambil meminta kunci mobil dan saya disuruhnya duduk di jok belakang. Lalu kami dibawa ke kantor Polsek Ubud dalam keadaan bingung. Jangan-jangan mobil yang kami sewa adalah mobil curian ya? Ah, tapi mana mungkin. Rental mobil langganan saya cukup bonafid karena biasa dipakai oleh kantor relasi saya yang notabene adalah perusahaan multinasional. Service yang diberikan rental itu pun sangat bagus, semua mobil berasuransi sehingga jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan, bisa melakukan klaim asuransi.

Berbagai pertanyaan itu baru terjawab setelah kami tiba di kantor Polsek dan Pak Polisi mencocokkan plat nomor Katana Putih tersebut dengan STNK yang saya kantongi. Oh my Gosh....rupanya nomornya berbeda. Sementara si Bapak yang dibonceng Polisi yang menyetop saya tadi kemudian mengeluarkan STNK dengan nomor yang sama dengan mobil yang saya pakai.

Seketika saya teringat bahwa di pinggir jalan tempat kami memarkir mobil tadi memang ada 2 mobil Katana yang diparkir berjejeran. Dua-duanya sama-sama Katana Putih. Karena bukan mobil milik saya sendiri dan baru sehari menggunakannya, saya kurang mengenali yang mana mobil sewaan saya. Saya juga tidak menghapal plat nomornya. Sehingga asal comot aja. Apalagi kuncinya kontaknya juga langsung masuk. Distater juga langsung jreng. Nah lo!

"Waduh Pak, maaf. Berarti saya salah mengambil mobil Bapak," saya meminta maaf bercampur geli. Untuk memastikan bahwa saya memang salah mengambil mobil dan mobil rentalan saya benar-benar masih ada di depan penginapan, Pak Polisi dan Bojo meluncur untuk mengambilnya. Tak berapa lama mereka datang dengan Katana Putih rentalan. Kami semua mengamati kedua mobil itu yang persih plek.

Saya kembali meminta maaf yang sedalam-dalamnya kepada si pemilik mobil tersebut juga kepada para Polisi di kantor Polsek Ubud yang sudah saya bikin repot di hari pertama tahun 2004. Saya bersalaman mohon maaf dan setelah itu si Bapak membawa pulang kembali mobilnya.

"Tetapi kami harus tetap membuat Pembatalan berita acara kehilangan dulu, Mbak," ujar salah seorang dari mereka. Saya menurut. "Maklum, di Bali jarang terjadi pencurian mobil. Jadi begitu ada kasus, beritanya sudah langsung tersebar ke semua Polsek di wilayah Propinsi Bali," jelasnya. Saya tercengang dan tersadar. Iya yah, bukankah Bali adalah tempat paling aman untuk meninggalkan kendaraan di sembarang tempat. Jangankan Ubud yang masih banyak dihuni penduduk asli Bali, di Kuta dan Legian pun kita bisa meletakkan kendaraan sembarangan sepanjang malam tanpa takut dicuri orang. Eh, sekarang saya malah penjadi oknum pencurinya.

"Dulu kamu pernah bilang, kalau sampai ada pencuri motor atau mobil di Bali, bisa ditebak dia pasti maling dari Jawa," kata Bojo mengingatkan apa yang pernah saya ucapkan beberapa tahun lalu. Dan sering saya ucapkan untuk menegaskan betapa amannya Pulau Bali karena orang Bali tidak akan mencuri. "Dan sekarang terbukti kan apa yang saya bilang?" balas saya nggak mau kalah karena malu. Pencuri mobil di Bali itu, bola-bali ya wong Jowo!

Thursday, February 19, 2009

tahun baru yang memilukan (1)

Orang Jawa merayakan tahun baru dengan keprihatinan. Menjelang malam pergantian tahun baru 1 Hijriyah atau yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan malam 1 Suro, banyak orang yang merayakannya dengan lelaku prihatin. Ada yang memilih tempat-tempat sunyi untuk bersemedi, ada yang bertapa sambil berendam dalam sungai, atau mengunjungi tempat perziarahan. Kraton Ngayogyakarta hingga kini juga masih melestarikan tradisi tapa bisu mubeng beteng, yaitu berjalan mengelilingi benteng kraton (4 km) dalam diam tanpa boleh berkata sepatah katapun -apalagi ngobrol- yang dimulai tepat pada tengah malam pergantian tahun.

Selain menjalani lelaku prihatin, sepanjang bulan Suro orang Jawa juga menghindari hal-hal yang menimbulkan keramain seperti pesta pernikahan. Sebaliknya bulan Suro dijadikan sebagai momen untuk berbagai kegiatan spiritual, misalnya mencuci benda-benda pusaka atau mengadakan upacara ruwatan untuk menghindarkan diri dari segala marabahaya. Ibu saya kadang-kadang juga masih membuat Jenang Suran yang saya sendiri nggak paham betul maksudnya selain sebagai salah satu rekreasi kuliner. Karena jenang itu akan dibagi-bagikannya ke tetangga sekitar. Ibu juga sering wanti-wanti agar saya tidak banyak bepergian di selama sasi Suro. Dan saya hanya bisa memakluminya sebagai Ibu yang Jadul, Jawa tempo dulu!



Tradisi Jawa dalam memaknai pergantian tahun yang diwarisi dari pengaruh Hindu ini juga mirip dengan tradisi orang Bali dalam menyambut tahun baru Saka yang lebih dikenal dengan sebutan Nyepi. Iya, nyepi yang benar-benar sepi dan hening. Orang Bali melakukan tapa geni, tak boleh menyalakan api dan lampu selama 24 jam. Aliran listrik akan dipadamkan PLN sejak pukul 24.00 hingga esok malam pukul 24.00. Bandar udara Ngurah Rai yang biasanya tetap sibuk selama 24 jam, harus ikut menghormati tradisi dengan cuti tahunan: tak ada pesawat yang lepas landas dan mendarat selama 24 jam.

Nyepi di Bali maupun menjalani lelaku prihatin di Jawa merupakan refleksi kultural untuk menjernihkan bathin, membersihkan jiwa, sehingga dapat mengisi tahun mendatang dengan lebih baik dari tahun sebelumnya. Target akhirnya sih nggak beda dengan bagaimana tradisi Barat menyongsong datangnya tahun baru Masehi dengan teriakan terompet dan semburan kembang api. Kemeriahan Old and New Party yang dilanjut dengan tradisi membuat resolusi tahun baru, niatnya juga sama-sama untuk mengisi tahun mendatang dengan hal-hal positif yang lebih bermanfaat untuk kehidupan hari depan.

Sebagai orang Jawa modern, saya berusaha menghargai keduanya. Kalau malam 1 Suro, saya dan tetangga berombongan ke Kraton lalu bersama dengan rombongan lain ikut nguri-uri kabudayan Jawa dengan tapa bisu mubeng beteng. Lumayan lah, untuk meluruhkan lemak-lemak. Hehe...! Begitu juga ketika malam pergantian tahun baru, kadang-kadang saya pengin menikmatinya di tempat yang indah, Ubud Bali adalah favorit saya.

Millenium Bug vs John Banting

Menikmati pergantian tahun di Bali ternyata nggak selalu indah. Yang lekat dalam ingatan saya malah beberapa kejadian konyol dari yang memilukan hingga yang memalukan.

Menjelang Milenium 2000 saya mengambil cuti seminggu untuk nyepi di Ubud. Kawasan seniman internasional ini pasti bakal seru menyambut kedatangan tahun milenium. Saya nggak ingin melewatkan minggu-minggu terakhir menjelang persiapan seluruh warga ubud menyambut kemeriahan itu. Karena itu saya sengaja ke Ubud pada minggu terakhir Desember dan akan kembali ke Jogja tepat pada tanggal 1 Januari 2000. "What? Don't you worry about the Y2K problem?" tanya seorang bule Jerman, penyewa kamar sebelah.

Si Jerman itu keheranan dengan jadwal terbang saya pada tanggal 1 Januari 2000, padahal banyak orang mengkawatirkan kekacauan sistem komputerisasi yang juga akan berpengaruh pada skedul penerbangan. Saya cuma nyengir sambil meyakinkan bahwa semuanya akan aman. Lagipula ada tugas mulia yang saya emban dari sebuah radio di Surabaya, yaitu melaporkan suasana tahun baru di Kuta secara on air yang disponsori kartu prabayar Pro-XL. Pada saat itu Pro-XL adalah pelopor kartu seluler yang Bebas Roaming Nasional, meskipun jangkauannya masih Jawa - Bali. Saya juga memiliki kartu bernomor 0818 itu demi memuaskan hasrat traveling bebas roaming, supaya nggak nombok karena ditelponin uruan pekerjaan.

1 Januari 2000 saya check in di Ngurah Rai paling awal, 2 jam sebelum terbang. Biar lebih leluasa bergerak, saya sengaja membagasikan semua barang bawaan kecuali dompet, ponsel, dan bloknote kecil yang masuk ke kantong. Setelah itu saya meluncur ke Kuta yang berjarak hanya 5 menit dari Bandara untuk melaporkan pandangan mata.

Rupanya penyambutan pergantian milenium di Kuta jauh lebih hingar-bingar ketimbang di Ubud. Baliho-baliho bergambar agenda party dari berbagai cafe bertebaran. Sementara di Ubud cuma ada 1 baliho besar di perempatan dekat Puri Ubud. Perayaan tahun baru pun diawali dengan karnaval budaya. Sementara di Kuta, nuansa party yang hedonis jauh lebih kentara. Saya juga menemukan banyak turis lokal berwajah mewah Jakarta berseliweran di Kuta Square. Orang kaya Jakarta rupanya pada tumpah ruwah merayakan pergantian milenium di Kuta, nggak di Ubud kampungnya para seniman.

Merasa banyak mendapat informasi komparatif tersebut, saya pun makin bersemangat melaporkan dengan kartu Pro-XL tentang bagaimana perayaan tahun baru Milenium di dua tempat destinasi wisata di Bali itu. "Nanti sore saya hubungi untuk on air lagi ya," kata sang penyiar mengingatkan. "Tapi saya sudah di Jogja loh, siang ini siap terbang," jawab saya. "Nah, keren tuh. Bisa sekalian melaporkan suasana milenium di Jogja." Dengan senang hati, pikir saya.

Mendarat di Jogja. Ketika mengantri bagasi di Bandara Adisucipto Jogja, tiba-tiba saya diusik rasa gelisah dan was-was. Laptop saya aman di bagasi nggak ya? Kekawatiran menghantui benak saya membayangkan daypack berisi laptop yang dilempar-lempar petugas bagasi bandara. Saya menunggu dengan harap-harap cemas sambil mengutuki kebodohan saya: kenapa tadi daypack-nya juga saya bagasikan ya? Hanya karena pengin ringan melangkah dan tangan bebas melenggang, saya sampai lupa bahwa ada laptop dalam tas ransel kecil itu.

Ketika bagasi saya sudah tampak, saya buru-buru menyergapnya dan membuka, mengambil si lappi. Masih utuh, nggak ada yang retak kok. Amin. Saya pun naik taksi dengan sedikit ayem. Tapi belum sepenuhnya tenang sebelum menyalakannya. Dan begitu menemukan saklar listrik untuk menyalakan laptop yang kehabisan batere, saya langsung lemes melihat layar LCD-nya yang berwarna jingga seperti langit senja!

Nggak ada logo Windows yang ditampilkannya.

Kepala saya langsung berdenyut. Piye iki? Padahal ini adalah laptop pertama yang saya miliki, yang saya beli dengan nyicil potong gaji. Masak usinya nggak sampai setahun sih.

Saya segera menelpon seorang teman yang ngerti urusan hardware komputer. Dia malah tertawa begitu mengetahui kronologis ceritanya. "Ya ampun Ta, orang lain pada heboh kawatir sistem komputernya kacau karena Milenium Bug, laptompmu malah kena John Banting!"

Komentarnya membuat saya nyengir penuh kepiluan.


- to be continued in "tahun baru yang memalukan"-

traveling with TKI



Menjelang lebaran, suasana di sejumlah bandara di Tanah Air, terutama di Jawa, biasanya sangat khas. Banyak TKI yang pulang kampung, lengkap dengan penampilan dan gaya mereka yang mencolok karena mencoba mengikuti tren fesyen secara berlebihan. mobile. Di lehernya bergelantungan mini headphone, di kantong saku jeansnya ada MP3 player dan ponsel musik maupun berkamera VGA. Bagi yang nggak punya headphone dengan cueknya memutar keras-keras lagu pop cengeng dari ponsel yang menghasilkan suara cempreng, sambil leyeh-leyeh di atas tumpukan travel bag-nya yang besar.

Pemandangan dan perilaku mereka di dalam pesawat, nggak kalah seru. Seperti tidak mematikan ponsel dan terus asyik ber-SMS atau menelpon kerabatnya yang menjemput di bandara tujuan meskipun sudah diperingatkan awak kabin. Sebenarnya perilaku ini juga banyak dilakukan penumpang lain yang tidak peduli keselamatan, tapi karena bahasa para TKI tersebut umumnya sangat medhok dan katro, percakapannya di telepon sering mengundang perhatian penumpang lain.

Suatu ketika, saya duduk sederet di kursi paling belakang dengan 3 orang TKI wanita yang berpenampilan sporty: celana jeans, t-shirt, jaket, dan sepatu Adidas. Sepanjang penerbangan dari Jakarta ke Jogja mereka sangat berisik, cekakak-cekikik entah menertawakan apa. Lamat-lamat saya mendengar sepertinya ada yang kebelet pipis dan nggak tahu di mana toiletnya. Setelah lama menunggu dan melihat ada beberapa penumpang lain yang berjalan ke belakang, mereka pun yakin bahwa toilet tersebut letaknya hanya beberapa langkah di belakang bangkunya. "Nanti aja kalau sudah mau turun," cegah yang lain ketika seorang kawannya yang kebelet akan bangkit. Ia pun menurut dan kembali duduk.

Ketika awak kabin mengumumkan bahwa dalam waktu beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di Bandara Adisucipto dan semua penumpang dipersilakan mengenakan sabuk pengaman, ia tampak gelisah dan bertanya ke teman-temannya. "Wis meh tekan, aku mau ke WC dulu," lamat-lamat saya mendengar permintaannya. Sementara itu pesawat sudah menukik ke bawah dan kota Jogja sudah terlihat dari atas. Tiba-tiba si TKI yang kebelet itu membuka sabuk pengamannya dan berjalan menuju toilet! Para awak kabin yang duduk di belakang berteriak, menyergap tubuhnya dan mendorong kembali ke kursinya. Si TKI itu malah kebingungan di atas kursinya lagi, mau pipis kok nggak boleh ya padahal sebentar lagi sampai. Weh, emangnya naik kereta api...????!!!

Kekonyolan lain juga terjadi saat saya terbang dengan Garuda, kebetulan saya duduk di kursi deretan belakang lagi. Setelah pramugari membagikan kardus makanan, TKI di sebelah saya malu-malu menerimanya. Apalagi ketika dibuka isinya cukup komplit. Belum lagi minuman yang boleh dipilih. Setelah selesai makan dan menghabiskan minuman, ia tampak gelisah. Tak berapa lama ia kemudian memberesi kardus makanan dan gelas minum tersebut, lalu dibawanya ke balakang ditaruh di pantry! Duh, baik baik si Mas TKI ini. Padahal sebentar lagi para awak kabin kan juga beredar mengambil semua sampah sisa makanan penumpang.

Sejujurnya, kekonyolan para TKI itu menyisakan haru juga buat saya. Keluguan wong ndeso yang naik pesawat ditambah penderitaan mereka mencari uang hingga jauh di negeri orang sungguh sesuatu yang menyentuh (meskipun kemudian yang muncul hanya sesungging senyuman penuh kegelian). Apalagi kalau baca di media tentang pemberitaan TKI yang dianiaya juragannya, dislomot setrikaan, dijatuhkan dari lantai 21 apartemen, atau bahkan ditipu para distributornya sendiri.

Suatu ketika, dalam penerbangan dari Jakarta ke Dubai dengan Emirates, makapai milik United Arab Emirate, saya bareng dengan puluhan TKI wanita yang siap terbang ke Arab Saudi. Saat transit di Singaopore dan harus menunggu di Gate C24 sebelum melanjutkan penerbangan, saya menyaksikan pemandangan yang sungguh mengharukan. Antrian panjang para TKI berkerudung yang berwajah lugu dan lelah hingga membuat mereka rela bergelesotan di ruang tunggu sebelum kembali terbang. Pemandangan di Changi Airport tersebut juga kembali saya nikmati ketika transit di Dubai. Bahkan jumlahnya jauh lebih banyak: ada yang baru datang dengan maskapai lain dan ada pula yang akan kembali ke Tanah Air.

Jadi Tuan Rumah TKI

Tapi keharuan saya akan kisah para TKI mulai mendapat sedikit pencerahan ketika saya menjadi host alias tuan rumah seorang TKI yang bekerja di Taiwan. Juragannnya Ani, si TKI tersebut, kebetulan adalah sesama member Hospitality Club, tempat para traveler di seluruh dunia saling berbagi tumpangan. Akhir tahun 2008 Ani pulang kampung ke Lampung dan diantar oleh Tuan dan Nyonya-nya yang pengin traveling ke Indonesia, termasuk Jogja.

Ketika di Jogja, selama seminggu mereka menginap di rumah saya. Dan selama sepekan itu pula, saya menjadi tour-guide mereka. Menunjukkan tempat-tempat yang menarik di Jogja, rute bus kota, dan menemaninya jalan-jalan kalau pas saya punya waktu luang. Meskipun sebenarnya yang menjadi kontak saya di Hospitality Club adalah Daisy dan suaminya, tapi karena kadang-kadang lebih mudah menjelaskan sesuatu dengan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia, saya pun seringkali harus Mandarin yang sudah sangat fasih dikuasainya.




Selama sepekan itu pula saya banyak mengenal kehidupan seorang TKI secara lebih dekat. Ternyata nggak semua TKI itu bernasih malang dan menyedihkan. Menurut saya, Ani termasuk TKI yang sukses dan beruntung karena memiliki juragan yang berpendidikan tinggi (Daisy seorang dosen dan Master lulusan Amerika), baik, dan sangat EGALITER.

Saya sengaja menulis kata egaliter dengan huruf kapital karena relasi yang egaliter antara juragan dan pembantunya sempat mebuat kami serumah mengalami sedikit shock-culture. Setidaknya itulah yang dirasakan Bapak dan Ibu saya yang lahir dalam budaya feodal Jawa.

Inilah beberapa hal yang membuat kami tercengang-cengang. Saat makan bersama, Ani si TKI bisa dengan leluasa memberikan sisa nasinya kepada Tuan atau Nyonyanya. Si Tuan kadang-kadang juga mengambilkan nasi atau lauk untuk Ani, layaknya orang tua yang mengambilkan makanan untuk anak kesayangannya. Kalau Sang Nyonya lagi mandi, Ani bisa dengan santai menggedor pintu kamar mandi dan ikutan mandi bersama. Begitu pula sebaliknya.

Hari pertama melihat pemandangan itu, kedua orang tua saya sempat terlongong. Begitu juga Mbok Nem, pembantu di rumah kami yang nggak pernah makan dalam satu meja makan bersama dengan kami. Mbok Nem dan pembantu rumah tangga Keluarga Jawa umumnya biasa makan di dapur, itupun setelah sebelumnya menyajikan lauk pauk untuk Ndoronya. Pembantu yang mengambil menu dari meja makan Ndoronya adalah pembantu yang nranyak dan tidak tahu sopan-santun. Apalagi yang makan bersama dan saling bertukar menu seperti Ani dan Ndoro Taiwannya.

Esok paginya, Bapak saya kembali shock melihat tingkah Ani ketika berhalo-halo dengan kerabatnya di Lampung. Duduk di sofa dengan kedua kaki terangkat dan berbicara keras-keras di telepon. "Waduh, Bapak ngelus dada," ujar Bapak begitu ketahuan saya sudah bangun dan keluar kamar. "Bagaimanapun, Ani itu rak tetep wong Jowo. Jowo Lampung ya memang beda dengan Jowo Ngayogya. Tapi sebagai wong Jowo, seharusnya tetep ngerti unggah-ungguh. Meskipun Ndoronya di Taiwan tidak minta diunggah-ungguhi, tapi saat ini dia bertamu di rumah
keluarga Jawa...."

Hari-hari berikutnya masih banyak peristiwa yang mengejutkan kami, tetapi kami mencoba memakluminya meskipun kadang-kadang merumpikannya. Hingga hari terakhir, hari berpamitan dan berfoto bersama antara host dan guess juga menyisakan rasan-rasan bagi kami. Bapak saya harus mati-matian menahan risih ketika Ani dengan santai merangkul pundak Bapak saat foto bersama. Juga ketika Ani duduk di sandaran lengan sofa di ruang tamu. Dan puncaknya adalah ketika pamitan dan cipika-cipiki sama Bapak. Hadyuh byuh, tobaaattt...! "Wong Jowo ilang Jawane," ujar Bapak sambil mengelus dada berkali-kali.

Sunday, February 8, 2009

minggu pagi di salatiga

sekali-kali weekend di kota kecil ah..ternyata lbh sejuk dan asri ketimbang jogja..hehe..

--- Sent using a Sony Ericsson mobile phone

Tuesday, February 3, 2009

I travel to meet locals


Sebagai penikmat jalan-jalan yang pengin belajar banyak dari kisah perjalanan teman-teman lain, saya juga bergabung di beberapa milis traveller yang ada di Indonesia. Sesekali ikut kopdaran alias jumpa di dunia nyata. Dan setiap kali kopdaran, setiap kali mendengar kisah-kisah mereka, saya selalu dihantui rasa minder. Sebagian besar dari teman-teman di milis adalah penjelajah alam sejati, yang sudah turun naik gunung, menelusuri perut bumi, mengarungi sungai-sungai berarus liar, atau menyelami dasar lautan bertemu ribuan jenis ikan.

Sementara saya hanyalah pejalan biasa, yang menyinggahi satu daerah ke daerah lain tanpa tantangan adreanalin. Kisah perjalanan saya pun nggak ada heroik-heroiknya, sehingga nggak perlu dirayakan dengan kibaran Merah Putih seperti saat mencapai puncak-puncak gunung. Bahkan, dengan malu saya akui, saya belum pernah naik gunung sekalipun!

Banyak yang nggak percaya bahwa saya belum pernah naik gunung. Apalagi penampilan saya kan cukup maskulin: rambut cepak, wajah cukup "tampan" dengan kumis tipis, nggak pernah pakai rok karena memang nggak punya, lebih suka ranselan ketimbang tas slempang, dan sukanya pake sandal Teva alias sepatu gunung (tau nggak, saya punya 3 pasang dan masih pengin nambah lagi). Simbol-simbol kemacoan yang lekat dalam karakter saya itu ternyata nggak matching dengan selera jalan-jalan atau destinasi wisata yang saya sukai.

Saya lebih suka mengunjungi tempat-tempat yang memungkinkan bisa bertemu dengan penduduk lokal. Tujuan saya jalan-jalan bukan semata-mata untuk menikmati keindahan alam, lebih dari sekedar itu, yaitu untuk experiencing different culture. Pengalaman itu hanya bisa saya dapatkan jika saya tinggal dengan penduduk setempat. Kalaupun nggak punya banyak waktu, minimal saya bisa berada di lingkungan yang banyak didatangi warga setempat. Sokur-sokur bisa ngobrol banyak.

Saya pengagum manusia dari berbagai ras dan etniknya, dengan segala kehidupan sosial budayanya, termasuk hasil karyanya. Saya mengagumi candi-candi yang merupakan karya besar nenek moyang. Atau benteng-benteng, castle, kraton, dan bangunan-bangunan arsitektur. Untuk menikmati kemegahan itu tak jarang saya harus mendaki di ketinggian, meski tidak setinggi gunung berapi. Seperti ketika mendaki ke bukit di desa Dempe untuk melihat Benteng Otanaha di Gorontalo, juga ketika nyekar di makam Raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta yang harus mendaki ratusan anak tangga itu. Di puncak ketinggian itu saya tidak hanya melihat batu-batu, tetapi belajar tentang kehidupan sosial budaya orang-orang yang terkait dengan kawasan tersebut: orang-orang yang dulu membangunnya, yang kini memliharanya, atau yang rutin mengunjunginya.

Beruntunglah saya tinggal di Indonesia yang multi-etnik ini, sehingga bisa "mengalami" kebudayaan lain tanpa harus ke luar negeri. Orang Barat sering menerjemahkan experinencing different culture ini dengan tinggal di negara lain. Tapi bagi orang Indonesia yang negaranya luuaaasss banget dengan penghuni yang sangat beragam etnisnya, experiencing different culture ini dapat dilakukan tanpa harus mengurus passport dan visa.

Itulah sebabnya saya pernah menginap di rumah Mbah Maridjan tapi bukan dalam rangka transit sebelum mendaki Merapi. Saya tinggal di sana karena pengin mengenal kehidupan petani di lereng Merapi. Sama halnya ketika saya dan teman-teman tinggal di desa Kedakan (nDakan), desa terakhir di lereng Merbabu selama 2 minggu semasa kuliah dulu. Niatnya karena pengin tinggal bersama penduduk setempat, belajar mengenali kehidupan mereka.

Begitu juga ketika saya ke Bali, saya lebih suka tinggal di Ubud, yang oleh bule-bule disebut sebagai the cultural heart of Bali. Bukan ke Kuta yang banyak didatangi turis domestik yang pengin nonton bule leyeh-leyeh di pantai. Di Ubud saya juga lebih suka menyewa kamar yang menyatu dengan rumah tinggal mereka. Sehingga saya bisa ngobrol dengan semua anggota keluarga, ngusilin anak-anak mereka, atau membantu meracik sesaji yang tiap pagi mereka siapkan. Saya serasa menjadi tamu keluarga beneran, bukan sekedar wisaawan yang menyewa kamar hotel.

Dengan hanya tinggal di kamar sewaan di Ubud itu, saya sudah merasa berwisata kok. Nggak perlu pergi-pergi lagi mengunjungi pantai-pantainya, surfing atau diving. Memang sih, saya juga pernah belajar diving di Tulamben, Bali. Sekedar pengin bisa nyilem dan melihat keindahan di laut. Yang ternyata memang indah dan mengagumkan. Tapi, buat saya, berinteraksi dengan orang dari berbagai etnis jauh lebih menakjubkan ketimbang bercanda dengan ikan yang nggak bisa diajak curhat.


Ketemunya Jawa juga!

Meskipun Indonesia negara multi-etnik, tetapi untuk bisa merasakan pengalaman kebudayaan lokal diperlukan sedikit perjuangan. Maklum, para perantau dari Jawa sudah merambah ke seluruh penjuru negeri ini. Program transmigrasi yang bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jawa ke beberapa daerah di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra menjadikan daerah tersebut kian banyak dihuni orang Jawa. Termasuk program pengiriman Sarjana ke tanah Papua pada era 80-an yang bertujuan untuk membangun wilayah Indonesia Timur. Makanya saya sangat setuju dengan kritikan yang ditujukan pada program transmigrasi yang tak lain sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk melemahkan populasi lokal dan mengurangi gerakan separatis di pedalaman.

Ketika saya tiba di Agats, ibukota kabupaten Asmat di pedalaman Papua, saya terkejut melihat wajah-wajah Jawa yang cukup banyak di kantor-kantor insansi pemerintah. Rupanya staf pemerintah itu banyak diimpor dari Jawa dan sebagian Sulawesi Selatan. "Di Agats kita bisa menemukan orang dari semua suku di Indonesia. Ada orang Batak, Minang, Bugis, Toraja, apalagi Jawa," ujar salah seorang alumni UGM yang kini sudah menjadi pejabat di sana. Beliau sendiri bermigrasi ke Papua berkat program pengiriman Sarjana ke Papua pada tahun 1980.

Di kota Sorong juga demikian. Suatu ketika, saya dijemput driver dari kantor relasi saya dari bandara ke hotel. Obrolan basi-basi kalau lagi ke luar kota, apalagi Indonesia Timur, adalah menanyakan asal dan sudah berapa lama tinggal di sana. "Saya dari Purwodadi Grobogan, Mbak," katanya membuat saya terkejut karena ia menyebut nama daerah asal Bapak saya. "Tapi saya lahirnya di Sorong. Orang tua saya transmigran dari daerah sana," jelasnya membuat ingatan saya kembali ke era 1978 atau 1979.

Saya masih berumur 7 atau 8 tahun ketika warga di desa kelahiran Bapak saya heboh oleh program transmigrasi. Karena kebetulan Eyang Kakung ketika itu menjabat sebagai Lurah (sekarang disebut Kepala Desa), saya sering mendengar perbincangan seputar rencana pengiriman sejumlah warga ke Papua. Eyang membuat daftar nama warga yang setuju untuk diberangkatkan transmigrasi. Sebagain besar dari mereka adalah warga desa yang miskin, termasuk keluarga Suwarni, pembantu di rumah Eyang.

Saat hari keberangkatan itu tiba, Eyang Kakung melepas warganya di pelataran Balai Desa. Sebagai Lurah beliau mencoba meyakinkan warganya bahwa kehidupan di tanah Papua akan lebih baik, karena akan mendapat jatah tanah yang cukup luas untuk diolah. Sementara itu Eyang Putri sesenggukan karena harus berpisah dengan orang-orang yang setia mengabdi. Saya juga sedih karena kehilangan Tri dan Murni, teman sepermainan. Mereka mungkin sudah "jadi orang" di Sorong. Setidaknya kehidupannya sudah lebih baik ketimbang di Grobogan dulu. Terbukti tidak banyak yang pulang kampung karena nggak krasan. Diam-diam saya berharap bisa bertemu mereka jika tugas ke Sorong lagi. Semoga.

Selain di Papua, saya juga pernah bertemu transmigran dari Jawa Tengah di Kalimantan Selatan. Nggak cuma bertemu sesaat, tapi tinggal bersama mereka selama 2 bulan. Sebenarnya ini sebuah kecelakaan, sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya.

Tahun 1996 kebetulan UGM mengadakan program pilihan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di luar Jawa, yaitu di Kalimantan Selatan. Demi menyalurkan hasrat traveling dan experiencing different culture, saya pun mendaftar. Setelah melalui berbagai proses seleksi, akhirnya saya terpilih bersama sekitar 100-an mahasiswa UGM lain untuk ditempatkan selama 2 bulan di wilayah Kabupaten Pelaihari, Kalsel.

Sejak pengumuman lolos coaching itu, saya sudah membayangkan kehidupan eksotis di pedalaman Borneo (lagi). Apalagi sebelumnya sudah pernah tinggal dengan suku Dayak di Kaltim, imajinasi tentang orang Banjar di Kalsel pun menghiasi angan-angan saya terus. Saya juga bersemangat mencari literatur tentang kehidupan orang Banjar termasuk pamali-pamalinya supaya nggak menjadi pengacau secara kultural ketika di sana.

Setiba di Kab. Pelaihari, kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang tiap kelompok terdiri dari 6 orang. Saya mendapat jatah ditempatkan di Desa Bluru, Kec. Batu Ampar. Setiba di kecamatan, kami disambut Pak Camat dan Kepala-kepala Desa yang wilayahnya, termasuk beberapa Kepala Desa yang bakal menjadi induk semang kami. Dan betapa terkejutnya saya, ketika ternyata Pak Kades Bluru berbahasa Jawa ketika menyambut kami. "Seluruh warga desa Bluru ini adalah transmigran dari berbagai kabupaten di Jawa Tengah," katanya menjelaskan.

Saya langsung lunglai. Jauh-jauh ke Kalsel, eh ketemunya orang Jawa lagi. Nggak seru banget. Sehari-hari dengan semua warga desa kami ngomong pakai bahasa Jawa. Pak Kades dan seluruh pamong praja, juga Pak RT dan Pak RW, kalau memimpin rapat atau sekedar berkumpul untuk kerjabakti, ngomongnya ya cara Jowo! Jadi apa bedanya KKN di Banjar sama di Purworejo, Ta?" ledek teman seangkatan yang dapat lokasi di Jawa Tengah.