Monday, December 26, 2011

[pameran] kathmandu through my eyes

klik image untuk memperbesar
Sejumlah teman melontarkan pertanyaan yang sejenis sepulang saya dari Nepal, “kok nggak trekking? Nggak ke Everest Base Camp?  Sayang sekali ya…” Lalu saya pun balik bertanya, “memangnya kalau ke Nepal harus mendaki Himalaya?” Sebenarnya saya sangat memaklumi pertanyaan teman-teman yang terlontar dengan nada penuh kecewa itu, sebab hampir sebagian besar orang mengimajinasikan Nepal dengan Himalaya dan puncak Everest-nya.  Saya juga berani taruhan, kebanyakan orang Indonesia yang mimpi ke Nepal adalah para pecinta alam, aktivis MAPALA.

Bagi saya, yang nggak hobi naik gunung ini, Nepal menarik minat saya karena negeri ini eksotis dalam kacamata saya sebagai orang modern. Sebuah negeri tempat tradisi dan budaya lokal masih begitu kental dalam kehidupan warganya.  Negeri dengan berbagai keterbatasan sarana dan prasarana yang membuat saya seolah sedang berada di masa puluhan tahun silam.

Saya beruntung, saat mengunjungi Nepal pada bulan April 2009 lalu, sedang banyak festival di Nepal dalam rangka Buddha Jayanti (Waisak) dan Bisket Jatra Festival (Tahun Baru Nepal). Perayaan yang ditumpahi puluhan ribu orang di Swayambunath dan Bhaktapur itu membuat saya merasakan sensasi luar biasa saat berada di tengah-tengah mereka. Bertemu dengan penduduk asli (indigenous people) adalah obsesi saya setiap kali melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang saya angankan sebagai negeri eksotis.

Puncak dari sensasi saat berlibur ke Nepal adalah ketika saya mendapat kesempatan menginap di rumah sebuah rumah tradisional suku Newar di kawasan yang dilindungi (UNESCO World Heritage) di Bhaktapur, 13 km dari Kathmandu. Inilah kesempatan saya untuk mengenal Nepal lebih dari sekedar yang ada dalam buku panduan perjalanan sekelas Lonely Planet sekalipun. Tinggal bersama penduduk lokal adalah saat dimana saya mengalami kebudayaan lain (experience different culture), melihat aktivitas mereka sejak bangun tidur hingga berangkat tidur lagi.

Kebetulan, suami saya –Edo- juga kurang menyukai nature adventure sehingga ia mendukung dengan gagasan saya mengisi perjalanan ini dengan stok foto yang merekam pilgrim kaum Buddha, festival dan situs warisan budaya, serta kehidupan masyarakat lokal.

Saat memotret, saya lebih suka menggunakan kamera saku (compact) karena membuat saya tidak terlalu berjarak dengan mereka. Mereka juga tidak merasa terganggu oleh kamera saya.

Suluh Pratitasari | www.matatita.com
Eduardo A. Wibowo | www.edography.net

Friday, November 18, 2011

bakpia [bukan] asli jogja

Suatu ketika saya membeli bakpia Pathuk bukan untuk oleh-oleh, tetapi untuk menyuguhi tukang batu yang sedang merenovasi rumah. Sekedar memberinya camilan pendamping teh panas untuk suguhan rehat. Karena bukan dalam rangka memberi buah tangan, kali ini saya sengaja membeli bakpia dari brand yang bukan juara satu.

Meskipun bukan bakpia juara, tetapi brand bakpia ini cukup populer di Jogja, terutama di kalangan tukang becak yang biasa mengantar wisatawan membeli oleh-oleh khas Jogja. “Bakpianya sekotak berapa, Mbak?” tanya saya pada penjaga toko oleh-oleh di daerah Pathuk (Jl. K.S Tubun) sambil memilih-milih bakpia. “Kalau yang isi 15 harganya lima belas ribu, yang isi 20 harganya dua puluh ribu,” jawabnya. Lalu si Mbak penjaga toko itu bergeser lebih mendekat ke arah saya dan berbisik, “kalau Mbak-nya datang ke sini nggak diantar tukang becak, nanti dapet diskon tiga ribu rupiah per dos. Tapi diskonnya khusus bakpia aja.”

Saya segera paham. Pantas tukang-tukang becak lebih suka merekomendasikan bakpia KW 2 (kwalitas nomor dua) ini pada para wisatawan karena akan mendapat komisi Rp 3.000 per kotak bakpia yang dibeli. Pantas saja tukang becak rela dibayar Rp 3.000 untuk perjalanan bolak-balik dari Malioboro, Rotowijayan (batik), Pathuk, dan kemudian kembali lagi ke Malioboro. Rupanya komisi yang akan didapat tukang becak dari pembelian bakpia (dan juga batik) jauh lebih banyak ketimbang tarif Rp 3.000 return yang dikenakannya.
Seketika saya terkagum pada kedahsyatan sepotong bakpia Pathuk. Makanan berbahan dasar tepung terigu dengan isi kacang hijau (sekarang sudah lebih variatif, ada isi keju, coklat, nanas, dll), berdiameter sekitar 3 cm ini ternyata memiliki peran yang luar biasa dalam industri pariwisata Yogyakarta. Bakpia bukan sekedar camilan biasa. Pada sepotong bakpia, terdapat potongan memori tentang kota Jogja. Keduanya nyaris tak bisa dilepaskan. Menyebut kata bakpia (Pathuk), akan membawa ingatan kita pada Yogyakarta. Pada sepotong bakpia itu pula, ribuan wong cilik di Yogyakarta (tukang becak dan tukang parkir), mengharap komisi dari hasil penjualan bakpia Pathuk.

Sunday, September 25, 2011

UBUD Travel Writing & Travel Photography Trip - 5 - 9 Oct 2011

UBUD Travel Writing & Travel Photography Trip
bersama Matatita, Agustinus Wibowo, dan Raiyanni Muharramah
5 – 9 Oktober 2011

Materi workhsop (outdoor class)
·         Mengenal ragam (genre) penulisan perjalanan
·         Menstrukturkan pengalaman perjalanan sebagai narasi
·         Tips & trik fotografi traveling (mengoptimalkan kamera saku)

Biaya workshop Rp 3.700.000,- dengan fasilitas sbb:
  • Tiket Pesawat Jakarta/Jogja - Denpasar  PP
  • 4 day pass UWRF untuk panel/diskusi (tidak termasuk biaya workshop khusus)
  • Menginap 3 malam di bungalow/budget accommodation (twin sharing, jika jumah peserta ganjil maka ada satu kamar berisi 3 peserta)
  • Sarapan pagi di hotel (sandwich, buah segar, teh/kopi)
  • Dinner meals di café ubud
  • Travel Kit (tas pinggang, peta ubud, bloknot, pulpen)
  • Sepeda Motor/Sepeda Gunung (sharing) buat exploring Ubud (bensin isi sendiri)

Biaya tidak termasuk:
·         Makan siang
·         Tiket masuk anjungan wisata
·         Pengeluaran pribadi
Pendaftaran (min 8 orang):
1.    Kirim email pendaftaran ke smartraveler@matatita.com, cantumkan nama dan alamat lengkap, no telp/hp yang bisa dihubungi, situs blog, atau akun fb. Tuliskan UBUD pada subject email.

2.    Pendaftaran terakhir (lunas)
30 September 2011
3.    Pembayaran via transfer. No Rekening akan diinformasikan via e-mail.

Monday, September 5, 2011

Traveler Aji Mumpung


Setelah menerbitkan tiga buku traveling, dan tengah menulis buku traveling lainnya, saya semakin merasa bahwa sebenarnya saya bukanlah seorang traveler. Bukan pula seorang backpacker atau flashpacker atau apalah istilahnya. Apalagi jika menilik travel-time saya yang ternyata nggak sehebat temen-temen backpacker lain yang saya kenal meskipun mereka belum menerbitkan buku.

Saya hanyalah pejalan aji mumpung. Mumpung dapat tugas ke Paris, ya wis sekalian jalan-jalan ke beberapa negara lain di Eropa. Mumpung tiket Air Asia lagi promo nol rupiah, ya wis di-booking aja buat jalan-jalan ke negara tetangga. Mumpung dapat proyek ngerjain media, ya wis sembari memburu nara sumber sekalian traveling ke penjuru tanah air.


Nah, ketika keberuntungan itu lagi menjauh, saya lebih suka menghabiskan waktu di Jogja saja. Aha..ini juga sebuah keberuntungan ya, bisa lahir dan tinggal di Jogja. Di kota wisata nomor dua di Indonesia setelah bali. Itu berarti setiap hari saya bisa traveling dong. Apalagi saya tinggal di deket Kraton, Tamansari, Alun-alun, gudeg Wijilan..wis lengkap sudah! Orang lain harus menyisihkan waktu dan uang untuk bisa menikmati Jogja, tapi setiap hari saya malah melewati rute wisata itu.


Memang sih, kadang-kadang saya juga off dari gaweyan untuk sekedar leyeh-leyeh di Ubud. Ubud lagi, Ubud lagi. Habis gimana ya, Ubud is my mood sih. Ubud itu mencerahkan jiwa dan bathin saya. Segala yang nyebelin tiba-tiba bisa langsung amblas begitu saya mencium aroma bunga kamboja yang terselip di telinga patung-patung Bali. Itu yang bikin saya sering nggak punya alternatif lain yang bisa dijadikan pilihan tempat buat berlibur. Itu pula yang kemudian membuat saya akhirnya sadar, bahwa ternyata banyak tempat-tempat wisata di Jawa yang jadi terlewat nggak pernah saya kunjungi. 


Coba, menurutmu ironis nggak, saya sudah lebih dari 20 kali dolan ke Ubud tapi belum pernah sekalipun ke Telaga Sarangan!


Jadi, saya memang tidak pantas menyebut diri sebagai traveler, meskipun pengin dan punya akun FB: Matatita Traveler. Ternyata saya belum menyinggahi tempat-tempat wisata populer yang nggak begitu jauh dari kota saya.


Saya memang suka dan menikmati setiap perjalanan, tetapi bukan orang yang suka menambah destinasi wisata. Buat saya tempat yang pernah dikunjungi bukan berarti jadi tidak menarik jika dikunjungi lagi. Bahkan saya sering menemukan hal-hal baru pada tiap-tiap kunjungan, meski itu berkali-kali dilakukan.


Jadi, jika kemudian saya bisa menuliskan kisah perjalanan dan diterbitkan, tentu bukan karena saya sudah jalan ke puluhan negara, ratusan kota, dan ratusan desa. Bukan kok. Saya rasa mungkin hanya karena saya bisa menuliskannya dan punya perspektif yang sedikit berbeda dengan traveler lain, sehingga ada penerbit yang menganggap tulisan saya layak dibaca publik. Itu saja.


Jadi, sekali lagi, saya hanyalah traveler aji mumpung. Dan semoga dewi keberuntungan nggak mau jauh-jauh dari saya.

Sunday, September 4, 2011

horse riding

naek kuda @bandungan, ambarawa
Kuda adalah salah satu binatang yang cukup diakrabi Bindi. Kebetulan tak jauh dari rumah kami ada pangkalan andong (delman), sehingga hampir tiap hari Bindi melihat kuda. Kadang-kadang kami juga mengajaknya berandong ria, sambil menyanyikan lagu "naik delman istimewa kududuk di muka..."

Selain mengakrabi andong-andong yang mangkal di dekat rumah, Bindi juga pernah beberapa kali kami ajak main ke kandang kuda milik keluarga pengusaha Mirota Batik. Kandang kudanya terletak di bagian belakang rumah makan House of Raminten di bilangan Kotabaru. Kudanya banyak, kalo nggak salah lebih dari empat ekor. Sudah begitu gede-gede pula.

Pernah pada hari minggu siang, saat kami lunch di sana, ngepasin saat membersihkan kuda-kuda tersebut. Kuda-kuda itu dikeluarkan dari kandangnya untuk dimandikan, disisir ekornya, juga diganti tapal sepatunya. Bindi kegirangan banget menyaksikan pemandangan langka itu. Apalagi kuda-kudanya cukup lulut alias jinak, nggak marah saat Bindi mengusap kepalanya.

Setelah mengakrabi kuda, akhirnya Bindi punya kesempatan naik kuda saat berlibur ke Bandungan, Ambarawa. Memang sih, kudanya nggak segagah kuda andong dan kuda koleksi keluarga Mirota Batik di Jogja. Kuda di kawasan wisata Bandungan umumnya berukuran kecil. Tingginya kira-kira hanya satu setengah meter, bahkan umumnya kurang dari segitu. Tapi justru karena ukurannya yang kecil itu, kuda ini jadi kids friendly. Anak-anak nggak takut untuk naik. Lagipula, kita tidak perlu memacu kuda sendiri, karena pemiliknya akan menuntun kuda tersebut.

Bindi juga nggak takut ketika kami menaikkannya ke punggung kuda. Meskipun awalnya agak tegang, tapi begitu kudanya jalan, Bindi mulai menikmati.

Tarif sewa kuda di Bandungan pada hari biasa sekitar Rp 15.000-20.000 untuk keliling kawasan wisata selama 15-20 menit. Rutenya boleh pilih, mau keliling taman atau melewati pasar Bandungan yang banyak menjual buah dan hasil bumi itu. "Kalu nyewa perjam bisa lebih murah, sekitar Rp 60.000," kata penjual minuman botol yang mangkal bersisian dengan pangkalan kuda. Tapi karena kawatir Bindi bosen di atas kuda jika kelamaan naik, mendingan yang short time aja. Toh sekedar untuk mengenalkan Bindi naik kuda. Juga supaya Bindi bisa mendengar dengan jelas bunyi sepatu kuda seperti yang sering kami nyanyikan bersama "tuk tik tak tik tuk tik tak suara sepatu kuda...!"


Thursday, August 25, 2011

roadtrip: mudik bersama si kecil




ngedot nikmat di car seat
Meskipun kami bukan mudiker karena saya dan Edo sama-sama orang Jogja yang betah banget menetap di Jogja, tapi setiap lebaran H+3 kami juga melakukan perjalanan ke luar kota untuk menghadiri acara pertemuan keluarga besar ayah saya. Nggak jauh-jauh banget sih, hanya seputaran Jawa Tengah. Ke Semarang, Ambarawa, Salatiga, atau pulang kampung ke desa kelahiran ayah di Purwodadi Grobogan. Jarak tempuh dari Jogja paling jauh sekitar 150 km.

Dalam kondisi normal, jarak sejauh itu paling lama kami tempuh dalam waktu 4 jam perjalanan. Tapi pada hari raya, di mana jalur Jogja - Semarang termasuk jalur padat mudiker, kami bisa menempuhnya hingga 7 jam! Tahun lalu, saat acara pertemuan keluarga di Salatiga, waktu tempuh Jogja - Salatiga yang biasanya sekitar 2 jam menjadi 5 jam perjalan. Padahal, kami sudah memilih jalur alternatif, lewat Jatinom Klaten yang langsung nembus ke Boyolali kemudian ke Salatiga.

Sebelum punya momongan, biasanya kami gantian nyopir biar capeknya merata.Tapi sejak ada Baby Bindi, bisa dipastikan Edo menjadi driver utama dalam setiap perjalanan kami. Sementara saya kebagian menjaga Bindi. Biar Bindi safe dan bapaknya nyaman nyopir, saya dan Bindi duduk di jok belakang sopir, bukan di depan. Soalnya kalo duduk di depan, tangan Bindi pasti usil, penginnya ikutan megang kopling. Sudah begitu, saya mau tak mau juga ikutan merhatiin jalan yang macem juga jadi cerewet negor Edo kalo dia meleng nyopirnya. Dengan kata lain, duduk di depan bikin perhatian saya terpecah, ngeliat jalan dan ngawasin Baby Bindi.



Sementara duduk di jok belakang jauh lebih nyaman. Jok-nya juga lebih luas sehingga Bindi bisa leluasa bermain atau tidur-tiduran. Saya juga nggak perlu cerewet melihat keruwetan lalu lintas mudik. Sopirnya jadi lebih tenang karena nggak dicerewetin. Hehehe...!

Mengingat roadtrip pada hari raya ini membutuhkan stamina dan konsentrasi yang lebih dibanding saat hari biasa, jauh hari sebelum roadtrip saya menyiapkan beberapa hal, antara lain:

  • Rajin minum vitamin C biar lebih fit. Seseru apapun sebuah perjalanan atau bahkan sekeren apapun pemandangan di jalan, nggak bakalan asyik dinikmati jika badan kita nggak fit. Makanya, kesehatan merupakan prioritas utama yang perlu disiapkan. Stamina si kecil perlu dijaga juga loh, biar bisa menikmati perjalanan dengan riang gembira dan nggak bikin bapak dan emaknya bete karena rewel.

  • Servis kendaraan setidaknya 2 minggu sebelum roadtrip. Selain kesehatan tubuh, kesehatan kendaraan juga merupakan prioritas utama.Servis standar, ganti olie, isi freon, cek roda, dll.

  • Itinerary. Meskipun sudah punya tujuan pasti ke kota tertentu, tapi buat saya perjalanan ini tak ubahnya sebuah rekreasi. Sebisa mungkin, selain mengikuti agenda utama pertemuan keluarga, juga sekalian menikmati destinasi wisata yang ada sepanjang jalan yang kami lewati atau yang ada di sekitar kota tersebut. 

  • Baby gear. Alat tempur andalan saya kalo lagi ngajakin Baby Bindi traveling adalah ransel gendongan bayi. Ransel ini nggak cuma bikin saya mudah menggendong Bindi jika kamu harus jalan-jalan blusukan alias outdoor, tapi juga bikin Bindi merasa nyaman. Kadang malah sampe ketiduran di ransel jika kecapean plesiran. 

  • Baby toys biar nggak jenuh selama di perjalanan. Saya membiasakan Bindi membawa mainan berupa buku yang penuh gambar warna-warni. Dia sangat suka didongengin sambil memperhatikan gambar-gambar yang ada di dalamnya. Selain bisa dilihat gambarnya, saya memilih buku yang bisa dibikin mainan seperti buku cerita Thomas si kereta api yang dilengkapi roda. Kalo bosen melihat gambarnya, buku itu bisa dijadikan kereta-kereta apian.

  • Sleeping beuaty alias perlengkapan tidur. Dua pasang bantal dan guling bisa dibilang bawaan wajib kami jika roadtrip. Meskipun di tempat tujuan (hotel/ruamh kerabat) nanti sudah tersedia bantal guling, tapi rasanya lebih nyaman jika kami juga bawa bantal guling. Apalagi sehari-hari Bindi demen tidur dengan dikeliling banyak bantal. Selain itu dengan membawa bantal sendiri, Bindi jadi merasa lebih 'homy' meski sedang menginap di tempat jauh.

Nah, roadtrip lebaran kali ini kami akan menginap di Bandungan, Ambarawa. Di kepala saya sudah berjejal rute wisata heritage yang bakal dinikmati Bindi: ke museum kereta Ambarawa, naik kereta jadul atau lori yang pasti akan membuatnya kegirangan, menikmati keindahan gunung Telomoyo dan Rawa Pening, juga menjelajah kompleks Candi Gedong Songo yang berada di dataran tinggi. Kami juga sudah berencana lewat Salatiga, bisa mampir ke Kopeng, pengin memetik buah strawberry langsung dari kebunnya. Seruu...! Nggak sabar pengin segera H+3 lebaran!



Saturday, August 20, 2011

napak tilas (2): lamin adat dayak benuaq


the dayak benuaq longhouse

Di samping papan nama bertuliskan "Lamin Adat Kampung Pepas Eheng" saya berdiri terpaku, menatap bangunan tinggi dan panjang yang terbuat dari kayu ulin. Rumah panjang suku Dayak Benuaq itu pernah saya tinggali selama sebulan pada tahun 1994. Saya masih ingat, kala itu, setiba di pelataran lamin yang luas, saya langsung melepas sepatu supaya telapak kaki saya menginjak tanah Dayak. Begitulah ekspresi kegirangan seorang mahasiswa Antropologi yang mengisi liburan semester dengan going tribe, melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur.

Sekilas tak banyak perubahan dari lamin itu. Atapnya masih sama, atap sirap yang terubuat dari kayu. Dinding-dindingnya memang tak lagi terbuat dari kulit kayu yang banyak celah, tapi sudah terbuat dari papan yang disusun rapat sehingga lebih hangat di malam hari. Tiang-tiang penyangganya masih berupa kayu ulin yang mulai lumutan, bukan diganti beton.

Di antara tiang-tiang penyangga itu, ada empat tangga yang digunakan untuk naik ke atas lamin. Tangga itu hanya terbuat dari sepotong kayu yang dibuat ceruk-ceruk anak tangga. Diameter kayunya mungkin hanya sekitar 15 cm. Saya masih ingat bagaimana takutnya ketika pertama kali naik dan turun tangga itu. Sampai di tengah-tengah kaki saya gemetaran, nggak berani meneruskan langkah ke atas. Mana sudah begitu tidak ada kayu yang digunakan untuk berpegangan.

Tangga-tangga itu masih sama. Hanya di kanan kirinya kini sudah dipasangi kayu yang dapat digunakan untuk berpegangan. Bahakan, tangga yang terdapat di tengah lamin, dibuat lebih lebar sehingga mudah ditapaki. Juga di bagian atasnya dibuatkan semacam kanopi, sehingga sepintas terkesan sebagai tangga utama menuju lamin. Sepertinya tangga ini dibuat untuk kenyaman wisatawan yang ingin naik ke lamin.

Hari ini saya seperti menjadi wisatawan yang menggendong ransel. Saya pilih tangga utama itu untuk naik ke lamin. Alasannya sederhana, saya kawatir sudah kembali takut naik tangga seperti saat pertama melakukannya 14 tahun lalu. Jangan-jangan saya sudah lupa gimana triknya supaya nggak terpeleset. Mana sekarang badan saya sudah gendut begini, 20 kg lebih berat daripada 14 tahun lalu itu. Alasan ke dua, saya kurang yakin apakah tangga yang terletak paling kiri itu masih milik keluarga Pak Jerma, ayah angkat saya?

Dulu keluarga Pak Jerma menempati bilik di bagian hulu lamin, yaitu bilik paling kiri jika dilihat dari arah saya berdiri menghadap lamin saat ini. Jika ada penghuni baru yang ingin tinggal di lamin, mereka boleh membangun bilik baru dengan cara menambahkannya bangunan di salah satu ujungnya, di kanan atau di kiri. Karenanya, saya menjadi ragu-ragu, apakah bilik di bagian ujung kiri lamin itu masih ditempati keluarga Pak Jerma atau jangan-jangan sudah ditempati keluarga lain.

Sesaat kemudian saya sudah sampai di atas tangga. Lalu saya langkahkan kaki memasuki pintunya yang kecil dengan sedikit membungkuk. Pintu ini hanya setinggi tak lebih dari satu setengah meter, sehingg orang dewasa yang melewatinya biasanya perlu sedikit membungkukkan badan.

Suasana lamin sangat lengang. Di ujung sana, ke arah saya berjalan menuju bilik keluarga Pak Jerma, saya hanya melihat seorang lelaki yang tengah menganyam rotan. Siapakah dia, saya tak mengenali wajahnya. Semakin mendekat, semakin saya tak mengenalinya. Berarti mungkin benar, bilik ini sudah buka lagi ditempati keluarga Pak Jerma. Lalu, saya beranikan diri untuk bertanya padanya, "Selamat pagi, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Pak Jerma?" Lelaki itu segera menujuk ke arah seseorang yang tengah berbaring tak jauh darinya, "itu Pak Jerma," katanya membuat saya girang.

Segera saya dekati Pak Jerma, ayah angkat saya, yang lantas terjaga begitu mendengar ada yang menanyakannya. Saya tersenyum merasa mengenali wajahnya, sementara Pak Jerma menatap saya dengan ragu. "Bapak tidak kenal saya ya?" Tanya saya. "Saya Tita, dari Jogja," tambah saya lagi ketika menyadari bahwa lelaki tertua di Kampung Pepas Eheng itu tampak tidak mengenali saya lagi.

Pak Jerma masih menatapi saya, menyelidik. Atau mungkin tak percaya. Sebab Tita yang dikenalnya 14 tahun bertubuh kurus, berambut gondrong, dan berkacama besar. Saya mengangguk, mencoba meyakinkan bahwa saya memang Tita yang pernah sebulan tinggal di biliknya. "Kamukah anakku?" kata-kata itu keluar dari bibir tuanya yang menyentung relung emosi saya. Ternyata saya masih dianggapnya sebagai anak. Ah, saya jadi terkenang ritus pengangkatan anak 14 tahun lalu itu.

"Yang lain pada kemana Pak?" tanya saya kemudian, ketika menyadari hanya ada Pak Jerma dan lelaki itu di lamin ini. "Lagi di rumah Linus, ada beliatn," jawabnya.

Saya terbelalak. Masih ada beliatn rupanya. Pantas saja tadi di pelataran lamin saya sempat mendengar sayup-sayup bunyi tetabuhan khas beliatn. Saya sangat mengenali tetabuhan itu karena dulu selama sebulan tinggal di lamin, hampir setiap malam digelar beliatn, ritus pengobatan tradisional. Dulu saat kami tiba di lamin, juga tengah berlangsung upacara beliatn sentiu, upacara beliatn terbesar, yang membuat saya nggak bisa tidur pada malam-malam pertama karena upacara berlangsung hingga tengah malam, selama 4 hari berturut-turut.

Jadi, masih ada beliatn di sini, di saat jalur transportasi ke rumah sakit kota hanya ditempuh dalam waktu 30 menit?
-Mengenang Pak Jerma yang sudah berpulang pada bulan Agustus 2010 lalu-

napak tilas (1): pedalaman borneo (1994 - 2008)


1994
2008


Saya tak ingat betul berapa jam waktu yang kami habiskan di atas hardtop dari Melak, Kab. Kutai Barat, menuju desa Pepas Eheng Kec. Barong Tongkok pada tahun 1994 lalu. Jarak kilometernya hanya sekitar 36km, tetapi sepertinya lebih dari 3 jam tubuh kami terguncang di atas hardtop yang dipenuhi backpack berisi pakaian dan bekal hidup untuk sebulan di pedalaman Borneo.

Jalanan tak beraspal dari Melak ke pertigaan Mencimai yang terletak di selatan kota kecamatan Barong Tongkok waktu itu kami tempuh sekitar 45 menit. Kemudian dari persimpangan Mencimai kami belok ke barat menuju Pepas Eheng. Sesaat setelah hardtop yang kami tumpangin mebelok ke kanan, kami pun melintasi hutan dengan kondisi jalan tanah/lumpur yang bergelombang.

“Welcome to the jungle..!” seru saya sambil terguncang-guncang. Sebenarnya hutan yang kami lintasi bukan hutan belukar dengan pohon-pohon besar. Tapi lebih menyerupai sebuah kebun luas dengan pohon-pohon yang ranting dan daunnya kadang menjuntai menutup jalan. Jalan tanah yang menjadi becek oleh hujan yang kami lewati mungkin hanya selebar 2 meter, pas untuk satu mobil melintas. Jangan membayangkan bagaimana kalau berpapasan, karena jalan ini jarang-jarang dilewati kendaraan roda empat pada saat itu.

Hampir 2 jam tubuh saya dan teman-teman semobil terguncang. Itupun sebenarnya kami termasuk beruntung, karena pada saat kami melintasi jalan menuju Pepas Eheng, sejumlah warga yang tinggal di jalur Mencimai – Pepas Eheng sedang menyiangi ranting-ranting pohon di tepian jalan. Mereka tengah bekerja bakti, karena beberapa hari ke depan, rombongan Bapak Moerdiono (saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan) akan berkunjung ke Pepas Eheng. Rombongan Pak Menteri ini juga akan diiringi oleh Tim Ekspedisi Kapuas - Mahakam yang kalo nggak salah didukung Kompas.

Persis 14 tahun kemudian, bulan Agustus 2008 lalu, saya berkesempatan napak tilas Melak – Pepas Eheng. Kesempatan ini sudah bertahun-tahun saya impikan, sejak kembali ke Jogja dari Pepas Eheng pada bulan Agustus 1994. Pengalaman eksotis selama sebulan tinggal di lamin (rumah panjang) suku Dayak Benuaq di Pepas Eheng, membuat saya berjanji untuk kembali. Keinginan itu makin membuncah ketika pada tahun 2005 – 2008 saya sering bolak-balik ke Kalimantan untuk urusan pekerjaan.

Dari Samarinda saya berangkat menuju Melak lewat jalur darat. “Nggak lama kok, paling cuma 8 jam perjalanan,” kata relasi saya menginformasikan jarak tempuh dari Samarinda ke Melak. “Pokoknya dinikmati aja deh, pemandangan hutan dan kebun sawitnya,” tambahnya lagi seolah menghibur saya yang mungkin menurutnya jadi nggak semangat membayangkan 8 jam perjalanan ke hulu, bagian tengah Kaltim.

"Ah, jaman dulu sebelum ada jalan darat, saya sehari semalam lewat sungai Mahakam," jawab saya berterus terang. Kini giliran dia yang terhenyak. “Apa? Tahun berapa tuh?” Relasi saya yang pendatang dari Jawa dan baru beberapa tahun ditugaskan di Samarinda itu tampak terkejut keheranan. Nggak nyangka bahwa saya pernah melakukan hal itu.

Saat mobil yang kami naiki mulai memasuki wilayah kota Sendawar, ibukota Ka. Kutai Barat, yang letaknya menyatu dengan kota kecamatan Barong Tongkok, mata saya jelalatan ke sana ke mari, mencari-cari adakah sisa dari masa 14 tahun lalu yang masih dapat saya kenali. Kota ini sudah berubah total. Sudah seramai kota-kota kecamatan di pulau Jawa. Begitu juga ketika saya menyempatkan diri jalan-jalan di dermaga Melak, tempat perahu Putra Mahakam yang pernah kami tumpangi merapat. Sudah tak mampu saya kenali lagi selain air sungai Mahakam yang berwarna coklat.

Saya baru punya kesempatan napak tilas Melak - Pepas Eheng dua hari kemudian, setelah urusan gaweyan dengan relasi beres. "Beneran, berani jalan sendiri?" tanya relasi saya sebelum dia kembali ke Samarinda. Maksudh hati dia berbaik hati akan mengantar saya ke Pepas Eheng, tapi dengan tulus saya tolak karena saya pengin bernostalgia.

Tentu saja saya tak perlu mencari sewaan hardtop lagi karena jalan sudah diaspal, mulus dan lebar. Tapi karena angkutan umum ke sana belum ada, teraksa saya carter mobil juga akhirnya. Ongkosnya lumayan mahal buat kantong orang yang tinggal di Jogja. Rp 200.000 single trip. "Memang berapa lama dari Melak ke Eheng?" tanya saya sambil membayangkan saat terguncang di atas hardtop 14 tahun lalu. "Paling lama 30 menit," kata driver yang membuat saya tercengang. Dulu kan hampir 3 jam, pake bonus pegel-pegel pula.

Begitu mobil kijang sewaan itu melaju meninggalkan pelataran hotel di Melak, saya sudah pasang mata baik-baik mencermati sekitar. Ternyata hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai pertigaan Mencimai Barong Tongkok dari Melak. Sementara itu dari Mencimai ke Pepas Eheng juga hanya memakan waktu sekitar 15 menit!

Gara-gara jalan beraspal itu, saya sampai nggak sadar kalau mobil yang mengantarku sudah berhenti di depan rumah panjang bertuliskan Lamin Adat Kampung Pepas Eheng. "Hah..cepet sekali?" kata saya spontan. Padahal mata saya masih sibuk mencari-cari papan arah, barangkali ada tulisan "Selamat Datang di Desa Pepas Eheng" yang ada di dekat jembatan kecil di erbatasan desa tempat saya pernah berfoto narsis 14 tahun lalu.

Memang sih, mobil yg saya tumpangi sudah melewati sungai dengan jembatan yang kokoh dan ada taman kecil di dekatnya. Ah, tapi saya nggak yakin bahwa itulah jembatan yang sekaligus menjadi batas wilayah desa Pepas Eheng dengan desa Engkuni. Saya kok masih nggak percaya ya.

Thursday, August 18, 2011

train trip




Kereta eksekutif Madiun Jaya mulai beroperasi Juni 2011

Kayaknya sih, kereta api adalah moda transportasi yang sangat dikagumi oleh anak-anak. Barangkali karena gerbongnya yang panjang dan mengeluarkan bunyi yang aneh, berbeda dengan suara kendaraan bermotor, dan juga punya jalan sendiri berupa batangan besi panjaaangg banget. Anak-anak pun jadi terkesima ketika melihat kereta itu melintas di depan mata. Jangan heran jika di lintasan kereta api dekat jembatan layang Jogja, nggak jauh dari stasiun Lempuyangan, banyak orang tua yang mengasuh anak balita di sore hari. Termasuk saya dan Baby Bindi. Hehe...!
 
Saya memang suka mengajak Bindi nonton kereta api sambil nyuapin. Selain di lintasan kereta Stasiun Lempuyangan, seringnya saya mengajak Bindi ke Stasiun Tugu yang lebih bersih dan luas. Jadi Bindi bisa berlarian dengan riang sambil menanti kereta datang. Begitu kereta tiba, ia akan berteriak kegirangan sambil melambai-lambaikan tangannya yang mungil. "Kreta apii..kreta apiii...tuiiitt..ttuuiiittt..tttuuiiitt...!"

Setelah beberapa kali nonton kereta, juga sering nonton tayangan Chuggington, film animasi dengan karakter kereta seperti Thomas, saya pun mengajak Bindi plesiran naik kereta Prameks dengan rute Jogja - Solo beberapa hari lalu.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Bindi naik kereta api. Saat usianya 13 bulan (November 2010), saya pernah mengajak Bindi ke Jakarta dengan kereta api dalam keadaan terpaksa. Terpaksa karena paska erupsi Merapi bandar udara Adisucipto sempat ditutup lebih dari dua minggu. Semua penerbangan dari dan ke Jogja dialihkan ke bandara Adisumarmo Solo dan bandara Ahmad Yani Semarang. Keterpaksaan lain, kondisi udara di Jogja masih berdebu, jadi mumpung saya lagi ada acara di Jakarta nggak ada salahnya ngajakin Baby Bindi sekalian. Itung-itung ngungsi sebentar, biar bisa menghirup udara yang lebih bersih (gara-gara erupsi Merapi,  udara Jakarta jadi lebih segar ketimbang Jogja!)

Dalam perjalanan Jogja - Jakarta dengan kereta Argo Dwipangga selama hampir 9 jam itu Bindi nggak rewel, bahkan bobok pulas di dada saya. Meski begitu ia belum bisa menikmati serunya naik kereta api karena perjalanan dilakukan pada malam hari. Baru beberapa menit kereta bergerak meninggalkan Jogja, Bindi sudah tertidur karena memang saatnya dia tidur malam. Begitu juga saat perjalanan pulang dari Stasiun Gambir ke Satasiun Tugu, belum naik kereta Bindi sudah tidur karena sudah lewat jam sembilan malam (kereta telat sekitar 2 jam saat itu).

Beberapa bulan setelah pengalaman pertama naik kereta malam itu, saya baru sempat mengajak Bindi nyobain naik kereta lagi meskipun cuma jarak dekat, satu jam perjalanan dengan kereta Prameks. Hari Sabtu siang itu kami sungguh beruntung karena bisa mencicip kereta eksekutif yang baru sebulan beroperasi, yaitu kereta eksekutif Madiun Jaya. Kereta ini melayani rute Jogja - Madiun sehari sekali dan rute Jogja - Solo sehari dua kali.

Siang itu kami tiba di Stasiun Tugu sekitar pukul 12.50 menit. Saat menengok jadwal kereta Jogja - Solo, ternyata ada pemberangkatan pukul 13.00. Segera kami berlari menuju loket untuk membeli tiket. Saat akan membayar, ternyata uang dua puluh ribuan yang kami sodorkan kurang untuk tiket 2 orang. "Lho, bukannya tiket Prameks per orang Rp 9.000?". Petugas loket tersenyum dan menginformasikan bahwa kami mengantri untuk kereta eksekutif dengan tarif Rp 20.000 per orang. Kami jadi terbelalak, ketinggalan berita nggak tahu kalau sekarang ada kereta eksekutif.

Saat naik ke gerbong kereta berwarna biru itu, saya makin terbelalak. Keretanya kereeenn..! Gerbongnya dingin pake AC, juga bersih, dan kursinya empuk (malah masih ada yang terbungkus plastik). Sudah begitu, kereta dengan kapasitas 500 orang itu lagi nggak banyak penumpang. Malah di gerbong yang kami tumpangi, nggak lebih dari 8 orang penumpang. Tentu saja Bindi ikutan girang karena gerbong yang lapang bisa membuatnya bebas hilir mudik dan berpindah tempat duduk.

Di sepanjang jalan, Bindi menikmati pemandangan dari jendela kaca yang lebar. Saat kereta mulai bergerak meninggalkan Stasiun Tugu dan melintas di atas Kali Code, Bindi berseru kegirangan. "Kaliii Cooddeee...!" Teriaknya sambil terus mengamati ke bawah. Jangan heran, Bindi memang sangat mengenal Kali Code. Nama sungai itu pertama saya kenalkan saat banjir lahar dingin di Kali Code. Sejak itu, setiap melihat jembatan dan sungai, Bindi selalu menyebutnya Kali Code. Juga ketika kami jalan-jalan ke Singapore River, Bindi menyebutnya Kali Code. Hehee...!

Jika bosan melihat pemandangan dari jendela kaca, Bindi turun dari tempat duduknya dan mengajak jalan-jalan menyusur gerbong. Saat akan melewati pintu penghubung gerbong, kakinya agak takut-takut melangkah karena bidang yang dipijaknya bergoyang-goyang.

Setiba di Solo kami hanya mencari makan siang di Solo Grand Mall lalu kembali lagi ke Stasiun Purwosari untuk naik kereta Prameks ke Jogja. Perjalanan pulang ini kami naik kereta Prameks reguler non AC dan berpenumpang padat. Kebetulan kami dapat tempat duduk di dekat pintu. Rupanya, saat kereta berjalan,  penumpang yang tidak mendapatkan kursi memilih duduk lesehan di area dekat pintu. Jadilah persis di bawah kaki saya, banyak orang yang menggelesot duduk. Bikin Bindi nggak bisa leluasa bergerak. Meski begitu, Bindi tampak enjoy. Malah bisa bercanda dengan penumpang yang gemes melihat tingkahnya.




Jadwal Kereta Prameks per Juli 2011

(jadwal kereta dicomot dari sini)

Wednesday, August 17, 2011

little indiana jones





Bindi di Candi Prambanan




Jalan-jalan di Candi Sambisari
Kami mulai mengajak Baby Bindi berwisata arkeologis setelah usianya 8 bulan ke atas. Saat itu Bindi sudah bisa duduk sendiri dengan nyaman dan sudah mulai tampak menikmati perjalanan. Bindi juga sudah bisa diajak berlama-lama di luar ruang selama beberapa jam. Setelah yakin dengan kondisi fisiknya yang cukup kuat, barulah kami mengajaknya jelajah candi.  

Candi pertama yang kami kunjungi adalah kompleks Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 3 km arah ke timur Candi Prambanan. Kompleks Candi Ratu Boko terletak di atas bukit. Jika menggunakan transportasi umum, penumpang akan turun di pinggir jalan raya Prambanan – Wonosari dan naik mendaki bukit. Lumayan ngos-ngosan, meski sudah dibuatkan tangga khusus untuk mencapai komleks candi. Paling enak memang menggunakan kendaraan pribadi, sehingga bisa langsung memarkir kendaraan di pelataran candi. Hemat energi, mengingat untuk menyusur kompleks Candi Ratu Boko ini yang cukup luas dan banyak tangga naik turunnya ini juga butuh energy ekstra. Apalagi sambil menggendong Baby Bindi.
Saat itu usia Bindi pas 8 bulan dan belum bisa berjalan, sehingga kami mengangandalkan ransel gendongan. Travel gear yang tepat digunakan untuk menjelajah kompleks candi memang ransel gendongan, bukan stroller. Stroller hanya akan membuat kita kerepotan karena jalan di kawasan candi biasanya tidak rata, bahkan ada beberapa anak tangga yang harus dilalui seperti di kompleks Candi Ratu Boko. Dengan ransel gendongan bayi, kita lebih leluasa menjelajah kompleks candi tanpa hambatan. 

Perjalanan pertama jelajah kompleks Candi Ratu Boko ternyata sukses. Bindi nggak rewel meski diajak berpanas-panas. Saat kami beristirahat di bawah pohon kelapa, duduk-duduk di atas batu-batu candi untuk membuka bekal makanan, Bindi juga tampak enjoy. Dia menyantap makanannya dengan lahap. Begitu kenyang dan kembali naik ke ransel gendongan, Bindi langsung tertidur. Dasar bocah! 

Setelah sukses melewati ujian petualangan candi, kami pun merencanakan trip ke candi lagi. Seminggu kemudian, kami mengajak Bindi ke Candi Prambanan ditemani travel gear andalan kami, ransel gendongan. Kompleks Candi Prambanan jauh lebih tertata daripada Ratu Boko yang lebih alami. Penataan Candi Prambanan yang berkonsep taman ini membuat kawasan candi terlihat lebih asri, bersih, dan bikin nggak berasa capek meski harus mengitari kompleks candi karena pintu masuk dan keluar jalurnya berbeda. 

Pada perjalanan kedua jelajah candi ini, Bindi makin terlihat daya tahan tubuhnya yang prima. Dia nggak bobok lagi di ranselnya. Malah mulai ngajak bercanda dengan narik-narik rambut saya atau bapaknya yang bergantian menggendong dengan ransel. Melihatnya tampak makin enjoy diajak bertualang kawasan candi, saya pun lantas mengagegendakan trip ke candi lainya, “kapan-kapan ke Borobudur, yuk,” ajak saya pada Edo yang langsung disetujui. Tinggal mengatur waktu bangun pagi saja, mengingat perjalanan dari Yogya ke Borobudur setidaknya butuh 45 menit. Artinya, kami harus berangkat pagi-pagi supaya sampai tujuan matahari belum terlalu tinggi. 

Sayangnya, belum sampai niatan ke Candi Borobudur kesampaian, erupsi Gunung Merapi yang terjadi sepanjang bulan Oktober 2010 lalu membuat kami perlu menunda agenda jelajah Candi Borobudur. Apalagi muntahan lahar dingin yang sempat berulang kali memutuskan jalur Yogya – Semarang, rasanya kami perlu menunda beberapa bulan atau tahun lagi deh. 

Kami pun mengalihkan trip ke candi-candi lain di sekitar Yogya. Ada puluhan candi-candi kecil yang menarik dijelajahi. Salah satunya adalah Candi Sambisari yang terletak tak jauh dari bandara Adisutjipto. Dari jalan raya Yogya – Solo, sekitar 1 km timur bandara, terdapat jalan ke utara menuju Candi Sambisari. Kira-kira 2 km jauhnya dari ruas jalan utama Yogya – Solo. 

Candi Sambisari ini sangat unik, karena terpendam di bawah tanah. Konon, candi ini ditemukan tanpa sengaja oleh seorang petani bernama Karyowinangun pada tahun 1966. Ketika ia tengah mencangkul sawah, tiba-tiba cangkulnya terantuk bongkahan batu. Saat ia mencoba menggali lebih dalam lagi, rupanya bongkahan batu itu penuh pahatan. Oleh dinas purbakalan, sawah milik Karyowinangun kemudian ditetapkan sebagai suaka purbakala.
Setelah melakukan penggalian dan penelitian selama kurang lebih 21 tahun, barulah terlihat wujud candi Hindu (Siwa) yang diperkirakan dibangunan pada abad ke-9. Rupanya akibat letusan hebat Gunung Merapi yang diperkirakan terjadi pada tahun 1006 M, candi ini jadi tertimbun lahar. Setelah ratusan tahun, lahar yang memadat itu menjadi permukaan tanah di mana di atasnya warga bercocok tanam. Itulah sebabnya, Candi Sambisari berada sekitar 6,5 meter di bawah permukaan tanah.

Saat mengunjungi  Candi Sambisari, Bindi sudah berusia 1,5 tahun dan sudah bisa berlarian. Kami sudah tidak perlu lagi membawa ransel gendongan, mengingat Candi Sambisari ini cukup mungil jika dibandingkan Candi Prambanan, Ratu Boko, dan Borobudur. Luas kawasan Candi Sambisari sekitar 50 x 48 meter, nggak bakal melelahkan buat Bindi. Kalaupun dia minta gendong saat menuruni atau menaiki tangga candi, bisa kami gendong tangan biasa, tak perlu dengan gendongan. 

Tips Jelajah Candi
·         Pilih waktu saat matahari condong ke timur (pagi) atau ke barat (barat) supaya tak terlalu terik. Loket candi biasanya sudah buku pada pukul 06.00 dan tutup pada pukul 17.30.
·         Gunakan travel gear yang nyaman seperti ransel gendongan. Jika tak memiliki, bisa menggunakan gendongan bayi jenis ransel yang diliangkan di punggung.
·         Payung dan topi jangan sampai ketinggalan ya.
·         Bawa minuman botol ekstra biar nggak dehidrasi di tengah jalan.
·         Diapers dan perlengkapan ganti sebaiknya juga dibawa serta, jangan ditinggal di mobil.

Monday, August 15, 2011

cokelat

cokelat Ratu Victoria dari London


Rasa-rasanya saya belum pernah bertemu orang yang nggak doyan coklat. Yang ada kebalikannya. Kebanyakan orang sangat doyan coklat, apalagi jika ada yang ngasih saat hari Valentine atau oleh-oleh dari traveling.

Saya jadi ingat kisah lenyapnya beberapa keping coklat yang bikin heboh teman-teman sekantor. Kepingan coklat bergambar Ratu Victoria dengan diameter 12 cm itu adalah sebagian dari oleh-oleh yang saya bawa dari London (2007). Saya membelinya di National Portrait Gallery, London. Harga per keping sekitar 4 pounds dengan kurs rupiah pada saat itu Rp 18.500,-.

Ada 12 keping yang saya bagikan pada mereka, 11 keping untuk teman-teman di kantor dan 1 keping untuk penjaga malam. Kepingan cokelat itu tersimpan manis di kulkas sepanjang hari supaya nggak lembek kena hawa tropis. Sore, ketika pulang, mereka mengambilnya.

Sunday, August 14, 2011

daypack

me & timberland
Salah satu piranti jalan andalan saya adalah daypack alias ransel kecil  18 - 24 liter. Biasanya kalau lagi backpacking lebih dari seminggu, saya menggunakan dua ransel yaitu ransel backpacker yang ukurannya di atas 45 liter yang berisi segala perlengkapan saya dan ransel daypack yang isinya lebih ringan seperti lonely planet, agenda, botol minum, dan travel wallet untuk menyimpan dokumen perjalanan. Tapi kalau perginya cuma sebentar, 2-4 hari, biasanya saya hanya menggunakan daypack 24 - 30 liter saja.

Dalam keseharian, saya juga biasa menggendong daypack ini, termasuk buat ngantor. Bahkan ransel ini juga sering saya jadikan diaperbag, tempat nyimpen diaper dan perlengkapan bayi kalo lagi jalan sama sama Baby Bindi.

Monday, June 13, 2011

Oleh-oleh dari Ubud Travel Writing Trip | 2-5 Juni 2011



DAY -1 (June 1, 2011)
Sehari sebelum workshop penulisan perjalanan, sudah ada peserta yang tiba di Ubud, yaitu Windy (Jakarta) dan Vonny (Bandung). Mereka tiba pada sore hari hampir bersamaan, hanya selisih beberapa menit.Saya sendiri tiba di Ubud siang hari dan sepanjang siang hingga sore saya habiskan dengan leyeh-leyeh di teras kamar yang menghadap ke sawah.

Malamnya, kami keluar makan bertiga ke Igelanca Resto (Jl. Ubud Raya) langganan saya yang harganya relatif murah untuk ukuran Ubud. Sembari makan malam itu, kami merancang agenda untuk jalan-jalan besok pagi. Mumpung peserta lain belum berdatangan dan agenda resmi Ubud Travel Writing Trip (Ubud TWT) belum resmi dimulai. Sayang kan, kalo pagi di Ubud hanya dibiarkan berlalu di atas kasur?


Monday, May 2, 2011

penulis dan pembaca

pelajaran berharga yang terus tertanam dalam benak sebagai penulis adalah berbesar hati ketika karya kita dikritik orang lain. sewaktu remaja dulu hingga kuliah, saat saya sering nulis cerpen di majalah hai, gadis, aneka, dan mode, saya sudah sering diolok-olok teman karena nulis cerpen roman, cinta-cintaan remaja. harap maklum, saat itu saya bergaul sama temen-temen aktivis pers mahasiswa yang sering nulis opini di koran dengan tema politik. sementara itu, di fakultas sastra tempat saya belajar (meski saya ngambil jurusan antropologi), cerpen-cerpen saya juga nggak dianggep sebagai karya sastra besar, alias sastra pop yang bagi sebagian orang mungkin dianggep karya ecek-ecek.

tapi saya tidak pernah minder atau rendah hati. saya juga tidak merasa mereka tengah merendahkan saya. mereka mungkin mengritisi karya saya, tetapi bukan berarti menjelekkan. mengkritisi dan menjelekkan adalah dua hal yang berbeda. yang satu bersifat positif meskipun kadang-kadang terasa menohok dada, yang satu lagi bernada negatif yang biasanya didasari rasa dengki.

Friday, April 29, 2011

ngopi bareng penulis

mimpi saya tentang forum ini

Sembari Minum Kopi (SMK) merupakan forum untuk penulis dan pembaca yang saya bentuk pada tahun 2007. Ide ini berawal dari ketertarikan saya di bidang tulis-menulis dan keinginan untuk mempertemukan penulis dengan pembacanya agar bisa saling menginspirasi.

Penulis pertama yang mengisi forum SMK adalah Andrea Hirata. Saya mengundangnya setelah membaca novel ketiganya, Edensor (Bentang Pustaka, 2007) berkisah tentang perjalanannya mengelilingi Eropa. Saat saya mengontaknya dan memintanya berbagi tips tentang backpacking dan travel writing, Andrea sangat antusias. “Temanya menarik sekali,” katanya merespon tawaran yang berbeda dari forum-forum diskusi yang pernah diikutinya kala itu.

Forum SMK pertama bertema “Menuliskan Kisah Perjalanan”  bersama Andrea Hirata ternyata mendapat sambutan yang luar biasa. Sejumlah peserta bahkan ada yang bela-belain datang dari luar kota, sekalian weekend di Jogja. Jadilah saya makin pede untuk menghidupkan forum ini dengan menghadirkan penulis-penulis lain. Setelah Andrea Hirata, penulis yang pernah mengisi forum SMK adalah novelis Putu Fajar Arcana, Kris Budiman, dan Sapardi Djoko Damono.

Wednesday, March 30, 2011

H - 2 = Packing

print out tiket & reservasi hotel
Dua hari menjelang traveling, biasanya saya sudah mulai menyiapkan segala macam yang bakal kami bawa. Sebenarnya H - 2 ini terlalu mepet, mengingat bawaan Baby Bindi lumayan beragam. Makanya, saya memulainya dengan menyusun packing check-list. Ini dia daftar bawaan yang akan kami bawa untuk traveling ke Singapore selama 4D3N.

Packing Checlist:
  • Print Out online reservation: tiket pesawat, tiket universal studio, booking hotel
  • Travel gear: stroller.
  • Feeding Kit : 2 botol susu 250ml, sendok makan, tumbler, tempat makan tupperware
  • Cooking Set ukuran kecil yang bisa buat rebus/kukus
  • Perlengkapan mandi, perlengkapan cuci feeding kit, diapers, obat-obatan
  • Pakaian, baju renang, topi, sepatu sandal,
Sebelum menyusun packing check list ala kadarnya ini, biasanya saya sudah lebih dulu membersihkan luggage dan stroller. Lalu secara bertahap saya kumpulkan satu persatu segala tetek bengek bawaan Baby Bindi itu. Sebisa mungkin, sebagian besar yang ada dalam checklist itu sudah terkumpul pada H - 2.

Esok harinya, yaitu H - 1, barulah saya mulai menyiapkan pakaian saya dan suami. Begitu semua pakaian kami bertiga terkumpul, mulailah kami menjejalkannya ke dalam Cellini luggage andalan kami. Sebisa mungkin semua bawaan masuk dalam luggage dan dibagasikan, sehingga kami cukup menggendong day pack yang berisi keperluan botol susu, biskuit, diaper dan pakaian ganti buat jaga-jaga selama dalam perjalanan.

Thursday, March 24, 2011

karya lama, regoljogja travel fremagz


Jauh sebelum penerbitan buku-buku traveling menjadi booming di Indonesia, saya sudah nerbitin travelmagz loh. Namanya REGOLjogja. Tagline-nya: travel - leisure - culture. REGOLjogja ini merupakan freemagz alias dapat diperoleh dengan gratis. Meskipun gratisan, tapi bukan berarti isinya kumpulan advertorial. Enggak banget. Ini proyek idealis, jadi nggak sembarangan boleh masang iklan. 

Mungkin gara-gara idealis juga, jadi kekurangan dana untuk memproduksinya. Tapi sebenarnya, problem utamanya pada soal timkreatif yang terbatas. Tidak ada timkreatif yang khusus menangani REGOLjogja alias timkreatifnya sama dengan timkreatif di REGOLmedia, perusahaan saya. Begitu banyak kerjaan di REGOLmedia, kami jadi keteteran ngurusin REGOLmagz..heheh. Akhirnya majalah itu pun bertahan hanya 5 edisi. 

Wednesday, March 23, 2011

coba-coba membaca pembaca bukuku..

sastra perjalanan karya pertamaku
Tiga buku perjalanan yang sudah saya tulis, membuat saya merenung-renungkan efeknya bagi pembaca. Buku pertama, TALES from the ROAD (2009), sungguh membanggakan karena mendapat banyak pujian hingga terpilih dalam 5 besar buku non fiksi pilihan pembaca dalam Festival Pembaca Indonesia 2010 lalu. Pujian yang datang tidak selalu berimplikasi pada oplah penjualan, tidak masuk kategori best seller. Berbeda dengan buku berikutnya yang saya tulis EUROTRIP: Safe & Fun (2010) yang dalam waktu tiga bulan sudah langsung dicetak ulang. Naga-naganya, buku ketiga saya UKTRIP: Smart & Fun (Maret, 2011) akan mengikuti jejaknya. Semoga...

Meskipun oplah buku EUROTRIP sangat menggembirakan, tapi buku laris manis ini ternyata tidak direview oleh banyak pembaca. Harap maklum, namanya juga buku guidance, males banget dong mereview-nya. Tapi lumayanlah, saya masih mendapat pujian lisan bahwa gaya menulis saya tetep beda dengan para penulis buku guidance lainnya. Tetep kelihatan antropologinya seperti yang terasa di TALES from the ROAD.

Lalu, sebagai penulis, apa komentar dan perasaan saya? 

Tuesday, March 22, 2011

kraton, tamansari, alun-alun




atas: di pulo cemeti; bawah: benteng kraton di jl kasatriyan
Paket wisata yang menjadi destinasi utama jika ingin berwisata ke Yogya itu hampir setiap hari disambangi Bindi sejak bayi. Setiap pagi, kami mengajak Bindi jalan-jalan ke Alun-alun dan pelataran Kraton dengan menggunakan kereta dorong (stroller). Biasanya kami berangkat dari rumah pukul 6.00, setelah Bindi mandi pagi, dan kembali ke rumah sekitar pukul 07.30. Lumayan kan satu setengah jam menghirup udara segar sembari menikmati kawasan Jeron Beteng yang dibatasi dinding-dinding tinggi. 

Rute yang kami tempuh, ada tiga jalur pilihan yang biasanya kami lakukan secara bergantian, yaitu jalur utara, jalur selatan, dan jalur barat. Jalur ini diambil dari lokasi tempat tinggal kami di jalan Magangan Kulon, yang jika dilihat dalam peta terlatak di tengah-tengah kompleks Kraton. Jika ingin jalan-jalan ke Kraton dan Alun-alun Utara, kami ambil jalur utara. Jika ingin ke Alun-alun Selatan ya ngambil jalur selatan. Sementara jika ingin ke Tamansari kami akan berjalan kaki kea rah barat. 
Biar terasa lebih seru, kami memilih jalur yang menyusur kampung. Rute berangkat dan pulangnya pun juga berbeda. Misalnya, jalur utara mau ke Kraton. Rute berangkat dari rumah ð Kemagangan ð Jl. Kasatriyan ð Jl. Kemitbumen ð Keben/halaman depan Kraton ð pulang lewat Jl. Rotowijayan ð Jl. Sidomukti ð nDalem Pakuningratan ð rumah. Jalur selatan ke Alun-alun Selatan adalah: rumah ð Kemagangan ð Kemandungan ð Sasana Hinggil (Alun-alun Selatan) ð pulangnya menyusur kampung Ngadisuryan ð rumah. Jika ke Tamansari dari rumah ð pasar Ngasem ð Pulo Cemeti (kawasan Tamansari) ð Sumur Gumuling ð susur lorong/tunnel (underground) ð kompleks pemandaian Tamansari ð pulang lewat kampung Ngadisuryan ð  rumah.

Rute menyusuri kawasan heritage berusia ratusan tahun ini sungguh menyenangkan. Dinding-dinding kraton yang tinggi memagari jalanan lengang yang kami lewati. Juga gapura dan regol (pintu gerbang) bagian kraton yang ada di Kemagangan dan Kemandungan yang dilengkapi patung dua naga dengan kedua ekornya saling melilit. Dua patung naga ini merupakan ‘suryasengkala’ yang berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal  menyimbolkan tahun 1628 (tahun Jawa) atau 1756 M, tahun saat kraton mulai dibangun. Itu berarti setahun setelah terjadinya perjanjian Giyanti 1755 yang membagi Kerjaan Mataram menjadi dua: Kasultanan Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat.




Bindi dan Dwi Naga Rasa Tunggal

Kemagangan dan Kemandungan merupakan playground favorit buat momong dan nyuapin  Baby Bindi hingga kini. Selain karena jaraknya hanya sekitar 300 meter dari rumah kami, kawasan ini merupakan area terbuka yang luas dan terdapat sejumlah pohon rindang. Jika sewaktu bayi Bindi hanya pasrah di atas strollernya, kini ia bisa berlarian riang mengitari kompleks bagian belakang kraton ini. Ia juga tampak menyukai patung naga, menunjuk-nunjuknya sambil menyebut “nogo”. 

Playground favorit selain Kemagangan dan Kemandungan adalah Pulo Cemeti, salah satu bagian dari kompleks Tamansari Water Castle. Pulo Cemeti ini letaknya persis di belakang pasar Ngasem yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah kami arah ke barat. Pulo Cemeti merupakan reruntuhan bangunan yang konon cukup tinggi. Jika kita berjalan dari arah utara menuju Pasar Ngasem, akan tampak di belakang pasar bangunan kuno yang tinggi dan bagian atasnya sudah tidak utuh lagi. Bagian atas ini dulunya bisa dinaiki karena memang terdapat tangga menuju ke sana. Dari bagian atas Pulo Cemeti itu kita bisa melihat kota Yogya. Saat ini Pulo Cemeti sedang dalam tahap restorasi sehingga pengunjung tidak diperkenankan naik ke atas bangungan. Sementara itu bagian bawah bangunan Pulo Cemeti ini cukup luas sehingga Baby Bindi bisa berlarian di sana. 

Selain Pulo Cemeti, tempat yang juga enak buat berlarian buat bayi yang belum lama bisa berjalan sendiri adalah bangunan bawah tanah atau tunnel. Tunnel ini dulunya merupakan jalan yang dibangun untuk menghubungkan kompleks Tamansari dengan, konon katanya, Laut Selatan. Yang jelas, saat ini tunnel yang masih bisa dilalui hanya sepanjang sekitar 100 meter, yaitu dari Pulo Cemeti ke arah selatan menuju kompleks pemandian. 

Sudah pasti, setiap jalan-jalan pagi menyusur kawasan heritage ini kami tak pernah meninggalkan kamera poket, minimal ponsel berkamera. Sayang rasanya melewatkan foto Baby Bindi berlatar bangunan heritage yang sudah berusia ratusan tahun. Bahkan kami nggak pernah bosan mengabadikan segala polah Baby Bindi, sejak ia masih di atas stroller hingga sudah gesit berlari, meski tempat itu terlalu sering kami kunjungi.

Wednesday, March 16, 2011

[singapore] hotel atau apartemen?

Pool @Robertson Quay Hotel (image: booking.com0
Seorang kawan menyarankan jika plesiran ke Singapore bersama keluarga, mendingan nginep di apartemen. Tarifnya murah, fasilitasnya komplit, ada living room, juga ada pantry/dapur segala. Sudah pasti saya langsung meng-copas link apartemen yang bisa disewa harian dan memulai perburuan. Apartemen yang saya incar adalah Lucky Plaza (hiks, berasa napak tilas jejak Gayus aja) yang terletak di kawasan Orchard Road. Alasannya sederhana saja, karena dari browsing ternyata banyak orang Indonesia yang memiliki apartemen di Lucky Plaza dan disewakan harian. Tarif yang ditawarkan pun nggak jauh dari budget yang saya patok, antara $100 - $140 per malam.

Setelah menemukan apartemen incaran itu, saya mengisi form order yang disediakan. Dalam waktu kurang dari 24 jam, saya sudah mendapat jawaban dari pemilik apartemen via e-mail.Ada dua opsi apartemen di Lucky Plaza  yang diberikan, yaitu apartemen dengan private bathroom ($180) dan sharing/outside bathroom ($100). Weitzz..kalau kamar mandi di luar, repot dong nanti kalau malam-malam Baby Bindi pengin pup. Juga, Bindi kan suka main air, kalau mandi suka berlama-lama. Gimana kalau nanti ada tamu lain yang ngantri? Repot banget. Tapi, jika pilih private bathroom yang harga sewanya semalem $180 apa nggak mending pilih hotel saja?

Jadilah saya banting setir, googling hotel lewat situs www.booking.com dan www.agoda.com. Oh ya, kedua situs ini kini menjadi andalan saya untuk reservasi hotel jika traveling bersama Baby Bindi (lupakan situs andalan backpacker www.hostelworld.com untuk sementara. Haha...!). Kedua situs ini memberikan banyak pilihan hotel dengan tarif promo (bukan published rate) di seluruh dunia. Bedanya, jika memesan kamar lewat Agoda.com kita harus membayar lunas dengan kartu kredit, sedangkan Booking.com kebalikannya, kartu kredit kita hanya dijadikan tanda reservasi tanpa dikenai charge. Booking.com juga memberikan batas waktu pembatalan reservasi tanpa kena charge. Jangka waktu ini akan berbeda pada tiap hotel yang kita pesan. Semua pembayaran baru dilakukan pada saat kita check in di hotel yang kita pesan dengan menggunakan kartu kredit yang kita gunakan untuk booking.

Hasil perburuan lewat kedua situs itu akhirnya menjatuhkan pilihan saya pada hotel Robertson Quay Hotel yang saya pesan via booking.com. Tarifnya lebih murah daripada tarif apartemen dengan private bathroom, yaitu $130 ($50 lebih murah!). Sudah begitu, lokasinya deket Singapore River pula, lokasi favorit. Sebelum menemukan Robertson, sebenarnya saya hampir menjatuhkan pilihan pada Novotel Clark Quay yang menawarkan tarif promo $200 per malam. Duluuu banget kebetulan pernah menginap di sana dan terasa betul nyamannya. Pinggir sungai persis, enak buat jalan-jalan, jendela kamarnya ngadep ke sungai, dan menyatu dengan mall dan ada toko buku Kinokuniya-nya. Tapi dipikir-pikir, kok berasa mewah banget ya. Tiga malam menginap di Novotel berati hampir sekitar 5 juta, padahal tiket promo Air Asia Jogja - Spore return untuk kami bertiga hanya sejuta.

Ya sudahlah, yang realistis saja. Robertson sudah cukup pas buat kami. Fasilitas kamarnya lumayan nyaman untuk mengumbar Baby Bindi. Sudah begitu ada kolam renangnya pula. Makin kegirangan saja, karena Bindi bisa main kecipak air setiap hari. Hhmm..ternyata hotel juga merupakan destinasi wisata buat Baby Traveler.

ternyata saya sudah terpesona pada london sejak 30th lalu!


foto di sampul buku tulis yang mempesona  mata kanak2 saya 30th lalu

Ada banyak hal yang membuat saya terpesona kepada Inggris, khususnya London. Pesona pertama yang menyentuh rasa ingin tahu saya tentang the United Kingdom atau Inggris Raya datang dari Istana Buckingham. Pesona itu datang tiga puluh tahun lalu, saat Pangeran Charles dan Lady Diana menikah pada 1981, ketika saya masih kelas 3 SD. Kisah cinta mereka yang saya baca di majalah Kartini milik ibu saya, membuat saya makin terpesona kepada pasangan calon pewaris takhta Inggris tersebut. Ternyata Diana bukan putri berdarah biru atau bangsawan, ia berasal dari keluarga biasa yang saat berpacaran dengan Charles, Diana masih berprofesi sebagai seorang guru taman kanak-kanak. 

Pada liburan kenaikan kelas, seorang sepupu yang tinggal di Semarang menghadiahi beberapa buku tulis baru dengan sampul bergambar Pangeran Charles dan Lady Diana yang sedang tersenyum bahagia. Saya masih dapat mengingat dengan jelas pose Pangeran Charles dan Lady Di dalam sampul buku tulis itu. Lady Di mengenakan baju berwarna biru muda, tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi, dan kebahagiaan terpancar dari raut mukanya nyaris tanpa make-up yang membuatnya tampak makin anggun. Sementara itu, Pangeran Charles berdiri di belakangnya mengenakan jas hitam, kedua tangannya memegang pundak Lady Di. Charles juga tersenyum, meskipun menurut saya wajahnya nggak ganteng-ganteng amat.

Perkawinan beda kelas itu rupanya membuat Diana justru makin populer di mata dunia. Bahkan, dibandingkan ibu mertuanya, Her Majesty the Queen Elizabeth II yang bertakhta sebagai ratu dan kepala negara. Harus diakui bahwa Diana jauh lebih menarik dan dikagumi dunia. Gadis-gadis kecil seusia saya kala itu banyak yang mengidolakannya karena kecantikannya yang jauh dari kesan glamor. Bahkan, sepupu saya yang menghadiahi buku tulis bersampul Charles–Diana sampai bela-belain mengikuti potongan rambut bergaya Diana! 

Jadi, jangan heran pula jika anggota DPR RI ketahuan mampir ziarah ke makam Lady Di dalam kunjungan dinas ke Inggris pada September 2010 lalu. Diana telah menjadi ikon Inggris. Ia sama populernya dengan London Big Ben ataupun Tower Bridge.

Tuesday, March 15, 2011

3N4D trip

@duta mall, banjarmasin
Berapa lama waktu ideal buat plesiran bersama si kecil? Buat Baby Bindi, sepertinya 4 hari (termasuk perjalanan) sementara ini sudah cukup. Kalau lebih dari itu, katakanlah seminggu, kayaknya kok masih kasihan ya. Kasihan karena dalam waktu seminggu itu ia harus makan ala kadarnya karena saya nggak sempet bikinin nasi tim dengan menu yang bergizi bebas gula dan garam. Selain itu, kasihan juga emak dan bapaknya dong, karena harus kelamaan ninggalin gaweyan di kantor.

Sebaliknya, jika waktu plesiran terlalu singkat, kasihan si kecil juga karena nggak ada jeda untuk beristirahat. Hari ini nyampe daerah tujuan, besok pagi seharian jalan, dan lusa sudah harus pulang. Kalau perjalanan jarak dekat sih nggak masalah, lha kalau perjalanan lintas pulau/propinsi atau ke negara tetangga kan nggak seru tuh.

Sekedar gambaran, berikut agenda 3N4D trip-nya Baby Bindi yang biasa kami lakukan:

  1. Day 1 : Arrival. Jika tiba pada siang hari, kami akan beristirahat di hotel hingga sore. Setelah itu sorenya, sekalian nyuapin, jalan-jalan ke mall untuk berbelanja berbagai keperluan si kecil untuk beberapa hari ke depan seperti biskuit, buah, diapers, dll
  2. Day 2 : Pagi hari setelah sarapan, jalan-jalan ke destinasi wisata tujuan. Biasanya hingga siang hari, kembali ke hotel, bobok-bobok siang, bangun tidur kuterus mandi sore, lalu dilanjut jalan sore menikmati suasana. Kadang kami balik ke mall lagi, nyari sejenis Timezone, buat menghibur Baby Bindi.
  3. Day 3 : idem, mirip kegiatan hari ke-2 dengan destinasi yang berbeda. Malam harinya mulai packing supaya esoknya nggak kerepotan.
  4. Day 4 : Jika perjalanan pulang dilakukan pada siang atau sore, pagi hari masih bisa digunakan untuk packing dan jalan-jalan di sekitaran. Tapi kalo pulangnya dapat flight pagi, ya apa boleh buat.
Selama di daerah tujuan, kami tidak ingin terikat waktu. Kalau enjoy ya dilanjut, kalau Bindi udah kelihatan kecapean, ya mari kita kembali ke hotel. Main-main di hotel juga bagian dari rekreasi kok. Apalagi kalo hotelnya punya fasilitas kolam renang. Bindi kegirangan banget bisa bermain air. Karena itu, memilih hotel yang nyaman, luas, dengan harga terjangkau juga sama pentingnya dengan memilih destinasi wisata yang baby friendly.